Daniel berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya usai Dante pulang sejak beberapa menit yang lalu. Laki-laki itu membuka pintu kamarnya perlahan. Tatapannya tertuju pada Frisca yang sudah tertidur di atas ranjang.
"Gadis ini," lirih Daniel mendekatinya.Daniel meraih selimut dan menutupkan pada tubuh istrinya. Ditatapnya wajah Frisca yang tenang dan ia meninggalkan satu kecupan manis di pipi dan kening istri kecilnya."Jangan bandel, Sayang," bisik Daniel mengusap punggung tangan Frisca. "Lupakan dia dan mulailah semuanya denganku, Frisca. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan selagi aku bisa menggapainya."Satu kecupan lagi di punggung tangan Frisca sebelum perlahan Daniel berjalan tanpa suara mendekati lemari pakaian dan segera bergegas membersihkan dirinya.Butuh beberapa menit Daniel mandi hingga ia kembali masuk ke dalam kamarnya saat Frisca yang sudah duduk di atas ranjang dengan wajah mengantuk menoleh ke kanan dan ke kiri kebingungan."Hei, ada apa?" tanya Daniel menatapnya bingung."Mama mana?" tanya Frisca pelan."Mama?" Daniel menaikkan salah satu alisnya.Ia terkekeh pelan berjalan mendekati istrinya.Kedua mata Frisca terbuka lebar menatap sosok suami tampannya yang duduk di hadapannya hanya dengan balutan bathrobe putih, rambut hitam Daniel yang basah dan mata birunya yang segar, laki-laki ini kadang membuat jantung Frisca begitu berdebar. Contohnya saat ini."Kau mimpi apa, hem?" tanya Daniel merapikan rambut cokelat Frisca yang berantakan."Mama," jawabnya pelan.Daniel mendekatinya dan merangkul pundak Frisca. "Kau merindukan Mama, hem?""Heem, kau melarangku ke sana kan, kau kan laki-laki yang tega," cicit Frisca cemberut."Tidak Frisca. Besok, pulang kuliah kita bisa ke rumah Mama.""Kakak janji!" Frisca tersenyum manis.Daniel mengangguk yakin, "janji, Cintaku."Kata manis singkat itu membuat Frisca membeku di tempat. Daniel hanya tersenyum dan berlalu mengganti bajunya. Frisca segera berbaring menarik selimut menutup sekujur tubuhnya dan memejamkan kedua matanya erat-erat."Ya Tuhan, kenapa dengan jantungku! Aaa... Frisca bodoh!" maki Frisca pada dirinya sendiri.Ia membuka selimutnya perlahan saat merasakan ranjangnya bergerak, Daniel sudah berada di sampingnya.Laki-laki itu menatap sofa besar di depan sana. Ada tiga boneka Unicorn di kamarnya, Pink, biru, dan ungu. Tidak ia sangka kamar minimalis, maskulin akan goyah dengan siluman kuda milik istrinya."Boneka jelekmu....""Namanya Pangeran Unicorn kalau kau lupa!" maki Frisca menyela."A... Ah ya, kenapa kau taruh di sana sayang? Kau bisa menyimpannya di ruangan sebelah atau....""Biar saja di sana, lucu kan?" Frisca tersenyum menatap tiga boneka itu.Daniel tidak menjawab, ia memilih berbaring dan memejamkan kedua matanya. Menanggapi Frisca sama saja ia memancing emosinya sendiri.Merasa diabaikan oleh Daniel yang menyebalkan, hal itu membuat Frisca langsung menoleh menatap suaminya."Kak Daniel, kalau aku sudah sarjana, aku mau kerja di kantor milik Papa ya?" pinta Frisca ikut berbaring dan memeluk bantal pembatas antara ia dan Daniel."Tidak usah, aku tidak mengizinkanmu.""Heum, kenapa?""Kau di rumah pun aku bayar, Frisca!" jawab Daniel."Bohong!"Daniel membuka kedua matanya, sengaja ia langsung memiringkan tubuhnya dan membuang bantal pembatas antara ia dan Frisca."Kak Daniel....""Kau harus belajar, Frisca," bisik Daniel.Kedua mata Frisca melebar mendengarnya."Be... Belajar? Belajar untuk apa?!" pekik gadis itu menggelengkan kepalanya."Terbiasa dalam pelukanku," jawab Daniel.Pipi Frisca benar-benar terasa panas saat Daniel memeluknya, melingkarkan kedua tangannya mendekapnya dengan sangat hangat dan erat.Entah apa yang merasukinya, gadis itu pun membalas pelukan Daniel dan meletakkan dagunya di pundak sang suami."Hanya peluk saja, tidak boleh yang aneh-aneh," cicitnya."Aneh-aneh apa, hem?" lirih Daniel menggodanya."Ya... Yang aneh-aneh pokoknya!" pekiknya memukul kepala Daniel dengan sengaja.Daniel mendekapnya erat menyembunyikan wajah Frisca dalam ceruk lehernya. Frisca benar-benar merasa hangat dan tenang."Kalau sakit, biasanya aku dipeluk seperti ini," ujar Frisca."Oleh Brandon?""Bukan, mana pernah dia memelukku. Tentu saja Kak Dante."Senyuman mengembang di kedua sudut bibir Daniel."Kau harus terbiasa dengan pelukan ini dariku sayang, kau paham?!"Anggukan diberikan oleh Frisca, seperti nasehat Dante padanya kalau Daniel adalah laki-laki yang baik asal Frisca patuh padanya.Patuh pada Daniel membawanya dalam kebahagiaan, membantah Daniel hanya akan menyusahkan dirinya sendiri. Frisca harus terbiasa, untuk bersama Daniel.**"Semua tugas-tugas dari Pak Daniel sudah kau kerjakan, Frisca?!"Suara Allana membuyarkan lamunan Frisca. Gadis itu tersentak saat Allana memukul pelan lengannya hingga Frisca menoleh cepat dan menggeleng."Belum, aku tidak mengerjakan apapun.""Frisca sangat hobi dihukum," sahut Bella, gadis berambut merah yang kini duduk merapikan beberapa kertas di hadapannya."Aku tidak peduli soalan apapun saat ini. Kalian tahu, aku sangat pusing," ujar Frisca menutup kepalanya dengan cape hoodie biru langit yang ia pakai."Jangan bilang kalau Brandon KDRT!" sahut Celina, gadis dengan dress hijau yang menegang segelas minuman matcha."Kalian menyinggungku," sahut Anastasia cemberut hingga Bella langsung memeluknya.Frisca berdecak, "kalian! Tidak, bukan itu yang aku pikirkan!" pekik Frisca."Lalu apa, Frisca?!" seru Lovyna.Frisca terdiam, mungkinkah ia bercerita pada mereka semua antara dirinya dan juga Daniel?Tapi mungkin mereka semua akan terkejut dan bisa jadi mereka akan menjauhi Frisca.Celina beralih duduk di hadapan Frisca. "Apa yang kau pikir, Frisca? Sepertinya... Kau tidak bahagia dengan pernikahanmu ya?""Pak Daniel!" pekik Frisca."What?! Pak Daniel?!" pekik kelima gadis itu bersamaan.Frisca kembali berdecak mengusap wajahnya dan berdiri menunjuk ke arah pintu."Kalian lihat! Itu ada Pak Daniel!" pekik Frisca dengan wajahnya kesal.Mereka semua menoleh menatap Daniel yang memasang wajah datarnya. Laki-laki itu langsung berjalan mendekati meja dan semua penghuni kelas duduk rapi di tempat masing-masing.Tatapan Daniel tertuju pada istri kecilnya, duduk di belakang, menyembunyikan wajahnya pada lipatan kedua tangannya dan lesu."Selamat siang semuanya," sapa Daniel membuka map merah berisi materi yang ia siapkan."Siang Pak," balas semua seisi kelas."Tugas dua hari yang lalu, saya ingin semua mengumpulkannya. Bagi yang tidak mengerjakan silakan maju ke dapan!" tegas laki-laki itu.Sebagai dosen yang mengawal semua mahasiswanya ke bidang bisnis, Daniel sangat bersemangat dan satu-satunya dosen killer yang sangat disiplin dalam segala hal."Siapa yang belum mengerjakan tugas dari saya?!" seru Daniel menaikkan nada suaranya.Seisi ruangan hening sebelum seorang Frisca bangkit dari duduknya dan menatapnya lekat."Saya Pak!""Oh, Frisca... Maju!"Gadis ini sudah terbiasa dengan hal ini, ia yakin Daniel akan memberikannya hukuman tugas lima kali lipat.Frisca mendekat dengan wajah lesu dan pucat, Daniel menatapnya dan tiba-tiba saja ia menyentuh kening Frisca hingga seisi kelas terkejut melihatnya."Kau sakit, Frisca?" tanya Daniel."Habis malam pertama dia Pak!" teriak seorang anak laki-laki di belakang sana.Daniel menoleh dan menatap sengit. "Diam kamu! Jangan menyela saya!" teriak Daniel.Hening seisi kelas seketika, Frisca lagi-lagi mendengar godaan itu lagi. Daniel mengembuskan napasnya pelan."Anastasia, tolong temani Frisca ke ruang kesehatan!" perintah Daniel."Baik Pak!" Gadis itu bersemangat.Frisca menatap Daniel dari dekat. Ia tidak tahu kenapa Daniel tidak menghukumnya, biasanya Daniel sudah menyuruhnya melakukan hal yang aneh-aneh."Kak Daniel," cicit Frisca lirih.Daniel tersenyum tipis, "istirahatlah Sayang," bisik Daniel.Frisca membalas senyumannya, "terima kasih, suamiku."Segera Frisca berjalan keluar di mana Anastasia sudah menunggunya. Frisca terlihat fresh begitu ia keluar dari dalam kelas.Anastasia sudah menduga hal itu, "mahir dalam bersandiwara," seru gadis itu."Harus dong, mana tega Pak suami menghukum istrinya sendiri," jawab Frisca asal.Langkah Anastasia langsung terhenti."Tunggu! Apa katamu barusan? Pa... Pak Suami?! Kau... Dan Pak Daniel...."Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak