Jicko duduk di depan Ameera. Malam ini pukul tujuh. Kota kami hujan lebat, angin bergemuruh. Rinai hujan membasahi pesisir kota. Siang lalu Maria menelpon Jicko, memintanya mengajak Ameera makan malam bersama (lagi). Anggap saja sebagai pendekatan.
Jicko tidak bisa menolak. Karena lagi-lagi Mama adalah penguasa. Dia di atas segalanya dalam hal ini. Membantah Mama artinya siap-siap mendengarkan ucapannya yang tidak bagus itu. Jicko tidak perlu menjelaskan kata-kata tidak bagus seperti apa. Karena telah disinggungnya di awal-awal.“Aku perlu bertemu dengan keluargamu!” Jicko membuka percakapan. Mulutnya menyendok makanan saat berbicara. Ada hidangan steak yang dipanggang level well-done. Steak itu telah terpotong kecil-kecil.“Soal itu, aku rasa lain kali saja. Untuk sekarang bukan saatnya bertemu dengan keluargaku.” Ameera menjawab ragu. Sekali matanya menatap Jicko yang terlihat sangat serius di depannya. Tatapan itu amat menuntut.“Kenapa?”“Aku tidak punya alasan khusus untuk menjelaskannya. Tapi aku mengerti, kak Jicko melakukannya supaya bisa tahu siapa keluargaku.”“Aku cukup tahu latar belakangmu dan keluargamu. Cuma aku perlu melihat siapa saja anggota keluarga kamu. Terus apakah kamu tulang punggung keluarga. Dan ....”“Kakakku sedang sekarat!” Ameera memotong kalimat percakapan Jicko. Sedikit agak menyentak. “Dia tidak bisa bertemu dengan orang lain dulu saat ini. Aku ingin dia fokus pada penyembuhannya. Jadi dia takkan bisa hadir dalam acara pernikahan kita nanti.”Makan malam terhenti sejenak. Jicko menatap tegang lawan bicara di depannya. Dia tahu soal Ameera. Latar belakang keluarganya. Orang tuanya, saudaranya dan lain-lain. Cuma, Jicko belum melihat wajah mereka. Sebab laporan Anda tidak menyertai foto identitas yang diselidikinya. Sebenarnya itu tidak penting juga.“Aku tidak akan memaksa jika kamu enggan. Sebaiknya kamu pikirkan acara pernikahan kita akan bagaimana nanti. Dan ..., Aku hanya mengingatkan saja. Apakah kamu tidak akan mendatangkan wali untuk acara pernikahan itu?”Ameera menggeleng cepat, “Aku tidak punya siapa-siapa saat ini. Aku tidak perlu mengundang keluarga manapun.”“Lalu?” Jicko menatap selidik. Matanya memicing.“Jika tidak keberatan, aku mau pernikahan ini dilakukan tertutup. Hanya mengundang orang-orang terdekat saja.”“Oke. Ada lagi?"Ameera menggeleng, “Itu sudah cukup.”“Baik, aku akan mengingatnya. Besok aku akan memerintahkan orang-orang untuk menyiapkan segalanya. Mama mendesak untuk segera melangsungkan pernikahan. Jangan menunda-nunda. Aku akan memberitahumu. Mulai besok, kita akan pergi ke rumah perancang busana. Kita akan fitting baju dan foto prewedding.”Ameera mengangguk. Dia mengerti. Jicko melanjutkan makan malamnya. Makan malam itu tidak membahas apapun lagi, setelahnya. Jicko tidak suka bertanya basa-basi. Dia pelit bicara soal itu. Dia tidak peduli dengan kehidupan Ameera. Baginya saat ini, dia hanya mau melaksanakan perintah sang Mama. Itu sudah cukup.Katakanlah Jicko egois. Tapi keadaan yang memaksa. Jangan sampai dia dicap sebagai anak durhaka hanya karena tidak menuruti kemauan Maria.“Iya, kak. Besok pagi aku akan bersiap-siap.” Ameera menjawab patuh.••••Hari berikutnya. Pukul sembilan. Di kediaman utama keluarga Jicko.“Kalian akan ke mana?” tanya Maria. Dia memerhatikan Ameera yang berpakaian rapi. Pagi itu Ameera dijemput oleh Jicko. Gadis itu memakai dress merah muda, baju kemeja putih, rambut keriting digerai belakang.Sedangkan sang anak (Jicko) memakai setelan jas hitam rapi. Rupanya dia dari kantor, lalu memilih pulang karena ada urusan. Jicko belum memberitahu ke mana dia dan Ameera akan pergi hari ini sebelumnya.“Pergi ke boutique baju pengantin. Mau memotong baju.” Jicko menjawab santai.Maria menatap melotot. Cepat sekali. Pikirnya Jicko masih mau menunda, membuat banyak alasan untuk tidak segera menikahi wanita yang dipilihkan. Ternyata di luar dugaan. Jicko jauh lebih membuat Maria terkejut atas aksinya. Ini patut disyukuri. Dia setuju dengan keputusan Jicko. Perlu diingat, Ameera itu adalah pilihan terbaik Maria. Seumur hidup dia berjanji akan menikahkan sang anak kepada gadis cantik ini. Itu janjinya.“Kenapa Mama berekspresi seperti itu. Ada yang salah?” Giliran Jicko yang bertanya. Dahinya mengerut, ditatap muka tegang Mama yang agak aneh. Tidak biasanya.“Mama terkejut.”“Mama sakit?” Ameera menyahut.Maria menggeleng telak, “Enggak. Mama enggak sakit. Mama cuma agak syok sedikit. Ternyata perkembangan kedekatan kalian sangat pesat. Dalam waktu beberapa hari, Jicko sudah membuat keputusan besar. Mama bahagia dengan semua ini.”Jicko mendelik. “Jangan terlalu berlebihan, Ma. Ini hanya hal kecil.”“Tetap! Bagi Mama ini hari yang menyenangkan.” Maria mengusap sebulir air mata yang hampir keluar dari matanya. Dia terharu. “Bawa Ameera pergi sekarang, Nak. Ingat, buat dia bagai ratu hari ini.”“Ya, Mama hanya perlu bahagia. Sisanya biarkan aku yang menyelesaikannya.” Jicko menjawab pendek. Kaki panjangnya kemudian berputar. Melangkah pertama meninggalkan kediaman besar.Ameera menyusul, mengekori langkah kaki pria ini. Usianya hampir tiga puluh, ini usia yang sangat matang. Dia juga produktif. Perbedaan usia antara Jicko dan Ameera tidak mencolok. Hanya lima tahun. Keduanya cocok saat bersanding. Muka Jicko yang terlihat muda mampu mengimbangi penampilan Ameera yang terlihat seperti gadis berusia awal dua puluhan.“Pakai sabuk pengaman. Aku tidak perlu mengingatkan!” Jicko menegur. Ameera cepat-cepat melaksanakan ucapan Jicko barusan. Dipasangnya sabuk pengaman, kemudian sesaat setelahnya, kendaraan yang Jicko bawa meninggalkan Selasar rumah.Mobil itu telah masuk ke dalam jalan raya utama. Jalan hari ini agak padat. Panas juga. Matahari terik. Sekali Ameera melirik pria yang duduk di sebelahnya. Dia menyantai. Menyantai dalam arti sebenarnya.Dia memerintahkan mobil auto pilot itu berjalan sendiri, mengatur kecepatan dan lainnya. Sedangkan orang yang mengendalikan kendaraan, lamat-lamat memerhatikan layar telepon. Tenang saja, mobil ini canggih. Mereka tidak akan kenapa-kenapa. Karena mobil ini sudah dilengkapi kecerdasan buatan yang bisa melakukan segalanya di jalan raya tanpa dikendalikan oleh sang pengemudi.“Ehm, kak, terima kasih.” Ameera membuka percakapan kali ini. Mulutnya ragu-ragu saat berbicara.Jicko meliriknya sekilas, “Buat?”“Buat segalanya. Terutama sudah membuat Mama bahagia. Meski aku tahu, kak Jicko terpaksa menikahiku.”Jicko melirik Ameera lagi kali ini. Tapi jauh lebih lama. Sementara itu, mobil sudah berada di lampu merah. Berhenti sebentar, menunggu lampu itu berubah hijau. Mobil otomatis berhenti sendiri. Dahi Jicko mengerut.“Kenapa kamu bicara begitu?”Ameera mengulum bibirnya. “Mama adalah orang baik. Dia patut bahagia. Dan aku merasa senang melihatnya bisa seperti ini. Harapan Mama cuma satu, dia hanya mau melihat anak tunggalnya menikah, punya keluarga yang bahagia dan harmonis supaya tidak kesepian. Dan ..., Mama mau kakak seperti ini supaya tidak seperti beliau yang kesepian, hanya di rumah saja. Tidak melakukan apa-apa.”“Ternyata hubungan kamu sangat spesial dengan Mama. Apakah ada hal yang tidak aku mengerti dari hubungan kalian?”“Aku tidak tahu. Tapi aku ingin kakak terus seperti ini. Meski terpaksa, tetapi tetap ingin membahagiakan beliau.”Jicko mendesis. Bocah kecil ini pintar betul saat bicara yang bagus-bagus. Seolah ucapannya itu benar. Tetapi Jicko tidak memungkiri. Ameera benar. Mama patut bahagia di saat masa tuanya mulai kesepian. Jicko egois dalam hal ini. Seharusnya dia jauh lebih memerhatikan sang Mama lebih dari apapun. Bukan malah sibuk dengan karirnya yang besar dan berkuasa.Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu