Share

BAB 4

Kilas Balik.

Beberapa bulan sebelumnya.

“Eh, nanti belikan soto bogor tiga bungkus ya.”

Aliya menghentikan sejenak kegiatannya menyeterika pakaian. Ia menoleh pada suaminya yang tengah duduk berselonjor di depan TV. “Sekarang?”

“Ngga. Ntar malem sepulang kamu ngajar,” jawab Bisma tanpa menolehkan pandangannya dari layar TV.

“Kok banyak banget? Satu bungkus buat kita berdua juga cukup, kok.”

“Ntar malem kawan-kawanku mau datang kesini. Mau ngobrolin bisnis.”

“Oh,” respon Aliya lalu kembali melanjutkan menyeterika. “Uangnya nanti taro aja di atas tas ku di kamar, a. Takutnya aku lupa.”

“Uang apa?” tanya Bisma.

“Lah, Uang beli soto-nya.”

“Ya aku mana ada uang lah. Pake kamu aja dulu, ntar aku ganti.”

Seketika Aliya menghentikan kembali tangannya yang tengah menyeterika. “Aa, ini tuh akhir bulan. Aku kan belum gajian. Uang sisa yang ada, cuma cukup buat beli makan sama bensin aku sampai awal bulan nanti.”

“Paling berapa sih, buat soto doang? Pake aja dulu yang ada. Ntar aku gantiin,” tukas Bisma santai.

Oh ya? Aliya menghela napas. Helaan yang menunjukkan ia mengalah lagi. Ya. Lagi. Karena sudah tak terhitung berapa kali suaminya itu mengatakan ‘akan mengganti’. Sementara sepanjang Aliya ketahui, Bisma masih belum memiliki pekerjaan.

Bagaimana ia akan menggantinya?

Jangankan untuk mengganti, untuk menafkahi-pun Bisma belum bisa melakukannya. Atau lebih tepatnya lagi, belum mau melakukannya. Ia hanya berada di rumah. Menonton TV atau bermain ponsel.

Ketika diminta Aliya untuk bekerja, Bisma selalu beralasan bahwa tidak ada perusahaan yang mau menerima lulusan SMA seperti dirinya.

“Kau lulusan SMA? Bukannya kau seorang sarjana teknik informatika?” tanya Aliya saat itu kaget. Setahu dirinya, Bisma mengatakan bahwa ia berkuliah di suatu sekolah tinggi ilmu komputer.

“Ga sampe selesai. Keluar pas semester empat,” jawab Bisma santai saat itu.

Ia lalu memberikan alasan bahwa kendalanya pada biaya kuliah. Ia harus mengalah untuk dua adik-adiknya yang tengah bersekolah di SMA dan SMP.

Namun satu ketika, Aliya pernah mendengar dari adik iparnya, bahwa kakaknya itu bukan berhenti kuliah karena tidak ada biaya. Namun dikarenakan DO, karena Bisma jarang masuk kuliah.

Saat itu ayah Bisma adalah orang yang cukup berada dan terpandang di kecamatan mereka tinggal. Ayah Bisma dulu seorang juragan tanah dan memiliki banyak kios di pasar. Memang hal yang hampir tak mungkin, mereka tidak bisa membiayai kuliah Bisma.   

Awalnya, Aliya cukup marah mengetahui itu. Merasa dibohongi Bisma. Terutama ketika Bisma lalu menolak bekerja di pabrik, dengan alasan takut mempermalukan nama baik ayahnya yang terpandang itu.

Kini situasi ekonomi mertua Aliya itu mengalami kemunduran karena ditipu orang kepercayaannya. Bahkan sampai kehilangan sebagian besar aset-aset mereka, Bisma tetap enggan bekerja sebagai buruh pabrik.

Hingga akhirnya, sejak awal mereka menikah, Aliya lah yang menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya bersama Bisma. Bahkan sampai untuk keperluan Bisma pribadi pun, Aliya yang memenuhinya.

Aliya memendam ini semua dan menyembunyikannya dari kedua orangtua Aliya. Bagaimana ia memiliki muka dan sampai hati menceritakan ini pada kedua orangtuanya?

Dulu saat mengenalkan Bisma pada papa Aliya, sang papa menolak menerima Bisma sebagai calon mantunya. Papa Aliya mengatakan bahwa Bisma tampak seperti pemuda pemalas.

“Bisma seperti gunung es yang memang kelihatan megah. Tapi di dalamnya tersembunyi banyak hal-hal lain yang mungkin tidak kamu sukai atau bahkan kamu benci,” papa Aliya memberikan alasan lain pada Aliya kala itu.

“Bukannya Papa bersikap judgemental? Suudzon itu ga baik, pa. Papa ga kenal Bisma, dari mana Papa bisa menilai dia pemalas dan lain-lainnya itu?”  

“Lalu apa kamu mengenalnya dengan baik?” Papa Aliya bertanya balik.

“Well… ya memang belum lama kenal Bisma. Tapi aku juga punya penilaian sendiri, Pa. Dia cukup pintar dan pekerja keras.”

“Dari mana kamu tau itu?”

“Dari kami mengobrol, Pa. Cara dia menjawab dan sudut pandang dia terhadap beberapa hal.”

Aliya akui, papanya jarang salah dalam membaca karakter orang dari body language atau bahasa tubuh mereka. Aliya yang memang belum lama mengenal Bisma, merasa telah jatuh hati pada Bisma yang terlihat energik dan aktif berorganisasi saat itu.

Aliya lalu berdebat panjang saat itu dengan sang papa dan bersikeras untuk menikah dengan Bisma. Pada akhirnya papa Aliya mengalah lalu membiarkan mereka menikah.

Sekarang, Aliya menuai buah yang ia tanam. Nasihat papanya yang dulu ia abaikan, menjadi bumerang baginya. Namun semua telah terjadi.

Aliya telah memilih hidup bersama Bisma, meskipun kemalasan Bisma dan ketidak-bertanggung-jawaban seorang Bisma selaku suami, adalah resiko pahit untuk Aliya yang harus dijalani.

Karena itu, diam adalah cara terbaik sementara ini bagi dirinya demi keberlangsungan rumah tangganya bersama Bisma, pilihan hatinya saat itu. Masalahnya bersama Bisma, tidak untuk diketahui baik oleh kedua orangtuanya, maupun oleh adik-adiknya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
arbytuari
lanjutkan Thor,,,,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status