Rania duduk tersungkur. Pias memandang para warga yang membantu proses penurunan jasad ayahnya. Sepanjang malam dia hanya merenung, membiarkan sang ayah bergelantungan diam tanpa meminta pertolongan. Dia sama sekali tidak menangis. Bahkan untuk sekedar mengedipkan mata pun, Rania sudah tak punya tenaga. Segala rasa sakit dan penderitaannya telah terkuras habis, kecewa karena dikhianati sang ayah.
Sang ayah yang lebih memilih menyusul ibunya, daripada berjuang sampai darah terakhir bersamanya. Padahal Rania telah merelakan masa mudanya yang cerah demi memberikan kehidupan yang lebih baik.“Ran, jenazah ayahmu sudah kami bereskan. Pemakamannya pun sudah. Kami minta, kamu segera pergi dari rumah ini,” ucap kepala desa, yang kasak-kusuk terdengar suara di belakangnya.“Kenapa? Ini rumah saya,” protes Rania.Kepala desa itu menoleh ke belakang, seakan meminta pendapat orang-orang yang berkasak-kusuk di belakang punggungnya.Dia menarik nafas panjang. “Kami tidak suka para preman Tuan Hadi datang ke desa ini. Semenjak ayahmu berhutang pada bos rentenir itu, desa kita tidak aman,” aku kepala desa.“Jadi … setelah segala hal yang dilakukan Ayah, tanpa pamrih membantu kalian semua, kalian tega mengusirku?” tuntut Rania dengan wajah pucat nan dingin. Sama sekali tidak ada ekspresi sedih di sana.“Maafkan kami, Rania,” sesal kepala desa. “Kami beri waktu sampai besok,”Kepala desa pamit, dibarengi dengan kumpulan orang-orang yang tak henti-hentinya melirik malang ke arah Rania.Setelah kepergian para warga desa, Rania kembali masuk ke dalam rumahnya. Kosong, hening dan gelap. Setelah ayahnya memutuskan untuk mengakhiri hidup di sana, rumah itu seakan kehilangan nyawa. Berubah menjadi tempat yang penuh derita.Rania tidak berniat melakukan apapun. Dia hanya duduk memeluk lutut, meratapi segala kesialan dalam hidupnya.Apa yang selanjutnya harus dia lakukan? Dia tidak punya tempat berlindung, tidak punya tempat pulang. Bahkan pekerjaan untuk bertahan hidup pun dia tidak punya. Yang dia punya hanyalah selembar kain yang menempel di tubuh–serta harga dirinya.Apakah Rania perlu menjual harga dirinya juga?Brak!!Rania mendengar keributan di halaman depan. Dia bangkit, dan mengintip dari balik tirai jendela. Tampak tiga orang preman berbadan besar yang mengacak-acak halaman rumah Rania, meski hari masih cukup pagi. Mereka tak peduli meski orang-orang yang lalu lalang memandang ketakutan ke arah mereka.Dok, dok, dok!!Pintu depan diketuk sangat keras, hingga rasanya pintu itu nyaris roboh dalam sekali dorong. Rania panik. Dia ketakutan, namun tak bisa berbuat apapun selain memeluk tubuhnya sendiri.Brak!Benar saja. Pintu itu akhirnya roboh, dan ketiga preman berhasil masuk dengan mudah. Mereka menendang apapun yang menghalangi jalan mereka. Tak peduli meski pemilik rumah baru saja berduka. Mereka meluapkan kemarahan–yang tak jelas sebabnya demi memberi rasa takut pada siapapun yang ada di dalam rumah.“Hei, bocah. Akhirnya kita bertemu lagi,” celetuk salah satu dari mereka–yang Rania ingat pernah datang bersama pria muda. Si pria tua yang kejam.Si pria tua itu menghadang jalan dua preman lainnya, dan memberi isyarat pada mereka untuk mundur. Dialah yang justru datang menghampiri Rania yang ketakutan.“Ayahmu mati, kan? Dia memang seorang pengecut,” kelakar pria tua itu, tepat di depan Rania yang gemetaran. “Sekarang, ayo berdiri!” Dia menarik tangan Rania untuk berdiri sejajar dengannya.“A-apa yang kalian inginkan? Aku sudah tidak punya apa-apa!” tukas Rania dengan bibir bergetar.“Tentu saja. Ayahmu itu miskin, mana mungkin bisa memberimu apa-apa,” tanggap si pria tua dengan seringaian kejam. “Tapi kau cukup punya aset berharga,”Pria tua itu menelusuri seluruh sisi tubuh Rania dengan tatapannya yang tajam. “Hargamu pasti sangat mahal. Apalagi kau adalah seorang gadis tanpa pengalaman,” Dia lantas tertawa. Dan disambut oleh dua orang temannya di belakang.“A-apa maksudmu? Lepaskan!” Rania berusaha melepaskan cengkeraman si pria tua dari tangannya.“Madam pasti senang punya anak baru sepertimu. Ayo!” Pria tua itu menyeret tubuh Rania, yang terus meronta dan berteriak sekeras yang dia bisa.Apakah ini adalah akhir hidupnya? Dia tahu, sangat tahu kemana pria tua itu akan membawanya. Kenyataan hidup yang bahkan lebih buruk dari mimpinya, membuat Rania mengutuki takdirnya sendiri.“Lepaskan, lepaskan, brengsek!!” Rania memberontak. Dia menendang, menjambak, dan segala perlawanan yang bisa dia lakukan dengan satu tangan yang masih dibiarkan bebas.Namun pria tua itu justru tertawa–diikuti dua preman lainnya. Mereka benar-benar iblis yang kejam.“Lepaskan dia,” Tiba-tiba si pria muda–yang masih diingat Rania, sudah berdiri di depan halaman rumah.Pria muda itu berdiri tenang, dan ketiga preman besar itu seketika diam mematung. Bahkan si pria tua melepaskan cengkeramannya dari tangan Rania.“Brengsek!!” Rania spontan menampar si pria tua, selama ada kesempatan.Si pria tua itu hendak membalas, namun si pria muda memberi isyarat untuk diam. Dia berjalan menghampiri ketiga preman besar itu, berdiri di tengah-tengah dengan gayanya yang pongah.“Aku akan melunasi seluruh hutang gadis ini! Semuanya, akan kulunasi!” teriaknya lantang, sambil menunjuk Rania.Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng