Share

04 — Permintaan yang Dituruti

Pagi sekali, pukul tujuh. Jicko telah berada di kediaman utama keluarganya. Biasanya dia tidak akan pernah pulang lagi ke rumah ini. Tetapi gara-gara ucapan Maria semalam, pria itu jadi kepikiran. Sampai tak bisa tidur. 

Mama mungkin sesumbar berkata soal itu. Tetapi Jicko tidak senang mendengarnya. Mau bagaimanapun, Jicko masih menyayangi sang ibu. Kedatangan Jicko ke rumah ini adalah yang pertama setelah enam bulan tidak pulang. 

“Mama ada, Bi?” Jicko bertanya kepada kepala pelayan yang bertugas saat itu. Kebetulan dia melintas di ruang tengah, berpapasan dengan tuan muda. 

“Ada di kamarnya, Den.” Bibi memberitahu, tangannya menunjuk daun pintu cokelat kamar Maria. Di seberang ruang keluarga. Rumah ini besar sekali, tiga tingkat. Sebagian besar dinding rumah berlapis kaca tebal dengan kain gorden menjuntai sepanjang lebih dari 10 meter. “Tapi beliau sakit, Den. Beliau ngurung diri sejak semalam di kamarnya.” 

Jicko memutar badan, menatap bibi sesaat. Langkahnya ingin menuju ke kamar sang ibu saat itu. 

“Demam?” 

“Kayaknya lebih ke meriang, Den. Badannya panas.”

“Sudah diperiksa dokter?” 

Bibi menggeleng, “Sudah, Den. Tapi Nyonya menolak. Dokternya disuruh pulang. Dia nggak mau diperiksa.” 

“Aish. Kebiasaan!” Jicko mendecak frustasi. Kakinya kemudian melangkah ke kamar Maria. 

Tidak perlu mengetuk pintu, Jicko langsung masuk. Itu hal wajar baginya saat masuk ke kamar sang Mama. Benar kata Bibi, Mama sedang meringkuk di atas ranjang tidurnya. Melipat badan menyerong ke kanan. Memunggungi Jicko yang melangkah pelan ke arahnya. Selimut tebal menutupi badan. 

Jicko meraih remote control pendingin ruangan yang diletakkan di samping meja lampu, menurunkan volumenya. Kebiasaan lain Mama, kalau sedang sakit karena ada masalah, dia pasti seperti ini. Jicko tak perlu kaget dengan tingkah sang Mama. 

“Ngapain kamu ke sini!” Mama membuka percakapan. Dia tahu Jicko datang. Anaknya itu berdiri di belakang punggungnya persis. 

“Mama kenapa selalu begini?” Jicko mengalihkan ucapan, bukannya menjawab pertanyaan sang Mama tadi. 

“Jangan tanya itu ke Mama, tapi tanyain ke diri kamu sendiri jawab Maria. Dia tidak memerhatikan lawan bicaranya sama sekali.  

Jicko mengembuskan napasnya pelan nan samar. “Tentang apa yang Mama mau, aku bisa menurutinya. Tapi kalau menikah, aku tidak bisa. Mama tahu, aku tidak suka dipaksa.” 

“Kalau begitu, kamu pergi aja dari sini. Mama nggak bisa menerima kehadiran kamu. Kalau hari ini hari terakhir Mama di dunia ini, Mama harap kamu nggak datang ke pusara Mama nantinya.” 

“Ma ....” 

“Dan soal pernikahan,” Maria memotong kalimat Jicko, “Itu bukan satu-satunya alasan buat kamu nggak mau melakukannya. Mungkin bagi kamu itu adalah hal yang tidak terlalu penting. Mama tahu kamu seorang yang liberal, sekuler atau modern. Tetapi asal kamu tahu, pernikahan kamu itu sangat bermakna bagi Mama. Setidaknya, sebelum Mama pergi, Mama bisa lihat kamu punya pasangan hidup, punya anak dan ada yang mengurus kamu nanti. Itu saja harapan Mama.”

“Tapi aku nyaman dengan situasi ini. Mama tidak perlu khawatir.” 

Mama mendesis, bibirnya tersenyum getir. “Selalu itu alasan kamu.” 

Jicko memijit keningnya. Mendadak kepala berdenyut terasa sakit. Berdebat dengan Mama rasanya seperti berdebat dengan senator paling kritis. Takkan pernah menang. Dia pintar dalam merangkai kata-kata. 

“Terus Mama maunya aku bagaimana?” Jicko sedikit agak meninggikan nada suaranya. Muka pria itu telah memerah tegang. 

“Nikahi Ameera. Itu saja.” 

Jicko memejamkan matanya sejenak. Napas sengalnya dihembus samar. Ameera lagi. Jicko tidak masalah dengan gadis itu. Dia cantik. Wanita ideal untuk dinikahi. Mama tidak salah dengan penilaiannya. Tetapi Jicko ingin kembali kepada keputusannya. Namun sayang, dia tidak bisa melakukan itu. Mama yang dihadapinya sekarang. Apapun bentuk penolakannya, Mama tidak peduli itu. 

“Oke, Mama menang. Aku akan menuruti permintaan Mama. Tapi tolong, jangan ngomong lagi soal kematian. Aku benci mendengarnya.” 

Maria tersenyum sumringah saat mendengar ucapan Jicko. Perempuan itu membalikkan badannya, kemudian memposisikan tubuh duduk bersandar di kepala ranjang. 

“Kalau terpaksa, nggak usah. Mama nggak suka kamu begitu.” 

“Aku nggak terpaksa. Aku akan coba pelan-pelan untuk menerimanya.” Jicko menegaskan. Maria kian tertawa bahagia. Akhirnya Jicko mau menuruti satu permintaan terakhirnya ini. Maria memang egois, memaksa Jicko menikahi perempuan pilihannya. Tetapi kalau tidak begini, Jicko tidak akan pernah menikah sama sekali. 

Pintu kamar Maria terbuka. Baik Jicko dan sang ibu sama-sama menatap ke arah daun pintu itu. Ameera. Perempuan itu yang datang. Sepagi ini. Jicko mengerutkan dahinya. Untuk apa dia ke sini? Mana berpakaian rapi. Atau dia memang selalu tampil seperti ini? 

“Oh, kamu datang ya sayang. Sini, sini, Mama ada yang mau diomongin.” Maria berkata antusias. 

Ameera mengulum senyum tipis. Kakinya melangkah ke arah Maria. Sekali matanya menatap takut muka Jicko. Sorot matanya yang tajam membuat Ameera tidak bernyali sama sekali. Jicko adalah orang yang menakutkan. Satu-satunya yang pernah ditemui dalam hidupnya ini. Gadis itu berdiri pas di sebelah sang lawan jenis. 

“Aku dengar Mama sakit, jadi aku datang ke sini pagi-pagi. Biar bisa jenguk.” 

Maria mengangguk takzim, “Ya, Mama meriang dari semalam. Tapi kayaknya ini sudah mendingan. Jicko, sapa Ameera.” 

Jicko melirik tajam. Pria itu menelan ludahnya sekali. Perintah untuk menyapa Ameera tidak dilakukannya sama sekali, justeru dia menanggapinya dengan hal lain. 

“Aku mau bicara sama dia,” kata Jicko. 

“Oh, bawa saja.” Mama berkata santai. Dengan senang hati, malah. 

Jicko memutar tumit sepatu, meninggalkan kamar sang Mama. Ameera menatap Mama sesaat, sebelum akhirnya dia mengikuti langkah pria jangkung itu. Tingginya kira-kira 189 cm. Dia sangat tinggi untuk ukuran pria dewasa pada umumnya. 

Jicko berjalan menuju ke taman belakang rumah. Ada gazebo atau balairung di sana dengan beberapa patung wanita berdiri tegak. 

“Soal kesepakatan semalam, aku membatalkannya!” ujar Jicko. Dia memulai percakapan itu. Pria itu berdiri di pagar pembatas bangunan yang menghadap ke kolam ikan hias. 

“Kenapa?” 

“Aku akan menikahimu.” 

Ameera menelan ludah pahit. Semalam dia bilang tidak mau menikahi Ameera karena alasan dia tidak suka pernikahan. Lalu sekarang dia ingin menikahinya. Kalau bisa menolak, Ameera sudah melakukannya dari dulu, sebelum Mama memaksa untuk mengenalkan Jicko padanya. Karena Ameera mau menikah dengan orang yang mencintainya dengan tulus, bukan secara terpaksa. Paling tidak seperti sang ayah. Dia mencintai putrinya dunia akhirat. 

“Aku tahu kakak dipaksa melakukan ini. Aku pun sama. Tetapi aku tidak bisa menolak. Karena Mama telah melakukan banyak hal untukku dan keluargaku.” 

“Itulah alasannya kenapa kamu ngebet pengin menikah denganku?” Jicko melirik tak senang sang gadis berwajah sendu itu. 

“Maaf kalau ini terlalu membebani kakak.” Ameera berkata pelan. Pandangan matanya menatap ke bawah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status