Share

Istri Lumpuh Milik Pewaris Dingin
Istri Lumpuh Milik Pewaris Dingin
Penulis: Rizuki

Bab 1.

“Ma! Teman-temanku sudah ganti ponsel dan aku masih pakai handphone boba biasa ? Apa kata mereka nanti? Bisa-bisa, aku dikucilkan dan tidak memiliki teman sama sekali! Kalau gitu, lebih baik aku tidak sekolah saja!”

Navier mengusap dadanya pelan. Suara adik pertamanya terdengar begitu jelas dari kamarnya.

Mengingat pergaulan Davian dengan anak-anak kalangan atas, adiknya itu memang jadi sangat boros. Pasti, ibunya akan meminta uang lagi pada Navier … seperti biasa.  

“Anakku, kau bisa bersabar hingga bulan depan? Bukankah kakakmu baru saja memberikan uang untuk membayar bulananmu, hah? Sebulan ini sudah dua kali. Tunggu dulu, ya! Ibu masih belum mendapatkan jatah bulanan belanja dari Navier.”

Deg!

Awalnya, Navier merasa senang karena berpikir sang ibu akan membela dirinya. Namun, dia salah. Tanpa sadar, tangan perempuan itu mengepal kencang.

“Mana bisa!? Kalau sampai bulan depan ponselnya belum ada, aku berhenti sekolah! Titik!”

Navier terdiam mendengar pertengkaran ibu dan anak itu.

Sudah terlalu biasa. Dirinya tidak akan bisa ikut campur di sana. Kalau berani, Navier pasti akan kena getahnya.

“Kita tunggu sampai awal bulan depan! Pasti ayah dan kakakmu sudah gajian.”

Navier seketika menghela napas panjang. Setidaknya, sang ayah juga disebut. Kalau yang dibebani hanya dirinya saja, sudah pasti Navier tak akan sanggup.

“Kalau sampai besok aku tidak mendapatkannya, Ibu tidak perlu lagi mencariku,” putus Davian.

Pemuda itu  mengakhiri pertengkaran mereka dan pergi secepat yang dia bisa.

Hal itu membuat Yuni—sang ibu–ingin menghentikan kepergian sang putra. Namun, Yuni seketika berhenti saat merasa tak mampu mengejarnya. 

“Nav!” teriak Yuni tiba-tiba. Karena rumah mereka tidak terlalu luas, teriakan itu terdengar begitu menggema.

Mendengar itu, Navier langsung bergegas menghampiri Ibunya. Beruntung, dia sudah menyiapkan segalanya. Jadi, dia tidak perlu menunggu waktu lagi untuk bersiap.

Dan setelah sampai di ruang makan, Navier mendapati Yuni yang sedang berkacak pinggang dan menahan amarahnya. Nav bisa menyadari itu dari wajah sang Ibu yang memerah.

“Kau mendengar permintaan Davian, kan?” tanya Yuni tiba-tiba.

Sontak, Navier mengangguk dan menunduk. Sudah pasti dia akan diminta untuk memberikan barang yang adiknya minta. Padahal, Navier merasa tidak semua mau anak harus dituruti. Jika pun menuruti, ibu seharusnya yang lebih berkewajiban untuk memberikan apa yang putranya minta.

“Davian meminta ponsel keluaran terbaru dan besok sudah harus ada. Kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Davian. Kau bisa mengerti itu?!”

“Ibu, aku tidak punya uang lagi. Apalagi, iphone 14 pro itu sangat mahal. Gajiku bulan depan jika digabung semuanya tak akan cukup untuk membelinya,” jawab Navier pelan. 

Apa yang dia katakan memang benar adanya. Gaji yang tidak seberapa itu tentu tidak akan sanggup untuk memenuhi apa yang adiknya pinta. 

Selama ini, Navier tidak pernah memiliki keinginan tinggi yang sekiranya tidak bisa dijangkau. 

Jangankan ponsel keluaran terbaru, ponsel biasa saja dia tidak memilikinya. Bagi Navier, uang yang dihasilkan lebih bermanfaat untuk keperluan yang lain ketimbang membeli sesuatu yang belum jelas pentingnya seperti itu. Tapi, adiknya itu … iphone 13 pun tak cukup! Dia mau yang lebih terbaru lagi.

“Ck! Ibu tak peduli!” Yuni meninggikan nada suaranya, tanpa peduli Navier yang sudah menunduk. “Davian mau itu dan dia harus mendapatkan itu,” lanjutnya. 

Navier mengangguk pelan. Bagi sang ibu, dua anak laki-lakinya adalah harta berharga, bahkan jika dibandingkan dengannya. Terkadang, Navier merasa jika dunia ini tidak adil. Adik-adiknya mendapat nama belakang sang ayah, sedangkan dia tidak sama sekali. Navier, hanya nama itulah yang dia dapatkan di kartu identitasnya.

Pernah Navier berpikir, apakah dirinya hanya anak angkat? Mengingat ada banyak perbedaan di antara mereka. 

Akan tetapi, semua itu terbantahkan saat ayahnya sendiri yang menceritakan tentang bagaimana dia dikandung dan dilahirkan oleh ibunya. Bagaimana kedua orang tuanya bersama di keadaan yang masih serba kekurangan, serta betapa mirip dia dengan sang ayah. 

Hanya saja … tidak ada persamaannya dengan sang ibu, selain rambut lurusnya.

“Navier! Kau mendengarku, kan!?” bentak Yuni tiba-tiba. Wanita itu tampak geram melihat Navier yang hanya mengangguk kecil, menunduk, dan tidak melakukan apa-apa lagi saat ia mengatakan hal panjang lebar seperti itu. Seolah Navier seperti robot yang tidak menyadari kehadirannya.

“Iya, Bu. Tapi, aku sudah memberi seluruh gajiku bulan ini untuk kalian. Untuk bulan depan, semua gajiku pasti tidak akan cukup untuk membelikannya. Aku sama sekali tidak memiliki tabungan, Bu. Semua sudah kuberikan pada ibu dan adik-adik.” 

Navier terdiam. Ia teringat semua gaji sudah dia berikan pada mereka tanpa menyisakan sedikit pun untuk ditabung. 

Bahkan, setiap tip atau lembur yang dia hasilkan juga sudah digunakan untuk menambal apa yang adiknya ambil dari toko yang dia jaga. 

Jadi, ponsel mewah keluaran terbaru itu sungguh di luar kemampuannya.

“Apa ayah tidak bisa mengusahakannya juga? Kenapa hanya aku yang ibu pinta untuk membelikan keinginan Davian? Mereka sudah besar, dan mungkin ibu juga bisa mencari kerja sampingan untuk membantu memenuhi kebutuhan kita, kan?” tanya Navier perlahan.

Sayangnya, ucapan Navier justru memancing kemarahan Yuni. Dengan berkacak pinggang, wanita itu kini berjalan pelan hingga sisa beberapa senti saja dari Navier. “Kau menyuruhku bekerja? Kenapa kau tidak menjual dirimu saja? Kau itu masih gadis, cantik, dan memiliki tubuh yang bagus. Satu malam penjualan, pasti sudah mendapat uang lebih dari cukup untuk membeli ponsel itu.” Senyum sinis terpampang di wajah Yuni. “Bahkan, kita bisa membeli dua ponsel. Satunya bisa diberikan untuk Devan!” 

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status