Share

Bab 06

Tanganku gemetar membuka map yang tadi kuletakkan di atas meja. Gugup bercampur malu.

Aku jabarkan semua hal menyangkut keuntungan kepada pihak perusahaan yang memberi suntikan dana untuk perusahaanku.

Tanpa berani mengangkat wajah menatap wanita di hadapanku ini. Aku terus berbicara sampai selesai.

"Baiklah. Saya setuju memberi bantuan kepada anda. Selain keuntungan tadi, saya harap anda konsisten dengan waktu pengembalian sesuai kesepakatan. Jangan sampai ada penundaan di dua tahun pertama Tuan Surya. Hal itu akan mempengaruhi citra anda di hadapan kami. Karena itu, berusahalah sebaik mungkin mengatur keuangan. Jika anda butuh seorang akuntan handal, perusahaan kami, siap membantu. Kami punya beberapa akuntan terbaik. Itulah sebabnya kami tidak pernah kecolongan pada masalah keuangan."

Perkataan Anaya sontak membuatku mengangkat kepala. Perusahaanku pun punya akuntan. Tapi masalahnya ada padaku. Aku selalu kalah dengan rengekan Talita. Jika dia ingin 100juta, maka, tanpa pikir panjang aku akan memberikannya. Meskipun uang perusahaan yang jadi korban.

Kalau saja Talita bisa seperti Anaya. Pasti aku tidak akan seperti ini. Dulu, saat bersamaku, Anaya hanya mendapatkan nafkah 400ribu satu bulan.

Dengan dua orang anak, ditambah ibuku yang selalu minta makan di rumah kami. Kami selalu makan makanan bergizi dan tidak pernah kekurangan.

Dan Talita, dia kuberi jatah empat juta perbulan, tapi pertengahan bulan, dia sudah berteriak minta uang lagi. Alasannya, karena kebutuhan pokok yang semakin mahal. Entahlah. Anaya yang pintar mengatur keuangan, atau Talita yang terlalu boros.

"Anda siap untuk tanda tangan Tuan Surya?" suara Arga mengembalikanku dari lamunan masa lalu.

"I-iya Tuan. Saya siap!"

Penandatanganan surat selesai. Aku lega perusahaanku selamat. Syukurlah. Kejadian semalam dan masa lalu, tidak membuat Anaya membatalkan bantuan.

"Silahkan minum dulu Tuan. Saya permisi karena ada janji." Anaya berdiri dari kursinya.

Ingin hatiku menahannya untuk menjawab semua pertanyaanku. Ingin sekali mengatakan bisakah bersikap biasa saja seperti dulu? Mengapa kau begitu susah untuk kujangkau Anaya?

"Terima kasih sudah mau membantu saya." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku mengulurkan tangan, ingin bersalaman, namun Anaya menangkupkan tangan di depan dada. Sambil tersenyum.

Belum sempat dia keluar. Pintu ruangan diketuk. Dengan setengah berlari seorang gadis masuk ke dalam ruangan, dan langsung memeluk Anaya. Mencium ke dua pipinya, lalu tangannya.

"Bunda. Novel aku dipinang untuk film. Novel aku yang kepilih Bun. Aku seneng banget. Akhirnya!" suaranya penuh kegembiraan.

Tubuhnya lebih tinggi dari Anaya. Bahkan menyamai Arga. Padahal, dia tidak memakai high hills.

Hidung bangir dan mata agak sipit. Satu lesung pipit di pipi kanannya, menambah kecantikannya. Dia anak yang aku buang itu. Gadis kecil cacat, yang menjadi salah satu pemicu berakhirnya rumah tanggaku dengan Anaya.

Aku yang dulu sangat malu memiliki anak cacat. Tidak pernah aku menggendong atau mencium anak ini sejak dia lahir. Dan setelah dia cacat, aku bahkan tidak mengakui dia sebagai anakku.

Sekarang dia ada di hadapanku. Dengan keadaan yang sangat berbeda. Berdiri tegak dengan kedua kakinya yang jenjang. Dan memiliki tubuh dan paras bak seorang model profesional.

Saat ini aku benar-benar menyesali apa yang telah aku lakukan dulu. Aluna dan Anatasya, tumbuh menjadi anak yang cantik dan sukses. Anaya benar-benar berhasil menjadi seorang ibu.

Anaya memeluk putrinya itu. Tangannya dengan lembut membelai rambut Anatasya.

"Bunda bangga Sayang. Apapun dari dirimu, Bunda bangga. So, mau hadiah apa untuk prestasi besar ini?"

"Aku mau ikan tongkol kuah kuning yang pedes buatan Bunda. Aku juga udah selesai memeriksa keuangan perusahaan Bunda. Aku pengen pulang dan makan. Bunda pulang juga yah?" mata agak sipit itu mengerjap berulang kali dengan ekspresi memohon yang lucu dan menggemaskan.

Dia tidak peduli dengan sekitarnya. Aku pikir. Apakah Anatasya juga tidak ingat dengan wajahku? Saat berpisah dia berusia sepuluh tahun. Tidak mungkin dia lupa dengan wajahku.

"Kak. Gak mau hadiah dari aku?" suara Arga bertanya. Saat itulah dia mengangkat wajahnya. Dan menatap Arga dan aku.

Dia tersenyum ke arahku. Sepintas saja. Lalu menganggukkan kepala dengan sopan.

"Maaf Tuan Direktur. Anda punya klien sekarang. Saya tidak akan mengganggu. Malam ini, jangan menginap di apartemenmu. Tidurlah di rumah. Saya tantang anda dan Ibu CEO ini main Ludo. Saya dan Si Kakak Dokter yang dingin itu akan mengalahkan kalian berdua dalam satu putaran." katanya dengan ekspresi menggemaskan, sambil melipat tangan di dada.

"Baiklah Nona. Tantangan anda, saya terima dengan senang hati!" Balas Arga dengan suara dan ekpresi yang dibuat-buat serius. Setelah itu dia berdiri dan memeluk Anatasya dengan erat.

Aku mematung. Suasana ini terasa mendamaikan hati. Pelukan kasih sayang dari keluarga, tutur kata yang lembut dan saling menghargai.

Sungguh sangat jauh berbeda dengan keadaan keluargaku. Jika berada di ruangan yang sama, hanya pertengkaran saja yang terjadi. Pokok masalahnya, tidak lain uang dan uang.

Talita yang tidak peduli dengan anak-anaknya.

Melisa dengan segala permintaanya, entah itu tas branded, atau perhiasan. Virgo yang selalu keluyuran dan pulang dalam keadaan mabuk. Selalu mengamuk, jika dimarahi Talita.

Dan satu lagi. Anak cacat itu. Yah ... Tangisan dan umpatan Radit, karena kami belum mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang untuknya. Dia frustasi dengan keadaannya yang cacat.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Angelica Jasmine
bukankah Radit pnya saudara kandung . mengapa tidak minta donor sumsum tulang belakang dari Melisa atau Virgo? aneh
goodnovel comment avatar
Hansiana Siregar
plonga-plongo,heran ya,itulah keajaiban dan karunia-Nya,kezaliman mu terbalaskan hari ini,pergi saja ....
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
aaah... ayah mcm ap manggil si ank cacat.... pantas hidupmu g berkah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status