Malam semakin larut. Langit tampak pekat. Daun-daun pada jejeran pohon menari diterpa embusan angin. Hanya ada suara hewan malam dari balik semak yang merobek kesunyian.
Gaffi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang menembus sunyi dan gelapnya malam. Tubuhnya terbungkus jaket hitam tebal agar liarnya angin malam tidak dapat menjamah kulitnya. Malam semakin larut dan dia baru saja pulang menghadiri pembukaan kafe seorang kerabatnya.Mata laki-laki dua puluh delapan tahun itu menyipit tajam ketika melihat sebuah mobil sedan merah terparkir di tengah jalan. Khawatir jika si pemilik adalah korban kejahatan yang marak terjadi, dia segera menurunkan laju motornya dan berhenti di belakang mobil itu.“Ah, sialan! Mobil kampret! Mending gue beli angkot!” Seorang perempuan berambut panjang tengah mengumpat sembari memukul dan menendang kap juga ban mobilnya.Mogok, ya? Pikir Gaffi.Gaffi mendekat. “Permisi, Mbak,” ucapnya pelan dan terselip keraguan di sana. Meski suaranya pelan, dia yakin perempuan itu dapat mendengarnya sebab suasana malam benar-benar sunyi.Mendengar suara Gaffi, perempuan berambut panjang itu membalikkan tubuhnya menghadap Gaffi. Refleks, Gaffi segera melangkah mundur saat melihat pakaian yang dikenakan perempuan itu. Gaun malam berpotongan pendek yang memperlihatkan bagian bahu dan dada perempuan itu. Dalam hati, Gaffi beristigfar dan meminta perlindungan kepada Tuhan.“Siapa lo?” tanya perempuan itu. Matanya memicing dan tubuhnya tampak sempoyongan. Beberapa kali dia terlihat untuk kembali berdiri tegak setelah nyaris terjatuh.Melihat gelagat perempuan itu yang aneh dan tidak seperti orang biasanya, satu hal yang tercetus dalam benak Gaffi. Perempuan itu dalam keadaan mabuk. Dan dia menjadi sedikit waswas. Ini pertama kalinya dia berhadapan dengan orang mabuk, terlebih lagi seorang perempuan. Menghela napas, dia mencoba untuk tetap tenang.“A—ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Gaffi bertanya dengan ragu. Dia tidak yakin perempuan itu bisa menangkap ucapannya dalam kondisi yang bisa dibilang tidak sadar itu.Alih-alih menjawab, perempuan itu malah terkikik membuat Gaffi terperanjat. Kaget tentu saja.“Hihihi ....” Perempuan itu sedikit menunduk, wajahnya tertutup rambutnya yang tergerai. Tiba-tiba, dia mengangkat wajah dan melotot. “Bantu apa, hah?” bentaknya garang.Gaffi kembali terkejut, jantungnya berdentum keras dan tubuhnya sedikit menegang. Saat akan menjawab, suara perempuan itu kembali terdengar.“Aduh ... pusing. Bumi berputar-putar,” keluh perempuan itu sembari memegang kepalanya yang berdenyut-denyut. Sekelilingnya terasa berputar dan kakinya sulit untuk berpijak dengan pasti. “Musiknya mana, heh? Gue mau joget, ah! Woy, musik!” Kini dia meracau, satu tangannya terangkat ke atas.Gaffi bingung sendiri. Tak tahu harus bagaimana di situasi yang baru dijumpainya kini.“Seloki ... seloki ... seloki! Satu seloki wiski! Ah, mantap! Membuat terbang ke angkasa, pikiran stres huusshhh ... empas!” Perempuan itu semakin tidak terkendali. Dia terus meracau, tangannya bergerak-gerak tak tentu arah. Beberapa kali dia hampir terjerembap akibat kehilangan keseimbangan, apalagi kakinya terbalut high heels.Rasanya Gaffi ingin segera pergi saja, tetapi dia tidak sampai hati membiarkan perempuan itu sendirian dalam kondisi seperti ini. Dia takut jika ada seseorang yang memanfaatkan keadaan perempuan itu yang mabuk, lalu melancarkan aksi kejahatan.Menghiraukan racauan perempuan itu yang masih berlanjut dan semakin melantur, dia lantas mencoba untuk menarik perhatian perempuan itu. “Mbak?”Tak ada tanggapan. Perempuan itu malah mengentak-entakkan kepalanya. Gaffi menghela napas panjang.“Mbak? Mbak dengar suara saya?”Masih tak ada tanggapan.“Mbak? Mbak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Gaffi dengan suara lebih keras dan jelas. Dan dia mengucap syukur saat perempuan itu melihat ke arahnya dan berhenti meracau.Perempuan itu mengedipkan mata, memandang lurus pada Gaffi. Kepalanya sedikit miring.“Mobilnya mogok, Mbak?” Gaffi kembali bertanya.Tak langsung menjawab, perempuan itu tampak berpikir. Kemudian, dia mengangguk dengan bibir mengerucut tampak kesal. “Mobil mogok kampret. Enggak mau jalan!” lontarnya, lalu kembali terkikik geli. “Mobilnya ngambek, Bego!”“Boleh saya periksa? Siapa tahu saya bisa bantu,” ucap Gaffi, menawarkan bantuan. Demi apa pun, dia ingin ini segera berakhir.Perempuan itu tidak menjawab. Suara ketukan high heels-nya memecah kesunyian malam yang semakin larut. Sempoyongan, dia mendekat ke arah Gaffi. Membuat mata Gaffi melebar, aroma alkohol terasa menusuk indra penciumannya. Laki-laki itu melangkah mundur, tetapi perempuan itu terus mendekat.“Stop!” seru perempuan itu sembari mengangkat tangan, menghentikan langkah Gaffi secara spontan. “Capek, ih!” Dia mencebik, kemudian memperlihatkan kunci mobilnya. “Ambil!”Gaffi memandang kunci itu penuh keraguan. “Saya boleh periksa mobilnya?”Perempuan itu mangut-mangut. “Ambil, ambil, ambil!”Gaffi menengadahkan tangan, bermaksud agar perempuan itu menjatuhkan sendiri kunci mobil itu di atas telapak tangannya. Namun, perempuan itu menggeleng seakan menyuruh Gaffi untuk mengambil sendiri. Menghela napas pelan, Gaffi mendekat. Belum sempat dia meraih kunci itu, perempuan itu malah menggenggam kunci itu dalam kepalan tangan.Tersenyum miring, pandangan perempuan itu terpancang pada Gaffi yang berdiri kaku. Dia maju satu langkah, membuat Gaffi melangkah mundur. Hingga Gaffi tersentak saat tubuhnya menubruk badan mobil. Kini dia tidak bisa lagi bergerak.Tubuh Gaffi menegang saat perempuan itu berdiri di hadapannya, begitu dekat. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Dan dia bingung, kenapa tubuhnya terasa membeku. Harusnya dia bisa menjauh dan segera pergi.“Mbak?”Perempuan itu tersenyum genit.“Istighfar, Mbak.”Gaffi lalu terdiam, memperhatikan wajah perempuan itu yang kini mengernyit seakan menahan sesuatu. Tak ada lagi senyum genit di sana, bibir perempuan itu terkatup rapat. Hingga kemudian ....“Huek ....”Perempuan itu memuntahkan isi perutnya dengan cepat. Mata Gaffi terbelalak. Napasnya tertahan dan dia memejamkan mata saat melihat sepatunya terkena muntahan perempuan itu. Dan dia semakin tidak bergerak.“Ups ... sorry.” Perempuan itu mengusap bibirnya sembari terkekeh. Perutnya tiba-tiba terasa dikocok dan dia benar-benar tidak bisa menahan untuk tidak mengeluarkan isi perutnya yang bergejolak itu.Kembali Gaffi memandang sepatunya yang terkena muntahan. Keningnya berkerut, lalu dia menghela napas panjang. Mungkin dia harus mencari sumber air terdekat untuk membersihkan sepatunya lebih dulu. Tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini selain pasrah, toh perempuan itu juga tidak sepenuhnya sadar.Sesaat kemudian, Gaffi mengangkat wajah dan mendapati perempuan itu menyengir lebar hingga deretan giginya terlihat. Tak ada raut bersalah di sana. Kepala Gaffi menggeleng, tentu saja perempuan itu tidak merasa bersalah di saat mabuk seperti ini.Mulut Gaffi terbuka hendak bersuara, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan saat tiba-tiba perempuan itu menubruk tubuhnya. Spontan, dia menahan kedua pundak perempuan itu agar tidak terjerembap di tanah. Sedikit menunduk, perempuan itu menatapnya dengan mata mengerjap-ngerjap, lalu tersenyum.“Ganteng.”Lalu, perempuan itu kehilangan kesadarannya.“Gue diperkosa.”Seorang perempuan terduduk di atas kasur sembari meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Detak jantungnya tak beraturan dan rasa takut kian menyerangnya.Betapa terkejutnya dia ketika bangun di sebuah kamar asing dengan gaun yang membungkus tubuhnya melorot. Awalnya, dia masih mencoba untuk berpikir positif, tetapi keadaan kasur yang berantakan dan sebuah jaket hitam yang tergeletak membuat pikirannya kacau.Beberapa menit dia mencoba untuk menggali ingatan perihal apa yang terjadi. Namun, hanya sepenggal kejadian yang dapat dia ingat. Dia pergi ke klub malam dan minum hingga lupa diri untuk menghilangkan stres. Lalu, berniat pulang dengan berkendara seorang diri, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok. Dan tak lama, seorang laki-laki menghampirinya.“Bangsat!” Perempuan itu mengumpat, mencoba untuk mengingat sosok laki-laki yang dia duga telah membawanya ke sini dan melecehkannya. “Cowok setan itu pasti yang lakuin semua ini.” Matanya memerah dan dia semakin kuat meremas se
Dari dalam mobil, Faezya memandang rumah megah dengan gerbang yang menjulang tinggi. Jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi mobil. Raut wajahnya tampak dihinggapi kegelisahan. Dia menopang dagunya pada jendela mobil yang terbuka.Pada detik berikutnya, dia terperanjat ketika tiba-tiba gerbang rumah itu terbuka. Baru saja dia hendak menutup kaca mobil saat seorang pria paruh baya keluar dari sana sembari membawa kantong plastik hitam besar yang kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah berhasil mengurungkan niatnya. Pria paruh baya yang sangat Faezya kenali.Buru-buru Faezya turun saat pria paruh baya itu hendak kembali masuk ke dalam.“Pak Rudi!” teriak Faezya, keluar dari mobil.Mendengar namanya dipanggil, Pak Rudi—sopir pribadi keluarga Faezya—berbalik badan. Matanya melebar ketika melihat Faezya menghampirinya. “Non Fae?” Pak Rudi berseru seakan tak percaya jika anak majikannya yang sejak semalam tidak pulang kini berada di hadapannya. “Non dari mana saja, Non? Bapak sama Ibu Non seja
“Faezya, Sayang! Anak Mama!”Faezya menoleh ketika suara melengking mamanya terdengar. Entah dia harus bersyukur atau tidak atas kehadiran mamanya yang berhasil menginterupsi ucapan papanya. Dia juga malas meladeni kecerewetan mamanya.“Anak mama!”Faezya mendengkus ketika Yuni—mamanya—memeluknya erat hingga napasnya terasa ditekan.“Sesak, Mah,” keluh Faezya.Yuni melepas pelukannya. “Maaf, Sayang. Mama terlalu kangen sama kamu,” ujarnya, lalu menangkup wajah putrinya. “Kamu ke mana aja? Mama khawatir banget. Mama sama Papa telepon, kok, enggak diangkat?”Faezya melepas tangan Yuni dari wajahnya, lalu berkata, “Fae habis kerja tugas, Mah. Enggak pegang hp biar tugasnya cepat kelar.”“Kerja tugas?” cibir Wirawan. Perhatian Yuni dan Faezya beralih pada pria itu. Wirawan tersenyum remeh pada Faezya. “Mana laptop kamu? Mana buku kamu?” cecarnya sembari melirik sling bag Faezya yang hanya bisa menampung dompet dan ponsel.Sialan! Ini semua karena Pak Rudi cepu! Faezya menggigit bibir baw
Bersamaan dengan bel istirahat berbunyi, Gaffi segera menyudahi proses belajar mengajar mata pelajarannya. Setelah memberi tugas rumah kepada para anak muridnya, dia bergegas keluar kelas. Sesekali dia tersenyum ramah sembari membalas sapaan beberapa murid saat melewati koridor kelas menuju ruang guru. Menjadi salah satu guru yang masih terbilang muda di sekolah menengah pertama membuat beberapa anak didiknya tak segan untuk menyapa ataupun melempar lelucon kepadanya. Gaffi pun menanggapinya dengan senyum ataupun tawa kecil. Interaksi seperti itu dia jadikan sebagai sarana pendekatan kepada para anak didiknya yang memasuki usia remaja itu. Dia tidak ingin anak muridnya menjadi canggung atau pun memiliki rasa takut kepadanya. Sebab baginya rasa hormat dan takut itu sangat berbeda.“Enggak makan lo?”Gaffi menoleh pada Zaki yang bersebelahan meja dengannya. Keadaan ruang guru kini cukup sepi, hanya ada beberapa guru senior yang duduk dan masih sibuk di meja masing-masing meski telah ma
4Queen 👑Sabella : Lo ke mana, Kampret? Kita nyariin lo.Clara : Abis berapa botol lo, Fae? Tiba-tiba ngilang enggak jelas, Anjir.Sabella : Tiga botol ada kali dihajar sama dia.Rebecca : Where are you, Fae? Are you okay? Call me if you need something.Sabella : Woy, Fae! Bener ngilang lo? Ngamar sama siapa lo, Njir?Clara : Lah sialan, bokap lo telepon gue, Fae!Sabella : Gue juga! Woy, muncul lo, Fae! Bokap lo teror kita, Sialan!Rebecca : Lol 🤣Clara : Sialan lo, Re. Mentang-mentang bokapnya enggak tahu nomor lo.Sabella : Bule kampret emang. Rebecca : Queen mau sleep dulu. Byeeeee!Rebecca : Fae, don’t forget call me, Baby. Okay? Muacchhhh ....Clara : Hueeekkk ... Jijik banget muach, muach ...Sabella : Kepada saudari Faezya, harap mengangkat telepon gue!Clara : Tepar dia pasti.Sabella : Habis malam pertama maksud lo?Clara : Hahaha .... pecah telur.Sabella : Bego lo!Sabella : Angkat telpon gue, Fae!Sabella : Telpon gue kalau lo udah waras! Faezya tertawa saat membaca k
“Uuh ... so sexy.”Faezya tersenyum puas memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Dress sabrina putih membalut tubuhnya dengan sangat sempurna. Rambutnya yang bergelombang di bagian bawah dibiarkan tergerai indah. Untuk ke sekian kalinya dia takjub akan kecantikan dan kesempurnaan tubuhnya. Setelah selesai dengan urusan penampilan, Faezya beranjak hendak mengambil kunci mobil. Namun, dia mengernyit ketika tidak menemukan kunci mobilnya di atas nakas. Faezya diam, mencoba untuk mengingat di mana kunci mobilnya. Sesaat kemudian mendecakkan lidah ketika mengingat jika kunci mobilnya berada di Pak Rudi. Padahal tadi pagi dia sendiri yang memberikannya dan menyuruh Pak Rudi memasukkan mobilnya ke garasi.Hari semakin sore, dia ada janji dengan para sahabatnya untuk ke salon. Jangan sampai dia terlambat dan berujung mendengar celotehan para sahabatnya itu.“Bi, Pak Rudi mana?” tanya Faezya ketika Bi Siti lewat di hadapannya.“Non Pae. Cantik banget.” Bi Siti tersenyum, lalu kembali
Faezya diam.“Faezya, Sayang, buka dulu pintunya. Kita bicara, ya, Nak?”“Sayang.”Daripada membukakan pintu untuk mamanya, Faezya memilih masuk ke dalam selimutnya. Dia juga menutup telinga dengan bantal. Membiarkan mamanya terus memanggil. Jika dulu dia yang selalu diabaikan maka kini biarkan dia yang mengabaikan. Dia ingin orang tuanya tahu rasa sakit akan pengabaian itu seperti apa.“Faezya, Mama sayang kamu.”🥀🥀🥀Jarum jam telah menunjuk angka sepuluh malam ketika Gaffi baru saja selesai merekap nilai harian para muridnya. Melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di batang hidungnya, dia lalu merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku sebab cukup lama berkutat dengan laptop. Merasa tenggorokannya kering, dia baru saja akan beranjak ke dapur ketika ponselnya berdering.“Assalamualaikum, Bang.” Suara lembut ibunya menyambut ketika dia mengangkat dan menempelkan ponsel ke telinga. Rasa rindu perlahan merasuk di hatinya hanya dengan mendengar suara wanita yang paling dicintain
Terhitung sudah tiga hari Faezya membolos kuliah. Selama itu dia hanya mengurung diri di kamar dan akan makan jika Bi Siti mengantarkan makanan ke kamar. Hal itu sengaja dia lakukan, berharap agar papa atau mamanya dapat iba dan mengembalikan kunci mobil yang disita itu. Namun, hingga hari ketiga, tidak ada tanda-tanda kunci mobilnya akan dikembalikan. Baik papa atau pun mamanya terlihat cuek, bahkan tidak menanyakan kondisinya yang bisa saja berbuat nekat di kamar. Mengingat itu, Faezya semakin ingin tertawa saja. Mana kata peduli dan sayang yang sempat keduanya agung-agungkan itu? Begitukah bentuk peduli dan sayang?Omong kosong! Tak sanggup lagi mendekam dan diselimuti rasa bosan, Faezya memutuskan untuk kuliah hari ini. Sebelum jam tujuh, dia sudah rapi dan siap berangkat. Padahal, jika kuliah pagi biasanya dia akan membolos atau pun datang terlambat, tapi khusus hari ini dia ingin segera sampai di kampus. Daripada harus terus terkurung di sini yang berpotensi membuatnya gila se