Share

Bab 2 Takdir Pahit Rania

Rania duduk tersungkur. Pias memandang para warga yang membantu proses penurunan jasad ayahnya. Sepanjang malam dia hanya merenung, membiarkan sang ayah bergelantungan diam tanpa meminta pertolongan. Dia sama sekali tidak menangis. Bahkan untuk sekedar mengedipkan mata pun, Rania sudah tak punya tenaga. Segala rasa sakit dan penderitaannya telah terkuras habis, kecewa karena dikhianati sang ayah.

Sang ayah yang lebih memilih menyusul ibunya, daripada berjuang sampai darah terakhir bersamanya. Padahal Rania telah merelakan masa mudanya yang cerah demi memberikan kehidupan yang lebih baik.

“Ran, jenazah ayahmu sudah kami bereskan. Pemakamannya pun sudah. Kami minta, kamu segera pergi dari rumah ini,” ucap kepala desa, yang kasak-kusuk terdengar suara di belakangnya.

“Kenapa? Ini rumah saya,” protes Rania.

Kepala desa itu menoleh ke belakang, seakan meminta pendapat orang-orang yang berkasak-kusuk di belakang punggungnya.

Dia menarik nafas panjang. “Kami tidak suka para preman Tuan Hadi datang ke desa ini. Semenjak ayahmu berhutang pada bos rentenir itu, desa kita tidak aman,” aku kepala desa.

“Jadi … setelah segala hal yang dilakukan Ayah, tanpa pamrih membantu kalian semua, kalian tega mengusirku?” tuntut Rania dengan wajah pucat nan dingin. Sama sekali tidak ada ekspresi sedih di sana.

“Maafkan kami, Rania,” sesal kepala desa. “Kami beri waktu sampai besok,”

Kepala desa pamit, dibarengi dengan kumpulan orang-orang yang tak henti-hentinya melirik malang ke arah Rania.

Setelah kepergian para warga desa, Rania kembali masuk ke dalam rumahnya. Kosong, hening dan gelap. Setelah ayahnya memutuskan untuk mengakhiri hidup di sana, rumah itu seakan kehilangan nyawa. Berubah menjadi tempat yang penuh derita.

Rania tidak berniat melakukan apapun. Dia hanya duduk memeluk lutut, meratapi segala kesialan dalam hidupnya.

Apa yang selanjutnya harus dia lakukan? Dia tidak punya tempat berlindung, tidak punya tempat pulang. Bahkan pekerjaan untuk bertahan hidup pun dia tidak punya. Yang dia punya hanyalah selembar kain yang menempel di tubuh–serta harga dirinya.

Apakah Rania perlu menjual harga dirinya juga?

Brak!!

Rania mendengar keributan di halaman depan. Dia bangkit, dan mengintip dari balik tirai jendela. Tampak tiga orang preman berbadan besar yang mengacak-acak halaman rumah Rania, meski hari masih cukup pagi. Mereka tak peduli meski orang-orang yang lalu lalang memandang ketakutan ke arah mereka.

Dok, dok, dok!!

Pintu depan diketuk sangat keras, hingga rasanya pintu itu nyaris roboh dalam sekali dorong. Rania panik. Dia ketakutan, namun tak bisa berbuat apapun selain memeluk tubuhnya sendiri.

Brak!

Benar saja. Pintu itu akhirnya roboh, dan ketiga preman berhasil masuk dengan mudah. Mereka menendang apapun yang menghalangi jalan mereka. Tak peduli meski pemilik rumah baru saja berduka. Mereka meluapkan kemarahan–yang tak jelas sebabnya demi memberi rasa takut pada siapapun yang ada di dalam rumah.

“Hei, bocah. Akhirnya kita bertemu lagi,” celetuk salah satu dari mereka–yang Rania ingat pernah datang bersama pria muda. Si pria tua yang kejam.

Si pria tua itu menghadang jalan dua preman lainnya, dan memberi isyarat pada mereka untuk mundur. Dialah yang justru datang menghampiri Rania yang ketakutan.

“Ayahmu mati, kan? Dia memang seorang pengecut,” kelakar pria tua itu, tepat di depan Rania yang gemetaran. “Sekarang, ayo berdiri!” Dia menarik tangan Rania untuk berdiri sejajar dengannya.

“A-apa yang kalian inginkan? Aku sudah tidak punya apa-apa!” tukas Rania dengan bibir bergetar.

“Tentu saja. Ayahmu itu miskin, mana mungkin bisa memberimu apa-apa,” tanggap si pria tua dengan seringaian kejam. “Tapi kau cukup punya aset berharga,”

Pria tua itu menelusuri seluruh sisi tubuh Rania dengan tatapannya yang tajam. “Hargamu pasti sangat mahal. Apalagi kau adalah seorang gadis tanpa pengalaman,” Dia lantas tertawa. Dan disambut oleh dua orang temannya di belakang.

“A-apa maksudmu? Lepaskan!” Rania berusaha melepaskan cengkeraman si pria tua dari tangannya.

“Madam pasti senang punya anak baru sepertimu. Ayo!” Pria tua itu menyeret tubuh Rania, yang terus meronta dan berteriak sekeras yang dia bisa.

Apakah ini adalah akhir hidupnya? Dia tahu, sangat tahu kemana pria tua itu akan membawanya. Kenyataan hidup yang bahkan lebih buruk dari mimpinya, membuat Rania mengutuki takdirnya sendiri.

“Lepaskan, lepaskan, brengsek!!” Rania memberontak. Dia menendang, menjambak, dan segala perlawanan yang bisa dia lakukan dengan satu tangan yang masih dibiarkan bebas.

Namun pria tua itu justru tertawa–diikuti dua preman lainnya. Mereka benar-benar iblis yang kejam.

“Lepaskan dia,” Tiba-tiba si pria muda–yang masih diingat Rania, sudah berdiri di depan halaman rumah.

Pria muda itu berdiri tenang, dan ketiga preman besar itu seketika diam mematung. Bahkan si pria tua melepaskan cengkeramannya dari tangan Rania.

“Brengsek!!” Rania spontan menampar si pria tua, selama ada kesempatan.

Si pria tua itu hendak membalas, namun si pria muda memberi isyarat untuk diam. Dia berjalan menghampiri ketiga preman besar itu, berdiri di tengah-tengah dengan gayanya yang pongah.

“Aku akan melunasi seluruh hutang gadis ini! Semuanya, akan kulunasi!” teriaknya lantang, sambil menunjuk Rania.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status