"Aku akan merawat cucuku!" tukas James yang kebetulan berada di kantor Edgar untuk mengambil kembali cucunya.
Ia sudah mendengar kabar mengenai Navier yang semakin depresi setelah mengetahui keadaanya.Namun, Edgar sama sekali tidak bergeming.
Sepulang dari rumah sakit, Navier menjadi pribadi yang pendiam dan pemurung.
Dia lebih banyak mendiamkan Edgar ketimbang membalas ucapannya seperti sebelumnya.
Karena itu James ingin membawanya pulang.
James ingin mengenalkan sang cucu pada pegawa di rumahnya. Terutama saat mendengar Navier menjadi lebih pendiam lagi.
Bagi James, Edgar masih belum bisa menjadi pria yang benar-benar bertanggung jawab. Dan, dia tidak bisa memasrahkan sang cucu pada pria seperti itu.
"Tidak bisa! Dia sudah menjadi tunanganku dan harus berada di sini, di dekatku. Tidak bisa kau bawa pulang karena sebentar lagi aku akan menikahinya," balas Edgar tak kalah sengit.
Susah-susah membawa Navier, malah orang lain ingin mengambilnya.
Jujur saja, Edgar tak terima! Tak ada satupun yang bisa memisahkan pria itu dari Navier.
Melihat betapa keras kepalanya Edgar, James menggelengkan kepala. "Anak Muda! Dia memang tunanganmu, tapi janga lupakan dia adalah cucuku. Status pertunangan bisa dibatalkan, tapi statusnya sebagai cucuku tidak akan pernah bisa diubah sampai kapan pun, ingat itu!"
James merasa kesal dengan Edgar.
Sudah cukup berada jauh dengan sang cucu sampai saat ini, dan tidak ingin lebih jauh lagi. Jadi, James bermaksud untuk muncul di hadapan Navier dan mengaku jika dia kakeknya.
Di sudut hatinya, James menyesal telah mengusir putrinya dulu, hingga sang cucu harus dirawat oleh pria yang tak bisa diandalkan dan istrinya yang begitu kejam.
"Jadi, persiapkan Navier ke tempatku," tegasnya lagi.
"Tapi aku ingin bersamanya. Apa itu salah!?" bentak Edgar. Dengan isyarat, pria itu lalu meminta semua pengawalnya untuk berkumpul, seolah menantang James.
"Aku datang secara baik-baik, dan kalau harga dirimu terlalu tinggi, aku akan memohon. Tolong pria tua ini untuk menemui cucunya. Tolong pria tua ini untuk bertemu cucunya," pinta James.
Edgar terdiam. Dia tak sampai hati melihat James memohon padanya. Namun, dia juga tak bisa mengizinkan Navier dibawa oleh James.
"Kalau seperti itu, lebih baik kita tanyakan pada Navier saja. Dia lebih memilihku atau dirimu," balas Edgar cepat.
Dia tampak percaya diri, tetapi diam-diam ia khawatir dan sangat berharap tunangan yang dia cintai sejak dulu itu akan memilihnya.
*****
"Nav, cucuku, aku kakekmu," ucap James di hadapan cucu yang tidak pernah ditemui secara langsung.
Pria kuat itu bahkan sampai menitikkan air matanya kala melihat keadaan Navier yang menyedihkan.
"Kau sungguh mirip ibumu, kecuali bibir dan kelopak matamu," lanjutnya.
James mendekati Navier, dia ingin memeluk sang cucu.
Namun, Navier mencoba menghindar. "Aku sama sekali tak mirip ibuku!" tukasnya cepat.
Selama ini, Navier selalu mendengar jika dia sama sekali tak mirip ibunya. Disebut seperti itu, Navier ingat perlakuan Yuni yang tega menjualnya.
"Kau mirip dengan Elle-ku."
Elle adalah nama kecil ibu Navier. Namun, Navier jelas tak mengenalnya.
"Siapa itu Elle? Nama ibuku itu Yuni!" Dengan setengah hati Navier menyebut nama orang yang selama ini, dia anggap ibunya.
James menggeleng.
Dia mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Navier yang di kursi roda. Lalu, dia berucap, "Ellena Wyatt, itu adalah nama ibumu. Aku selalu memanggilnya Elle-ku. Dan pria itu merebut ibumu dariku."
Navier terdiam, dia hanya berusaha mencerna kebenaran yang baru terungkap.
"Aku tidak sedang memperebutkanmu dengan Edgar. Apalagi berniat memisahkan kalian. Hanya saja, aku ingin menghabiskan waktu dengan cucuku. Cucu yang tidak pernah kutemui secara langsung sejak kecil," lanjut James.
Lama Navier berpikir. Kemudian, dia memutuskan untuk mengikuti sang kakek.
"Edgar ... untuk sementara aku ingin bersama kakekku. Bisakah kau mengizinkan?" pinta Navier.
Dekat dengan Edgar membuat hatinya kalut dan merasa minder. Jadi, Navier memilih mengikuti sang kakek dengan maksud menghindari Edgar. Juga, ingin lebih dekat dengan keluarga dari pihak ibunya.
Edgar hanya bisa menyetujui permintaan Navier meski berat.
Karena itu, Navier diboyong ke kediaman James yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk.
"Aku tak tahu, apakah aku bisa menjadi kakek yang baik atau tidak. Tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin. Jangan sungkan mengatakan padaku apa yang kau butuhkan," ucap James.
Navier mengangguk. Dia mengernyikan dahi ketika meangkap sesuatu yang mengganjal. "Kenapa fotoku ada di sana?" tanyanya.
Ada banyak foto yang terpasang di kediaman itu. Lebih banyak foto seorang wanita dengan pose formal, dan lainnya dengan pose seolah diambil secara diam-diam.
"Kalau kau mengenali fotmu, maka itu iya. Aku memang menempatkan salah satu anak buahku untuk memantaumu dari jauh. Kalau kau menemukan foto lain, maka itu adalah foto ibumu. Aku hanya bisa menyimpan kenangan tentang Elle-ku dengan foto dan barang-barangnya. Tidak ada lagi yang tersisa," tutur James.
Pria tua itu lalu meminta izin untuk mendorong kursi roda Navier, dan menjelaskan dengan detail setiap foto.
Navier yang belum pernah mengetahui rupa sang ibu, hanya bisa diam. Terlalu banyak yang tidak dia ketahui selama ini. Jika ucapan James memang benar adanya, maka semua perlakuan Yuni padanya tentu menjadi masuk akal.
"Setelah ibumu tiada, tentuhanya kaulah pewarisku satu-satunya. Semua harta yang kumiliki, kelak akan menjadi milikmu. Atau kalau kau mau, aku bisa memberikannya saat ini juga."
Bagai terkena petir di siang bolong, Navier terkejut. Kediaman sang kakek saja sudah sebegitu luas. Untuk saat ini, Navier tidak bisa membayangkan berapa nilai kekayaan yang dimilikinya
"Tapi, tentu saja aku tidak bisa memberikan dengan mudah. Kau harus belajar dengan rajin agar bisa memimpin semua ini. Aku tidak bisa selalu berada di sisimu. Tapi, aku berjanji untuk membimbingmu,"lanjut James.
Memang dia mengatakan untuk memberikan semuanya pada Navier, tetapi tentu Navier harus memiliki kualifikasi yang layak untuk itu.
"Tapi, aku hanya lulusan menengah pertama saja. Tidak mungkin aku bisa, Kek. Lebih baik Kakek berikan saja kepada yang membutuhkan atau Kakek bisa mengadopsi anak lain untuk menjadi penerus kakek. Lagi pula, aku ini ... lumpuh."
Ucapan Navier melirih di akhir. Dia benar-benar merasa tidak percaya diri dengan keadaannya yang sekarang.
Navier tahu kekayaan sang Kakek tidak main-main banyaknya.
Barang yang dimiliki Navier kini berkali-kali lipat lebih mahal, dari barang mahal yang adik-adiknya beli. Bahkan, Navier pernah melihat harga satu potong bajunya bisa untuk membeli rumahnya yang dulu.
'Kalau adik-adikku dan ayah tahu akan hal ini, bagaimana reaksi mereka?' batin Navier sedih. Namun, wajah bengis Yuni tiba-tiba muncul di ingatan gadis itu.
Tangannya seketika mengepal. 'Apa mereka juga akan memanfaatkanku seperti wanita itu?'
Terima kasih teman-teman pembaca sudah mengikuti kisah Navier dan Edgar. Kira-kira, apa yang akan dilakukan Navier, ya? Akankah dia balas dendam ke Yuni dan orang-orang yang membuatnya lumpuh? Lalu ... kapan dia sadar bahwa Edgar sudah cinta mati dengannya, bahkan tak ingin melepasnya...! Ikuti terus kisahnya, ya. Jangan lupa komentar dan vote juga. Terima kasih
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau