"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya gemetar.
Wanita itu tersenyum menatap Lydia, tangannya yang penuh darah berusaha meraih wajah Lydia tapi kemudian terkulai lemas sebelum sempat menyentuh. Ia tewas.Lydia merasakan kesedihan yang teramat sangat, airmata nya mengalir tak terbendung lagi. Entah mengapa hatinya sakit sekali, dan ia tiba-tiba saja merindukan seseorang. Tiba-tiba saja seseorang muncul dalam kelebatan bayangan. Lelaki berambut cepak dengan pakaian ala bangsawan. Tubuhnya yang membelakangi cahaya membuat Lydia tidak bisa melihat wajahnya.Lelaki itu duduk bersimpuh di depan jasad sang wanita, menangis meraung meluapkan kesedihan. Pemandangan yang memilukan itu terjadi di depan mata Lydia. Ia tidak bisa berbuat apapun, Lydia bingung.Cahaya menyilaukan tiba-tiba saja muncul. Sebilah pedang panjang dan besar berkilau memantul mengenai mata Lydia. Ia terkejut dan melindungi matanya secara refleks, dan dalam sekedipan mata pedang tajam itu menembus dada lelaki yang meratap. Lydia menjerit."Astagaaa, apalagi ini!" teriak Lydia tak percaya.Lelaki itu ambruk diatas jasad wanita cantik dengan puluhan anak panah. "Ini mimpi … ini cuma mimpi!"Tubuh Lydia yang gemetaran seolah tertarik kuat ke belakang oleh kekuatan tak kasat mata. Terlalu cepat hingga membuatnya terasa pusing dan mual. Seolah terjatuh dari ketinggian gedung, dalam sekejap mata.Suara alarm dari jam wekernya berbunyi sangat keras, membuat Lydia membuka mata segera. Perlahan ia pun terduduk lesu diatas ranjang empuknya, mematikan weker dan menatap ke jendela yang entah kapan terbuka."Syukurlah, ini hanya mimpi. Mimpi yang aneh,"Lydia memperhatikan jendelanya yang terbuka, seingatnya semalam semua sudah ditutup rapat. Matahari memang belum sepenuhnya muncul di ufuk timur, jadi hari masih gelap.Rasa penasarannya membuat Lydia mendekati jendela. Hembusan angin dingin langsung menyapanya lembut. Kamarnya terletak di lantai dua menghadap langsung ke arah pemukiman padat penduduk."Aneh, apa semalam anginnya kencang ya?"Lydia melongok keluar jendela, sepi. Belum ada tanda-tanda aktivitas penduduk sekitar. Ekor matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang berdiri tepat di depan rumahnya. Lydia tersentak kaget, lututnya lemas seketika. Tangannya menutup mulutnya yang ternganga tak percaya."D-dia!"Wanita berambut kemerahan bergaun sederhana ala Eropa jaman dahulu menatapnya dengan senyum. Ia berdiri di seberang rumah Lydia dan melambaikan tangan.Lydia segera menutup jendela dan dengan kasar menarik tirai. Tubuhnya melorot ke bawah menekuk sikunya. Wajahnya pucat pasi, tapi rasa penasaran kembali membuatnya mengintip dari balik tirai. Wanita berambut merah itu menghilang, Lydia sedikit lega tapi ketakutan menguasai dirinya."Aku butuh obat sepertinya, ini nggak nyata kan? Itu cuma ada dalam mimpi!" ujarnya dengan gemetar.Ditengah rasa takutnya, ponsel Lydia berbunyi keras membuatnya melonjak dari duduk. 'Bos Galak' memanggil."Iiish, bikin kaget aja nih orang!"Dengan masih gemetar Lydia menjawab panggilan Wisnu, "Ya pak, ada apa? Ini masih belum jam kantor lho pak!" Lydia sedikit mengingatkan bos nya yang ajaib itu."Saya juga tahu ini belum jam kantor, saya mau ke rumahmu sekarang!" sahut Wisnu dari seberang sana."Eh, ini masih jam berapa pak? Saya juga baru bangun belum siap-siap!" Lydia terheran heran."Jam 5 pagi kan? Saya nggak bisa tidur semalam mau cari sarapan yang enak, kamu cari deh! Pokoknya saya sampai sana kita langsung sarapan!" Wisnu tidak mau ditolak."Eeeh mana bis …,"Seperti biasa belum juga Lydia selesai bicara Wisnu sudah menutup panggilan."Aaaiiih dah, ni orang satu pagi - pagi bikin emosi jiwa! Dia pikir saya buka warteg sepagi ini numpang sarapan! Ada bu Shella, ada pembantu, ngapain kesini?! Dasar sarap!"Lydia bersungut-sungut kesal, tubuh gemetar ketakutannya kini berganti dengan gemetar karena emosi. Lydia segera bergegas untuk bersiap sebelum si bos galak datang.----------------Di Kediaman Wisnu,Wisnu termenung sendiri dalam ruang kerjanya. Semalam ia sengaja memilih tidur di ruang kerja setelah mengintip ke kamar. Tidak ada Shella disana, Wisnu sedikit kecewa. Dua tahun sudah pernikahan bisnis ini dijalankan, tak sekalipun Shella ada untuknya. Tinggal satu atap bukan berarti mereka bersama. Acap kali mereka bahkan tidak bertemu dalam seminggu. Kesibukan keduanya mengurus bisnis yang semakin menggurita membuat keduanya benar-benar melupakan esensi pernikahan.Meski menikah karena paksaan, Wisnu sebenarnya berharap ia bisa belajar mencintai Shella. Tapi kenyataannya justru ia dan Shella semakin menjadi pribadi yang asing satu sama lain. Ia merasa tidak mengenali Shella, istrinya sendiri."Kita ke rumah Lydia pak!" perintah Wisnu sembari menuruni anak tangga pada pak Broto yang baru saja membuat kopi untuknya."Eeh, ini masih gelap tuan?!" Pak Broto keheranan dengan perintah tak biasa tuannya."Ada masalah?" sahut Wisnu dengan tatapan tajam pada pak Broto."Ehm, nggak tuan! Sendiko dawuh, kalau begitu, mari kita berangkat tuan. Sekarang kan?!""Tunggu lebaran haji!" sahut Wisnu kesal.Pak Broto buru-buru meletakkan gelas kopinya yang masih mengepulkan asap tipis di meja, dengan tergesa pula ia menyeruput kopinya sedikit mengabaikan rasa panas yang membakar lidah seketika."Eh … huuuuft, huft, aduh panas … tumben bener si bos pagi-pagi sewot! Sayang kan ni kupi dianggurin,"Ia kembali meniup dan meminum seteguk, sebelum sebuah suara menggelegar keras memanggilnya."Broto!!""Uhuuuuk, nggih tuan! I'm coming!" Pak Broto dengan tergesa berlari keluar, dan merelakan kopi hitam favorit nya.Wisnu sudah ada dalam mobil, memejamkan mata. Pikirannya rumit, ia bahkan belum menyempatkan diri untuk mandi. Mimpinya semalam benar-benar membuatnya gelisah.Mimpi yang terasa begitu nyata baginya, dirinya seperti kehilangan wanita yang amat dicintai. Wanita cantik berambut merah. Wisnu tidak mengenalnya tapi dalam mimpi itu ia merasa sangat sedih ketika wanita itu tergeletak dengan puluhan anak panah."Baru kali ini aku mimpi aneh," gumamnya lirih.Wisnu tidak tahu bahwa mimpi yang ia alami sama dengan mimpi Lydia. Cincin itu membawa keduanya kembali ke memori masa lalu. Memori sang pemilik, yaitu jiwa yang tertahan dalam sebuah benda mati.Frans mengambil kamera kecil tersembunyi lalu mengarahkan pada meja Shella.Mila datang dengan secangkir kopi dan cemilan kesukaan Frans, Apple strudel."Thanks sayang," Mata Mila menangkap kamera kecil milik Frans, "Frans?" Ia meminta dari penjelasan Frans."Sorry, didepan sana ada target penyelidikan. Kau lihat pasangan di dekat jendela sana? Itu Shella menantu tuan besar Dhanuaji." "No, kau bercanda kan? Mana mungkin, bukankah Shella itu sudah bersuami? Wisnu kan, terus siapa laki-laki bule disana?" Mila menajamkan mata untuk melihat dengan jelas pria di samping Shella."Eehm, tunggu! Aku kayaknya kenal deh sama dia?" Mila mengubah posisi duduknya."Ohya, dimana?"Mila berusaha mengingat, "Kalo nggak salah dia itu …," Mila tercekat matanya membulat sempurna tak percaya membuat Frans gemas. "Apa? Siapa dia?"Mila hanya terkekeh, ia merasa geli sendiri. "Kau tidak akan percaya kalau aku bilang siapa dia,"Frans bingung, "Coba aja, siap
Tidak ada kasus yang tidak bisa dipecahkan Frans. Tingkat ketelitian tinggi dan totalitas tanpa batas dalam setiap pengerjaan kasus membuat Frans berada di jajaran penyelidik swasta level atas. Frans selalu menjaga privasi para kliennya dan ia belum pernah gagal dalam menjalankan misinya. Tapi kali ini memang sedikit berbeda, kasus yang diberikan tuan besar Dhanuaji menyangkut dunia ghaib. Dunia yang tidak dia paham. Frans merasa perlu bantuan dari penyelidik lain, Adi. Tak lama menunggu, seorang lelaki muda dengan dandanan metropolis menyapa Frans. Senyum manisnya terkembang dari wajah tampan hasil blasteran Inggris Indonesia."Hhhm, ini sedikit aneh!" Kening Adi berkerut saat selesai membaca informasi dalam map coklat."Kau tahu sesuatu?" Frans bertanya, ia penasaran dengan tanggapan Adi.Adi menatap Frans sejenak, secangkir coffe latte disajikan pelayan Mila dengan sepiring crouffle keju yang menggoda selera. "Silakan mas," ujar pelayan itu dengan senyu
"Frans sudah datang tuan!" Manda, sekretaris tuan besar Dhanuaji memberitahukan kedatangan lelaki tegap berjaket kulit hitam yang menunggu tenang di luar ruangan."Hhm, suruh dia masuk!" Tuan besar Dhanuaji menjawab dengan mata yang tak lepas dari map coklat diatas meja.Frans masuk keruangan dan memberi salam kepada tuan besar Dhanuaji. Ia duduk dan menyerahkan sebuah minidisc padanya."Apa ini?""Ini hasil pengintaian kami selama satu minggu terakhir tuan!"Tuan besar Dhanuaji mengetuk ngetuk jarinya ke meja ia gamang antara ingin melihat isinya atau tidak. "Apa sudah bisa dipastikan?"Frans menjawab dengan mantap, "Ya tuan! Kecurigaan tuan sudah bisa dipastikan kebenarannya!"Tuan besar Dhanuaji menghela nafas dengan berat. Kebimbangan di hatinya terasa semakin menekan dada. "Hmm, baiklah,"Tuan besar Dhanuaji memberikan kode pada Manda. Tak berapa lama sebuah video berdurasi satu jam lebih diputar. Tuan besar Dhanuaji menatap nanar setiap tay
Wisnu masih asik meneliti laporan yang diserahkan Lydia, tapi ia tidak tuli. Telinganya menangkap jelas suara laknat dari mulut Lydia. Wisnu semakin tidak bisa mengendalikan dirinya. Pikirannya kacau seketika. Ia merindukan sentuhan wanita untuk melepaskan ketegangan yang tanpa permisi datang saat bersentuhan dengan Lydia.Nyeri kepala melanda Wisnu, ia gamang antara ingin menuntaskan hasratnya atau menjaga image sebagai bos di depan Lydia. Pesona sang sekertaris yang kini duduk di sofa itu membiusnya. Wisnu melirik ke arah Lydia yang menggigit bibir bawahnya, terasa sensual di mata Wisnu.Ya Tuhan, kenapa kamu berpose begitu Lydia!Wisnu menahan debaran di dada yang semakin menyesakkan. Sulit baginya untuk berkonsentrasi memeriksa lembaran-lembaran kertas di depannya. Nafasnya terasa berburu dengan waktu, seperti pelari maraton yang hendak memasuki garis finish.Yah, menahan gejolak hasrat yang tanpa permisi datang memang sangat merepotkan. Membuat nyeri kepala
"Ada apa ini rame-rame? Pembagian sembako?" Suara Wisnu terdengar dengan nada sedikit tinggi membuat para staf tak terkecuali Lydia terkejut. "Eh, pak Wisnu! Ini tadi kak Lydia sedikit … ehm, masuk angin!" Budi yang panik mencolek Lusi untuk membantunya. Lusi dengan tergagap segera merespon."Ah, iya pak masuk angin! Kak Lydia agak nggak enak badan! Iya kan kak?" Lusi kembali mengerjapkan matanya memohon pada Lydia untuk membantu mereka.Wisnu selalu bisa tunduk pada kata-kata Lydia, jadi keduanya meminta Lydia ikut menjawab."Ehm, iya pak mereka mau nolongin saya tadi buat … ehm, ngecilin AC!" sambung Lydia sedikit ragu karena memberikan alasan yang agak tidak masuk akal.Wisnu mengernyit dan menatap stafnya bergantian, ia ingin mengeluarkan kalimat panjang dari mulutnya tapi kemudian matanya tertuju pada berkas yang masih berserakan di lantai. Ia berjongkok dan mengambil salah satu kertas terdekat, membacanya sejenak lalu,"Lh
Lutut Lydia lemas, pertanyaan tuan besar bak petir yang menyambarnya. Bayangan pemecatan dengan tidak hormat tiba-tiba saja terbayang di pelupuk mata. Dalam pikirannya pasti tuan besar Dhanuaji sudah berpikir macam-macam tentang dirinya dan Wisnu.Duh Gusti mimpi apa aku semalam!Lydia merutuki nasib sial yang menimpanya kini. Cincin itu benar-benar membawanya dalam situasi rumit yang tak berujung."Aku tidak mungkin salah mengenali cincin ini,""Tuan besar tahu tentang cincin ini?"Tuan besar Dhanuaji tersenyum getir dan menurunkan tangan Lydia. Ia tidak menjawab dan masuk ke dalam lift, meninggalkan Lydia yang bingung dan dipenuhi rasa penasaran. *********Tuan besar Dhanuaji duduk dengan gelisah di seat mobilnya, kelebatan bayangan masa lalu menghantuinya lagi. "Marisa, bukankah urusan kita sudah selesai?" Wajah tuanya nampak muram membayangkan Marisa wanita pemilik toko souvenir."Apa yang harus a