“Ma! Teman-temanku sudah ganti ponsel dan aku masih pakai handphone boba biasa ? Apa kata mereka nanti? Bisa-bisa, aku dikucilkan dan tidak memiliki teman sama sekali! Kalau gitu, lebih baik aku tidak sekolah saja!”
Navier mengusap dadanya pelan. Suara adik pertamanya terdengar begitu jelas dari kamarnya.
Mengingat pergaulan Davian dengan anak-anak kalangan atas, adiknya itu memang jadi sangat boros. Pasti, ibunya akan meminta uang lagi pada Navier … seperti biasa.
“Anakku, kau bisa bersabar hingga bulan depan? Bukankah kakakmu baru saja memberikan uang untuk membayar bulananmu, hah? Sebulan ini sudah dua kali. Tunggu dulu, ya! Ibu masih belum mendapatkan jatah bulanan belanja dari Navier.”
Deg!
Awalnya, Navier merasa senang karena berpikir sang ibu akan membela dirinya. Namun, dia salah. Tanpa sadar, tangan perempuan itu mengepal kencang.
“Mana bisa!? Kalau sampai bulan depan ponselnya belum ada, aku berhenti sekolah! Titik!”
Navier terdiam mendengar pertengkaran ibu dan anak itu.
Sudah terlalu biasa. Dirinya tidak akan bisa ikut campur di sana. Kalau berani, Navier pasti akan kena getahnya.
“Kita tunggu sampai awal bulan depan! Pasti ayah dan kakakmu sudah gajian.”
Navier seketika menghela napas panjang. Setidaknya, sang ayah juga disebut. Kalau yang dibebani hanya dirinya saja, sudah pasti Navier tak akan sanggup.
“Kalau sampai besok aku tidak mendapatkannya, Ibu tidak perlu lagi mencariku,” putus Davian.
Pemuda itu mengakhiri pertengkaran mereka dan pergi secepat yang dia bisa.
Hal itu membuat Yuni—sang ibu–ingin menghentikan kepergian sang putra. Namun, Yuni seketika berhenti saat merasa tak mampu mengejarnya.
“Nav!” teriak Yuni tiba-tiba. Karena rumah mereka tidak terlalu luas, teriakan itu terdengar begitu menggema.
Mendengar itu, Navier langsung bergegas menghampiri Ibunya. Beruntung, dia sudah menyiapkan segalanya. Jadi, dia tidak perlu menunggu waktu lagi untuk bersiap.
Dan setelah sampai di ruang makan, Navier mendapati Yuni yang sedang berkacak pinggang dan menahan amarahnya. Nav bisa menyadari itu dari wajah sang Ibu yang memerah.
“Kau mendengar permintaan Davian, kan?” tanya Yuni tiba-tiba.
Sontak, Navier mengangguk dan menunduk. Sudah pasti dia akan diminta untuk memberikan barang yang adiknya minta. Padahal, Navier merasa tidak semua mau anak harus dituruti. Jika pun menuruti, ibu seharusnya yang lebih berkewajiban untuk memberikan apa yang putranya minta.
“Davian meminta ponsel keluaran terbaru dan besok sudah harus ada. Kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Davian. Kau bisa mengerti itu?!”
“Ibu, aku tidak punya uang lagi. Apalagi, iphone 14 pro itu sangat mahal. Gajiku bulan depan jika digabung semuanya tak akan cukup untuk membelinya,” jawab Navier pelan.
Apa yang dia katakan memang benar adanya. Gaji yang tidak seberapa itu tentu tidak akan sanggup untuk memenuhi apa yang adiknya pinta.
Selama ini, Navier tidak pernah memiliki keinginan tinggi yang sekiranya tidak bisa dijangkau.
Jangankan ponsel keluaran terbaru, ponsel biasa saja dia tidak memilikinya. Bagi Navier, uang yang dihasilkan lebih bermanfaat untuk keperluan yang lain ketimbang membeli sesuatu yang belum jelas pentingnya seperti itu. Tapi, adiknya itu … iphone 13 pun tak cukup! Dia mau yang lebih terbaru lagi.
“Ck! Ibu tak peduli!” Yuni meninggikan nada suaranya, tanpa peduli Navier yang sudah menunduk. “Davian mau itu dan dia harus mendapatkan itu,” lanjutnya.
Navier mengangguk pelan. Bagi sang ibu, dua anak laki-lakinya adalah harta berharga, bahkan jika dibandingkan dengannya. Terkadang, Navier merasa jika dunia ini tidak adil. Adik-adiknya mendapat nama belakang sang ayah, sedangkan dia tidak sama sekali. Navier, hanya nama itulah yang dia dapatkan di kartu identitasnya.
Pernah Navier berpikir, apakah dirinya hanya anak angkat? Mengingat ada banyak perbedaan di antara mereka.
Akan tetapi, semua itu terbantahkan saat ayahnya sendiri yang menceritakan tentang bagaimana dia dikandung dan dilahirkan oleh ibunya. Bagaimana kedua orang tuanya bersama di keadaan yang masih serba kekurangan, serta betapa mirip dia dengan sang ayah.
Hanya saja … tidak ada persamaannya dengan sang ibu, selain rambut lurusnya.
“Navier! Kau mendengarku, kan!?” bentak Yuni tiba-tiba. Wanita itu tampak geram melihat Navier yang hanya mengangguk kecil, menunduk, dan tidak melakukan apa-apa lagi saat ia mengatakan hal panjang lebar seperti itu. Seolah Navier seperti robot yang tidak menyadari kehadirannya.
“Iya, Bu. Tapi, aku sudah memberi seluruh gajiku bulan ini untuk kalian. Untuk bulan depan, semua gajiku pasti tidak akan cukup untuk membelikannya. Aku sama sekali tidak memiliki tabungan, Bu. Semua sudah kuberikan pada ibu dan adik-adik.”
Navier terdiam. Ia teringat semua gaji sudah dia berikan pada mereka tanpa menyisakan sedikit pun untuk ditabung.
Bahkan, setiap tip atau lembur yang dia hasilkan juga sudah digunakan untuk menambal apa yang adiknya ambil dari toko yang dia jaga.
Jadi, ponsel mewah keluaran terbaru itu sungguh di luar kemampuannya.
“Apa ayah tidak bisa mengusahakannya juga? Kenapa hanya aku yang ibu pinta untuk membelikan keinginan Davian? Mereka sudah besar, dan mungkin ibu juga bisa mencari kerja sampingan untuk membantu memenuhi kebutuhan kita, kan?” tanya Navier perlahan.
Sayangnya, ucapan Navier justru memancing kemarahan Yuni. Dengan berkacak pinggang, wanita itu kini berjalan pelan hingga sisa beberapa senti saja dari Navier. “Kau menyuruhku bekerja? Kenapa kau tidak menjual dirimu saja? Kau itu masih gadis, cantik, dan memiliki tubuh yang bagus. Satu malam penjualan, pasti sudah mendapat uang lebih dari cukup untuk membeli ponsel itu.” Senyum sinis terpampang di wajah Yuni. “Bahkan, kita bisa membeli dua ponsel. Satunya bisa diberikan untuk Devan!”
Deg!“Bu!” teriak Navier kencang.Gila! Navier pikir ibunya sudah benar-benar gila! Bagaimana bisa seorang ibu mengorbankan kehormatan putrinya hanya demi sebuah ponsel untuk adik-adiknya? “Apa!? Kau tidak mau?” sinis Yuni cepat.“Aku tidak mau! Seharusnya masalah ini dipikirkan bersama, bukan malah hanya aku yang memikirkannya saja. Ibu juga harusnya mengerti, kalau hal itu bukan satu-satunya jalan keluar,” bantah Navier.“Apa kau tak kasihan pada adikmu itu bila membawa ponsel biasa ke sekolahnya yang berisi orang-orang kalangan atas? Navier, kau harus ingat! Kau itu anak pertama dan kakak dari adik-adikmu! Sudah sewajarnya, kau membantu orang tua untuk membiayai mereka. Pokoknya, ibu tidak mau tahu! Kau harus mendapatkan uang itu nanti malam. Jika tidak, kau tidak akan bisa membayangkan tentang apa yang bisa kulakukan!”Usai berucap demikian, Yuni segera berlalu meninggalkan Navier yang masih terisak di tempatnya.Navier kini bergetar takut. Di satu sisi, dia sama sekali tidak mau me
“Apa!?” pekik Navier tak percaya. Baginya, menjual diri hanya demi sebuah barang yang belum jelas pentingnya adalah sesuatu yang tidak berguna. Sudah tidak berpendidikan tinggi, tubuh Navier juga kurang gizi. Bila harus kehilangan mahkotanya, Navier tidak yakin ada pria yang mau menikahinya.“Pasti ada cara lain untuk mendapatkan ponsel Devian,” tambah gadis itu pada akhirnya. “Ck! Kau memiliki tubuh dan wajah yang bagus. Pasti harganya mahal. Anggap saja hal itu sebagai alat untuk membayar biaya kami membesarkanmu selama ini.”Air mata Navier jatuh mendengar perkataan sang ibu. Memang jika dibandingkan dengan sebayanya, Navier memang memiliki paras yang tidak kalah dengan anak orang berada. Tak perlu perawatan dan kosmetik, Navier sudah memiliki daya tarik tersendiri. Jadi, Yuni bisa memikirkan hal itu sebagai jalan keluar.Selama ini, Yuni memang tidak pernah menyinggung fisik Navier yang bisa menjual. Dia sudah cukup terlena dengan yang diberikan oleh Navier dan suaminya. Nam
Wanita itu memandikan Navier yang masih terisak seperti anak kecil.Dinginnya air sama sekali tak dirasa Navier. Dia hanya memikirkan bagaimana nasibnya setelah ini.Tok tok tok!Suara ketokan pintu terdengar mengalihkan atensi Yuni seketika.“Ah, itu pasti mereka!” Ditatapnya tajam Navier penuh ancaman, “Cepat lanjutkan! Kalau tidak, kau akan tahu akibatnya.”Yuni berjalan dengan riang meninggalkan Navier yang terdiam.Wanita itu terus membayangkan keuntungan yang ada di depan mata. Pikirnya, hanya sekali transaksi saja sudah bisa mendapatkan untung yang banyak. Jika dihitung, uang yang didapatnya bisa untuk membeli ponsel dan barang lainnya."Kalau yang pertama memang mahal, kan? Tapi, untuk berikutnya, akan kupastikan Navier dijual tidak terlalu murah juga," batin Yuni. Di otaknya, sudah tersusun banyak hal untuk menghasilkan uang lebih banyak lagi dan membeli barang mewah lain. Kalau cukup, ia akan merenovasi rumah. Ceklek!"Silakan masuk!" Begitu membuka pintu, Yuni sudah ti
Brak!Yuni menutup pintu cukup keras saking bahagianya."Aku berharap dia bisa menghasilkan banyak uang! Sudah cukup aku kesusahan merawat anak itu! Kalau saja ayahmu tidak membuat hatiku sakit dan mencintai ibu kandungmu, tentu hidupmu akan baik-baik saja, Nav! Jadi, jangan salahkan aku jika hidupmu berakhir seperti itu!" ujar Yuni dalam hati, lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya yang nyaman.Namun, melihat betapa berantakannya rumah itu, Yuni terpaksa membersihkannya. Ia segera menyingkirkan sisa-sisa kekacauan yang diperbuat Navier, dan membuat seolah-olah tidak ada kejadian apa pun yang terjadi.Di sisi lain, Navier kini berusaha kabur. Dia ingin berteriak, tetapi masih memikirkan dampak dari perbuatannya itu. Apakah orang-orang akan membantu, atau justru marah karena mengganggu waktu istirahat mereka?Diperhatikannya, pria-pria yang membawanya yang tampak menjaganya dengan ketat."Aku tidak akan kabur! Jadi, jangan memegang lenganku terlalu kuat seperti ini! Aku kesakitan
"Lex, apa mereka belum sampai?" tanya sang sopir panik. Mobil yang ditumpangi Navier sudah sampai di ujung jalan dan harus memasuki area hutan.Meski di area itu mereka bisa bertindak leluasa karena tak akan ada pihak lain yang ikut campur, tetap saja mereka butuh bantuan."Tidak ada tanda-tanda mereka sampai!" Kepanikan terdengar dari suara pria yang menangkapnya itu.Duang!Di saat yang sama, mobil yang ditumpangi Navier tiba-tiba ditabrak dari belakang dan menyebabkan lajunya tidak stabil. Alhasil, mobil itu pun terpaksa berhenti.Navier menahan napas merasakan itu semua. Terlebih kala orang-orang yang menangkapnya tampak serius sekali bertarung."Kita harus menghadapi mereka secara langsung!" ujar salah satunya.Masing-masing dari mereka pun segera keluar dengan membawa senjata.Dor!Buk!Brak! Adu tembak dan fisik tak terelakkan.Hanya saja, pihak lawan terlalu hebat. Orang-orang yang membawa Navier pun terkepung. Menyaksikan itu semua, Navier bergetar hebat sembari tetap me
Edgar sudah sampai di rumah sakit miliknya. Ia langsung menyuruh dokter wanita yang lebih berpengalaman untuk menangani Navier. Namun, dia hanya bisa berdiri terpaku melihat pintu ruang tindakan, saat Navier diperiksa. "Aku tak yakin sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter ahli. Tapi, kusarankan untuk membesarkan hatimu. Dia mendapatkan kekerasan terlalu banyak, dan hanya menunggu waktu saja untuk sadar. Lebih dari itu, aku tidak bisa mengatakan banyak. Pemeriksaan lebih lanjut bisa dilakukan saat dia sadar," ucap Rui—dokter wanita yang menangani Navier setelah pemeriksaan."Jangan bertele-tele. Katakan saja bagaimana keadaan Navier dengan singkat!" bentak Edgar. Suasana hatinya yang kacau membuat dia ingin meluapkan emosinya. Jujur saja, melihat Navier tak sadarkan diri membuatnya kalut. "Dia bisa sehat. Tapi aku tidak yakin jika dia bisa berjalan dengan normal. Aku menemukan beberapa keganjilan di saraf kakinya." "Jadi kau mau mengatakan jika Navier lumpuh, begitu
"Tinggalkan aku sendiri! Aku butuh ketenangan dan jangan ganggu aku!" ketus Navier. Sejak tadi, dia mengusir semua pelayan yang ditugaskan untuk menjaganya. Dua pelayan yang mengikuti Navier sontak saling pandang. Mereka diperintahkan untuk mengikuti Navier ke mana pun dia pergi. Apa kata Tuan Edgard nantinya? "Aku hanya ingin beristirahat dengan tenang. Bisakah kalian meninggalkanku sendiri? Lagi pula, aku ingin melatih kakiku juga untuk berpindah sendiri ke ranjang." Dengan sedikit pemaksaan halus, Navier berkata lagi.Cukup lama pelayan-pelayan itu terdiam, sampai akhirnya mereka undur diri.Navier menghela napas lega. 'Aku tak punya apa-apa. Selain itu, aku juga lumpuh dan tidak berpendidikan tinggi. Edgar pantas memiliki wanita yang lebih baik dariku,' batinnya merasa rendah diri dan tak pantas untuk pria sesempurna Edgar. Begitu para pelayan sudah tidak ada, Navier turun dari kursi rodanya. Dengan susah payah, dia menyeret tubuh lemahnya ke kamar mandi, mengisi bathtub sampa
"Aku akan merawat cucuku!" tukas James yang kebetulan berada di kantor Edgar untuk mengambil kembali cucunya. Ia sudah mendengar kabar mengenai Navier yang semakin depresi setelah mengetahui keadaanya.Namun, Edgar sama sekali tidak bergeming. Sepulang dari rumah sakit, Navier menjadi pribadi yang pendiam dan pemurung. Dia lebih banyak mendiamkan Edgar ketimbang membalas ucapannya seperti sebelumnya. Karena itu James ingin membawanya pulang. James ingin mengenalkan sang cucu pada pegawa di rumahnya. Terutama saat mendengar Navier menjadi lebih pendiam lagi. Bagi James, Edgar masih belum bisa menjadi pria yang benar-benar bertanggung jawab. Dan, dia tidak bisa memasrahkan sang cucu pada pria seperti itu. "Tidak bisa! Dia sudah menjadi tunanganku dan harus berada di sini, di dekatku. Tidak bisa kau bawa pulang karena sebentar lagi aku akan menikahinya," balas Edgar tak kalah sengit. Susah-susah membawa Navier, malah orang lain ingin mengambilnya. Jujur saja, Edgar tak terima! T