Share

07 — Gaun pengantin & Cincin Pernikahan

“Bagaimana dengan yang ini?" Jicko menunjuk baju pengantin yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Baju itu dipakaikan di manekin. Di pajang di etalase kaca rumah desainer. Pun bentuknya mekar. Macam baju kurung para wanita Eropa.

Mereka telah berada di rumah rancangan busana satu jam lalu. Perancang busana dan stafnya menyambut hormat dan ramah. Mempersilakan mereka melihat-lihat koleksi teranyar dan terbaik. Tempat ini adalah tempat khusus Jicko dalam memilih setelan jas. Semua suit yang dipakainya adalah hasil rancangan si desainer kondang. Bukan beli mahal di dalam mall besar dan mewah.

“Boleh juga. Ini sangat cocok kalau dipakai oleh calon istri Anda, Tuan.” Staf di sana menjelaskan singkat. Ikut berkomentar. Dengan senang hati memberitahu keunggulan gaun pengantin yang dimaksud.

Baju yang Jicko maksud memang bukan main. Cantik sekali. Harganya juga tidak murah. Detail pakaian dilengkapi dengan batu-batu Swarovski, ditambah dengan banyaknya payet-payet berkelip. Warnanya juga bagus. Warna krem. Sangat cocok kalau diaplikasikan di kulit putih Ameera.

“Apa Nyonya mau mencobanya?" Staf bertanya. Matanya memandang Ameera yang ikut melihat keindahan gaun pengantin ini.

“Silakan jika kamu ingin mencobanya!" Jicko mempertegas saat Ameera menatapnya dalam. Seolah meminta persetujuannya.

Perempuan itu mengangguk. Staf yang berdiri di sana mengerti maksud Ameera. Maka dengan insting kerja yang berinisiatif, perempuan di dalam boutique ini membawa patung manekin ke dalam. Ke ruang ganti. Di sana dia meminta Ameera melepas baju, lalu dipakaikan baju pengantin tadi. Di depannya ada kaca besar, buat melihat penampilan.

Sementara itu, Jicko ditinggalkan di ruang tengah rumah busana. Duduk di kursi sofa. Di depannya ada korden cokelat yang dipasang tinggi, membentuk dinding. Di baliknya ada Ameera yang sedang mencoba berbusana.

“Bagaimana, Tuan?” Staf datang lagi. Kali ini menggandeng Ameera. Bermaksud menunjukkan hasil dari percobaan pertama.

Jicko menatap lama. Sangat cantik. Seharusnya dia mengakui ini. Tetapi dia menahan pujian itu. “Bagus.”

“Apa ini sesuai dengan tema pernikahan kalian?" Staf bertanya. Dipandangnya dua calon pengantin ini.

Jicko mengangguk, “Ya. Sangat sesuai. Tetapi bagaimana menurutmu. Kamu yang akan memakainya nanti. Katakan kalau gaun ini tidak bagus, jika kamu tidak menyukainya. Kita akan mencoba yang lain.”

“Ini sudah jauh lebih baik. Tidak perlu mencoba yang lain lagi.”

“Yakin?”

Ameera mengangguk.

“Oke. Kalau kamu maunya ini saja, maka tidak perlu mencoba yang lain.” Jicko menatap si karyawan butik, perempuan itu tersenyum ramah. “Bungkus yang ini untuknya. Antarkan ke alamat ini."

“Baik, Tuan.” Staf menerima kartu nama. Ada alamatnya di sana. Tetapi bukan alamat rumah Jicko di komplek kota modern. Melainkan alamat rumah sang Mama. Di sana Ameera tinggal dengan Maria.

••••

Beberapa jam berikutnya. Waktu bergeser ke jam sebelas siang. Masih di hari yang sama. Cuaca kota kami cerah, awan putih berpendar, langit biru menghiasi langit.

Jicko dan Ameera berada di dalam mall Grand Indonesia. Mendatangi salah satu toko perhiasan (jewelry) terbaik di kota kami. Memilih cincin pernikahan yang paling bagus untuk acara nanti.

“Pilih yang mana yang mau kamu pakai untuk acara pernikahan kita.” Jicko memberitahu. Matanya menunjuk ke arah ratusan koleksi batu Swarovski, berlian dan batu-batuan paling cantik yang pernah ada.

Ameera mengangguk. Matanya memilah satu-persatu mana yang bagus untuk disematkan di jari. Ini pernikahannya. Sesuatu yang spesial. Dia mau mewujudkannya dengan hal yang baik-baik. Ini bukan menyoal tentang Mama saja, tapi tentang dirinya juga. Ameera tahu pernikahan ini hanyalah perintah semata.

Dalam arti sempit, sebenarnya ini adalah pernikahan paksa. Tetapi kalau dipikir panjang, mungkin ini sudah jalannya bagi Ameera. Jika dia tidak menikahi Jicko, siapa nanti yang akan berbelas kasih kepadanya, membiayai pengobatan sang kakak. Mama adalah pilihan teratas dalam hal ini.

“Aku mau mencoba yang ini.” Ameera menunjuk satu cincin berlian di dalam kotak kaca khusus. Posisinya saat itu berdiri di etalase yang memajang semua perhiasan mahal dan mewah di sana. Jicko berdiri di samping gadis itu.

“Baik, silakan dicoba, Nyonya." Staf berkata ramah. Dia mengeluarkan cincin yang dipinta tamu kehormatannya siang itu.

Ameera mengulum senyum tipis. Diraihnya cincin yang akan dicoba, lalu disematkan di jari manisnya. Cantik sekali. Seperti menyatu dengan jemarinya yang indah.

“Ini cincin pernikahan terbaik yang pernah kami miliki, Tuan, Nyonya. Cincin ekslusif yang belum pernah ada sebelumnya. Bahkan satu-satunya di negara kita.” Staf menjelaskan singkat. Wajahnya tersenyum pias. Dia bangga memamerkan pahatan sempurna di depannya. Karya sang pengukur berlian terbaik.

“Kamu suka dengan cincin itu?" Jicko menarik pertanyaan pendek. Matanya memerhatikan wajah calon istrinya.

“Iya.”

“Kamu bisa memesan itu kalau kamu suka.”

“Baik, Kak." Ameera mengangguk takzim.

Staf yang melayani tamu agungnya saat itu tersenyum riang. Calon pengantin baru alias pelanggannya kali ini benar-benar serasi. Mereka pasangan pengantin ideal yang pernah ditemuinya. Pun tidak banyak bicara, sat set sat set, langsung to the point menentukan cincin mereka sendiri.

“Bungkus cincin itu untuknya.” Jicko berkata kepada pelayan toko sambil mukanya menunjuk Ameera. Sekali lagi, staf toko itu mengangguk. Dia patuh atas perintah sang tamu agung.

“Hanya satu, Tuan? Tidak memesan cincin couple? Atau Tuan ingin cincin pengantin pria modelnya bentuk yang lain? Kami masih punya banyak koleksi ekslusif untuk Anda.” Staf itu menawarkan. Masih seperti yang tadi, pelayanannya sangat ramah. Senyum di mukanya amat merekah.

“Boleh. Buat cincin itu satu set berpasangan. Modelnya harus sama.”

“Baik, Tuan. Ini memang pilihan yang terbaik untuk calon pengantin seperti kalian.” Staf toko itu tersenyum lagi.

Kemudian dia menyiapkan pesanan yang Jicko beli tadi. Dibungkus sangat rapi dalam kotak mewah. Bahkan ketika menyentuh batu berlian dalam cincin pernikahan itu, jemarinya harus memakai sarung tangan karet. Ini dilakukan sebagai SOP dalam pelayanan pembelian perhiasan di jewelry store ini.

Jicko membayar pesanannya dengan kartu hitam. Kartu tanpa limit. Semua orang tahu kartu kredit ini. Cukup melihat logonya saja, para staf toko sudah tahu bahwa pemilik kartu tersebut adalah seorang taipan kaya raya. Tidak perlu diragukan lagi. Malah cukup melihat penampilannya, orang-orang akan tahu seberapa mengesankan seorang Jicko. Presiden direktur grup Linux.

“Kamu lapar?” Jicko menarik kalimat pertanyaan lagi. Kali ini mereka sudah meninggalkan toko perhiasan usai membayar pembelian satu set cincin pernikahan.

Seperti biasa, Jicko seseorang yang benci direpotkan pada barang belanjaan. Setiap kali dia membeli sesuatu di luar, maka dia akan memerintahkan orang-orang untuk mengantar barang belanjaannya ke rumah. Dia tidak suka menenteng tas kertas itu, meski ringan untuk digenggam.

“Kakak punya waktu untuk makan siang bersama?”

“Aku bertanya apakah kamu lapar atau tidak. Kamu hanya perlu menjawab salah satunya. Jangan membalikkan pertanyaan itu untukku.” Jicko berkata ketus. Ameera tahu, ucapannya tadi salah. Jicko tidak suka dijawab bertele-tele. Dia suka jawaban to the point.

“Aku tidak terlalu lapar, sebenarnya.” Ameera menjelaskan singkat. Tetapi jelas bahwa ucapannya agak ada keraguan.

“Kita makan siang dulu sebelum pulang. Aku punya waktu untuk makan siang dengan kamu." Jicko melirik sekilas arloji yang mengikat di tangannya. “Kita makan di sana.”

Ameera tidak menjawab ucapan Jicko yang satu ini. Dia hanya menganggukkan kepala. Semua terserah pada Jicko. Orang yang mengajaknya makan tadi, kini telah berjalan lebih dahulu ke depan sana. Di restoran mewah di dalam mall. Ameera mengekorinya dari belakang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nayra Hamasah
suka sama ceritanya ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status