Share

05 — Tekanan Batin

Jicko sudah berada di kantor, sesaat lalu dia sampai. Pagi itu pukul delapan. Matahari mulai meninggi, awan cerah, langit biru berpendar. Bangunan tinggi di sebelah bangunan Polux 12 memantulkan sinar silaunya. 

Jicko merenung sesaat. Pikirannya masih terngiang dengan perkataan Ameera satu jam lalu, ketika mereka membicarakan tentang keinginan sang Mama di balairung belakang rumah. Dekat dengan lapangan golf yang luas. Dulu sekali, tempat itu menjadi bagian terpenting untuk Papanya. Dia pecinta olahraga para taipan. 

“Kalau kakak tidak mau, jangan dipaksakan. Kita bisa bicarakan dengan baik kepada Mama. Aku paham, dia pasti bisa mengerti situasi ini kalau kita menjelaskan lebih sabar.” Ameera berkata lagi. 

Jicko mendesis. Dia tertawai sumbang. “Seberapa pahamnya kamu dengan Mama? Kamu kira kalau membicarakannya dengan baik-baik dia akan menerimanya begitu saja. Begitu kan yang kamu maksud?” 

“Setidaknya ....” 

“Setidaknya Mama tidak akan pernah mengubah keputusannya sama sekali!” Jicko memotong ucapan Ameera, “Mama orang yang keras kepala, suka bicara gamblang dan terkadang cerewet. Dia tidak akan berhenti sebelum semua yang dia mau terpenuhi. Aku terlanjur mengiakan permintaan Mama kali ini. Tujuanku mengajak kamu bicara berdua, aku ingin mengubah isi kesepakatan yang aku tawarkan semalam.” 

“Aku menganggap kamu setuju dengan pernikahan ini. Tetapi aku menetapkan persyaratan. Pertama, kamu harus patuh dengan semua yang aku katakan. Kedua, segala hal yang ingin kamu lakukan, itu harus atas persetujuanku. Ketiga, jangan pernah sakit hati nanti ketika sikapku tidak sebaik yang kamu kira. Keempat, aku terbiasa bicara kasar dan sering mengumpat. Aku tidak terlalu sulit menempatkan persyaratan itu. Dan sebaliknya, sebagai timbal balik, aku akan memenuhi semua yang kamu inginkan. Seperti pengobatan kakak kamu dan biaya pendidikan kamu.” 

“Jika kita berada di luar rumah ketika pergi berdua, aku ingin kamu jangan mengatakan kepada orang lain nantinya kalau kita telah menikah. Lalu, aku ingin ketika kamu sudah menikah denganku nanti, kamu selalu harus ada di rumah saat aku pulang. Batasi jam keluyuran, kalau sudah selesai kuliah, langsung kembali. Dan yang terpenting, jangan pernah merusak nama baikku jika ada kesalahan kecil yang kamu buat. Karena pernikahan ini hanya akan terjadi sementara saja. Kamu paham?” 

Ameera mengangguk. 

“Oh, aku belum dengar kamu jawab apa. Jadi katakan apa yang mau kamu katakan. Aku akan ingin tahu itu.” Jicko melirik gadis itu lagi. 

“Tidak ada,” katanya menyahut cepat. 

“Maka kamu setuju dengan persyaratan dariku?” 

“Asal itu yang Mama harapkan. Maka tidak ada yang perlu aku katakan lagi.” 

“Bagus. Aku suka keputusan tegas kamu. Semuanya akan aku urus mulai besok. Kamu hanya perlu terima jadi. Dan aku akan mempercepat proses pernikahan, supaya tidak banyak waktu yang terbuang.” Jicko mengancing jas hitamnya, “Kalau tidak ada lagi yang ingin kamu katakan, maka kesepakatan kita anggap valid.”

Kemudian pria itu membalikkan badan, bermaksud meninggalkan balairung belakang rumah. Ameera memerhatikan punggung badan jangkung yang telah pergi beberapa langkah di depannya itu. 

Sesaat kemudian dia menghela napas tertahan. Sejak tadi dia tidak bebas menghirup udara segar. Jicko. Orang ini punya sesuatu yang membuat dirinya seakan takut. Dia berbeda dengan Kak Gino. Orang ini agaknya seorang yang kasar. Entah kenapa Ameera berpikir demikian. 

“Anda memanggilku, Pak?” Anda bertanya. Dia berdiri di depan meja kerja Jicko. Sekretaris itu dipanggil Jicko melalui sambungan telepon kantor. 

“Cari tahu siapa pria yang dekat dengan perempuan itu. Aku tidak mau nanti ini jadi masalah.” Jicko memerintah. Namun belum perintah itu dilaksanakan, Anda rupanya telah memiliki jawaban tersendiri. 

“Aku sudah mencari tahunya, Pak. Dia aman. Tidak ada lelaki manapun yang mendekatinya saat ini.” 

“Kamu yakin?” Jicko menatap melotot. 

“Yakin, Pak. Aku telah memastikannya,” kata Anda sembari mengangguk. 

Jicko menyandarkan punggung di sandaran kursi kerja. Dengusan kecil terdengar dihembus pelan. “Baiklah, aku percaya padamu. Kalau begitu, aku mau kamu sekarang terus memantau perempuan itu. Laporkan jika ada hal-hal yang mencurigakan darinya.” 

“Baik, Pak. Ada lagi?” 

“Itu saja.” Jicko menjawab pendek. 

••••

Ameera masih berada di rumah besar Mama. Gadis itu membantu Mama, seperti menyuapinya bubur. Mama perlu mengisi perutnya. Sakit sejak semalam membuat Mama agak kurusan. Ameera jadi prihatin. Sebenarnya ucapan Mama soal kematian tidak terlalu serius untuk dikatakan. Tetapi ini perlu dilakukan karena yang dihadapi adalah Jicko, jadi dengan cara ini bisa saja membuatnya lebih tunduk dan patuh. 

Di dunia ini Jicko tidak memiliki siapapun selain Mama. Dia sangat menyayanginya. Apapun yang terjadi pada Mama, Jicko adalah orang pertama yang akan khawatir padanya. Maria paham betul perangai anaknya. Dia yang membesarkan pria itu. Dengan sedikit menakut-nakutinya, mungkin bisa membuat anak itu jadi sedikit lebih patuh. Dia keras kepala. Sama seperti Maria. 

“Mama nanti akan mengatur acara pernikahan kamu sama Jicko, Nak. Mama yang bakal turun tangan.” Maria memegang tangan Ameera. Gadis itu duduk di pinggir ranjang, di sebelah Mama. 

Ameera hanya merespon dengan senyum samar. Dirinya tidak terlalu serius menanggapi pembahasan yang ini. Mama memang ambisius soal menikahkan Ameera dengan anak satu-satunya. Tetapi bukan berarti ini sesuatu yang sangat membahagiakan. 

“Kamu suka nggak dengan Jicko?” Maria menggoda, kali ini. Lihatlah senyum wanita itu. Senyumnya sangat jahil. 

“Ya.” 

“Anak Mama itu mirip Papanya sewaktu muda.” Maria menjelaskan, “Dari senyumnya, matanya sama bulu matanya yang lebat. Tapi sifatnya tidak sama sekali.” 

“Minum dulu, Ma.” Ameera menyodorkan gelas air. Maria menerimanya. Diteguk setengah gelas air itu, lalu diletakkan lagi di atas meja. Dia melanjutkan ucapannya. 

“Jicko itu banyak berubah setelah lulus SMA. Sikapnya jauh lebih dingin. Mama heran, kenapa dia bisa begitu. Dia juga nggak mau menikah. Mama hampir menyerah. Mama ingin kecewa dengan diri Mama sendiri. Mama takut dia itu tidak normal. Tapi Mama sadar, bukan saatnya Mama berpikiran seperti itu.” 

Maria menatap Ameera amat dalam dan teduh. Tangannya terulur mengusap wajah mulus gadis ini. Wajah yang bertahun-tahun suka diperlakukannya lembut. Jauh dari kata apapun, Ameera sudah dianggap seperti anaknya sendiri. 

“Maaf kalau Mama membuat kamu harus sulit seperti ini. Mama mengorbankan kamu. Mama menjadikan kamu tumbal untuk Jicko. Kalau Mama egois, kamu bisa bilang itu ke Mama. Seperti biasa, jangan semuanya kamu pendem sendiri.” 

“Mama jangan bicara begitu. Aku tidak pernah berpikir kalau Mama orang yang egois. Malah sebaliknya, aku yakin apa yang Mama lakukan, itu pasti yang terbaik.” 

“Sayang, tolong jangan hibur Mama. Perempuan tua ini sensitif.” Air mata Maria keluar dari pelupuk retina. Jatuh ke pipi, membentuk parit, lalu menggumpal di bawah dagu. 

Ameera yang melihat Mama menangis, langsung memeluknya. Ameera tahu apa yang Mama rasakan. Sebuah perasaan takut dan kecewa pada kegagalan. Ameera seperti tahu beban dan tekanan batin ini. Sebisa mungkin dia ingin menjadi teman bicara Mama yang paling mengerti dirinya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status