Share

4. Mertua dan Adik Ipar

"Nanti siang kita ke Puncak, enggak lama paling juga semalem," ungkap Langit sambil membereskan sofa bed di kamar Kinan yang 2 hari ini menjadi tempat tidurnya.

Kinan sedang mengecat kukunya dengan warna beige langsung menoleh, "Ngapain? Ogah ahhh...ntar bersin-bersin lagi, Puncak kan dingin."

"Ngapain kamu bilang? Kamu lupa ibu dan adik saya tinggal disana? Saya enggak lahir dari batu jadi saya harus kesana ngenalin kamu yang katanya sekarang istri saya."

Konsisten ketus dan dingin, begitulah Langit. Entah bagaimana caranya agar lelaki gagah itu sedikit ramah pada istrinya.

"Oke," Kinan menjawab seperlunya.

Ia bisa apa karena protes pun tak akan bisa dilakukan. Suaminya terlalu istimewa untuk ia bantah.

Terlihat tak peduli tetapi Kinan berpikir keras apa yang harus dilakukannya ketika nanti bertemu ibu mertuanya? Apakah ia akan dibenci sama halnya dengan sang putra yang selalu ketus padanya. Belum lagi adik ipar yang katanya lebih menyeramkan dari dosen killer karena menjadi duri dalam daging.

Waktu berlalu, jam dinding bulat yang tergantung di tembok pink kamar Kinan menunjukkan pukul setengah 11. Sang empunya bari selesai mandi, masih memakai bathrobe.

"Emmhh...Bang, gue mesti pake baju apa ketemu Ibu? Takut salah kostum apalagi lo tau gue jauh dari kata menantu ideal."

Langit menoleh sejenak, ia sudah harus terbiasa dengan tingkah istrinya yang tiba-tiba keluar hanya menggunakan bathrobe.

"Jadi diri sendiri aja, enggak usah dibuat-buat."

Lelaki sahnya itu berlalu, membuka knop pintu karena Kinan akan berganti baju.

'Bang, kapan sih lo enggak ketus sama gue? Kita enggak bisa jadi suami istri beneran kan tapi minimal lo bisa jadi abang gue beneran kayak Kak Allan. Jangan gini terus kan pegel hati gue tau.'

Memutuskan menggunakan kemeja tunik putih sebatas lutut dipadukan cardigan warna baby blue, Kinan nampak girly sesuai usianya.

Sungguh sulit bagi Langit menahan senyum melihat tampilan istrinya yang semakin terlihat remaja.

"Kenapa senyumnya sinis gitu? Jelek? Bilang dong," ucap Kinan sewot.

'Cantik pake banget kamu, Neng.'

Namun sayang Satria Langit tak pernah pandai mengungkap rasa dan sesal di dada masih terus melingkupinya karena harus menikahi perempuan yang bukan pilihannya.

Gegas keduanya memasuki mobil menuju Puncak, Bogor. Pakaian yang dibawa hanya untuk satu malam tak luput dari perhatian Langit.

"Tadi saya minta Teh Teti siapin celana tidur panjang dan juga sweater buat kamu tidur. Di rumah saya enggak ada penghangat ruangan dalam kamar," ujar Langit sambil terus fokus menyetir.

"Iya, makasih. Oiya, tadi gue chat Papa katanya gue waktu kecil pernah ke rumah lo yang di Puncak ini, Bang. Beneran?"

Langit hanya mengangguk, semoga saja istrinya itu lupa akan memori yang pernah terukir 12 tahun silam.

Praktis tak ada obrolan suami istri ini selayaknya pasangan normal sepanjang perjalanan. Kinan memilih mendengarkan musik yang ia dengarkan dari headset sedangkan Langit memikirkan bagaimana jika nanti bertemu Naura. Terus terang ia belum siap untuk menjelaskan apa yang terjadi.

Entah musik apa yang sedang istrinya dengarkan hingga sampai membuat terlelap. Sesekali Langit melihat perempuan yang telah sah dinikahinya itu.

'Maafin saya kalau terlalu banyak nyakitin kamu. Terus terang saya masih bingung gimana harus bersikap sama kamu. Pelan-pelan ya, Neng. Kita sama-sama enggak mudah jalanin ini. Satu yang pasti, sampai tua kita sama-sama.'

Membelokkan Toyota HRV nya ke halaman rumah yang ditumbuhi aneka bunga warna warni, Langit mematikan mesin mobilnya. Surai rambut yang menutupi paras ayu Annaya Sekar Kinanti dibetulkan sang suami.

"Kinan, bangun. Udah sampe ini," ucap Langit sambil menggoyangkan tubuh istri cantiknya pelan.

Perempuan berkulit putih bersih itu menggeliat perlahan, memicingkan matanya sejenak. Kemudian tersadar, ia sudah berada di suatu tempat yang diyakini sebagai rumah ibu mertuanya.

"Udah sampe ya? Aduhhh..kenapa gue ketiduran sih, Bang?" tanyanya pada sang suami.

Langit hanya mengendikkan bahunya sebagai jawaban. Turun terlebih dahulu meninggalkan Kinan yang masih merapikan tampilannya.

'Dihhh...malah ditinggal, terus gue gimana ini?'

Tak lama muncul wanita paruh baya dengan jilbab hitam yang menjuntai tersenyum ramah dan tulus. Kinan yakin ia adalah ibu mertuanya, gugup melanda tetapi semoga wanita yang telah melahirkan suaminya ini tak memiliki watak seperti anaknya.

"Kinan, ayo kesini!" ucapnya.

Kinan berusaha menampilkan senyum mataharinya, melebarkan bibirnya hingga deret gigi rapi lagi putih itu terlihat jelas.

"Emmhh..Ibu?"

"Iyaa, Nak. Ini ibu, yang mulai seminggu lalu udah resmi jadi ibumu juga," ungkap Ibu Arini memeluk erat putri kesayangan keluarga Rayadinata.

Kinan membalas pelukan hangat Ibu Arini, tak terasa air matanya jatuh. Rindu! Ia rindu pelukan seorang ibu.

Langit memperhatikan dari dalam rumah melalu celah jendela, bertanya-tanya mengapa Kinan langsung menangis bertemu ibunya.

"Maaf, Bu. Kinan sensitif," ucap Kinan sebelum ibu mertuanya bertanya mengapa ia menangis.

"Enggak apa-apa, Sayang. Ibu paham, Kinan rindu Mama?"

Kinan mengangguk pasti, terlalu nyeri sampai ke tulang jika ia sedang merindukan Mama Amara.

"Ini juga mamanya Kinan, ibu minta kamu akan menganggapnya begitu. Ibu kenal Kinan dari kecil, Nak. Sekarang udah sebesar ini, udah jadi istri orang ya. Bahagia selalu ya sayang, banyakin stok sabar menghadapi Langit. Dia sebenarnya baik dan penyayang," kata Ibu Arini tulus sambil melepaskan pelukan eratnya.

Kinan hanya tersenyum seperlunya semoga harapan Ibu nyata adanya. Ia akan bahagia entah dengan Langit atau bukan.

Ibu Arini mengajak Kinan masuk dan perempuan 19 tahun itu mencari suaminya tetapi tak terlihat.

"Langit pasti langsung masuk kamarnya terus tidur. Kinan mau tidur juga?"

Kinan menggeleng, "Enggak, Bu. Cuma saya pengen ke toilet dulu sebentar."

Ibu Arini menunjuk kamar Langit dimana kamar mandinya ada di dalam.

Masuk ke kamar yang cukup sederhana menurut ukuran Kinan tetapi rasanya ia ingin bergabung dengan laki-laki yang sedang tertelungkup diatas kasur queen size yang sepertinya sengaja dibiarkan dibawah hanya beralas karpet tanpa dipan.

Kinan perlahan masuk kamar mandi agar tak mengganggu Langit yang sepertinya kecapean itu.

Selesai menuntaskan kebutuhan biologisnya, Kinan keluar mencari ibu mertuanya. Ia berpapasan denga perempuan muda yang mungkin seusia dirinya.

"Kak Kinan?" tanya perempuan itu.

Bungsu Papa Billy mengangguk sambil berusaha tersenyum ramah.

"Ohhh...aku Salma, adik satu-satunya Aa."

"Haiii...seneng bisa ketemu kamu, Salma."

Salma tersenyum sedikit sinis kemudian berlalu membuat Kinan insecure. Mungkin adik suaminya itu tak menyukai dirinya.

"Bu, itu Kak Kinan? Jauh banget ya sama Teh Naura, aku lebih seneng Aa sama Teh Naura daripada sama Kak Kinan," ucap Salma pada ibunya yang ternyata sedang memilah bunga mawar segar yang akan dipanen di halaman rumahnya.

Ibu Arini melirik tajam putri bungsunya, "Ibu enggak suka kamu bicara begitu, Kinan adalah pilihan ibu juga. Sebelum menikahinya, Aa minta pendapat ibu dulu dan restu ibu bukan cuma karena dia anak siapa tapi karena petunjuk Allah. Jangan pernah bandingkan kakak iparmu dengan siapapun termasuk dengan Naura. Paham kamu?

Salma terdiam kemudian hendak membela diri.

"Kinan adalah istri aa, suka atau tidak suka kamu enggak punya hak buat bilang kaya gitu, Dek!" ujar Langit yang entah darimana datangnya tetiba ada di taman belakang.

"Tapi kan Aa nikah sama dia juga terpaksa kan? Aa terlalu mengorbankan diri sendiri yang harusnya bisa bahagia sama Teh Naura bukan sama Kak Kinan," kata Salma mendebat.

Langit mendekat sang adik, "Ketika besar nanti kamu akan tau kalau rencana kamu enggak akan selalu sejalan sama rencana Allah. Takdir aa bukan Naura tapi Kinan jadi tolong tetap hormati dia sebagai kakak ipar kamu, ngerti?"

Kinan mendengar semuanya, ada sakit di sudut hatinya ketika mendapat penolakan dari adik iparnya. Ia mungkin memang tak pantas berada disamping Langit dan cukup penasaran dengan wanita bernama Naura.

Langit teringat Kinan, rumahnya yang tak besar pasti terdengar apa yang keluarga intinya bicarakan. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan tak menemukan istrinya itu.

"Kinan...Kinan..."

Kinan memilih diam di teras memandangi bunga mawar yang berbeda jenis dengan yang ada di halaman belakang. Ia mendengar panggilan suaminya itu tetapi dibiarkannya sampai Langit menemukannya.

Langit menuju teras dan benar saja ada Kinan disana duduk di undakan tangga yang terbuat dari batu kali yang tersusun rapi.

"Salma enggak suka gue, Bang. Harusnya lo enggak perlu repot-repot belain gue."

Langit mengerutkan dahinya, "Yang belain kamu siapa?"

Oke...Kinan salah sangka, ia terlalu percaya diri jika suaminya membelanya.

"Saya cuma bicara fakta kalau kamu sekarang kakak iparnya dan dia harus terima itu bukan ngebela kamu," jelas Langit.

Kinan mengangguk dan malas untuk mendebat apa yang suaminya bicarakan. Sejak Langit ada di kehidupannya, ia seperti kehilangan power. Malas berdebat dan menanggapi berlebihan.

"Masuk! Kabut udah mulai turun nanti bersin, ngerepotin saya lagi," titah Langit.

Tak ada perlawanan dari Kinan dan itu membuat Langit sedikit bingung. Tak biasanya sang istri pasrah begitu saja.

Lepas adzan maghrib Kinan masih berada di kamar, kepalanya mulai pusing karena alergi yang mulai menyerangnya. Biasanya tak lama lagi bersin akan menghampiri dan tak akan berhenti.

Langit baru pulang dari masjid yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya melihat istrinya yang sudah dibalut sweater coklat bergambar kartun garfield terduduk diatas kasur sedang menggesek-gesekan hidungnya hingga memerah.

Lelaki yang berkali lipat tampannya ketika menggunakan baju koko putih dan juga kopiah hitam. Kinan pun sempat melirik sejenak dan kagum dengan aura positif yang menguar dari wajah putih bersih itu.

Membuka lemari kayu jati yang usianya mungkin sama dengan Salma, Langit mengambil sweater tebal ber hoodie warna abu-abu.

"Nih...double, biar lebih anget. Kegedean pasti tapi lumayan," ucapnya.

Diambilnya sweater bergambar lambang klub basket terkenal Amerika Serikat itu dari tangan suaminya kemudian Kinan pakai dan menjadi lebih hangat dari sebelumnya.

Keluar dari kamar, Ibu dan Salma sudah ada ruangan sebelah dapur dengan meja panjang dan duduk lesehan. Kinan merasa tak enak karena tak membantu apapun tetapi apa boleh buat karena memang ia tak mengerti harus bersikap bagaimana. Doanya satu, semoga ibu mertuanya mengerti.

"Sini, Kinan. Makan malam dulu, ibu udah bikin soto Bandung sama perkedel kentang. Suka kan? Maaf ya enggak bisa mewah kayak di rumah," ucap Ibu Arini begitu lembut dan tersenyum.

Kinan mengangguk, "Enggak apa-apa, Bu. Kinan suka kok, enggak pilih-pilih juga."

Salma masih kesal karena kakak iparnya jauh dari ekspektasinya. Hanya Naura yang ada dalam imajinasinya sebagai ipar ideal.

Duduk lesehan karena memang tak ada meja makan di rumah Langit. Kinan tak masalah walaupun datang dari keluarga kaya tapi ia cukup bisa menyesuaikan.

Langit mengambilkan nasi untuk istrinya, "Segini cukup?"

Kinan mengangguk, "Makasih, Bang."

"Aneh ya, harusnya istrinya dong yang nyendokin kok ini kebalik," sindir Salma.

"Emang kenapa? Masalah?" balas Langit.

Salma mengendikkan bahunya sambil terus menatap sinis iparnya.

Batin Kinan ingin melawan, gelora akhir remaja memanggilnya untuk membalas. Namun niat itu ia urungkan, cukup tahu diri berada dimana ia sekarang.

Sesungguhnya Kinan sudah hilang selera makan ketika Salma berkata demikian tetapi baiknya Ibu Arini membuatnya terpaksa menyendokkan soto Bandung yang hangat ke perutnya.

"Udah?" tanya Langit yang merasa heran karena Kinan dengan cepat berhenti makan.

Kinan mengangguk, "Udah, Bang. Kenyang ini juga."

"Enggak level lah, A. Makanan kayak gini buat tuan puteri mah," Salma kembali berulah.

"Salma!!" bentak Langit hingga mengagetkan Ibu Arini dan juga Kinan.

Jantung Kinan berdegup kencang, baru kali ini melihat Langit begitu emosional. Suaminya itu memang sinis dan dingin tetapi tak pernah meninggikan suara seperti ini.

"Aa berubah! Ini pertama kalinya Aa bentak Salma cuma gara-gara dia," ucap Salma sambil berderai air mata dan berlalu ke kamar tanpa menuntaskan makan malamnya.

Posisi duduk Langit yang dekat dengan berlalunya sang adik memudahkannya untuk mencengkram erat pergelangan tangan Salma.

"Duduk dan dengar!"

Salma sempat berontak tetapi tenaga Langit lebih dari apapun. Akhirnya perempuan 20 tahun itu menurut.

Ibu Arini tidak panik, ia percaya pada anak-anaknya mampu menyelesaikan secara dewasa. Terlebih Langit yang sudah sejak lama menggantikan peran sang ayah.

"Annaya Sekar Kinanti, perempuan yang ada disebelah aa ini adalah perempuan yang akan terus disamping aa sampe tua. Kamu adik aa, kita sedarah tapi kamu akan punya kehidupan sendiri setelah kamu dibawa orang nanti tapi Kinan akan tetap di dekat aa sampe akhir. Jadi, terima dia sebagai kakak ipar kamu. Hormati dia sebagaimana seharusnya, ngerti?"

Begitu tenang Langit memberikan pengertian pada adiknya itu. Lengan kekarnya tak lepas dari bahu sang istri yang sedari tadi dalam penguasaanya.

Kinan pun cukup takjub dengan perlakuan Langit yang membelanya dan memperlakukannya dengan manis.

"Tapi harusnya Teh Naura yang jadi istri Aa bukan dia, jangan mentang-mentang kita utang budi sama bapaknya terus Aa mau-mau aja ngawinin anaknya," jawab Salma masih dalam mode menyebalkan.

Mendidih hati Kinan, tetapi jemarinya kini dalam genggaman Langit seolah berkata agar ia tetap diam tak terpancing. Lagi-lagi ia menurut, entah memiliki apa dalam diri sang suami hingga seorang Kinanti dapat dikendalikan.

"Naura lagi Naura terus, harusnya Naura. Harusnya menurut siapa? Sekeras apapun usaha kita kalau enggak ada izin Allah mau gimana? Pak Billy memang meminta aa buat nikahin Kinan tapi aa bisa kok nolak kalau mau. Tadi kan udah bilang aa minta tolong Ibu dalam bingungnya aa kemarin dan Ibu kasih restu. Kamu tau kan ridha nya Ibu buat anaknya itu seberapa hebat?"

Salma terdiam, ia sudah tak bisa mendebat lagi jika itu berhubungan dengan sang bunda.

Ibu Arini memilih membereskan piring bekas makan malam, kali ini Langit melepaskan genggaman pada Kinan dan memberi kode untuk membantu ibunya membereskan semuanya.

Kinan berdiri membawa sisa piring dan gelas yang masih tertinggal, meninggalkan sepasang adik kakak yang mungkin akan melanjutkan debat.

"Maafin Salma ya, Kinan, anaknya agak keras memang dan tentang Naura yang dibilang tadi kalau kamu ingin tau bisa tanyain langsung ke Aa ya," ucap Ibu Ariin bijaksana.

Kinan tersenyum manis sekali, "Kinan udah tau kok, Bu. Cuma Kinan enggak tau orangnya aja tapi ceritanya kurang lebih tau dari Bang Langit langsung."

"Abang?" Ibu mengernyit heran.

"Iya, Bu. Kinan panggilnya Abang tapi kalau emang enggak enak didenger nanti Kinan coba membiasakan panggilnya Aa," jawab Kinan tersipu.

"Enggak usah, senyamannya kamu aja. Saya dipanggil Abang juga tetap noleh kan?" ujar Langit yang datang tiba-tiba membawa magic com yang kembali diletakan di meja dapur kemudian berlalu entah kemana.

Tak ada suara dari Ibu dan Kinan, yang ada adalah suara piring beradu yang sedang dicuci perempuan paruh baya nomor satu bagi Langit.

Sementara Kinan memilih disamping sang ibu mertua menemaninya karena akan diambil alih pun tak diizinkan Ibu Arini.

"Sana temani suamimu biar enggak cemberut terus," titah Ibu.

"Tapi Ibu?" sahut Kinan ragu.

"Ibu enggak apa-apa, bentar lagi juga beres."

Kinan membungkukan badan sambil berlalu menyusul suaminya. Di ruangan keluarga tak nampak Langit disana, Kinan ke kamar dan disana pun tak ada. Namun ia tak keluar dan memilih tetap disana karena menurutnya kamar suaminya tempat paling aman saat ini.

Dari balik jendela kamar, Kinan melihat Langit sedang berada di gazebo mini menghadap taman mawar sang bunda. Tak lama terlihat Ibu Arini yang terkejut melihat putra kebanggaanya sedang termenung di gazebo.

"Kirain ibu, Aa ke kamar. Kinan nyusulin ke kamar tadi."

Langit bergeser dari duduknya agar cinta sejatinya dapat tepat di sampingnya.

"Enggak apa-apa biar dia istirahat, kalau kemaleman tidur kasian takut alerginya kumat. Jaketnya udah double mudah-mudahan enggak bersin," ucap Langit berharap.

Ibu Arini mengusap punggung tegap putranya, "Do you love her?"

Langit menatap lekat sang bunda, "Aa enggak tau, Bu. Aa cuma jalanin apa yang ada di depan sekarang, menunaikan komitmen dan tanggung jawab."

"Ibu harap anak ibu ini akan tetap istiqomah dengan keputusan yang udah diambil ya!"

Langit mengangguk mantap, "Doain aa ya, Bu. Semoga bisa bimbing Kinan jadi istri shalihah."

"Ya jangan cuma Kinan dong tapi kamu juga, lupakan Naura. Dia bukan takdirmu, sayangi Kinan dan cintai dia. Ibu yakin Mbak Amara tidak pernah salah mendidik, kalau sekarang kamu merasa kesulitan mendidiknya itu karena dia kesepian. Ayahnya sibuk, kakaknya enggak ada. Sekarang dia cuma punya kamu. Paham ya, A?"

Tidak ada yang tahu jika Kinan menguping pembicaraan ibu dan anak itu karena memang jendela kamar Langit sengaja dibukanya sedikit agar bisa mendengar dengan jelas apa yang suaminya bicarakan.

Namun sial bagi Kinan, bersin mulai melandanya. Kepalanya pening, hidungnya mulai tersumbat.

Kinan segera masuk ke dalam selimut tebal di atas kasur tapi sepertinya tidak mempan.

Langit mendengar suara bersin Kinan yang sepertinya sengaja ditahan, "Kambuh lagi alerginya, Bu. Aa masuk dulu ya."

"Gimana atuh? Digosok minyak angin punggungnya biar hangat, A. Nanti ibu ambilin dulu."

Gegas Ibu Arini mengambil minyak angin andalannya yang dikirim langsung dari teman lamanya di Makassar.

"Nih balurin ke punggung dan dadanya biar anget," ujar Bu Arini sambil memberikan minyak berwarna coklat terang itu di dalam botol kaca.

Langit tertegun dan berpikir harus memberikan minyak hangat ini di tubuh istrinya yang belum pernah ia sentuh secara langsung sebelumnya.

"Ayoo...tunggu apa lagi, A!"

Langit sedikit kikuk dan itu disadari ibunya.

"Kenapa? Jangan bilang.....Yaa ampuuuunnn, Aa," kata sang bunda gemas.

"Ibu aja deh, gimana?" jawab Langit sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Ibu Arini bersikukuh, "Enggak! Kinan istri kamu, semua yang ada di tubuhnya hak kamu dan sekarang kewajiban kamu buat ikhtiar biar dia enggak kedinginan."

"A-aku ada cara lain kok, Bu. Dipeluk juga nanti bersinnya berhenti," sahut Langit malu-malu.

Ingin sekali Ibu Arini terbahak melihat rona wajah putranya yang memerah. Langit memang tak pernah tersentuh perempuan lain selain ia dan Salma.

"Enggak mau tau, pokoknya balurin ini. Cepet!"

Langit didorong sang bunda masuk ke kamarnya dengan malas putra pertama Chandra Bagaskara itu menurut.

Trik Ibu Arini agar lebih mendekatkan putranya dengan menantu cantik kesayangan semoga membuahkan hasil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status