“Oya, aku juga pinjam lima puluh ribu ya,” suara Bisma memecahkan lamunan Aliya. Ia segera menolehkan kepalanya ke arah suaminya yang masih asyik menonton.
“Untuk apa?”
“Ya buat rokok-lah.”
“Ga ada, aa. Kan nanti buat beli soto.”
“Coba deh kamu pinjam siapa dulu kek. Adikmu atau siapalah. Masa iya kita ada tamu, ga disediain rokoknya?” ucap Bisma ringan.
Aliya menghela napas kasar. Ia lalu mencabut kabel setrika dari stop kontak listrik, menggulung kabel, melipat kain alas setrika, lalu menyimpan semuanya dengan rapi di sudut ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu itu.
Mereka masih mengontrak di sebuah perumahan kecil di wilayah Cibinong, Bogor. Aliya merasa beruntung bisa menemukan kontrakan yang terbilang masih murah di suatu kompleks perumahan. Untuk bayar kontrakan ini pun, Aliya yang harus memikirkannya.
“Aku ga bisa pinjam lagi ke adikku, a. Yang terakhir pinjam bulan lalu saja belum lunas,” ujar Aliya sambil berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya.
“Emang kamu pinjam uang berapa banyak sih, kok belum lunas?”
“Satu setengah,” jawab Aliya.
“Juta??” Bisma kali ini menoleh cepat hingga membalikkan badannya ke arah Aliya. “Kok aku ga tau? Emang buat apa kamu pinjam uang itu?”
Aliya keluar dari kamar sambil membawa set pakaian dalam di tangannya. Ia berhenti di depan Bisma.
“Aa lupa? Kan waktu itu aa bilang butuh uang untuk operasional aa ke luar kota. Urusan bisnis.”
“Tapi aku gak dikasih satu setengah juta kan sama kamu,” bantah Bisma.
“Ya emang ngga. Aa butuh satu koma dua juta, yang tiga ratusnya buat nambahin bayar kontrakan. Soalnya alokasi untuk bayar kontrakan waktu itu, aa pinjam juga. Masa lupa?” ujar Aliya kali ini dengan nada sedikit judes.
“Oh…” Bisma lalu membalikkan badannya lagi mengarah ke televisi. Tangannya meraih remot lalu mengganti saluran TV yang ia tonton.
“Jadi… ga ada buat lima puluh ribu nya ya, a,” ketus Aliya sebelum akhirnya ia menuju kamar mandi, dan bersiap untuk bekerja.
* * *
Pagi menuju siang itu, Aliya telah berada di balik meja kerjanya.
Tangannya sibuk mencorat-coret beberapa rencana untuk bahan pengajaran jam satu siang nanti. Hari ini Aliya sengaja datang lebih awal. Pekerjaan menyeterika tadi sebenarnya belumlah tuntas, namun Aliya hilang mood saat Bisma bicara soal uang beli rokok.
Berada di dalam ruang guru ini, mungkin bisa lebih melindungi dirinya dari perasaan jengkel dan kesal pada Bisma. Lebih baik ia menetralisir perasaannya agar tidak terbawa pada saat mengajar nanti.
Ya. Aliya bekerja sebagai seorang pengajar di lembaga kursus bahasa Inggris yang cukup ternama di Cibinong, Bogor.
Beberapa bulan setelah ia menikah dengan Bisma, Bisma memboyongnya ke kabupaten Bogor. Dengan alasan di Bogor ini Bisma memiliki lebih banyak relasi dan kesempatan untuk bekerja, karena Bogor adalah tempat kelahiran dan tempat dia besar.
Akan tetapi setelah mendapati Bisma tidak mau bekerja, dengan alasan belum ada pekerjaan yang tepat dan belum ada perusahaan yang mau menerima dirinya, Aliya langsung melamar ke beberapa tempat. Beruntung bagi Aliya, lembaga kursus ini menerima Aliya setelah Aliya lolos wawancara dan beberapa tes.
Aliya tidak bisa membiarkan mereka berdua tanpa pekerjaan, sehingga Aliya mengalah untuk mencari pekerjaan lebih dulu. Namun sejak itu pula, Bisma seolah keenakan dan justru bergantung pada Aliya.
“Wah, tumben jam segini ada miss Aliya!” Sebuah suara mengembalikan Aliya dari lamunannya.
Aliya mengangkat kepala dan melihat ke arah pintu masuk ruang pengajar. Ia lalu mendapati seorang perempuan bertubuh cukup tinggi semampai dengan pulasan make up cukup tebal.
“Hai Miss Milah,” tukas Aliya singkat. Ia lalu kembali menunduk. Bukan Aliya bersikap sok ataupun tak ramah. Namun berbicara terlalu panjang dengan pengajar satu itu, hanya akan memicu perdebatan tak penting.
“Emang hari ini ga ada kelas-kelas privat di luar kursusan?” Milah, perempuan itu berkata lagi sambil melangkah mendekat.
“Tidak ada, Miss,” jawab Aliya singkat lagi. Ia tetap menyibukkan diri dengan kertas di hadapannya.
“Bikin overview nih?” tanya Milah lagi santai. Ia lalu sengaja menyimpan tas-nya ke atas meja dan melongok pada pekerjaan Aliya. Tangannya mendorong tas miliknya sedikit ke arah gelas di meja Aliya.
Trakk!
Gelas milik Aliya tersenggol dan tumpah.
“Aduh!” Aliya bergegas menarik lembaran overview atau bahan ajaran dari genangan air di atas meja.
“Ouh… maaf Miss,” Milah menutup mulut dengan sebelah tangan dan memasang ekspresi kagetnya. “Gak keliatan ada gelas di situ…”
Aliya melirik sekilas pada Milah. Ia sangat paham tindakan sengaja yang dilakukan oleh Milah ini.
‘Lihat saja. Perempuan dengan dandanan menor itu menunjukkan senyum sok sucinya.’ Desis Aliya dalam hati.
“Ya, gapapa Miss Milah. Saya maklum. Mungkin Miss perlu periksakan mata Miss ke dokter, setelah kelas hari ini,” Aliya merespon sambil tersenyum juga. “Apa maksudnya?” Kedua bola mata Milah membesar. “Bukan apa-apa Miss,” sela Aliya cepat. “Saya sedikit khawatir aja. Gelas sebesar ini oleh Miss ga keliatan…” Aliya memasang muka khawatir. “Ka-kamu…” “Morning Miss Aliya, morning Miss Milah!” Suara cukup keras terdengar dari arah pintu masuk. Itu Mr. Eddie. “Morning, Mister…” jawab Aliya dan Milah hampir bersamaan. Ia adalah principal atau kepala sekolah di lembaga kursus ini. Mr. Eddie masuk cukup tepat pada waktunya. Ia mencegah Aliya melakukan kekisruhan yang lebih panjang dengan Milah. Aliya bukan biang keributan. Namun hari ini, sungguh ia tengah tidak dalam suasana hati yang baik untuk bersabar dan hanya diam. “Mister Eddie…!” Milah langsung berbalik dan melangkah mengikuti Mr Eddie ke ruangannya. “Saya mau konsul overview saya, Mister…” Mr. Eddie mengangguk. Ia pun melanju
Di pelataran parkir. Aliya baru saja melambai pada pak Amas, satpam di tempat ia bekerja, ketika ia terhentak sedikit ke depan oleh senggolan seseorang dari belakang. Ia menolehkan kepalanya. “Sorry,” tukas Milah yang kini telah dua langkah berada di depan Aliya. Sudut kiri bibirnya tertarik ke atas. “Miss ngehalangin saya.” Aliya menghela napas. Ia mengabaikan ulah Milah yang seakan memancingnya untuk marah. Ia meneruskan langkahnya ke arah parkiran motor. “You mau ngasih privat lagi hari ini?” Pertanyaan dari Milah itu tidak digubris Aliya. “Hati-hati Miss, jangan pake bahan-bahan milik kantor untuk kepentingan pribadi ya.. Ngga etis dan melanggar hak cipta,” tambah Milah lagi yang mengekori Aliya. Aliya lagi-lagi mengabaikannya. “Kasian banget sih kamu, segitunya nyari tambahan. Emang kamu beneran punya suami, Miss? Kok kaya ga ada faedahnya gitu ya…” Langkah Aliya terhenti. Ia lalu berbalik menghadap Milah yang sedari tadi mengikutinya di belakang. “Saya rasa yang ga ad
Aliya lalu mencoba melihat profil teman f******k lainnya. Ia hendak melakukan uji coba dengan klik info pertemanan yang ada di sebelah kiri itu. Jarinya bergerak dan meng-klik kembali. Matanya menatap layar. Berhasil. Ia lakukan kembali pada dua orang teman lainnya. Penghapusan pertemanan, bisa dilakukan tanpa kendala. “Lah, ini ga ada gangguan. Bisa hapus pertemanan…” gumam Aliya dengan mata terus menatap pada layar. Setelah ia mengajukan permintaan pertemanan kepada ketiga teman yang tadi ia hapus, jarinya kembali bergerak. Mencari profil akun asing yang tadi gagal untuk di hapus status pertemanannya. Mata Aliya menatap lekat pada layar. Jarinya terlihat beberapa kali mengetuk tombol. Namun, pada akun f******k milik seseorang bernama Einhard itu, Aliya sama sekali tidak bisa menghapus pertemanan. Pilihan ‘Hapus Pertemanan’ itu sama sekali tidak merespon, tak peduli berapa kali Aliya meng-klik nya. “Aneh sekali…” gumam Aliya.
Dalam bungkusan plastik itu adalah jas hujan. Aliya mengeluarkannya perlahan. Kepalanya kembali menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun tidak terlihat satu pun orang yang lalu lalang di sana, yang tampak mencurigakan.Aliya kembali melihat barang di tangannya. Itu jas hujan satu set, dengan label tag yang masih menggantung. Jas hujan ini tebal dan halus, terasa seperti jas hujan mahal.Secarik kertas terselip dalam lipatan jas hujan itu.[Pakailah. Jika telah tidak dibutuhkan lagi, boleh berikan pada yang lebih membutuhkan]Kening Aliya berkerut. Lagi-lagi pandangannya beredar ke sekelilingnya. Mencari siapa kira-kira orang yang begitu iseng atau terlalu dermawan meletakkan jas hujan di atas motornya, seakan tahu ia tengah membutuhkannya. Apalagi jas hujan ini tampak mahal.Suara gemuruh di langit membuyarkan keraguan Aliya.‘Duh… semoga ga ada apa-apa dengan aku memakai ini,’ ujarnya dalam hati.Ia segera mengenakan ja
“Hai Miss Diani,” balas Milah dengan senyuman ramah. ‘Aissh! Giliran nyapa miss Diani nih orang ramah banget. Luar biasa lihai pasang topengnya,’ gerutu Aliya dalam hati. “Lagi ngomongin orang yang ga punya teman sama sekali, Miss?” cetus Milah bertanya pada Diani sambil melirik Aliya. Diani terkekeh. “Ngga juga. Itu Miss Aliya sedang nyiapin bahan overview tentang anak introvert,” jawab Diani spontan. Kali ini Aliya yang melirik. Dengan ujung matanya ia seolah menyatakan terima kasih pada Diani atas jawabannya ke Milah. Aliya sangat paham, Diani bukan tipe perempuan yang suka bergosip ataupun menggunjingkan orang lain, terutama rekan kerja sendiri. Diani juga seorang pekerja keras dan seseorang yang tegas. Meskipun ia seorang perempuan, ia tidak pernah ragu untuk menyatakan pendapat dan menyampaikan jika sesuatu yang salah adalah salah. Diani juga guru part-timer satu-satunya yang hampir tidak pernah ditegur Mr. Eddie. Tidak heran memang, jika Milah pun agak segan terhadap Dian
“Kenapa Miss?” Suara Diani terdengar.Aliya menggaruk kepalanya. “Entah nih…” Aliya lalu menyodorkan ponselnya ke hadapan Diani.Sesungguhnya Aliya tidak sedekat itu dengan Diani atau siapapun di kantor ini, sampai harus memberitahunya hal-hal kurang penting seperti ini.Namun entah bagaimana, Aliya terdorong untuk membiarkan Diani tahu apa yang tengah membuatnya bingung.“Apa nih?” tanya Diani sambil matanya melihat isi pada layar ponsel Aliya.“Jadi, ini tuh kemaren ada akun yang aku konfirmasi friend request nya,” Aliya memulai penjelasan.“Eh salah,” ralat Aliya. “Aku ga merasa approve request itu sih. Tapi intinya, akun orang ini ada dalam daftar temanku.”“Paling Miss Aliya lupa udah approve orang,” tukas Diani.“Oh ngga dong. Aku emang cuma berteman sama yang aku kenal aja. Kalau yang ga aku kenal, aku ga pernah approve tuh&h
Aliya tercenung. Mencoba memahami maksud dari kalimat jawaban itu. Ia lalu mengetik lagi di kolom tanggapan.[Siapa namamu? Apa kau kenal saya? Atau hanya random melihat akun saya?]Tak lama kemudian muncul lagi balasan. [Einhard. Itu nama saya. Saya pernah melihatmu]Ketika Aliya hendak menanyakan sesuatu lagi, terdengar suara gedoran pintu yang sangat kencang.“Yaaa!! Buka pintunyaa!!” Suara teriakan Bisma terdengar nyaring disertai gedoran pintu depan yang masih sangat kencang.“Iya! Sebentar!” sahut Aliya sambil setengah berlari menuju pintu depan dan langsung membukakan pintu untuk suaminya itu.Begitu pintu terbuka Bisma langsung menerobos masuk, berjalan dengan cepat ke arah kamar tidur mereka yang bisa dicapai hanya dengan lima langkah lebar saja.“Ada apa?” Nada suara Aliya terdengar sedikit kaget dan bingung. Ia mengekori suaminya masuk ke dalam kamar.Namun Bisma tak segera menjawa
Bisma segera berbalik dan keluar dari rumah kontrakan mereka, sebelum Aliya berhasil bangun dengan sempurna.Aliya termangu dalam diam. Menatap nanar punggung Bisma yang menjauh berboncengan di atas motor dengan seorang temannya. Aliya baru sadar, bahwa sedari tadi teman Bisma yang tidak ia kenal, telah menunggu Bisma di luar pagar rumah.Mereka berlalu dengan cepat tanpa sempat Aliya mencegah lagi. Napas Aliya tersengal, kakinya sedikit goyah hingga mundur beberapa langkah sampai punggungnya bersandar ke tembok.Matanya mulai terasa panas kini, dengan sudutnya yang mulai bergenang.Aliya luruh terduduk di lantai sambil bersandar. Ia terisak pelan. Bahunya sedikit bergetar menahan gejolak rasa di dalam dadanya.“Kau keterlaluan, a Bisma. Kau memang keterlaluan…” lirih Aliya. Habis sudah semua yang ia miliki dari hasil jerih payahnya sebelum menikah dengan Bisma.Aliya sesungguhnya tidak mempermasalahkan harta benda yang ki