Share

BAB 5

“Oya, aku juga pinjam lima puluh ribu ya,” suara Bisma memecahkan lamunan Aliya. Ia segera menolehkan kepalanya ke arah suaminya yang masih asyik menonton.

“Untuk apa?”

“Ya buat rokok-lah.”

“Ga ada, aa. Kan nanti buat beli soto.”

“Coba deh kamu pinjam siapa dulu kek. Adikmu atau siapalah. Masa iya kita ada tamu, ga disediain rokoknya?” ucap Bisma ringan.

Aliya menghela napas kasar. Ia lalu mencabut kabel setrika dari stop kontak listrik, menggulung kabel, melipat kain alas setrika, lalu menyimpan semuanya dengan rapi di sudut ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu itu.

Mereka masih mengontrak di sebuah perumahan kecil di wilayah Cibinong, Bogor. Aliya merasa beruntung bisa menemukan kontrakan yang terbilang masih murah di suatu kompleks perumahan. Untuk bayar kontrakan ini pun, Aliya yang harus memikirkannya.

“Aku ga bisa pinjam lagi ke adikku, a. Yang terakhir pinjam bulan lalu saja belum lunas,” ujar Aliya sambil berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya.

“Emang kamu pinjam uang berapa banyak sih, kok belum lunas?”

“Satu setengah,” jawab Aliya.

“Juta??” Bisma kali ini menoleh cepat hingga membalikkan badannya ke arah Aliya. “Kok aku ga tau? Emang buat apa kamu pinjam uang itu?”

Aliya keluar dari kamar sambil membawa set pakaian dalam di tangannya. Ia berhenti di depan Bisma.

“Aa lupa? Kan waktu itu aa bilang butuh uang untuk operasional aa ke luar kota. Urusan bisnis.”

“Tapi aku gak dikasih satu setengah juta kan sama kamu,” bantah Bisma.

“Ya emang ngga. Aa butuh satu koma dua juta, yang tiga ratusnya buat nambahin bayar kontrakan. Soalnya alokasi untuk bayar kontrakan waktu itu, aa pinjam juga. Masa lupa?” ujar Aliya kali ini dengan nada sedikit judes.

“Oh…” Bisma lalu membalikkan badannya lagi mengarah ke televisi. Tangannya meraih remot lalu mengganti saluran TV yang ia tonton.

“Jadi… ga ada buat lima puluh ribu nya ya, a,” ketus Aliya sebelum akhirnya ia menuju kamar mandi, dan bersiap untuk bekerja.

* * *

Pagi menuju siang itu, Aliya telah berada di balik meja kerjanya.  

Tangannya sibuk mencorat-coret beberapa rencana untuk bahan pengajaran jam satu siang nanti. Hari ini Aliya sengaja datang lebih awal. Pekerjaan menyeterika tadi sebenarnya belumlah tuntas, namun Aliya hilang mood saat Bisma bicara soal uang beli rokok.

Berada di dalam ruang guru ini, mungkin bisa lebih melindungi dirinya dari perasaan jengkel dan kesal pada Bisma. Lebih baik ia menetralisir perasaannya agar tidak terbawa pada saat mengajar nanti.

Ya. Aliya bekerja sebagai seorang pengajar di lembaga kursus bahasa Inggris yang cukup ternama di Cibinong, Bogor.    

Beberapa bulan setelah ia menikah dengan Bisma, Bisma memboyongnya ke kabupaten Bogor. Dengan alasan di Bogor ini Bisma memiliki lebih banyak relasi dan kesempatan untuk bekerja, karena Bogor adalah tempat kelahiran dan tempat dia besar.

Akan tetapi setelah mendapati Bisma tidak mau bekerja, dengan alasan belum ada pekerjaan yang tepat dan belum ada perusahaan yang mau menerima dirinya, Aliya langsung melamar ke beberapa tempat. Beruntung bagi Aliya, lembaga kursus ini menerima Aliya setelah Aliya lolos wawancara dan beberapa tes.

Aliya tidak bisa membiarkan mereka berdua tanpa pekerjaan, sehingga Aliya mengalah untuk mencari pekerjaan lebih dulu. Namun sejak itu pula, Bisma seolah keenakan dan justru bergantung pada Aliya.

“Wah, tumben jam segini ada miss Aliya!” Sebuah suara mengembalikan Aliya dari lamunannya.

Aliya mengangkat kepala dan melihat ke arah pintu masuk ruang pengajar. Ia lalu mendapati seorang perempuan bertubuh cukup tinggi semampai dengan pulasan make up cukup tebal.

“Hai Miss Milah,” tukas Aliya singkat. Ia lalu kembali menunduk. Bukan Aliya bersikap sok ataupun tak ramah. Namun berbicara terlalu panjang dengan pengajar satu itu, hanya akan memicu perdebatan tak penting.

“Emang hari ini ga ada kelas-kelas privat di luar kursusan?” Milah, perempuan itu berkata lagi sambil melangkah mendekat.

“Tidak ada, Miss,” jawab Aliya singkat lagi. Ia tetap menyibukkan diri dengan kertas di hadapannya.

“Bikin overview nih?” tanya Milah lagi santai. Ia lalu sengaja menyimpan tas-nya ke atas meja dan melongok pada pekerjaan Aliya. Tangannya mendorong tas miliknya sedikit ke arah gelas di meja Aliya.

Trakk!

Gelas milik Aliya tersenggol dan tumpah.   

“Aduh!” Aliya bergegas menarik lembaran overview atau bahan ajaran dari genangan air di atas meja.

“Ouh… maaf Miss,” Milah menutup mulut dengan sebelah tangan dan memasang ekspresi kagetnya. “Gak keliatan ada gelas di situ…”

Aliya melirik sekilas pada Milah. Ia sangat paham tindakan sengaja yang dilakukan oleh Milah ini.

‘Lihat saja. Perempuan dengan dandanan menor itu menunjukkan senyum sok sucinya.’ Desis Aliya dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status