“Gue diperkosa.”
Seorang perempuan terduduk di atas kasur sembari meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Detak jantungnya tak beraturan dan rasa takut kian menyerangnya.Betapa terkejutnya dia ketika bangun di sebuah kamar asing dengan gaun yang membungkus tubuhnya melorot. Awalnya, dia masih mencoba untuk berpikir positif, tetapi keadaan kasur yang berantakan dan sebuah jaket hitam yang tergeletak membuat pikirannya kacau.Beberapa menit dia mencoba untuk menggali ingatan perihal apa yang terjadi. Namun, hanya sepenggal kejadian yang dapat dia ingat. Dia pergi ke klub malam dan minum hingga lupa diri untuk menghilangkan stres. Lalu, berniat pulang dengan berkendara seorang diri, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok. Dan tak lama, seorang laki-laki menghampirinya.“Bangsat!” Perempuan itu mengumpat, mencoba untuk mengingat sosok laki-laki yang dia duga telah membawanya ke sini dan melecehkannya. “Cowok setan itu pasti yang lakuin semua ini.” Matanya memerah dan dia semakin kuat meremas selimut, melampiaskan rasa marah dan takutnya.Tidak ada laki-laki yang akan menolak tubuh indahnya, bukan? Begitu juga dengan laki-laki itu yang akan mengambil kesempatan di saat dirinya mabuk.Sialan!Perempuan itu menoleh cepat saat pintu kamar tiba-tiba terbuka dan menampakkan seorang laki-laki yang berdiri kaku di sana.“Siapa lo, hah?” tanya perempuan itu dengan suara tinggi dan keras. Matanya menyorot tajam pada laki-laki itu.“Saya—”“Lo cowok setan yang perkosa gue, kan?” tuduh perempuan itu, memotong begitu saja ucapan yang akan laki-laki itu ucapkan. Dia tidak peduli, napasnya mulai memburu. “Brengsek lo! Otak binatang!”Laki-laki itu tampak terbelalak. Kepalanya menggeleng tegas. “Astaghfirullah, Mbak. Saya tidak—”“Enggak usah lo bawa-bawa Tuhan, Brengsek!” hardik perempuan itu, kembali menyela. Rasa panas mulai menyelimutinya, pertanda emosinya benar-benar telah terbakar. Dia mengambil bantal, lalu melemparnya ke arah laki-laki itu. Tak kena, dia lantas kembali melempar bantal yang lain, disusul beberapa buku yang tersusun di atas nakas sebelah kasur.“Cowok setan! Mati aja lo, Bangsat!” Dengan membabi buta, dia terus menyerang dengan apa saja yang bisa dia gapai dan lemparkan kepada laki-laki itu. Umpatan demi umpatan dia muntahkan tanpa kendali.“Mbak, sabar, Mbak!” Laki-laki itu mencoba untuk menenangkan sembari berusaha menghindar dari berbagai benda yang melayang ke arahnya.“Bungkus halal, isi haram! Dasar bajingan!” Kembali perempuan itu mengumpat dan menyasar pada pakaian yang laki-laki itu kenakan. Baju kokoh putih dengan sarung hitam dan peci senada, perempuan itu lantas mendecih. Dia tidak heran lagi, zaman sekarang memang banyak orang yang berpakaian alim, tapi kelakuannya tak jauh dari kata bejat.“Mbak, tenang dulu!” seru laki-laki itu. “Saya bisa jelasin.”Alih-alih tenang, emosi perempuan itu semakin memuncak meski tak ada lagi serangan benda melayang yang dia lancarkan. Semua benda yang bisa dia gapai telah tergeletak tak jauh dari laki-laki itu.“Tenang?” teriak perempuan itu penuh emosi. “Tenang lo bilang? Lo perkosa gue, Sialan!” Napasnya naik turun dan rasanya dia ingin menggaruk wajah laki-laki itu yang sama sekali tidak menampakkan raut bersalah. “Jangan karena gue mabuk, lo jadi bisa seenaknya. Gue bukan perek, Brengsek!”“Saya tidak perkosa Mbak!” teriak laki-laki itu tiba-tiba, suaranya menggema ke seluruh penjuru ruangan. Dia menatap pada perempuan itu yang tampak terkejut dan tak bersuara lagi. Menghela napas panjang, dia lantas berkata dengan suara yang lebih tenang, “Demi Allah, saya tidak perkosa Mbak.”Perempuan itu mengerjap, lalu mengatur detak jantungnya. Teriakan laki-laki itu cukup membuatnya terkejut. Mencerna ucapan laki-laki itu, dia kemudian mengerakkan kakinya asal. Tak ada sesuatu yang terasa aneh.“Tidak sakit,” gumam perempuan itu sembari melihat ke arah bagian bawah tubuhnya yang masih terbungkus selimut.“Mbak?”Suara laki-laki itu menarik perhatiannya. Sadar telah menuduh dan menyerang laki-laki itu dengan membabi buta, dia berdeham pelan. Membuatnya jadi tengsin sendiri.“Ja—jadi ... kenapa gue bisa ada di sini?” tanya perempuan itu, berusaha untuk terlihat biasa saja meski dia sedikit merasa malu.Mendengar nada suara perempuan itu yang tidak lagi meledak-ledak meski masih ketus, laki-laki yang masih setia berdiri di ambang pintu itu lantas menghela napas lega.“Mbak—”“Stop panggil gue mbak!” seru perempuan itu, telinganya terasa panas mengingat sedari tadi laki-laki itu terus saja memanggilnya dengan sebutan mbak. “Nama gue Fae! Faezya Az-Zahra!” jelasnya ketus.“Baik, Mbak Fae—”“Gue bukan mbak lo! Sekali lagi panggil gue mbak, giliran kipas angin yang melayang ke muka lo!”Laki-laki itu segera meminta maaf dan meringis. Kenapa perempuan itu selalu saja berbicara dengan nada tinggi dan penuh ancaman? Apakah tenggorokannya tidak sakit?“Baik, Faezya,” ucapnya tenang. “Saya Muhammad Gaffi Al-Gaza. Kamu bisa memanggil saya Gaffi,” lanjutnya, pandangannya sedari tadi tertuju pada kipas yang berputar di dekat kasur.Faezya mengangguk, dia menurunkan kakinya dan duduk di pinggir kasur, menghadap langsung pada Gaffi yang tidak bergerak dari posisinya.“Maaf, bisa kamu pakai jaket saya dulu?” ucap Gaffi, melirik pada jaketnya yang di atas kasur.Faezya mengernyit, lalu melirik ke arah badannya. Seakan sadar pakaian macam apa yang dikenakannya kini, dia segera meraih jaket hitam itu dan mengenakannya. Walaupun terbiasa berpakaian terbuka, tetapi dia juga harus waspada sebab kini mereka hanya berdua di kamar. Yah ... walaupun Gaffi hanya berdiri di ambang pintu.Dia tergoda, gue juga yang repot.Gaffi mulai menjelaskan apa yang terjadi. Mulai dari dia yang melihat mobil Faezya yang berhenti di tengah jalan, hingga dia sadar jika perempuan itu dalam keadaan mabuk. Faezya meringis saat mengatakan jika dia sempat muntah hingga mengenai sepatu laki-laki itu, dia jadi sedikit malu dan merasa bersalah.“Lalu, kamu pingsan dan membuat saya bingung harus melakukan apa,” kata Gaffi, mengorek kembali ingatannya perihal kejadian semalam.Malam itu dia benar-benar kebingungan setelah memindahkan Faezya untuk duduk di dalam mobil perempuan itu. Dia bingung harus membawa Faezya ke mana di saat dia saja tidak tahu alamat perempuan itu. Hingga kemudian, dia mengingat salah seorang sahabatnya.“Saya tidak punya pilihan lain. Jadi, dengan bantuan teman saya, kami membawa kamu ke rumah saya.”Awalnya Gaffi meminta Zaki—sahabatnya—bersama adiknya—Zildan—untuk bermalam di rumahnya juga agar tidak terjadi fitnah. Namun, kakak beradik itu menolak dengan berat hati sebab adik perempuan mereka sedang di rumah sendirian. Beruntung, rumah Gaffi memiliki dua kamar sehingga dia tidak perlu tidur di ruang tamu saat Faezya tidur di kamar.Faezya dibuat terperangah dengan rentetan cerita Gaffi yang terdengar sungguh-sungguh. Sedikit tidak percaya jika masih ada laki-laki yang amanah seperti Gaffi. Jika saja laki-laki itu bukan Gaffi, mungkin dia benar-benar sudah berada pada posisi terburuk yang dia pikirkan sebelumnya.“Sorry,” ucap Faezya, merasa tidak enak hati karena telah menuduh, bahkan menyerang laki-laki yang telah menyelamatkannya.Gaffi tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, kamu pasti kaget sekali bangun di tempat asing. Wajar kalau kamu sampai ketakutan seperti tadi.”Faezya mengangguk. Yah, wajar jika dia ketakutan. “Terus, bokap-nyokap lo gimana?”“Saya tinggal sendiri.”Faezya membulatkan bibirnya. Ingin bertanya lebih, tapi dia sadar itu bukan ranahnya. Lagi pula, mereka hanya sepasang orang asing yang tidak akan bertemu lagi setelah ini.Terjadi keheningan di antara mereka untuk beberapa saat hingga suara Gaffi memecah hening.“Kamu tidak shalat?” Gaffi melirik jam dinding di kamar itu. Pukul enam, masih ada waktu untuk shalat subuh.“Shalat?”Melihat respons Faezya, Gaffi lantas bertanya dengan hati-hati. “Maaf, kamu muslim?” Dia takut mengingatkan shalat, tetapi ternyata perempuan itu non muslim dan malah menyinggung perempuan itu.“Gue Islam,” sahut Faezya, lalu melanjutkan dalam hati, Islam KTP tepatnya.“Mau shalat di sini dulu?” Gaffi menawarkan dengan ramah. “Kamu bisa pakai mukena ibu saya.”Faezya termangu. Shalat? Dia jadi mencoba untuk mengingat kapan terakhir kali dia shalat. Seingatnya, dia terakhir shalat beberapa bulan yang lalu saat Idul Fitri.“Gue mau pulang.” Faezya mengambil kunci mobilnya yang berada di atas nakas, mengabaikan tawaran salat laki-laki itu. Tidak sulit untuknya mengenali kunci mobilnya yang telah dipasangi gantungan kunci.“Mau pulang sekarang?”Faezya menaikkan alisnya menatap Gaffi. “Iya, lah! Lo mau gue di sini terus? Ogah banget!” Faezya dan suara ketus bernada tingginya sepertinya sudah kembali setelah beberapa saat sempat sedikit melembut.“Maksud saya bukan begitu,” ucap Gaffi kikuk. Merasa ditatap oleh Faezya, dia lantas berbalik badan. “Ya sudah, mari, saya antar keluar.”“Jaket lo?” tanya Faezya, menyusul langkah Gaffi.“Pakai saja, di luar masih dingin,” sahut Gaffi sembari membuka pintu rumah tanpa melirik ke arah Faezya sama sekali.Faezya jadi bertanya-tanya, kenapa laki-laki itu sedari tadi seperti menghindarinya? Laki-laki itu lebih suka memandang kipas angin atau pun tembok kamar daripada dirinya yang selama ini berhasil menarik perhatian banyak laki-laki.Enggak normal kali nih cowok. Faezya bergidik saat memikirkan sesuatu yang menyimpang. Tapi, ada untungnya juga jika Gaffi benar-benar tidak normal. Setidaknya dia bisa selamat dari terkaman laki-laki itu.“Thanks sudah tolongin gue,” ucap Faezya saat mereka telah di luar. “Sorry juga sudah ngerepotin lo dan marah-marah.”Gaffi mengulum senyum sembari mengangguk maklum. “Tidak apa-apa, saya juga minta maaf sempat membuat kamu panik dan takut.”Faezya ikut tersenyum dan mengangguk pelan. Dia lalu masuk ke dalam mobilnya. Membuka kaca mobilnya. “Gue balik. Sekalinya lagi thank you.” Dia membunyikan klakson sekali sebelum benar-benar pergi.Gaffi memandang mobil Faezya yang perlahan bergerak menjauh. Saat mobil itu berbelok dan tak terlihat lagi, dia menghela napas panjang.Semoga semalam menjadi mimpi pertama dan terakhir saya tentang kamu, Faezya.Hotel berbintang dengan dekorasi mewah ala kerajaan. Balutan gaun indah bak Cinderalla. Pesta dansa dengan iringan lagu romantis. Wedding cake bertingkat. Lupakan semua itu, karena yang terjadi pada pernikahan Faezya justru sebaliknya.Diadakan di halaman belakang rumahnya yang telah disulap sedemikian rupa, suasana resepsi pernikahan Gaffi dan Faezya terkesan sederhana, tetapi tetap meninggalkan kesan elegan dan kekeluargaan. Kebaya akad yang digunakan Faezya telah berganti dengan gaun pilihan Aminah. Tak ketinggalan hijab yang menyembunyikan rambut indahnya.Faezya melirik Gaffi yang berdiri di sampingnya di pelaminan. Senyum laki-laki itu sejak tadi tak pernah luntur. Laki-laki itu tampak begitu bahagia. Sangat berbeda dengannya yang sejak tadi memasang raut wajah dongkol.“Ya Allah ... lo beneran nikah?”Faezya mengalihkan perhatiannya pada sosok laki-laki di hadapan Gaffi. Laki-laki itu berseru heboh sembari meninju pelan lengan Gaffi. Mereka terlihat akrab. Faezya menduga jika d
Dekorasi serba putih telah menghiasi rumah megah Wirawan. Sejak pagi, para keluarga dari kedua belah pihak telah berdatangan untuk menyaksikan langsung proses akad nikah Gaffi dan Faezya yang akan berlangsung pada pagi.Di depan Wirawan dan penghulu, serta para tamu yang duduk di belakangnya di ruang tamu ini, Gaffi duduk dengan perasaan gugup. Jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya mulai terasa dingin dan basah. Air mukanya terlihat sangat tegang. Doa dan selawat tak henti dia lantunkan dalam hati agar merasa lebih tenang.Nasihat-nasihat pernikahan yang disampaikan Pak Penghulu didengarnya dengan saksama sebagai bagian dari bekalnya kelak. Berharap dia bisa mengamalkan nasihat itu dan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan amanah.“Bagaimana? Sudah siap?”Pertanyaan Pak Penghulu menyentak Gaffi. Debar jantungnya semakin menggila. Menghela napas panjang, Gaffi melirik ayah dan adiknya yang memberinya semangat lewat anggukan kepala.“Insya Allah, saya siap,” kata Gaffi lantang.
Setelah mata kuliah pertama berakhir, Faezya bergegas menuju kantin fakultas untuk bertemu dengan Juan sesuai yang laki-laki itu katakan lewat chat dua jam yang lalu. Langkah Faezya terhenti sejenak ketika menemukan sosok sang pacar di salah satu meja. Laki-laki itu sendiri, di hadapannya duduk seorang perempuan berambut sebahu yang dicat merah maroon. Keduanya tampak begitu akrab. Tersenyum tipis, Faezya kembali melangkah ke arah meja itu.“Hai!” Faezya tersimpul ketika Juan dan perempuan itu menengoknya dengan mata melebar. Terkejut. Faezya menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi bodoh dua manusia itu.Juan berdeham pelan, lalu tersenyum canggung pada Faezya. “Eh, Sayang.” Gesturnya terlihat kaku, tetapi berusaha terlihat biasa saja.Tak memedulikan Juan, mata Faezya lebih tertarik memindai penampilan perempuan itu. Rambut yang dicat, rok mini, dan kaus ketat, membuat Faezya tersenyum sinis.Seakan tahu jika sedang diamati, perempuan itu buru-buru berdiri dari duduknya. D
Sejak pulang dari butik, wajah Faezya tertekuk masam. Perempuan itu juga tidak menjadi lebih pendiam. Celotehan Larissa dia abaikan begitu saja. Suasana hatinya benar-benar hancur karena gaun itu. “Tante kenapa, sih?” tanya Larissa yang duduk di samping Faezya di sofa ruang keluarga. “Dari tadi cemberut mulu, enggak ngomong-ngomong juga.”Faezya diam. Pandangannya lurus ke televisi yang menyala. “Tante sariawan, ya?” tebak Larissa. “Atau lagi sakit gigi?”Larissa cemberut. Lebih baik dia mendengarkan segala kalimat pedas tantenya daripada ucapannya tak bersambut seperti ini. Dia tidak suka kesunyian. Dan tantenya yang tak kunjung bersuara membuat rumah super besar ini berkali-kali lebih sunyi. “Tante ngomong dong!” Larissa kembali mencoba mengusik Faezya seraya menggoyangkan lengan tantenya itu. “Ica dicuekin mulu, ih!”Sebenarnya sejak selesai fitting baju, pikiran Faezya mulai kacau dan membuat fokusnya hilang. Tadi saja dia hampir menabrak sebuah motor di depannya jika tidak cep
Mama : Fae pulang kuliah jam berapa, Sayang?Tepat setelah dosen keluar, Faezya membaca chat dari mananya. Dia memasukkan bukunya lebih dulu ke dalam tas, lalu mengetikkan balasan.Faezya : Fae sudah pulang. Langsung mau jemput Ica juga.Mama : Ica hari ini dijemput Pak Rudi. Kamu tidak usah jemput.Faezya bersorak dalam hati, tetapi hanya bertahan beberapa detik sebelum chat dari mamanya kembali masuk.Mama : Kamu langsung ke butik Syariah aja. Mama bakal kirim lokasinya. Sudah ada ibunya Gaffi tunggu kamu di sana buat fitting baju. Datang ya, Sayang.Faezya berdecak malas. Dia membalas dengan satu kata singkat.Faezya : Ya.Mama : (send a location.)Faezya menatap layar ponselnya. Alamat butik itu cukup jauh dari kampusnya. Lekas dia memakai tasnya dan bersiap pergi.“Lo langsung pulang, Fae?Faezya menoleh pada Sabella yang duduk di seberangnya. Kepalanya mengangguk.“Lah, padahal Clara mau traktir kita katanya di kantin fakultasnya,” ujar Sabella.“Skip dulu gue.”“Skip mulu kerja
“Apa? Dilamar?”Pekikan nyaring dari tiga orang gadis di salah satu meja paling sudut menarik perhatian para pengunjung lain di kafe ini. Faezya mendesis, melirik sekitarnya dengan wajah menahan malu. Sementara itu Sabella, Rebecca, dan Clara hanya menyengir seraya menangkupkan tangan sebagai permohonan maaf karena mengganggu ketenangan pengunjung lain.“Enggak usah teriak, Bego! Bikin malu aja lo semua,” kesal Faezya.“Namanya juga shocked,” sahut Sabella. “Lo sih tiba-tiba bilang dilamar segala.”“Udah deh, teriakan kita enggak bakal buat bill makanan mereka naik,” timpal Rebecca.Faezya memasang wajah jutek.“Lo beneran dilamar? Enggak bercanda?” tanya Clara kemudian. Masih tak percaya jika Faezya dilamar.Faezya mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan sebuah cincin sederhana yang melingkar di salah satu jarinya. “Percaya?”Mata Clara, Sabella, dan Rebecca melebar. Mereka lantas menarik tangan Faezya untuk melihat cincin itu dari dekat.“Asli, Njir,” komentar Clara, menyentuh be