Share

3. Final Result

"Saya teima nikah dan kawinnya Annaya Sekar Kinanti binti Billy Rayadinata dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ucap Langiit lantang dengan satu tarikan nafas.

Menjabat tangan lelaki bernama Billy Rayadinata yang dahulu adalah ayah angkatnya dan kini menjadi ayah sesungguhnya bagi Langit. Kepala yang terus tertunduk mendengarkan doa yang dipanjatkan seorang ustadz yang sengaja diundang dalam prosesi akad nikah yang super sederhana, jauh dari kata mewah.

Ada rasa haru di benak Papa Billy ketika menjabat tangan anak muda yang ia saksikan sendiri tumbuh kembangnya dan kini mendapat limpahan tanggung jawab atas putrinya.

Kinan sengaja tidak dihadirkan pada ijab kabul atas permintaan Langit dengan alasan ingin halal lebih dulu baru bertemu padahal sebenarnya ia takut berubah pikiran untuk memperistri perempuan yang lebih pantas menjadi keponakan atau adiknya itu.

Papa Billy memeluk menantu barunya itu selepas ijab kabul seraya berucap, "Maafkan papa yang sangat egois sama kamu, Lang. Jika di kemudian hari kamu merasa enggak sanggup lagi dengan istrimu, bilang sama papa ya, Nak. Papa akan ambil lagi dia dari kamu dan papa bebaskan kamu untuk pilih bahagiamu."

Masih dalam pelukan sang ayah mertua, Langit menggeleng pasti.

"Hari ini dan seterusnya Kinan akan tetap tanggung jawab saya dunia akhirat, Pa. Saya hanya minta doakan saya agar dimampukan untuk membimbingnya menjadikan dia istri shalihah."

Pantang untuk Langit menjilat ludahnya sendiri jika ia sudah mengambil keputusan berarti segala sesuatunya sudah final dan petarung sejati tidak akan walk over ditengah pertandingan.

Kedua lelaki berbeda generasi itu sama-sama menyeka air mata yang tak diundang membasahi pipi.

Sementara Ibu Arini, ibunda Langit tak kalah haru menyaksikan melalui video call karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk dapat hadir pada pernikahan putra tercintanya.

Kinan sedari subuh sulit sekali dibangunkan Tante Fera untuk didandani, moodnya memang buruk. Vanya sang sahabat yang setia disampingnya sampai hilang akal untuk mencoba mengembalikan senyum ceria sahabatnya.

"Gue kawin paksa ini, tahun berapa ini, Nya? Masih ada aja yang kek gini," Kinan mendumel sambil mengangkat kain jarik yang membungkus tubuhnya hingga ia sulit berjalan cepat.

Tadinya perempuan diakhir remaja itu hanya ingin sesimpel mungkin, cepol rambut dengan jepit saja dirasa cukup ditambah sapuan make up flawless.

Namun Tante Alana, adik kandung almarhumah ibunya keukeuh bahwa Kinan harus menggunakan riasan Sunda Putri untuk akad nikahnya. Tak ada pilihan, gadis jelita itu pun menurut.

"Udah jangan ngomel mulu, tuh udah dipanggil. Yuks, gue temenin cantik, manis, istrinya Bang Langit," kelakar Vanya.

Mengadakan akad nikah di kediaman pribadi Rayadinata yang luasnya tak kalah dengan ballroom hotel, Papa Billy memilih taman belakang menjadi pusat acara.

Kinan berjalan perlahan diapit Vanya dan juga Kak Allan yang sengaja pulang sejenak dari Singapura hanya untuk menghadiri pernikahan adik semata wayangnya.

Langit sedari tadi menunduk seakan terus meratapi nasibnya hingga tak sadar jika MC memintanya berdiri untuk menyambut perempuan yang sudah sah menjadi istrinya itu.

"Bos, berdiri. Itu bidadari nyamperin," bisik Fajar yang setia di belakangnya.

Lelaki gagah yang pagi itu menggunakan beskap putih lengkap ala pengantin Sunda menuruti permintaan Fajar.

Tatapannya beradu dengan perempuan yang sedang berjalan perlahan menuju ke arahnya. Jakun Langit naik turun, matanya membulat sempurna. Benar kata Fajar, Kinan pagi ini seperti jelmaan bidadari.

Riasannya sangat sederhana, tak ada cukur alis seperti kebanyakan pengantin tetapi ornamen wajahnya memang sudah tercetak sempurna. Mata bulat dengan bulu mata lentik alami, alis melengkung sempurna bagai semut beriring. Tulang hidung tinggi yang mirip sekali papanya belum lagi bibir tipis sedikit ikal dilukis indah dengan lipstik nude pink.

Akting Kinan sempurna, ia tersenyum cantik sekali. Siapa pun yang melihatnya tidak akan menyangka jika pernikahan ini adalah paksaan.

"Masya Allah..." ucap Langit tanpa sadar dan itu terdengar jelas oleh Kinanti.

Melirik sejenak lelaki gagah yang baru saya mengucapkan kalimat pujian padanya, Kinan kembali melengkungkan bibirnya.

Langit menarik kursi yang akan diduduki perempuan anggun dengan mahkota siger di kepalanya.

Kak Allan menyerahkan adiknya pada lelaki yang baru saja mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah.

"Bang, titip Kinan ya. Terus terang saya enggak maksimal jagain dia, bahagiain Kinan ya, Bang!"

Langit pun tak ingin kalah akting dari Kinan, "Pasti, Lan. Pasti!"

Bohong besar jika hati Kinan tak berdesir mendengar janji Langit pada Allan.

Sebagian besar tamu yang hadir merupakan kolega bisnis Papa Billy dan juga rekan kerja Langit. Ada pula prosesi penyerahan seragam Dharma Wanita Persatuan oleh istri salah satu wakil pimpinan IPDN dimana dulu suami Kinan menimba ilmu.

Kinan begitu penuh dengan tata krama, rasanya Langit tidak seperti menikahi gadis 19 tahun. Ia begitu santun pada pimpinan IPDN yang hadir saat akad hari itu. Belum lagi gubenur Jawa Barat yang bertindak menjadi saksi, banyaknya orang penting yang hadir membuat perempuan yang sehari-harinya manja dan juga seenaknya itu menjelma menjadi putri kerajaan Sunda yang jelita.

Teman Kinan sendiri praktis hanya Vanya dan Ale yang hadir. Karena ia percaya kedua temannya ini mampu menjaga rahasia walaupun salah satunya terluka.

"Gue pikir waktu cowok itu ada di belakang panggung cuma bodyguard yang disuruh Om Billy, Nya. Taunya calon suaminya," ucap Ale sahabat kecil Kinana sekaligus gitaris White Panther.

Vanya menoleh, "Patah hati ya lo?"

"Bangeetttt..." sahut Ale sambil menepuk-nepuk dadanya.

"Gue aja kaget, Le. Tapi lo tau Om Billy kan gimana orangnya," ucap Vanya mengingatkan.

"Yapsss..tau banget gue, pilihan dan keputusannya enggak pernah salah. Makanya gue cuma cinta dalam diam aja sama si Kinan, enggak mungkin kepilih juga kan sama Om Billy. Apalagi noh, lo liat sendiri gimana gagahnya Bang Langit. Apalah gue, Nya," sahut Ale sendu.

"Makanya lo tuh makan yang banyak, dari dulu kerempeng mulu. Kek enggak dikasih makan dari SD. Tapi gue yakin banget Kinan bakal takluk sama lakinya dan Bang Langit bakal jagain besti gue sama nyawanya," Vanya lagi-lagi optimis.

***

"Tanteee...Tante Feraaaa..." teriak Kinan keluar kamarnya yang langsung bertabrakan dengan Langit, suaminya.

Langit berkerut dahi, "Apa sih? Teriak-teriak dari tadi. Tante Fera udah pulang duluan, tadi disuruh Papa beresin dokumen yang mau dibawa besok ke Bangkok."

"Haaaaa..." Kinan lagi-lagi berteriak.

Kembali menjadi Kinan si perempuan labil yang sulit ditebak. Sepanjang acara tadi Langit begitu kagum pada sosok istri disampingnya, anggun dan pandai menjaga sikap. Kini settingannya kembali ke semula.

"Emang mau ngapain?" tanya Langit sekali lagi.

"Tauk ahhhh..."

Kinan menjatuhkan tubuhnya menelungkup diatas kasur yang sudah didekor menjadi kamar pengantin.

Ujian Langit dimulai sore ini, tingkah kekanak-kanakan istrinya membuatnya memijat pelipis. Tadinya ia ingin mandi kemudian merebahkan tubuhnya yang sangat lelah setelah acara hari ini.

Mencoba masa bodoh dengan tingkah Kinan, lelaki tampan bertubuh atletis itu langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tak lama karena memang ia terbiasa segala sesuatunya serba cepat sejak kuliah dulu.

Langit sengaja berpakaian di kamar mandi agar tak memancing keributan yang tidak penting. Lagipula ia masih sulit beradaptasi dengan status barunya.

Kinan masih dengan posisi yang sama dan mengundang suaminya ingin berkomentar.

"Coba duduk, masalahnya apa sih?" tanya Langit sesabar mungkin.

Kinan menunjuk atas kepalanya yang masih lengkap dengan siger dan juga sanggul Sunda.

"Jadi tadi teriak-teriak manggil Tante Fera cuma buat bukain ini?" Langit bertanya meyakinkan dugaannya.

Kinan mengangguk, "Ini bukan cuma, Bang. Gue enggak tau tadi dipasangnya gimana, orang gue nya tidur waktu lagi dipasang beginian."

'Fix...bocah' begitu yang ada di pikiran Langit.

"Duduk sana! Saya bantu lepasin ini," titah Langit menunjuk set meja rias ornamen kayu bercat putih yang berada di sudut kamar.

"Bisa emang?" ujar Kinan meragu.

Tak banyak bicara, Langit dengan telaten membuka satu demi satu hair pin yang menempel di rambut Kinan sampai akhirnya terlepas semuanya. Perempuan yang baru menyandang status istri itu hanya melongo melihat rambutnya yang sudah terbebas dari perintilan diatas mahkotanya.

"Sana mandi, lengket kan mana bau lagi. Cepet! Keburu Maghrib nya abis," ucap Langit sewot.

Kinan sering sekali merasa tercubit hatinya dengan kalimat yang keluar dari mulut lelaki yang kini resmi menjadi teman hidupnya itu.

Dengan langkah gontai Kinan melangkah ke kamar mandi dan Langit ke mushala bawah. Ingin sekali jelita nya Papa Billy itu menangis dan berteriak kencang tetapi urung dilakukan karena melihat bath tub nya yang sudah dipenuhi air hangat.

'Perasaan gue belum masuk kamar mandi dari tadi, terakhir kan Bang Langit. Terus ini kerjaan siapa? Teh Teti atau Bi Inah juga enggak kesini, kerjaan Bang Langit berarti kan? Ya ampuuuunnn....lo tuh sweet sebenernya tapi mulut lo jahanam, Bang.'

***

"Nih..papa kasih voucher nginep di Lembang, sana pra honeymoon! Tar yang benerannya tinggal bilang pengen ke negara mana." ucap Papa Billy ketika makan malam.

Pengantin baru itu saling pandang, Kinan berusaha menggeleng setipis mungkin agar tak terlihat oleh ayahnya. Langit tak dapat berbuat banyak sedangkan Kak Allan sedang berusaha menahan tawa.

"Kenapa diem? Enggak mau? Hotel baru itu, temen papa yang punya. Bintang tujuh jangan salah," Papa Billy berpromosi.

"Emang jamu, bintang tujuh," sambar Kinan.

Papa menyesap chamomile tea kemudian berkata, "Lang, si Kinan udah bahas-bahas jamu. Kode itu, udah sana pergi dianter Ucok. Udah disiapin semuanya disana, tinggal bawa badan dan jamu kalau kamu butuh."

Ekspresi Langit ketika marah, sedih, kesal, bahagia, atau pun malu rasanya sama saja. Tetap datar dan kaku, mungkin urat senyumnya harus sering diurut.

"Jangan dipaksa, Pa. Nanti yang ada mereka pesan extra bed, sayang kan Papa bayar mahal-mahal," potong Allan.

"Nahh...bener itu yang Kak Allan bilang, you're always be my hero, Kak!" kata Kinan dengan menempelkan jemari pada bibirnya kemudian dilepaskan mengarah ke Allan.

Langit berpikir sejenak, ia tahu betul karakter papa angkatnya. Seorang Billy Rayadinata akan terus berkoar jika keinginannya belum terpenuhi, persis sang putri.

"Ayo, Neng. Sayang kan Papa udah booking juga," ujar Langit mengejutkan.

Kinan membelalakkan matanya seolah tak percaya apa yang baru saja ia dengar.

"Tuuuhhh...Langit aja mau, sana temenin. Kamu istrinya sekarang, nurut apa yang dia bilang."

Raut wajah sang papa begitu bahagia mendengar ajakan Langit pada putri satu-satunya itu.

"Tapi Langit bawa sendiri aja ya, Pa. Enggak usah dianter Bang Ucok," sahut Langit yang tidak mau diantar oleh driver keluarga Rayadinata itu.

Mata Kinan terus mempertanyakan hingga ia sampai di dalam mobil. Duduk bersisian nyaris tak membawa apa-apa kecuali sling bag kanvas di pundaknya.

Hening, tak ada yang bersuara satu sama lain. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada di rundown nya jika mereka akan berduaan ke hotel.

"Bang, kenapa sih enggak ditolak aja tadi. Gue belum pernah ke hotel berduaan sama cowok kayak gini, palingan manggung di pensi sekolah elite kalau ke hotel tuh atau liburan sama Papa dan Kak Allan," kata Kinan  membuka suara.

Langit ada dibalik kemudi seperti biasanya, tampan dan meresahkan.

"Kamu kenal Papa enggak? Gimana kalau kepengennya enggak diturutin."

Kinan terdiam, suaminya ini memang penuh analisa dan perhitungan. Papanya pasti akan terus memaksa sampai keinginannya dikabulkan.

"Terus tidurnya gimana? Papa pasti ngecek kan ke temennya," sambung si vokalis cantik.

"Ya tidur tinggal tidur, merem. Apa susahnya," jawab Langit santai.

Selalu saja begitu, jawaban Langit seringkali membuat Kinan kesal.

Sampai di hotel tempat keduanya menginap, pengantin baru ini kebingungan. Berkali-kali Langit membuka chat dengan ayah mertuanya untuk mencocokkan tempat yang sedang didatanginya.

"Ini beneran tempatnya, Bang?" tanya Kinan melihat sekitar.

Langit memperlihatkan chat ia dengan Papa pada Kinan, "Nih...bener."

Tempat yang didatangi ternyata kawasan glamping yang luas dimana dari satu tenda ke tenda lainnya berjarak cukup jauh. Glamour camping, entah apa maksud sang papa memilihkan tempat seperti ini untuk anak-anaknya.

'Papa gimana sih, aku kan alergi dingin akut. Malah milihin tempat gini, pasti enggak ada penghangat ruangan di dalemnya.' Suara hati Kinan berkata demikian.

Tak lama ada lelaki yang mungkin usianya tak jauh beda dengan Langit mengenalkan diri dan menuntun pasangan suami istri baru itu ke atas lereng dimana kamar campingnya berada.

"Ini tipe terbaik yang kami miliki, Pak. Owner bilang untuk putra sahabatnya yang baru menikah."

Langit mengangguk sambil mengucapkan terima kasih dan lelaki itu pun berlalu.

Lokasinya yang benar-benar diatas bukit membuat pemandangan malam yang disajikan benar-benar indah. Kerlip lampu warna warni bagai bintang yang sengaja ditabur begitu saja menghiasi kota Bandung dari ketinggian.

Bahagia! Seharusnya begitu tapi tidak dengan keduanya, terutama Kinan. Karena Langit sudah terbiasa dengan situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan.

Hatchim...hatchim...

"Papa tega banget naro gue kesini, dia pengen gue sakit kali balik dari sini."

Kinan terus mengoceh disertai bersin yang tak berhenti, alergi dingin yang ia dapatkan sejak kecil memang sulit sekali dihilangkan. Kamarnya tak pernah lepas dari penghangat ruangan karena rumah Papa Billy sendiri ada di kawasan Bandung Utara.

"Ini ada penghangat ruangannya, nyalain aja."

Langit cukup singkat untuk bicara, ia lebih memilih menikmati apa yang ada di hadapannya. Menyeduh teh tarik dan juga menggulir ponsel yang ada di tangannya.

"Makanya kenapa gue merokok, Bang. Lumayan bisa ngangetin badan," celetuk Kinan.

"Pembenaran diri!" balas Langit.

Malam semakin larut dan semakin dingin. Kinan masuk ke dalam selimut tebal yang membungkus tubuhnya, kaos rajut  lengan panjang berwarna sage green dengan model turtle neck masih belum bisa menghalau udara yang hampir membuatnya beku.

"Pake jaket saya, mudah-mudahan bisa bikin kamu lebih hangat," ucap Langit membuka jaket tebal yang memiliki hoodie di belakangnya.

Kinan menurut, dipakainya jaket berwarna kopi itu dengan hoodie yang ia pakai menutup kepalanya. Ia sempat melirik Langit yang merebahkan tubuh di sofa abu-abu sebrang ranjangnya.

Ada rasa iba dalam hati Kinan, tubuh tinggi Langit tak mampu ditampung sofa yang cukup kecil untuknya. Namun tak ada pilihan bagi keduanya karena tak mungkin satu ranjang bersama.

Suara bersin Kinan yang tak henti membuat Langit terbangun tengah malam, wajah putih bersih istrinya itu memerah di bagian hidung dan bibir. Begitu tersiksanya sang istri di tengah lelah yang melanda tetapi masih berkutat dengan alerginya. Penghangat ruangan tak cukup untuk mengusir rasa dingin yang memang menusuk tulang dan darah.

Langit tahu istrinya itu tidak tidur karena alergi yang terus mengganggunya, ia tatap Kinan yang terus gelisah dengan tisu di genggamannya. Banyak pertimbangan yang ia pikirkan tetapi pada akhirnya ia memutuskan beralih ke ranjang dimana Kinan sedang berusaha menguasai dirinya.

Kinan tersentak ketika Langit memeluknya erat dalam selimut yang sama, kepala perempuan yang baru beberapa jam dihalalkannya itu dibawa ke dada bidangnya.

"Tidur! Maaf kalau saya kurang ajar tapi Insya Allah lebih hangat begini," Langit berkata sedatar mungkin walaupun hatinya bak perkusi yang sedang dimainkan.

Tak ada penolakan dari Kinan, ia sudah cukup lelah dengan alergi yang menyerangnya. Pelukan suaminya ia balas sama eratnya, ia tenggelamkan kepalanya dibawah ketiak Langit. Aroma tubuh lelaki galak tapi perhatian itu sungguh menenangkan. Nyaman, kata yang tepat menggambarkan apa yang sedang ia rasakan hingga akhirnya kantuk menyerangnya dan bersin yang terus menyiksa dengan ajaib berhenti sendirinya.

Pagi menjelang kedua manusia berbeda jenis itu masih dalam posisi yang sama, saling memeluk menyalurkan kehangatan. Kinan masih dengan jaket hoodie yang membungkus tubuhnya, begitu pun Langit dengan kaos tangan panjangnya. Tak ada malam pertama seperti kebanyakan pengantin baru yang saling menanggalkan pakaian.

Kali ini Kinan tersadar lebih dulu, sedikit kesulitan karena dagu sang suami menempel di puncak kepalanya. Melakukan pergerakan halus sampai ia bisa menatap wajah Langit dari jarak yang begitu dekat.

Pahatan sempurna tercetak disana, bentuk wajah dengan rahang tegas, alis hitam ditambah hidung mancung dan bibir tebal merah alami perawan tanpa sentuhan nikotin.

'Lo ganteng tau enggak, Bang, tapi kalau udah bangun beda cerita. Galaknya kayak diisi ulang.'

"Enggak usah ngeliatin saya kayak gitu, lama-lama kamu diabetes nanti," sahut Langit masih dalam mata terpejam kemudian membalikkan badannya.

Malunya Kinan ketika terciduk sedang mengagumi lelaki yang semalaman memberikan kehangatan pada tubuhnya. Gegas ia bangun dan mencari minuman hangat diatas nakas.

"Mau teh enggak?" tawar Kinan.

Tak ada jawaban dari sang purna praja.

"Gue udah nawarin ya, jadi nanti jangan bilang gue istri durhaka," sahut Kinan sambil berlalu keluar kamar membawa secangkir cappucino.

Maksud hati ingin menikmati pemandangan negeri diatas awan tetapi kondisi tubuh Kinan ternyata tak bisa diajak kompromi. Terdengar suara bersin berkali-kali yang membuat Langit membuka kedua matanya.

"Masuk! Bisa enggak sih tau diri sedikit, udah tau punya alergi malah keluar kamar. Di kamar aja kamu kerepotan, ini malah keluar. Nanti kalau matahari udah tinggi baru kamu keluar!"

Nyeri ulu hati Kinan mendapat ocehan Langit, perempuan berdagu lancip itu terbiasa tegar dan melawan tetapi di hadapan suaminya, ia seperti kerbau dicocok hidungnya.

Kinan sama sekali tak melawan, ia langsung masuk dan kembali berbaring dibalik selimut.

'Apa gue terlalu keras ya sama dia? Duhhh..gue bingung ngadepin lo, Neng.'

Langit menyeduh tehnya sendiri, ingin minta tolong tetapi terlalu gengsi karena tawaran Kinan sebelumnya ia indahkan.

Suasana hening, gerimis pun turun. Langit menyalakan televisi untuk mengusir jenuhnya karena ia masih cuti jadi semua pekerjaan dihandle Fajar. Ia lirik Kinan yang berbalik ke kiri memunggungi nya.

Dering telepon Kinan berbunyi, ada nama Cinta Pertama yang memenuhi layarnya. Kinan melonjak kaget dan langsung menghampiri Langit, ia duduk membelakangi suaminya. Bersila di bawah sedangkan lelaki yang tetap tampan walaupun belum mandi itu memegang cangkir berisi teh hangat. Sempat mengerutkan kening tetapi dengan cepat Langit paham maksud istrinya.

"Yaa...Pa," sapa Kinan langsung bersadar pada Langit di belakangnya.

Si lelaki yang ternyata berlesung pipi sebelah kanan ketika tersenyum itu menempelkan dagunya pada puncak kepala Kinan yang ada di depannya.

'Ahhh...papa senang liat pemandangan pagi ini. Syukur Alhamdulillah kalian keliatan bahagia.' Binar mata Papa terlihat jelas disana, bagi Kinan yang penting cinta pertamanya itu bahagia begitu pula dengan Langit yang sulit sekali membalas semua kebaikan seorang Billy Rayadinata.

"Papa jahat, kirim aku kesini. Kan Papa tau alergiku gimana tapi untung ada Bang Langit jadi aku dipeluk semaleman," kata Kinan jujur.

Wajah Langit memerah, istrinya ini memang terlalu bocah hingga hal begitu saja harus diberitahukan pada Papa.

'Benar begitu, Lang?'

Papa tak percaya dengan ocehan putrinya itu maka ia langsung konfirmasi pada sang menantu.

"Benar, Pa. Kinan bersin-bersin semaleman, penghangat ruangan enggak mempan. Jadi izin, Pa. Saya peluk dia sampe pagi," jawab Langit, kepalang malu.

'Pake izin segala, Kinan udah milik kamu seutuhnya. Mau kamu jungkir balikin juga enggak apa-apa, Lang.'

Kinan memicingkan matanya seraya memanyunkan bibirnya mendengar apa yang ayahnya bilang dan itu membuat Langit gemas. Reflek, ia menyentil pipi wanitanya itu dengan telunjuk.

'Bahagia...jika ini bukan fiktif belaka, Bang.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status