Oliver tersungkur di lantai sambil menangis kencang. Darah segar mengalir ke lantai.
Buru-buru Jingga menghampiri Oliver dan meraih anak itu ke pangkuannya. Wajah Jingga menegang saat melihat dahi dan bibir Oliver mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Dengan panik, Jingga mengambil sembarang kain untuk menahan pendarahan di dahi putranya. Ia membawa Oliver keluar dari kamar, dan tanpa sengaja bertemu Davin yang sedang mengenakan jaket.
Tanpa berpikir panjang, Jingga menghampiri Davin. Tidak peduli jika Davin akan marah karena mendengar tangisan Oliver. Davin sangat tidak menyukai tangisan anak kecil.
“Dave, bi-bisakah antar aku ke… ru-rumah sakit?” tanya Jingga dengan bibir gemetar. Ia panik, takut dan khawatir dengan kondisi Oliver.
Davin memutar tubuhnya menghadap Jingga. Pria itu sempat menatap Oliver yang berlumuran darah, sejenak. Lalu mendengus. “Anak ini bukan urusanku.”
Davin hendak pergi, tapi Jingga segera menahan ujung jaket pria itu. “Kumohon… tolong aku kali ini saja,” lirihnya penuh permohonan.
Jingga benar-benar berharap Davin mau mengabulkan permohonannya satu kali ini saja. Jingga harus segera pergi ke rumah sakit membawa Oliver, tapi sekarang sudah hampir malam. Davin tidak tahu bahwa Jingga merasa takut jika harus pergi sendirian malam- malam.
Namun, dengan tanpa perasaan, Davin menepis tangan Jingga dari ujung jaketnya. “Aku ada janji,” katanya, datar. “Jangan pernah melibatkanku dengan anakmu. Aku sama sekali nggak peduli.”
Davin pergi meninggalkan rumahnya setelah mengatakan kalimat tersebut.
Jingga mematung. Ia tidak perlu bertanya dengan siapa Davin memiliki janji pada malam-malam begini.
Tentu saja, dengan wanita bayaran. Setiap malam Davin selalu pergi meninggalkan rumah, hanya untuk bersenang-senang di club malam bersama wanita yang berbeda-beda.
Mengabaikan rasa sakit atas penolakan Davin, saat itu juga Jingga pergi seorang diri ke rumah sakit membawa Oliver—yang masih terus menangis dalam pangkuannya dan berlumuran darah.
Di saat seperti ini, Jingga merasa kesal kepada dirinya sendiri. Andai kakinya tidak cacat, ia akan bisa berjalan lebih cepat untuk menghentikan taksi.
Kenyataannya, kakinya pincang. Ia butuh waktu lama untuk bisa masuk ke dalam taksi yang baru saja ia hentikan.
Ya, kakinya cacat. Dan orang yang menjadi penyebabnya adalah Eddie Walton, pemilik New Pacific Group, kakek Davin yang sudah meninggal dunia beberapa tahun silam.
Eddie Walton kemudian ‘memaksa’ Davin untuk menikahi Jingga sebagai penebus rasa bersalahnya terhadap Jingga.
Setibanya di rumah sakit, Oliver segera dilarikan ke UGD. Dokter dan beberapa perawat langsung menanganinya. Jingga menunggu di dekat Oliver dengan tangan gemetaran dan lutut yang terasa lemas. Wajahnya masih terlihat pucat. Dunianya nyaris runtuh menyaksikan satu-satunya orang—yang ia miliki dalam hidupnya, tergeletak tak berdaya.
“Luka yang dialami Oliver tidak terlalu serius. Bu Jingga tidak perlu khawatir. Sekarang pendarahannya sudah berhenti dan Oliver tidak perlu dirawat,” ucap Dokter beberapa saat kemudian.
Perempuan berusia 26 tahun itu menghela napas lega seraya menatap putranya yang terlelap di atas ranjang. Dahinya sudah ditutupi perban, bibirnya bengkak.
Jingga mengucapkan terima kasih kepada sang dokter. Setelah menyelesaikan berbagai administrasi, Jingga segera menggendong Oliver dan membawanya keluar dari ruangan tersebut.
Sudah hampir pukul dua belas malam, suasana di rumah sakit cukup sepi, hanya terlihat beberapa petugas dan pasien UGD.
Jingga mendaratkan bokongnya di kursi tunggu. Kedua tangannya yang berkeringat dingin saling meremas.
Ia merasa takut dan cemas jika harus pulang dan menumpangi taksi di tengah malam seperti ini. Hanya membayangkan ia duduk di dalam taksi bersama lelaki asing saja sudah membuat keringat dingin bermunculan di dahi.
Tadi, saat pergi ke rumah sakit, Jingga tidak terlalu memikirkan rasa takutnya karena ia hanya fokus pada kondisi Oliver.
“Mau pulang atau mau terus duduk di situ sampai pagi?” Jingga tertegun.
Suara itu… bukankah itu suara milik Davin? Tapi, kenapa bisa ia berhalusinasi mendengar Davin berbicara?
“Kamu pura-pura tuli atau memang benar-benar tuli?” Suara itu terdengar lagi.
Sepertinya Jingga tidak berhalusinasi. Ia segera memutar kepala ke arah sumber suara.
Dan… benar saja. Sosok jangkung Davin sedang berdiri tak jauh darinya, menatap Jingga dengan mata elangnya.
Jingga segera berdiri. “Kenapa… kamu ada di sini?” gumam Jingga, penasaran.
Davin mendengus. “Kamu nggak senang melihatku di sini? Apa rumah sakit ini milik nenek moyang kamu dan aku nggak boleh ada di sini?”
“I-itu… bukan begitu.” Jingga mengatupkan kembali bibirnya, mengurungkan niat untuk berbicara lebih jauh, atau Davin akan lebih marah kepadanya. Jingga selalu serba salah menghadapi Davin yang mudah naik pitam.
“Ikut aku.” Davin berjalan lebih dulu menuju pintu keluar.
Meski tidak mengerti apa maksud Davin, Jingga tetap mengikutinya.
Ia melihat Davin masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di depan lobi, lalu mengedikkan kepala sebagai isyarat agar Jingga ikut masuk. Jingga tertegun.
Apakah Jingga sedang bermimpi? Pria dingin itu… tiba- tiba datang ke rumah sakit hanya untuk menjemputnya?
“Tunggu apa lagi? Buruan masuk,” berang Davin dengan ekspresi tak ramah.
Jingga menghampiri mobil. Ia sempat kebingungan, apakah harus membuka pintu bagian belakang atau depan?
Sebab, selama dua tahun menikah, Jingga tidak pernah satu mobil dengan Davin. Pria itu seolah-olah enggan berbagi oksigen dengan Jingga di ruangan yang sama.
Dan malam ini adalah pertama kalinya Jingga menumpangi mobil suaminya itu.
Pintu depan terbuka dari dalam. “Duduk di depan. Aku bukan sopir.”
Jingga mengangguk. Akhirnya ia masuk dan dengan canggung duduk di samping Davin.
Tak bisa dipungkiri, Jingga merasa senang karena ternyata masih ada sedikit kepedulian di hati Davin untuknya.
Setelah mobil melaju, ponsel Davin berdering. Jingga melirik pria itu yang segera memasang headset di telinga sebelum menerima panggilan tersebut.
“Halo, Tante? Iya, Chelsea sudah aku bawa ke UGD dan barusan sudah ditangani dokter. Sekarang?” Davin melirik Jingga sejenak. “Aku ngantar istriku pulang dulu. Nanti aku akan kembali ke rumah sakit. Iya. Tante jangan khawatir. Chelsea akan baik-baik saja.”
Davin mematikan sambungan telepon dan melepas headset, ia kembali fokus ke arah jalanan yang lengang.
Sementara itu, rasa senang yang sempat Jingga rasakan, seketika lenyap tak bersisa.
Ternyata Davin datang ke rumah sakit bukan untuk dirinya, melainkan untuk Chelsea, satu-satunya perempuan yang dicintai Davin.
Jingga tercenung dan memandangi jalan di sisi kiri dengan tatapan menerawang.
Seharusnya Jingga tidak boleh berharap lebih terhadap Davin.
Dan… seharusnya Jingga tahu diri, ia tidak cukup pantas untuk bersanding dengan Davin yang merupakan sosok pria sempurna.
Sementara Jingga, ia hanya wanita sederhana yang cacat dan sering dipandang aneh oleh orang-orang karena sikapnya yang kaku dan pendiam.
Jingga menghela napas berat.
Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya untuk Davin, tapi tidak ada satupun yang mampu ia suarakan.
“Besok sore ada acara makan malam di rumah orang tuaku. Sopirku akan menjemputmu.” Suara dingin Davin memecah keheningan di antara mereka.
“Iya.”
Hanya itu yang terucap dari mulut Jingga. Suasana di antara mereka kembali terasa hening. Komunikasi Jingga dan Davin memang buruk. Mereka tidak pernah mengobrol lebih dari lima menit sepanjang pernikahan mereka.
“Benar-benar membosankan,” celetuk Davin tiba-tiba, sembari mengembuskan napas kasar. Tidak sekalipun ia menoleh pada Oliver yang terlelap di pangkuan Jingga. “Apa bisa kamu berhenti jadi perempuan membosankan dan kaku, Jingga?”
Perempuan berambut sepinggang itu terdiam. Saat sekolah ia sering dirundung akibat sifat pendiamnya. Orang-orang menjuluki Jingga perempuan aneh.
“Maaf,” gumam Jingga, ia sudah berjuang keras untuk menjadi wanita yang komunikatif dan ekspresif, tapi setiap kali ia ingin berbicara, ia selalu merasa takut suaranya tak akan didengar.
Davin mendengus kasar.
“Kamu cuma perlu bertahan satu minggu lagi denganku, Dave.”
“Apa?” Seketika Davin menoleh dengan mata dipicingkan.
“Minggu depan, setelah kamu resmi jadi pemilik perusahaan kakek, kita nggak akan tinggal bersama lagi. Bukankah begitu perjanjian kita di awal pernikahan?” Jingga menipiskan bibir seraya meremas jemari tangannya. “Jadi, setelah hari itu, kamu nggak akan menghabiskan waktu dengan wanita membosankan sepertiku lagi,” ujar Jingga, yang membuat rahang Davin seketika berubah mengeras.
***
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter