Kilas Balik.
Beberapa bulan sebelumnya.
“Eh, nanti belikan soto bogor tiga bungkus ya.”
Aliya menghentikan sejenak kegiatannya menyeterika pakaian. Ia menoleh pada suaminya yang tengah duduk berselonjor di depan TV. “Sekarang?”
“Ngga. Ntar malem sepulang kamu ngajar,” jawab Bisma tanpa menolehkan pandangannya dari layar TV.
“Kok banyak banget? Satu bungkus buat kita berdua juga cukup, kok.”
“Ntar malem kawan-kawanku mau datang kesini. Mau ngobrolin bisnis.”
“Oh,” respon Aliya lalu kembali melanjutkan menyeterika. “Uangnya nanti taro aja di atas tas ku di kamar, a. Takutnya aku lupa.”
“Uang apa?” tanya Bisma.
“Lah, Uang beli soto-nya.”
“Ya aku mana ada uang lah. Pake kamu aja dulu, ntar aku ganti.”
Seketika Aliya menghentikan kembali tangannya yang tengah menyeterika. “Aa, ini tuh akhir bulan. Aku kan belum gajian. Uang sisa yang ada, cuma cukup buat beli makan sama bensin aku sampai awal bulan nanti.”
“Paling berapa sih, buat soto doang? Pake aja dulu yang ada. Ntar aku gantiin,” tukas Bisma santai.
Oh ya? Aliya menghela napas. Helaan yang menunjukkan ia mengalah lagi. Ya. Lagi. Karena sudah tak terhitung berapa kali suaminya itu mengatakan ‘akan mengganti’. Sementara sepanjang Aliya ketahui, Bisma masih belum memiliki pekerjaan.
Bagaimana ia akan menggantinya?
Jangankan untuk mengganti, untuk menafkahi-pun Bisma belum bisa melakukannya. Atau lebih tepatnya lagi, belum mau melakukannya. Ia hanya berada di rumah. Menonton TV atau bermain ponsel.
Ketika diminta Aliya untuk bekerja, Bisma selalu beralasan bahwa tidak ada perusahaan yang mau menerima lulusan SMA seperti dirinya.
“Kau lulusan SMA? Bukannya kau seorang sarjana teknik informatika?” tanya Aliya saat itu kaget. Setahu dirinya, Bisma mengatakan bahwa ia berkuliah di suatu sekolah tinggi ilmu komputer.
“Ga sampe selesai. Keluar pas semester empat,” jawab Bisma santai saat itu.
Ia lalu memberikan alasan bahwa kendalanya pada biaya kuliah. Ia harus mengalah untuk dua adik-adiknya yang tengah bersekolah di SMA dan SMP.
Namun satu ketika, Aliya pernah mendengar dari adik iparnya, bahwa kakaknya itu bukan berhenti kuliah karena tidak ada biaya. Namun dikarenakan DO, karena Bisma jarang masuk kuliah.
Saat itu ayah Bisma adalah orang yang cukup berada dan terpandang di kecamatan mereka tinggal. Ayah Bisma dulu seorang juragan tanah dan memiliki banyak kios di pasar. Memang hal yang hampir tak mungkin, mereka tidak bisa membiayai kuliah Bisma.
Awalnya, Aliya cukup marah mengetahui itu. Merasa dibohongi Bisma. Terutama ketika Bisma lalu menolak bekerja di pabrik, dengan alasan takut mempermalukan nama baik ayahnya yang terpandang itu.
Kini situasi ekonomi mertua Aliya itu mengalami kemunduran karena ditipu orang kepercayaannya. Bahkan sampai kehilangan sebagian besar aset-aset mereka, Bisma tetap enggan bekerja sebagai buruh pabrik.
Hingga akhirnya, sejak awal mereka menikah, Aliya lah yang menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya bersama Bisma. Bahkan sampai untuk keperluan Bisma pribadi pun, Aliya yang memenuhinya.
Aliya memendam ini semua dan menyembunyikannya dari kedua orangtua Aliya. Bagaimana ia memiliki muka dan sampai hati menceritakan ini pada kedua orangtuanya?
Dulu saat mengenalkan Bisma pada papa Aliya, sang papa menolak menerima Bisma sebagai calon mantunya. Papa Aliya mengatakan bahwa Bisma tampak seperti pemuda pemalas.
“Bisma seperti gunung es yang memang kelihatan megah. Tapi di dalamnya tersembunyi banyak hal-hal lain yang mungkin tidak kamu sukai atau bahkan kamu benci,” papa Aliya memberikan alasan lain pada Aliya kala itu.
“Bukannya Papa bersikap judgemental? Suudzon itu ga baik, pa. Papa ga kenal Bisma, dari mana Papa bisa menilai dia pemalas dan lain-lainnya itu?”
“Lalu apa kamu mengenalnya dengan baik?” Papa Aliya bertanya balik.
“Well… ya memang belum lama kenal Bisma. Tapi aku juga punya penilaian sendiri, Pa. Dia cukup pintar dan pekerja keras.”
“Dari mana kamu tau itu?”
“Dari kami mengobrol, Pa. Cara dia menjawab dan sudut pandang dia terhadap beberapa hal.”
Aliya akui, papanya jarang salah dalam membaca karakter orang dari body language atau bahasa tubuh mereka. Aliya yang memang belum lama mengenal Bisma, merasa telah jatuh hati pada Bisma yang terlihat energik dan aktif berorganisasi saat itu.
Aliya lalu berdebat panjang saat itu dengan sang papa dan bersikeras untuk menikah dengan Bisma. Pada akhirnya papa Aliya mengalah lalu membiarkan mereka menikah.
Sekarang, Aliya menuai buah yang ia tanam. Nasihat papanya yang dulu ia abaikan, menjadi bumerang baginya. Namun semua telah terjadi.
Aliya telah memilih hidup bersama Bisma, meskipun kemalasan Bisma dan ketidak-bertanggung-jawaban seorang Bisma selaku suami, adalah resiko pahit untuk Aliya yang harus dijalani.
Karena itu, diam adalah cara terbaik sementara ini bagi dirinya demi keberlangsungan rumah tangganya bersama Bisma, pilihan hatinya saat itu. Masalahnya bersama Bisma, tidak untuk diketahui baik oleh kedua orangtuanya, maupun oleh adik-adiknya.
“Oya, aku juga pinjam lima puluh ribu ya,” suara Bisma memecahkan lamunan Aliya. Ia segera menolehkan kepalanya ke arah suaminya yang masih asyik menonton. “Untuk apa?” “Ya buat rokok-lah.” “Ga ada, aa. Kan nanti buat beli soto.” “Coba deh kamu pinjam siapa dulu kek. Adikmu atau siapalah. Masa iya kita ada tamu, ga disediain rokoknya?” ucap Bisma ringan. Aliya menghela napas kasar. Ia lalu mencabut kabel setrika dari stop kontak listrik, menggulung kabel, melipat kain alas setrika, lalu menyimpan semuanya dengan rapi di sudut ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu itu. Mereka masih mengontrak di sebuah perumahan kecil di wilayah Cibinong, Bogor. Aliya merasa beruntung bisa menemukan kontrakan yang terbilang masih murah di suatu kompleks perumahan. Untuk bayar kontrakan ini pun, Aliya yang harus memikirkannya. “Aku ga bisa pinjam lagi ke adikku, a. Yang terakhir pinjam bulan lalu saja belum lunas,” ujar Aliya sambil berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya. “Emang kamu pinja
“Ya, gapapa Miss Milah. Saya maklum. Mungkin Miss perlu periksakan mata Miss ke dokter, setelah kelas hari ini,” Aliya merespon sambil tersenyum juga. “Apa maksudnya?” Kedua bola mata Milah membesar. “Bukan apa-apa Miss,” sela Aliya cepat. “Saya sedikit khawatir aja. Gelas sebesar ini oleh Miss ga keliatan…” Aliya memasang muka khawatir. “Ka-kamu…” “Morning Miss Aliya, morning Miss Milah!” Suara cukup keras terdengar dari arah pintu masuk. Itu Mr. Eddie. “Morning, Mister…” jawab Aliya dan Milah hampir bersamaan. Ia adalah principal atau kepala sekolah di lembaga kursus ini. Mr. Eddie masuk cukup tepat pada waktunya. Ia mencegah Aliya melakukan kekisruhan yang lebih panjang dengan Milah. Aliya bukan biang keributan. Namun hari ini, sungguh ia tengah tidak dalam suasana hati yang baik untuk bersabar dan hanya diam. “Mister Eddie…!” Milah langsung berbalik dan melangkah mengikuti Mr Eddie ke ruangannya. “Saya mau konsul overview saya, Mister…” Mr. Eddie mengangguk. Ia pun melanju
Di pelataran parkir. Aliya baru saja melambai pada pak Amas, satpam di tempat ia bekerja, ketika ia terhentak sedikit ke depan oleh senggolan seseorang dari belakang. Ia menolehkan kepalanya. “Sorry,” tukas Milah yang kini telah dua langkah berada di depan Aliya. Sudut kiri bibirnya tertarik ke atas. “Miss ngehalangin saya.” Aliya menghela napas. Ia mengabaikan ulah Milah yang seakan memancingnya untuk marah. Ia meneruskan langkahnya ke arah parkiran motor. “You mau ngasih privat lagi hari ini?” Pertanyaan dari Milah itu tidak digubris Aliya. “Hati-hati Miss, jangan pake bahan-bahan milik kantor untuk kepentingan pribadi ya.. Ngga etis dan melanggar hak cipta,” tambah Milah lagi yang mengekori Aliya. Aliya lagi-lagi mengabaikannya. “Kasian banget sih kamu, segitunya nyari tambahan. Emang kamu beneran punya suami, Miss? Kok kaya ga ada faedahnya gitu ya…” Langkah Aliya terhenti. Ia lalu berbalik menghadap Milah yang sedari tadi mengikutinya di belakang. “Saya rasa yang ga ad
Aliya lalu mencoba melihat profil teman f******k lainnya. Ia hendak melakukan uji coba dengan klik info pertemanan yang ada di sebelah kiri itu. Jarinya bergerak dan meng-klik kembali. Matanya menatap layar. Berhasil. Ia lakukan kembali pada dua orang teman lainnya. Penghapusan pertemanan, bisa dilakukan tanpa kendala. “Lah, ini ga ada gangguan. Bisa hapus pertemanan…” gumam Aliya dengan mata terus menatap pada layar. Setelah ia mengajukan permintaan pertemanan kepada ketiga teman yang tadi ia hapus, jarinya kembali bergerak. Mencari profil akun asing yang tadi gagal untuk di hapus status pertemanannya. Mata Aliya menatap lekat pada layar. Jarinya terlihat beberapa kali mengetuk tombol. Namun, pada akun f******k milik seseorang bernama Einhard itu, Aliya sama sekali tidak bisa menghapus pertemanan. Pilihan ‘Hapus Pertemanan’ itu sama sekali tidak merespon, tak peduli berapa kali Aliya meng-klik nya. “Aneh sekali…” gumam Aliya.
Dalam bungkusan plastik itu adalah jas hujan. Aliya mengeluarkannya perlahan. Kepalanya kembali menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun tidak terlihat satu pun orang yang lalu lalang di sana, yang tampak mencurigakan.Aliya kembali melihat barang di tangannya. Itu jas hujan satu set, dengan label tag yang masih menggantung. Jas hujan ini tebal dan halus, terasa seperti jas hujan mahal.Secarik kertas terselip dalam lipatan jas hujan itu.[Pakailah. Jika telah tidak dibutuhkan lagi, boleh berikan pada yang lebih membutuhkan]Kening Aliya berkerut. Lagi-lagi pandangannya beredar ke sekelilingnya. Mencari siapa kira-kira orang yang begitu iseng atau terlalu dermawan meletakkan jas hujan di atas motornya, seakan tahu ia tengah membutuhkannya. Apalagi jas hujan ini tampak mahal.Suara gemuruh di langit membuyarkan keraguan Aliya.‘Duh… semoga ga ada apa-apa dengan aku memakai ini,’ ujarnya dalam hati.Ia segera mengenakan ja
“Hai Miss Diani,” balas Milah dengan senyuman ramah. ‘Aissh! Giliran nyapa miss Diani nih orang ramah banget. Luar biasa lihai pasang topengnya,’ gerutu Aliya dalam hati. “Lagi ngomongin orang yang ga punya teman sama sekali, Miss?” cetus Milah bertanya pada Diani sambil melirik Aliya. Diani terkekeh. “Ngga juga. Itu Miss Aliya sedang nyiapin bahan overview tentang anak introvert,” jawab Diani spontan. Kali ini Aliya yang melirik. Dengan ujung matanya ia seolah menyatakan terima kasih pada Diani atas jawabannya ke Milah. Aliya sangat paham, Diani bukan tipe perempuan yang suka bergosip ataupun menggunjingkan orang lain, terutama rekan kerja sendiri. Diani juga seorang pekerja keras dan seseorang yang tegas. Meskipun ia seorang perempuan, ia tidak pernah ragu untuk menyatakan pendapat dan menyampaikan jika sesuatu yang salah adalah salah. Diani juga guru part-timer satu-satunya yang hampir tidak pernah ditegur Mr. Eddie. Tidak heran memang, jika Milah pun agak segan terhadap Dian
“Kenapa Miss?” Suara Diani terdengar.Aliya menggaruk kepalanya. “Entah nih…” Aliya lalu menyodorkan ponselnya ke hadapan Diani.Sesungguhnya Aliya tidak sedekat itu dengan Diani atau siapapun di kantor ini, sampai harus memberitahunya hal-hal kurang penting seperti ini.Namun entah bagaimana, Aliya terdorong untuk membiarkan Diani tahu apa yang tengah membuatnya bingung.“Apa nih?” tanya Diani sambil matanya melihat isi pada layar ponsel Aliya.“Jadi, ini tuh kemaren ada akun yang aku konfirmasi friend request nya,” Aliya memulai penjelasan.“Eh salah,” ralat Aliya. “Aku ga merasa approve request itu sih. Tapi intinya, akun orang ini ada dalam daftar temanku.”“Paling Miss Aliya lupa udah approve orang,” tukas Diani.“Oh ngga dong. Aku emang cuma berteman sama yang aku kenal aja. Kalau yang ga aku kenal, aku ga pernah approve tuh&h
Aliya tercenung. Mencoba memahami maksud dari kalimat jawaban itu. Ia lalu mengetik lagi di kolom tanggapan.[Siapa namamu? Apa kau kenal saya? Atau hanya random melihat akun saya?]Tak lama kemudian muncul lagi balasan. [Einhard. Itu nama saya. Saya pernah melihatmu]Ketika Aliya hendak menanyakan sesuatu lagi, terdengar suara gedoran pintu yang sangat kencang.“Yaaa!! Buka pintunyaa!!” Suara teriakan Bisma terdengar nyaring disertai gedoran pintu depan yang masih sangat kencang.“Iya! Sebentar!” sahut Aliya sambil setengah berlari menuju pintu depan dan langsung membukakan pintu untuk suaminya itu.Begitu pintu terbuka Bisma langsung menerobos masuk, berjalan dengan cepat ke arah kamar tidur mereka yang bisa dicapai hanya dengan lima langkah lebar saja.“Ada apa?” Nada suara Aliya terdengar sedikit kaget dan bingung. Ia mengekori suaminya masuk ke dalam kamar.Namun Bisma tak segera menjawa