"Aku mau dua, boneka Unicorn dua! Yang pink dan biru!"
Frisca tersenyum manis menenteng dua paper bag besar, semantara Daniel sibuk memeluk dua boneka besar yang baru saja Frisca ambil.Senyuman Frisca mengembang, benar apa yang Kakaknya bilang kalau Daniel itu sangat kaya raya, dan kebetulan Frisca sangat menyukai yang namanya hadiah."Sekarang sudah, ayo kita pulang," ajak Daniel menoleh pada Frisca."Em, apa kau tidak ingin mengajak aku makan?""Tidak! Makan di rumah lebih baik, makanan di luar belum tentu menjaga kesehatanmu!" jawab Daniel ketus.Frisca terkekeh mendengarnya, ia hanya ikut saja dengan apa yang suaminya katakan. Bersama Daniel, rasa yang Frisca alami saat ini sama halnya ia bersama dengan Dante.Frisca merasa semua kesedihannya dapat tertutupi dengan baik. Mereka berdua keluar dari dalam mall. Daniel membawa dua boneka Unicorn milik Frisca ke dalam mobil."Kak Daniel," panggil Frisca pelan saat mobil mereka sudah melaju."Heem, mau beli apa lagi?""Tidak. Aku tidak meminta apapun lagi padamu. Aku... Aku kangen Mama," lirih Frisca.Daniel menoleh, ia tersenyum kecil dan mengusap pucuk kepala Frisca dengan lembut.Gadis manja sepertinya terasa bodoh kalau sudah menikah. Itulah yang Daniel rasakan atas Frisca."Kita pulang, Kakakmu ada di rumahku.""Kak Dante?!" pekik Frisca berbinar memegang lengan Daniel."Ya Cintaku," jawab Daniel Romantis."Asik... Aku tidak sabar menargetnya! Uang ke salon, uang shopping, uang jajan, dan uang...."Cerocosan Frisca terhenti saat Daniel berdecak. Seketika ia cemberut dan menatap sengit pada suaminya.Tidak tahu alasan pasti dari Daniel. Kebiasaan Frisca yang selalu meminta jatah uang jajan pada Kakak kandungnya. Karena gadis manja sepertinya tidak bisa apapun, selalu menjadi princess."Kak Daniel, tadi maksudku....""Stop minta jatah ke Kakakmu!" seru Daniel tegas."Hah? Kenapa begitu?!" pekik Frisca tidak terima. "Kak Dante itu Kakakku! Jadi suka-suka Frisca dong!""Tapi aku itu suamimu Frisca! Semua kebutuhanmu adalah tanggung jawabku. Sekecil apapun yang ingin kau beli, lebih baik kau meminta padaku daripada kau harus meminta pada Kakakmu! Dia akan mengira kalau aku tidak bertanggung jawab atas dirimu! Paham!" Daniel menjelaskan panjang lebar.Seketika Frisca langsung menyembunyikan wajahnya dalam boneka Unicorn yang ia peluk. Gadis itu cemberut kesal, tapi ada benarnya dengan apa yang Daniel katakan barusan."Tapi Kak Dante itu lebih tahu tentang aku, aku tidak mau terlalu merepotkanmu," cicit Frisca.Detik itu juga mobil Daniel langsung terhenti, cengkeraman tangan Frisca kian kuat pada bonekanya.Ia tidak berani menatap Daniel, paling tidak ia akan ditendang keluar dari dalam mobil ini."Kenapa kau sangat menyebalkan, huh?! Aku ini suamimu! Kau tidak pernah merepotkanku, Frisca! Kalau kau merasa semua ini aku merepotkanmu, buang saja siluman kuda jelek ini!" amuk Daniel meraih boneka di bangku belakang."Jangan!" teriak Frisca menarik lengan suaminya."Makanya patuh!" tegas Daniel.Frisca diam tidak menjawab, ia marah dengan kekesalan Daniel. Sikap menyebalkan tak asing lagi bagi Frisca dari suaminya ini. Gadis itu menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan pun ia enggan berkata apapun pada Daniel.Hingga beberapa menit berlalu kini Daniel dan Frisca sudah sampai di rumah.Frisca langsung turun dari dalam mobil dan berlari masuk ke dalam rumah saat ia melihat ada mobil milik sang Kakak di pekarangan rumah suaminya."Kak Dante!" pekik Frisca keras-keras begitu ia melihat sosok Dante yang duduk di sofa ruang tamu."Halo sayangku!" Dante tersenyum lebar memeluk Frisca yang berlari ke arahnya.Adik manjanya yang begitu erat memeluknya dan menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Dante.Rindu, Dante sangat merindukan adik kecilnya. Semenyebalkan apapun Frisca, ia tetap sangat menantikannya setiap waktu."Kenapa menangis, Princess?" bisik Dante merasakan adiknya menangis. "Apa si gila Daniel menyakitimu, hem?"Frisca mengangguk, "Kak Daniel membentakku.""Aishhh... Tenanglah, dia akan aku beri nasehat panjang lebar nanti," ujar Dante, laki-laki itu menarik Frisca dari pelukannya dan menangkup kedua pipi chuby Frisca.Dante tersenyum manis menatapnya, "Sayang, Daniel adalah suamimu, kau harus patuh padanya, okay?""Aku mau pulang saja," pinta Frisca memegang lengan sang Kakak dan memeluknya.Helaan napas panjang terdengar dari Dante, bersamaan dengan seorang Daniel yang masuk ke dalam rumah membawa paper bag dan dua boneka Unicorn raksasa milik Frisca."Wow! Sejak kapan kau suka kuda poni?" tanya Dante terkekeh menatap Daniel tanpa melepaskan pelukannya pada sang adik."Aku akan membuat peternakan setan Unicorn di rumah ini!" jawab Daniel sengit.Tawa Dante menggelegar melihat sahabatnya sebucin ini pada sang adik. Mungkin Frisca saja yang belum terbiasa dengan Daniel yang sejatinya begitu jatuh cinta padanya.Frisca melepaskan pelukannya pada Dante, gadis itu menyandarkan kepalanya di dada bidang dang Kakak yang berbalut tuxedo hitam."Jangan menangis, Frisca...." Dante mengecup pucuk kepala sang adik."Begitulah kalau masih bocah akal-akalan nikah! Cengeng, lemah, ada apa-apa nangis nomor satu!" sahut Daniel duduk menyadarkan punggungnya."Kalau kau tidak siap merawat adikku, aku bisa membawa Frisca ikut pulang bersamaku, Sialan!" maki Dante pada Daniel.Daniel berdehem pelan, ia menggelengkan kepalanya."Tidak, kau salah paham."Frisca mengembuskan napasnya pelan, ia menarik satu lengan boneka poninya dan menatap Dante lagi.Seburuk dan sejahil apapun Dante, dia tetap pahlawan bagi Frisca. Laki-laki itu menyilakkan rambut Frisca dengan rapi."Sudah sayang, sana masuk ke kamar dan istirahat. Jangan lupa makan, hem?" ujar Dante mengusap pipi adiknya.Frisca mengangguk, ia langsung bangkit dari duduknya dan menjulurkan lidahnya saat lewat di hadapan Daniel.Kekehan pelan Dante membuat Daniel menoleh padanya. Sahabatnya menjadi Kakak iparnya, cukup lucu dan menarik."Apa kau benar-benar tidak tahu di mana Brandon?" tanya Daniel mengambil satu batang kecil rokok dan menyalakannya."Mustahil aku tidak tahu, aku yang menyuruhnya pergi." Dante menjawabnya santai."Oh sialan, apa maksudmu?" Daniel terkejut.Dante menuangkan minuman berwarna ungu ke dalam gelasnya."Aku tidak mau Frisca sampai sakit hati di tengah pernikahannya. Brandon, dia laki-laki beristri dan sudah punya dua anak, kau tahu!" seru Dante bernada kesal."What! Ka... Kau serius?!" pekik Daniel menatapnya tajam.Dante mengangguk dengan sangat yakin."Heem, aku tahu hal ini sejak lama, saat Frisca aku minta meninggalkan laki-laki bengis itu, dia malah marah padaku."Daniel sadar betapa sayangnya Dante pada Frisca. Ia tahu bagaimana rasanya kalau tahu adik kesayangannya dikhianati.Mungkin lebih baik kalau Frisca tidak tahu alasan sesungguhnya dari pada Frisca akan semakin membenci keadaan ini semua, termasuk Dante."Aku titipkan Frisca padamu, Niel. Baik buruknya Adikku, dia memang manja dan menyebalkan," ujar Dante menatap Daniel."Jangan khawatir, aku akan menjamin kebahagiaan Frisca.""Apa jaminanmu, huh?"Daniel tersenyum tipis, "hidupku!"Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak