Dekorasi serba putih telah menghiasi rumah megah Wirawan. Sejak pagi, para keluarga dari kedua belah pihak telah berdatangan untuk menyaksikan langsung proses akad nikah Gaffi dan Faezya yang akan berlangsung pada pagi.Di depan Wirawan dan penghulu, serta para tamu yang duduk di belakangnya di ruang tamu ini, Gaffi duduk dengan perasaan gugup. Jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya mulai terasa dingin dan basah. Air mukanya terlihat sangat tegang. Doa dan selawat tak henti dia lantunkan dalam hati agar merasa lebih tenang.Nasihat-nasihat pernikahan yang disampaikan Pak Penghulu didengarnya dengan saksama sebagai bagian dari bekalnya kelak. Berharap dia bisa mengamalkan nasihat itu dan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan amanah.“Bagaimana? Sudah siap?”Pertanyaan Pak Penghulu menyentak Gaffi. Debar jantungnya semakin menggila. Menghela napas panjang, Gaffi melirik ayah dan adiknya yang memberinya semangat lewat anggukan kepala.“Insya Allah, saya siap,” kata Gaffi lantang.
Hotel berbintang dengan dekorasi mewah ala kerajaan. Balutan gaun indah bak Cinderalla. Pesta dansa dengan iringan lagu romantis. Wedding cake bertingkat. Lupakan semua itu, karena yang terjadi pada pernikahan Faezya justru sebaliknya.Diadakan di halaman belakang rumahnya yang telah disulap sedemikian rupa, suasana resepsi pernikahan Gaffi dan Faezya terkesan sederhana, tetapi tetap meninggalkan kesan elegan dan kekeluargaan. Kebaya akad yang digunakan Faezya telah berganti dengan gaun pilihan Aminah. Tak ketinggalan hijab yang menyembunyikan rambut indahnya.Faezya melirik Gaffi yang berdiri di sampingnya di pelaminan. Senyum laki-laki itu sejak tadi tak pernah luntur. Laki-laki itu tampak begitu bahagia. Sangat berbeda dengannya yang sejak tadi memasang raut wajah dongkol.“Ya Allah ... lo beneran nikah?”Faezya mengalihkan perhatiannya pada sosok laki-laki di hadapan Gaffi. Laki-laki itu berseru heboh sembari meninju pelan lengan Gaffi. Mereka terlihat akrab. Faezya menduga jika d
Malam semakin larut. Langit tampak pekat. Daun-daun pada jejeran pohon menari diterpa embusan angin. Hanya ada suara hewan malam dari balik semak yang merobek kesunyian. Gaffi mengendarai motornya dengan kecepatan sedang menembus sunyi dan gelapnya malam. Tubuhnya terbungkus jaket hitam tebal agar liarnya angin malam tidak dapat menjamah kulitnya. Malam semakin larut dan dia baru saja pulang menghadiri pembukaan kafe seorang kerabatnya.Mata laki-laki dua puluh delapan tahun itu menyipit tajam ketika melihat sebuah mobil sedan merah terparkir di tengah jalan. Khawatir jika si pemilik adalah korban kejahatan yang marak terjadi, dia segera menurunkan laju motornya dan berhenti di belakang mobil itu.“Ah, sialan! Mobil kampret! Mending gue beli angkot!” Seorang perempuan berambut panjang tengah mengumpat sembari memukul dan menendang kap juga ban mobilnya. Mogok, ya? Pikir Gaffi.Gaffi mendekat. “Permisi, Mbak,” ucapnya pelan dan terselip keraguan di sana. Meski suaranya pelan, dia ya
“Gue diperkosa.”Seorang perempuan terduduk di atas kasur sembari meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Detak jantungnya tak beraturan dan rasa takut kian menyerangnya.Betapa terkejutnya dia ketika bangun di sebuah kamar asing dengan gaun yang membungkus tubuhnya melorot. Awalnya, dia masih mencoba untuk berpikir positif, tetapi keadaan kasur yang berantakan dan sebuah jaket hitam yang tergeletak membuat pikirannya kacau.Beberapa menit dia mencoba untuk menggali ingatan perihal apa yang terjadi. Namun, hanya sepenggal kejadian yang dapat dia ingat. Dia pergi ke klub malam dan minum hingga lupa diri untuk menghilangkan stres. Lalu, berniat pulang dengan berkendara seorang diri, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok. Dan tak lama, seorang laki-laki menghampirinya.“Bangsat!” Perempuan itu mengumpat, mencoba untuk mengingat sosok laki-laki yang dia duga telah membawanya ke sini dan melecehkannya. “Cowok setan itu pasti yang lakuin semua ini.” Matanya memerah dan dia semakin kuat meremas se
Dari dalam mobil, Faezya memandang rumah megah dengan gerbang yang menjulang tinggi. Jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi mobil. Raut wajahnya tampak dihinggapi kegelisahan. Dia menopang dagunya pada jendela mobil yang terbuka.Pada detik berikutnya, dia terperanjat ketika tiba-tiba gerbang rumah itu terbuka. Baru saja dia hendak menutup kaca mobil saat seorang pria paruh baya keluar dari sana sembari membawa kantong plastik hitam besar yang kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah berhasil mengurungkan niatnya. Pria paruh baya yang sangat Faezya kenali.Buru-buru Faezya turun saat pria paruh baya itu hendak kembali masuk ke dalam.“Pak Rudi!” teriak Faezya, keluar dari mobil.Mendengar namanya dipanggil, Pak Rudi—sopir pribadi keluarga Faezya—berbalik badan. Matanya melebar ketika melihat Faezya menghampirinya. “Non Fae?” Pak Rudi berseru seakan tak percaya jika anak majikannya yang sejak semalam tidak pulang kini berada di hadapannya. “Non dari mana saja, Non? Bapak sama Ibu Non seja
“Faezya, Sayang! Anak Mama!”Faezya menoleh ketika suara melengking mamanya terdengar. Entah dia harus bersyukur atau tidak atas kehadiran mamanya yang berhasil menginterupsi ucapan papanya. Dia juga malas meladeni kecerewetan mamanya.“Anak mama!”Faezya mendengkus ketika Yuni—mamanya—memeluknya erat hingga napasnya terasa ditekan.“Sesak, Mah,” keluh Faezya.Yuni melepas pelukannya. “Maaf, Sayang. Mama terlalu kangen sama kamu,” ujarnya, lalu menangkup wajah putrinya. “Kamu ke mana aja? Mama khawatir banget. Mama sama Papa telepon, kok, enggak diangkat?”Faezya melepas tangan Yuni dari wajahnya, lalu berkata, “Fae habis kerja tugas, Mah. Enggak pegang hp biar tugasnya cepat kelar.”“Kerja tugas?” cibir Wirawan. Perhatian Yuni dan Faezya beralih pada pria itu. Wirawan tersenyum remeh pada Faezya. “Mana laptop kamu? Mana buku kamu?” cecarnya sembari melirik sling bag Faezya yang hanya bisa menampung dompet dan ponsel.Sialan! Ini semua karena Pak Rudi cepu! Faezya menggigit bibir baw
Bersamaan dengan bel istirahat berbunyi, Gaffi segera menyudahi proses belajar mengajar mata pelajarannya. Setelah memberi tugas rumah kepada para anak muridnya, dia bergegas keluar kelas. Sesekali dia tersenyum ramah sembari membalas sapaan beberapa murid saat melewati koridor kelas menuju ruang guru. Menjadi salah satu guru yang masih terbilang muda di sekolah menengah pertama membuat beberapa anak didiknya tak segan untuk menyapa ataupun melempar lelucon kepadanya. Gaffi pun menanggapinya dengan senyum ataupun tawa kecil. Interaksi seperti itu dia jadikan sebagai sarana pendekatan kepada para anak didiknya yang memasuki usia remaja itu. Dia tidak ingin anak muridnya menjadi canggung atau pun memiliki rasa takut kepadanya. Sebab baginya rasa hormat dan takut itu sangat berbeda.“Enggak makan lo?”Gaffi menoleh pada Zaki yang bersebelahan meja dengannya. Keadaan ruang guru kini cukup sepi, hanya ada beberapa guru senior yang duduk dan masih sibuk di meja masing-masing meski telah ma
4Queen 👑Sabella : Lo ke mana, Kampret? Kita nyariin lo.Clara : Abis berapa botol lo, Fae? Tiba-tiba ngilang enggak jelas, Anjir.Sabella : Tiga botol ada kali dihajar sama dia.Rebecca : Where are you, Fae? Are you okay? Call me if you need something.Sabella : Woy, Fae! Bener ngilang lo? Ngamar sama siapa lo, Njir?Clara : Lah sialan, bokap lo telepon gue, Fae!Sabella : Gue juga! Woy, muncul lo, Fae! Bokap lo teror kita, Sialan!Rebecca : Lol 🤣Clara : Sialan lo, Re. Mentang-mentang bokapnya enggak tahu nomor lo.Sabella : Bule kampret emang. Rebecca : Queen mau sleep dulu. Byeeeee!Rebecca : Fae, don’t forget call me, Baby. Okay? Muacchhhh ....Clara : Hueeekkk ... Jijik banget muach, muach ...Sabella : Kepada saudari Faezya, harap mengangkat telepon gue!Clara : Tepar dia pasti.Sabella : Habis malam pertama maksud lo?Clara : Hahaha .... pecah telur.Sabella : Bego lo!Sabella : Angkat telpon gue, Fae!Sabella : Telpon gue kalau lo udah waras! Faezya tertawa saat membaca k