Share

Istri Muda Guru Alim
Istri Muda Guru Alim
Penulis: Zeee

Perempuan mabuk

Malam semakin larut. Langit tampak pekat. Daun-daun pada jejeran pohon menari diterpa embusan angin. Hanya ada suara hewan malam dari balik semak yang merobek kesunyian.

Gaffi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang menembus sunyi dan gelapnya malam. Tubuhnya terbungkus jaket hitam tebal agar liarnya angin malam tidak dapat menjamah kulitnya. Malam semakin larut dan dia baru saja pulang menghadiri pembukaan kafe seorang kerabatnya.

Mata laki-laki dua puluh delapan tahun itu menyipit tajam ketika melihat sebuah mobil sedan merah terparkir di tengah jalan. Khawatir jika si pemilik adalah korban kejahatan yang marak terjadi, dia segera menurunkan laju motornya dan berhenti di belakang mobil itu.

“Ah, sialan! Mobil kampret! Mending gue beli angkot!”

 Seorang perempuan berambut panjang tengah mengumpat sembari memukul dan menendang kap juga ban mobilnya.

Mogok, ya? Pikir Gaffi.

Gaffi mendekat. “Permisi, Mbak,” ucapnya pelan dan terselip keraguan di sana. Meski suaranya pelan, dia yakin perempuan itu dapat mendengarnya sebab suasana malam benar-benar sunyi.

Mendengar suara Gaffi, perempuan berambut panjang itu membalikkan tubuhnya menghadap Gaffi. Refleks, Gaffi segera melangkah mundur saat melihat pakaian yang dikenakan perempuan itu. Gaun malam berpotongan pendek yang memperlihatkan bagian bahu dan dada perempuan itu. Dalam hati, Gaffi beristigfar dan meminta perlindungan kepada Tuhan.

“Siapa lo?” tanya perempuan itu. Matanya memicing dan tubuhnya tampak sempoyongan. Beberapa kali dia terlihat untuk kembali berdiri tegak setelah nyaris terjatuh.

Melihat gelagat perempuan itu yang aneh dan tidak seperti orang biasanya, satu hal yang tercetus dalam benak Gaffi. Perempuan itu dalam keadaan mabuk. Dan dia menjadi sedikit waswas. Ini pertama kalinya dia berhadapan dengan orang mabuk, terlebih lagi seorang perempuan. Menghela napas, dia mencoba untuk tetap tenang.

“A—ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Gaffi bertanya dengan ragu. Dia tidak yakin perempuan itu bisa menangkap ucapannya dalam kondisi yang bisa dibilang tidak sadar itu.

Alih-alih menjawab, perempuan itu malah terkikik membuat Gaffi terperanjat. Kaget tentu saja.

“Hihihi ....” Perempuan itu sedikit menunduk, wajahnya tertutup rambutnya yang tergerai. Tiba-tiba, dia mengangkat wajah dan melotot. “Bantu apa, hah?” bentaknya garang.

Gaffi kembali terkejut, jantungnya berdentum keras dan tubuhnya sedikit menegang. Saat akan menjawab, suara perempuan itu kembali terdengar.

“Aduh ... pusing. Bumi berputar-putar,” keluh perempuan itu sembari memegang kepalanya yang berdenyut-denyut. Sekelilingnya terasa berputar dan kakinya sulit untuk berpijak dengan pasti. “Musiknya mana, heh? Gue mau joget, ah! Woy, musik!” Kini dia meracau, satu tangannya terangkat ke atas.

Gaffi bingung sendiri. Tak tahu harus bagaimana di situasi yang baru dijumpainya kini.

“Seloki ... seloki ... seloki! Satu seloki wiski! Ah, mantap! Membuat terbang ke angkasa, pikiran stres huusshhh ... empas!” Perempuan itu semakin tidak terkendali. Dia terus meracau, tangannya bergerak-gerak tak tentu arah. Beberapa kali dia hampir terjerembap akibat kehilangan keseimbangan, apalagi kakinya terbalut high heels.

Rasanya Gaffi ingin segera pergi saja, tetapi dia tidak sampai hati membiarkan perempuan itu sendirian dalam kondisi seperti ini. Dia takut jika ada seseorang yang memanfaatkan keadaan perempuan itu yang mabuk, lalu melancarkan aksi kejahatan.

Menghiraukan racauan perempuan itu yang masih berlanjut dan semakin melantur, dia lantas mencoba untuk menarik perhatian perempuan itu. “Mbak?”

Tak ada tanggapan. Perempuan itu malah mengentak-entakkan kepalanya. Gaffi menghela napas panjang.

“Mbak? Mbak dengar suara saya?”

Masih tak ada tanggapan.

“Mbak? Mbak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Gaffi dengan suara lebih keras dan jelas. Dan dia mengucap syukur saat perempuan itu melihat ke arahnya dan berhenti meracau.

Perempuan itu mengedipkan mata, memandang lurus pada Gaffi. Kepalanya sedikit miring.

“Mobilnya mogok, Mbak?” Gaffi kembali bertanya.

Tak langsung menjawab, perempuan itu tampak berpikir. Kemudian, dia mengangguk dengan bibir mengerucut tampak kesal. “Mobil mogok kampret. Enggak mau jalan!” lontarnya, lalu kembali terkikik geli. “Mobilnya ngambek, Bego!”

“Boleh saya periksa? Siapa tahu saya bisa bantu,” ucap Gaffi, menawarkan bantuan. Demi apa pun, dia ingin ini segera berakhir.

Perempuan itu tidak menjawab. Suara ketukan high heels-nya memecah kesunyian malam yang semakin larut. Sempoyongan, dia mendekat ke arah Gaffi. Membuat mata Gaffi melebar, aroma alkohol terasa menusuk indra penciumannya. Laki-laki itu melangkah mundur, tetapi perempuan itu terus mendekat.

“Stop!” seru perempuan itu sembari mengangkat tangan, menghentikan langkah Gaffi secara spontan. “Capek, ih!” Dia mencebik, kemudian memperlihatkan kunci mobilnya. “Ambil!”

Gaffi memandang kunci itu penuh keraguan. “Saya boleh periksa mobilnya?”

Perempuan itu mangut-mangut. “Ambil, ambil, ambil!”

Gaffi menengadahkan tangan, bermaksud agar perempuan itu menjatuhkan sendiri kunci mobil itu di atas telapak tangannya. Namun, perempuan itu menggeleng seakan menyuruh Gaffi untuk mengambil sendiri. Menghela napas pelan, Gaffi mendekat. Belum sempat dia meraih kunci itu, perempuan itu malah menggenggam kunci itu dalam kepalan tangan.

Tersenyum miring, pandangan perempuan itu terpancang pada Gaffi yang berdiri kaku. Dia maju satu langkah, membuat Gaffi melangkah mundur. Hingga Gaffi tersentak saat tubuhnya menubruk badan mobil. Kini dia tidak bisa lagi bergerak.

Tubuh Gaffi menegang saat perempuan itu berdiri di hadapannya, begitu dekat. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Dan dia bingung, kenapa tubuhnya terasa membeku. Harusnya dia bisa menjauh dan segera pergi.

“Mbak?”

Perempuan itu tersenyum genit.

“Istighfar, Mbak.”

Gaffi lalu terdiam, memperhatikan wajah perempuan itu yang kini mengernyit seakan menahan sesuatu. Tak ada lagi senyum genit di sana, bibir perempuan itu terkatup rapat. Hingga kemudian ....

“Huek ....”

Perempuan itu memuntahkan isi perutnya dengan cepat. Mata Gaffi terbelalak. Napasnya tertahan dan dia memejamkan mata saat melihat sepatunya terkena muntahan perempuan itu. Dan dia semakin tidak bergerak.

“Ups ... sorry.” Perempuan itu mengusap bibirnya sembari terkekeh. Perutnya tiba-tiba terasa dikocok dan dia benar-benar tidak bisa menahan untuk tidak mengeluarkan isi perutnya yang bergejolak itu.

Kembali Gaffi memandang sepatunya yang terkena muntahan. Keningnya berkerut, lalu dia menghela napas panjang. Mungkin dia harus mencari sumber air terdekat untuk membersihkan sepatunya lebih dulu. Tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini selain pasrah, toh perempuan itu juga tidak sepenuhnya sadar.

Sesaat kemudian, Gaffi mengangkat wajah dan mendapati perempuan itu menyengir lebar hingga deretan giginya terlihat. Tak ada raut bersalah di sana. Kepala Gaffi menggeleng, tentu saja perempuan itu tidak merasa bersalah di saat mabuk seperti ini.

Mulut Gaffi terbuka hendak bersuara, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan saat tiba-tiba perempuan itu menubruk tubuhnya. Spontan, dia menahan kedua pundak perempuan itu agar tidak terjerembap di tanah. Sedikit menunduk, perempuan itu menatapnya dengan mata mengerjap-ngerjap, lalu tersenyum.

“Ganteng.”

Lalu, perempuan itu kehilangan kesadarannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status