Rudi mengerang kesakitan. Sumpah demi apapun, Rudi benar-benar ingin mati saja, tubuhnya sudah tidak mampu lagi, menahan semua pukulan dan siksaan dari orang-orang ini. Dia merangkak di kaki si pria ceking, sambil menangis. "Saya tidak tau hubungan kalian dengan Ayu, tapi tolong, jangan pukuli saya lagi. Saya tobat. Saya janji, tidak akan mengganggu hidupnya, atau apapun itu. Tolong sampaikan maaf saya kepadanya. Tolong lepaskan saya," Pria ceking itu tersenyum mengejek. Tidak ada sedikit pun rasa belas kasihan di wajahnya kepada Rudi. Meskipun, pria itu, sudah merangkak dan mencium kakinya. "Cuih ... Penderitaanmu belum seberapa dengan perbuatannya pada Nyonya Ayu. Selama belasan tahun, kau menyiksanya dengan sangat kejam. Kau menekan batinya, dengan tidur dengan wanita lain, sedangkan Nyonya kami, harus banting tulang menafkahi empat orang anakmu. Kau menipu dirinya tentang penghasilanmu. Kau menyiksa fisiknya, jika kau tidak berkenan dengan ucapannya. Kau seperti sampah yang bau
Acha menyambut uluran tangan anak gadis Mira dengan sumringah. Gadis itu melompat-lompat saking senangnya bisa bertemu dengan Acha. "Duh. Dil. Kan udah Momi bilang, jaga sikap Nak," kata Mira. "Gak apa-apa Tante. Ayok sini. Duduk deket aku yah," Acha menarik tangan Dilla, suoaya duduk dengannya. Gadis manis itu namoak sangat senang. Dinna, gadis yang satu lagi, nampak menggeser layar ponsel, lalu menekan aplikasi instagr*m. "Kak. Aku live di igku bisa gak?" tanyanya antusias.Mira menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah kedua anak gadisnya itu. "Anak-anak. Gak sopan ah. Kita mau makan lho. Kasihan Kak Achanya. Kasihan makanannya juga. Nanti kalo udah selesai makan, baru tuh, foto-foto sampe pegel," lerai Mira, yang melihat kehebohan anak-anaknya. Sontak semua terkekeh. "Aku masih lama kok di sini. Hari ini, special buat dateng ke sini aja. Jadi, abis makan, kita bisa foto-foto sambil live," Acha membujuk kedua kakak beradik itu. Mereka berdua menyambut perkataan Acha denga
"Pala aku pusing liat berita gosip sana sini, Cha. Klarifikasi dong, biar gak ngelunjak ntu artis. Dia ngebantah juga enggak, kamunya gak ngomong-ngomong. Sono noh, malah dia diundang ke podcast-podcast. Numpang tenar doang tuh anak," cerocos Mirna, saat sampai di rumah Acha. Gadis itu hanya bergeming. Menatap Mirna sesaat, lalu menunduk, melanjutkan mengetik novel di laptopnya. Wajahnya yang datar menanggapi perkataan Mirna, menandakan, bahwa Acha sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan jika situasinya sudah seperti ini, maka, Mirna tidak akan berani untuk melanjutkan omelannya. Acha menatap barisan kata di laptopnya, sambil berpikir tentang perkataan Mirna. Dia memang sudah harus tegas. Namun, jika sekarang dia langsung muncul untuk klarifikasi, maka, sudah dipastikan, pihak yang menyebarkan, malah akan mendapatkan keuntungan. Tapi, baik juga kan beramal untuk kesuksesan orang lain? Acha tersenyum tipis, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dunia hiburan ini memang aneh. "A
"Maaf yah Cha. Mobil Gilang nih, mogok. Dah lama yah nunggunya," tanya Bulan. Acha berbalik dan melihat Bulan dan pria yang di panggil Gilang oleh Bulan. Lama Acha menatap pria itu. Wajahnya, seperti tidak asing bagi Acha. Gadis itu memaksa ingatannya mengelana mencari tau apakah dia kenal dengan pria ini atau tidak. "Ehm. Bos. Kenalin ini Gilang Prakasa. Hacker yang gantiin Mefta, karena dia gak bisa dateng. Kalo soal kualitas. Gilang dan Mefta ada di posisi teratas di bataliyon. Pasti hasilnya gak akan mengecewakan," tutur Mirna. Gilang tersenyum. Dengan perlahan, tangannya bergerak terulur kepada Acha. Dengan tatapan penuh arti dan pindar mata yang berkaca-kaca. "Gilang Prakasa," suara pria itu bergetar menyebutkan namanya. Acha bergeming. Membiarkan tangan kekar itu teratung di udara. Matanya fokus kepada wajah Gilang. Seketika, air mata Acha mengalir, paksaannya pada memorinya, membuahkan hasil. Gilang Prakasa. Sahabat masa kecil, yang mengikat Acha dengan janji akan kemba
Suara gaduh terdengar saat kakiku menginjak lantai keramik teras rumah. Berkas penting yang tertinggal di ruangan kerja, membuat aku harus memutar balik arah mobil. Jam masih menunjukkan pukul 08.15. Apa yang terjadi? Mbok Narsih berlari turun dari lantai dua. Wajahnya pusat pasi. Dasternya basah kuyup."Tolong. Tolong. Tuan! Non Melisa, Tuan," tubuh wanita paruh baya itu gemetar. "Ada apa dengan Melisa?""Non Melisa pingsan di kamar mandinya. Tangannya berdarah-darah. Saya takut Tuan." Wajah pucat itu di penuhi air mata. Mbok Narsih memang sangat menyayangi Melisa, putri sulungku. Karena sejak balita, Mbok Narsih yang mengasuh Melisa. Aku berlari ke lantai dua, letak kamar Melisa ada di pojok setelah kamar utama. Aku terkejut bukan main, saat melihat lantai kamar mandi yang sudah penuh dengan darah. Tubuh Melisa pun bersimbah darah. Ada darah keluar dari balik dressnya, dan darah di pergelangan tangannya. Tanpa pikir panjang, aku menggendong tubuh semok Melisa. Membawanya ke mo
"Apa maksudmu Mas? Melisa akan dioperasi? Bagaimana bisa? Operasi pengangkatan rahim lagi. Ck! Yang benar aja. Pacar aja gak punya." Talita menghempaskan tubuhnya di sampingku. "Bagaimana bisa kau tau tentang anakmu, jika kau di rumah hanya untuk mandi dan tidur. Setiap hari kau pergi dengan geng sosialitamu itu. Menghamburkan uang dan pulang setelah limitnya kandas." "Jadi kamu nyalahin aku Mas? Lalu kamu selama ini kemana aja? Kamu sibuk dengan proyek, sibuk mencari mantan istrimu itu kan?" Aku menoleh ke arah Talita. Menatap wajah tanpa make up yang tetap cantik dan mulus. Di usia kami yang hampir menyentuh setengah abad, dia masih terlihat menawan. "Jangan menutupi kesalahanmu, dengan mencari-cari kesalahan pada orang lain. Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anak kita. Bahkan semua keluargamu hidup dari usahaku Talita. Dan perkara mencari Anaya, bukankah kita sudah bicarakan itu? Kita butuh anak-anak Anaya. Juga untuk kelangsungan hidupmu dan keluargamu bukan? Jad
Satu jam kemudian, kami bubar. Arga, pengusaha muda itu akan mentransfer sejumlah uang, setelah besok, kami mengesahkan perjanjian yang akan di tandatangani di kantornya. Aku lega. Setidaknya pengorbananku meninggalkan Melisa yang sedang menjalani operasi, terbayarkan dengan mendapatkan kucuran dana dari Arga dan perusahaannya. Kupacu mobil kembali ke rumah sakit. Melewati kawasan ruko karena jalan biasanya sedang ada pembersihan. Saat melewati sebuah toko kue yang sedang viral, aku melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan Anaya. Wanita yang tiga belas tahun yang lalu hidup denganku. Gegas, kubelokan mobil. Memarkir di depan toko. Toko kue Ar4Cake. Mungkin Anaya datang membeli kue di sini. Desain ruko yang di hias dengan ornamen-ornamen kekinian, membuat suasana terasa nyaman untuk segala kalangan. Kuedarkan pandangan, mengamati setiap pengunjung. Tak kudapati wanita itu. Aku tidak mungkin salah melihat. Tadi Anaya masuk ke sini. "Maaf Pak. Ada yang bisa kami bantu?" sap
Aku mengejar Aluna. Ingin tau dimana dia tinggal. Aku akan membuntutinya saja. Rasa penasaran akan kehidupan mereka bertambah, setelah melihat Aluna yang sudah berhasil menjadi seorang dokter. Aku pikir, Melisa akan lebih berhasil dari Aluna, nyatanya, bahkan Melisa sekarang di rawat oleh Aluna.Aluna menyetir alphard putih dengan lincah. Keluar parkiran rumah sakit, setelah itu meluncur mulus di aspal. Aku memberi jarak dua mobil di belakangnya. Kembali aku berpikir, jika Ayana tidak menikah lagi, lalu dengan apa dia menyekolahkan Aluna? Pendidikan kedokteran adalah salah satu yang paling mahal di negeri ini. Pasti Ayana sudah mendapatkan suami yang kaya. Apa bisa? Aku ragu. Ayana bukan wanita yang cantik seperti Talita. Mana bisa pria kaya menyukainya? Apalagi Ayana hanya seorang janda dengan dua orang anak. Dan salah satunya cacat. Mobil Aluna masuki kawasan perumahan super elit di kota ini. Perumahan ini adalah impian Talita sejak dulu. Belum bisa aku wujudkan, karena uang sela