Jingga merasakan pipinya memanas seketika. Ia berguling ke kiri dan kanan, lalu menangkup pipinya dengan perasaan tak karuan. Kejadian memalukan siang tadi di rumah sakit, saat Davin tiba-tiba memeluknya dan berkata hal-hal aneh, terbayang-bayang lagi di benak Jingga. Membuat Jingga merasa malu dan salah tingkah sendiri malam ini.“Walaupun amnesia dia tetap saja menyebalkan!” gumam Jingga seraya menaruk selimut menutupi wajahnya, seolah-olah ia khawatir pipinya yang merah terlihat oleh Davin. Padahal malam ini mereka berdua berada di tempat yang berbeda.Siang tadi, setelah kejadian canggung bersama Davin yang membuat jantung Jingga berdebar-debar, Lucy tiba-tiba datang dan membuat kecanggungan itu hilang dalam sekejap.Lucy menjenguk Davin sambil membawa makanan kesukaan putranya itu. Dan yang membuat Jingga merasa cukup aneh adalah sikap Lucy kepadanya, yang berubah menjadi baik di hadapan Davin. Entah apa yang ada di pikiran ibu mertuanya saat itu, Jingga sama sekali tidak mengert
Mimik wajah Davin yang suram adalah pemandangan pertama yang Jingga lihat begitu ia tiba di ruangan itu.Jingga menghela napas pelan, lalu tersenyum. “Selamat malam!”Davin tidak menyahut. Sepasang mata pria itu mengikuti ke manapun Jingga melangkah. Jingga menaruh barang bawaannya di sofa.“Bagaimana sekarang? Perut kamu masih mual-mual?” Jingga menggelung rambutnya seraya menghampiri Davin.“Menurutmu? Apa mualku akan langsung hilang setelah melihatmu?” ketus Davin seraya bersedekap dada dan memejamkan mata.“Iya, kurasa begitu.”“Apa?” Mata Davin kembali terbuka dan menyipit pada Jingga.Jingga mengulum senyum, ia mendaratkan bokongnya di tepian ranjang. “Dulu, kamu juga sering merasa mual dan obat yang paling ampuh untuk menghilangkannya adalah bertemu denganku.”Mendengarnya, mata Davin seketika melebar tak percaya. Tidak mungkin! Davin yang dulu berkata seperti itu pasti jelmaan roh yang sedang bucin akut, pikirnya dengan ngeri.“Terserah apa katamu,” tukas Davin sambil memejamk
Jingga keluar dari kamar mandi dan ia melihat raut muka Davin berubah. Tidak ketus, tapi juga tidak ramah. Benar-benar raut muka yang sulit sekali diartikan. Mata pria itu pun sempat tertuju pada perut Jingga sesaat, sebelum berpaling ke arah lain.Namun Jingga memilih untuk tidak bertanya apa alasan mood pria itu berubah, perutnya sudah merasa lapar dan ia memutuskan menyantap sarapannya terlebih dulu.Selain ada hidangan bacon dan telur, ada juga panekuk dan buah-buahan. Jingga tidak yakin ia bisa menghabiskan semua makanan itu. Sepertinya Davin membeli semua itu karena dia belum tahu makanan favorit Jingga.Setelah Jingga menghabiskan bacon dan telur, ia tiba-tiba mendapat panggilan video dari Amarylis. Jingga tersenyum dan mengangkat panggilan tersebut. Wajah Oliver yang sedang menangis seketika muncul di layar ponselnya.“Kak Jingga, dia baru bangun terus nangis nyariin Kakak,” ujar Amarylis, “maaf ya, aku nggak bisa nenangin dia kali ini.”Jingga tersenyum, mengangguk. “Nggak apa
“Sayang, mau titip pesan apa ke Papa hari ini, hem?” tanya Jingga.Lalu terdengar celotehan Oliver yang sama sekali tidak bisa dimengerti, seolah-olah dia sedang menimpali pertanyaan ibunya.“Apa...? Mama harus menyampaikan pesan kamu ke Papa, kalau kamu sayang Papa?” Jingga menaruh maskara ke tempat make up sebelum ia menoleh, tersenyum pada putranya yang berambut hitam legam seperti Davin itu, duduk di baby chair.Oliver tertawa. Dia mengangguk lucu seakan mengerti apa yang ibunya ucapkan.Jingga mendekat, berjongkok di depan Oliver, kedua tangannya ia tangkupkan di pipi Oliver yang chubby. “Baiklah. Mama akan berusaha sampaikan pesan kamu ke Papa, ya.” Ia tersenyum penuh kelembutan. “Oliver jangan sedih, ya. Sebentar lagi Papa pasti akan pulang. Papa sayaaaang banget sama Oliver. Hem?”Oliver kembali tertawa sambil berseru, “Papa...!”Jingga mengangkat anak itu ke pangkuan, mengecup keningnya sambil berjalan keluar dari kamar. Lalu ia menyerahkan Oliver pada Arum.“Saya senang seka
“Sial! Kenapa nomornya tidak aktif?” desis Davin pada dirinya sendiri.Seraya mendengus kasar, ia menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap nama Vincent di layar dengan geram.Sudah sejak kemarin Vincent tidak bisa dihubungi, bahkan lelaki itu tidak ada menjenguknya lagi ke rumah sakit. Padahal sebagai seorang asisten pribadi, seharusnya Vincent selalu siap siaga di dekat Davin.‘Lihat saja, kali ini aku benar-benar akan menahan gajimu!’ batin Davin dengan kesal.Ia membanting ponsel ke atas sofa, lalu menggerakan kursi rodanya menuju dinding kaca.Cukup lama Davin berdiam diri di sana, memandangi area taman di bawah, yang menjadi tempat pertemuan terakhirnya dengan Jingga kemarin pagi.Kala mengingat nama Jingga, dada Davin tiba-tiba terasa nyeri dan sesak. Hatinya diliputi perasaan ingin bertemu, tapi juga kecewa dalam waktu bersamaan. Ingin menggali lebih dalam hubungan mereka berdua, tapi keinginannya itu terbabat habis oleh fakta yang ia dengar dari Chelsea kemarin.“Dave, kamu
Jingga menghela napas berat seraya memandangi gedung rumah sakit di hadapannya. Ia berharap kali ini Davin mau menemuinya lagi. Bagaimanapun juga, Jingga harus meminta penjelasan kenapa Davin tiba-tiba menjauh.Langkah kaki Jingga terayun melewati lobi, lift dan lorong dengan jantung berdebar-debar. Perasaannya tak karuan, antara rindu dan takut ditolak, bercampur menjadi satu.Setibanya di depan pintu ruang rawat Davin, Jingga merasa heran karena tidak ada bodyguard yang berjaga di depan pintu.Bukankah seharusnya Jingga senang, tidak ada lagi dua pria yang menghalanginya sekarang? Namun perasaan Jingga mendadak tidak nyaman.Ia pun mendorong pintu di hadapannya.Seketika, Jingga tercenung.Ruangan itu tampak sepi dan kosong. Selimut di atas kasur terlipat rapi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ruangan itu sedang digunakan untuk merawat pasien.“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah seorang staf medis yang menghampiri Jingga.Jingga menoleh, dan ia melihat pera
Davin mengancingkan kemeja hitamnya seraya menatap pantulan dirinya di cermin. Meski acara malam ini bukan acara formal, dan meski kakinya belum bisa berjalan tanpa kruk, tapi Davin adalah Davin, yang lebih suka memakai setelan formal seperti saat ini.Pintu kamarnya tiba-tiba didorong kasar, membuat Davin menoleh ke arah pintu dan ia langsung disuguhi pemandangan wajah cemberut Amarylis yang berjalan menghampirinya.“Mau ke mana?” tanya Amarylis, ketus.Davin tersenyum kecil. “Jangan bicara ketus dan cemberut sama kakakmu sendiri. Kamu jadi terlihat jelek.”“Mas mau pergi sama wanita genit itu?” desak Amarylis tanpa menghiraukan ucapan Davin sebelumnya.“Iya,” jawab Davin, "tapi harus kamu tahu kalau dia bukan wanita genit."Amarylis mendengus sekaligus tertawa sinis. “Yang benar saja dong, Mas! Masa Mas mau menyia-nyiakan istri sebaik Kak Jingga demi wanita ular yang nggak punya urat malu itu?!” berang Amarylis dengan nada tinggi. Ia menatap kakaknya dengan jengkel.Davin berdiri men
Suara dentuman keras dari dua mobil yang beradu, membuat kepala Davin tiba-tiba diserang rasa sakit yang luar biasa. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum. Davin mengerang kesakitan, memegangi kepalanya yang terasa akan pecah.Namun, di balik rasa sakit yang tak tertahankan itu, Davin merasakan sesuatu yang aneh. Kilatan-kilatan memori mulai muncul di benaknya, memecah kegelapan yang menyelimuti ingatannya.Ia ingat bagaimana ia terjepit di dalam mobil sambil menatap tak berdaya pada Jingga yang menangis histeris. Ia ingat bagaimana ia memacu mobil sedan dengan kecepatan penuh lalu menghalangi mobil Jingga yang akan tertabrak mobil di hadapan mereka.Satu persatu ingatan yang lain muncul saling susul menyusul bagai kumpulan cuplikan film. Tentang kepergian dirinya dan Jingga ke Roma. Tentang kejutan pesta ulang tahun. Tentang canda dan tawa mereka berdua.‘Jingga...,’ bisik Davin dalam hati dengan dada yang terasa nyeri.Ia masih tertunduk memegangi kepala. Perlahan ia ingat semuanya.