Share

Ketahuan

Dari dalam mobil, Faezya memandang rumah megah dengan gerbang yang menjulang tinggi. Jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi mobil. Raut wajahnya tampak dihinggapi kegelisahan. Dia menopang dagunya pada jendela mobil yang terbuka.

Pada detik berikutnya, dia terperanjat ketika tiba-tiba gerbang rumah itu terbuka. Baru saja dia hendak menutup kaca mobil saat seorang pria paruh baya keluar dari sana sembari membawa kantong plastik hitam besar yang kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah berhasil mengurungkan niatnya. Pria paruh baya yang sangat Faezya kenali.

Buru-buru Faezya turun saat pria paruh baya itu hendak kembali masuk ke dalam.

“Pak Rudi!” teriak Faezya, keluar dari mobil.

Mendengar namanya dipanggil, Pak Rudi—sopir pribadi keluarga Faezya—berbalik badan. Matanya melebar ketika melihat Faezya menghampirinya.

“Non Fae?” Pak Rudi berseru seakan tak percaya jika anak majikannya yang sejak semalam tidak pulang kini berada di hadapannya. “Non dari mana saja, Non? Bapak sama Ibu Non sejak semalam nyariin dan khawatir sama Non Fae yang tidak pulang-pulang.”

Faezya menyelipkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinga sembari menyengir. “Biasa lah, Pak. Anak muda,” katanya santai.

Tanpa dijelaskan lebih lanjut, Pak Rudi langsung paham maksud perkataan anak majikannya itu. Meski tidak semua, pergaulan anak muda zaman sekarang memang cukup terbilang bebas. Apalagi untuk kota besar dan kalangan ke atas. Kelab malam dan party adalah hal yang biasa buat mereka.

Sedikit menelengkan kepala untuk melihat ke arah dalam gerbang, Faezya bertanya sedikit waswas, “Papa udah ke kantor belum, Pak? Kalau saya masuk, aman, kan?”

Pak Rudi mengernyit, lalu terkekeh pelan. “Yah, aman toh, Non. Kecuali kalau Non masuk rumah orang, baru tidak aman," katanya. "Kalau Pak Bos belum berangkat. Saja aja masih di sini, Non."

Faezya yang masih celingukan, lantas menegakkan tubuhnya. Dia mendesis kesal. “Maksud saya, kalau saya masuk Papa bakal lihat, enggak?”

“Kalau lewat depan Pak Bos, ya ... pasti lihat dong, Non.”

Faezya menggeram. Giginya bergemeletuk. Bagaimana mungkin papanya menjadikan Pak Rudi sopir kesayangan sekaligus orang kepercayaan? Bahkan, papanya lebih percaya pada Pak Rudi dibanding dirinya.

Menghela napas dan mencoba untuk bersabar, Faezya bertanya dengan geregetan, “Jadi, saya harus lewat mana biar Papa enggak lihat? Apakah Pak Rudi memiliki ide, hm?” Faezya lalu tersenyum, terlihat sangat dipaksakan.

Sejenak Pak Rudi terdiam, tampak berpikir. Saat tercetus ide dalam kepalanya, dia lantas memandang anak majikannya itu. “Non Fae bisa lewat pintu belakang. Pasti aman, Non.”

Seringai Faezya terbit. Kini Faezya tahu kenapa papanya sangat mempercayai Pak Rudi, meski menyebalkan, Pak Rudi sangat bisa diandalkan di situasi mendesak seperti ini.

Tak ingin membuang waktu lagi, Faezya langsung memberikan kunci mobilnya ke Pak Rudi.

“Jangan lupa ditutup,” ucap Faezya dan berlalu.

Pak Rudi memandang kunci di tangannya. Sesaat kemudian, dia berjalan menuju mobil Faezya. Saat akan membuka pintu mobil, dia tiba-tiba menepuk keningnya ketika teringat sesuatu. Cepat dia meraih ponsel dari saku bajunya.

“Hampir aja lupa! Pak Bos tadi kan bilang langsung lapor kalau Non Fae pulang.”

🍁🍁🍁

Faezya menghela napas lega ketika akhirnya dia berdiri di depan pintu yang terhubung dengan dapur kotor setelah mengendap-endap menyusuri halaman rumah yang sangat luas dengan jantung yang berpacu cepat.

Tangannya terangkat hendak meraih gagang pintu ketika sebuah tangan mampir ke pundaknya. Tubuhnya menegang. Napasnya tertahan. Matanya terpejam.

Apalagi ini, Ya Tuhan?

Menelan salivanya setelah meloloskan napas yang sempat tertahan, Faezya berbalik badan.

“Non Pae?”

“Bibi!” Faezya berseru kesal, tetapi juga merasa lega. “Bikin jantungan tau enggak!”

Bi Siti—salah satu asisten rumah tangga keluarganya—menyengir. Bekerja puluhan tahun membuatnya cukup dekat dengan anak majikannya ini.

“Maaf, Non. Bibi bingung tadi lihat Non Pae ngendap-ngendap,” jelas Bi Siti. Faezya mendengkus ketika Bi Siti selalu saja menyebut namanya dengan ‘Pae’, bukan Fae. “Kenapa tidak lewat pintu depan, Non? Dapur masih kotor, Bibi abis buat sarapan.”

“Papa lagi sarapan?” tanya Faezya mengabaikan pertanyaan Bi Siti.

“Belum, Non. Tadi Bibi lihat lagi di ruang keluarga.”

“Oh, gitu. Faezya masuk dulu ya, Bi.”

Sebelum Faezya masuk, Bi Siti lebih dulu bertanya, “Non dari mana aja? Semalam Pak Wirawan sama Bu Yuni cariin, loh.”

Faezya menatap Bi Siti sembari menaik-turunkan alisnya. “Abis ajeb-ajeb.”

“Ajeb-ajeb? Itu apaan, Non?” Bi Siti bertanya, keningnya berkerut dalam.

Faezya memutar bola matanya, sadar jika dia sedang berbicara dengan orang tua. “Senam, Bi, biar sehat!” serunya, lalu masuk ke dalam meninggalkan Bi Siti yang masih berdiri dengan raut bingung.

“Senam opo toh malam-malam?”

🍁🍁🍁

Faezya menggerutu kesal ketika lift yang akan membawanya ke lantai tiga—tempat kamarnya berada—tak kunjung terbuka. Dia menggigit bibir bawahnya, mulai panik. Takut jika papa dan mamanya melihat keberadaanya kini. Badannya terasa lelah, jadi bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan papa atau pun mamanya. Setidaknya dia butuh tidur sejenak untuk mendapatkan kembali energinya.

Dentingan lift menyentaknya. Buru-buru dia hendak melangkah masuk ketika perlahan pintu lift terbuka. Namun, kakinya tiba-tiba tak bergerak. Tubuhnya serasa membeku melihat siapa yang berdiri di dalam lift itu.

Mampus gue!

Faezya melangkah mundur, lalu berbalik badan bersiap untuk kabur.

“Berhenti!”

Refleks, Faezya berhenti. Kali ini dia tidak bisa kabur.

“Ikut Papa!”

Faezya menatap punggung papanya yang baru saja melewatinya. Berdecak kesal, dia lantas menyusul papanya ke ruang keluarga dengan ogah-ogahan.

Pak Rudi kampret! Faezya menggerutu, dia yakin jika Pak Rudi yang telah memberitahu keberadaannya.

“Dari mana kamu?”

Wirawan—papa Faezya—kini duduk di single sofa ruang keluarga. Matanya menatap tajam sang putri yang berdiri di hadapannya sembari menunduk.

Faezya mendongak. Membalas tatapan papanya. Walaupun usianya hampir setengah abad, tetapi papanya masih terlihat begitu gagah dan penuh wibawa. Faezya cukup kagum akan hal itu.

“Papa tanya, dari mana saja kamu?” Wirawan kembali bertanya saat Faezya hanya diam.

Faezya berdeham. Tenggorokannya terasa begitu kering. Mungkin karena alkohol yang dia tenggak semalam. Dia butuh air.

“Apa pantas perempuan keluyuran sampai pagi, Faezya?” tanya Wirawan tegas. Kepalanya menggeleng, tak habis pikir dengan tingkah sang putri yang semakin menjadi. “Bisa kamu sehari saja diam di rumah?”

Faezya memutar bola matanya. Dia lalu menguap. Tiba-tiba dia merasa mengantuk. Telinganya juga berdengung. Dia butuh kasur, bukan khotbah pagi .

“Kamu dengar Papa, tidak?” sentak Wirawan sebab Faezya terus saja diam dan seperti mengabaikan perkataannya.

“Fae masih punya telinga. Ya, kali, enggak dengar,” balas Faezya santai tanpa mengindahkan yang namanya sopan santun.

Wirawan menggeram. Emosi yang sejak semalam dia tahan, mencuat begitu saja. “Berani kamu bicara seperti itu-“

“Faezya, Sayang! Anak Mama!”

....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status