Share

Bab 5. Mangsa Para Predator

Pagi hari Lana terbangun dengan kelelahan mendera. Dia baru tertidur selama dua jam dan alarm sudah menjerit di telinga. Tertatih berjalan ke kamar mandi, Lana membasuh badan untuk menyegarkan diri.

Ia kembali mengerjakan hal yang hampir jadi rutinitasnya. Sejauh yang Lana ingat, dirinya jarang sekali libur dalam sebulan terakhir sebab Isac nyaris tidak pernah berada di rumah. Perlakukan Mona dan segenap keluarga ini kian menjadi, seakan Lana harus mengerjakan semua tugas sendiri.

Kehadiran puluhan pekerja seperti tak lagi diperlukan, mereka lebih menyukai memerintah Lana sebagai wujud dari menunjukkan kekuasaan masing-masing.

Hari ini suasana rumah cukup lenggang. Lana tidak tahu di mana Mona dan anak-anaknya berada, termasuk Esther serta Johan. Ia telah merampungkan tugas beres-beres dan baru selesai mencuci lantai di depan garasi.

Meski apa yang dia kerjakan menyerupai tugas Cinderella, tapi Lana tidak pernah keberatan. Selama dia melakukan tanpa ada kalimat intimidasi dan caci maki, Lana menjalani dengan hati ringan.

Hanya satu hal yang paling dia takutkan, yaitu berada di rumah bersama Lukman atau Johan saja. Dua pria biadab itu sudah berulang kali berbuat tak senonoh padanya. Terakhir kali Lukman nyaris membekap Lana di gudang makanan, dia diselamatkan oleh teknisi yang hendak memeriksa exhaust di ruangan tersebut.

Meski akhirnya teknisi yang membantu Lana itu dipecat, tapi Lukman gagal mengagahi dirinya. Predator munafik yang tak pernah berhenti mencaci dengan kata-kata kotor tersebut selalu bersikap lain jika di hadapan Mona.

Bertindak seolah-olah istri yang memiliki bodi tak lagi menarik di mata Lukman itu tetap menjadi utama, sementara di belakang dia melakukan perselingkuhan licik. Lana terkadang ingin mengadukan pria itu kepada Isac. Tetapi, ancaman Lukman yang bersumpah akan menyakiti ibunya, membuat Lana harus melupakan niat tersebut.

Jam sudah bergerak ke angka sebelas siang, Lana mengusap peluh sementara berjalan menuju ke ruang laundry. Sementara memisahkan pakaian, Asmi–pelayan yang dekat dengan Lana, masuk sambil membawa keranjang berisi baju kering.

“Tinggalin aja, Bu. Biar nanti saya yang beresin.” Asmi selalu merasa tidak enak, setiap Lana melakukan pekerjaan seperti mereka. 

“Udah nggak apa-apa. Nyantai aja, Mbak As.” Lana tersenyum manis, menyadari kesungkanan Asmi dengan posisinya. 

“Bukan gitu, Bu. Mana pantas nyonya besar di rumah ini, melakukan pekerjaan seperti Ibu sekarang?” Asmi adalah wanita yang paling memberikan perhatian khusus pada Lana. 

Kebaikan yang dia berikan sangat tulus dan benar-benar peduli. Wanita berperawakan kurus itu sebenarnya masih muda, mungkin awal tiga puluhan. Namun, terlalu bekerja keras seumur hidup, Asmi tampak jauh lebih tua dari umurnya.

“Titel nyonya besar yang kuperoleh ini cuman kebetulan, Mbak As. Statusku sama aja seperti kalian di mata keluarga Morino,” sahut Lana pelan.

Ingin membantah kalimat tersebut, tapi Asmi tidak melihat itu akan berpengaruh pada Lana. Gadis yang sepantaran adiknya ini terlalu naif dan polos, bahkan nyali untuk menghadapi keluarga Morino saja tidak ada.

“Bu, saya bawa baju ke atas dulu sebelum nyonya Mona balik,” pamit Asmi.

Lana mengangguk, meneruskan memisahkan baju penghuni rumah. Saking fokusnya pada pekerjaan saat ini, Lana tidak sadar jika Lukman menatap dia penuh itikad tidak baik di pintu.

Lelaki yang masih mengenakan pakaian rapi itu seperti mendapatkan peluang emas, untuk menuntaskan niat yang tidak pernah kesampaian. Berjalan tanpa suara, Lukman mengendap pelan, ke arah Lana berada. 

Pria bejat itu bahkan tidak menutup pintu lebih dulu, seketika menyergap dari belakang!

“Hei!” Lana menjerit, saat Lukman memeluk secara tiba-tiba. “Le-lepaskan! Lukman!”

Ia mencoba berteriak sekaligus menepis tangan yang mencoba meraba area buah dada. Sayang, Lukman memiliki tenaga sangat kuat, dia membekuk Lana dengan mudah. 

Tersengal oleh napas birahi, Lukman mengecup leher bagian belakang sambil berusaha menurunkan celana selutut si gadis malang.

Pria yang sudah dipenuhi nafsu syahwat memang bisa sangat beringas. Tangan Lukman sangat lincah sampai berhasil mengunci mangsanya. Ia mencoba mencekal lengan kurus Lana agar menyingkir dari dadanya dan mulai tidak sabar. 

Sret!

Bret!

Kaos pun terkoyak dan membuat situasi kian mencekam untuk pihak Lana.

“Jangaaan! Lepasiiiin!” Gadis itu menangis histeris, berteriak sejadi-jadinya. 

Namun, seperti biasa, tak ada satu pun pembantu di rumah ini yang berani mendekat dan ikut campur. Mereka tahu perangai Lukman, menolong Lana sama saja menjebloskan diri ke dalam masalah besar.

“Tolooong! Jangan, Lukmaaan!” Rontaan membuat tubuhnya hilang keseimbangan, Lana pun jatuh terhempas dalam kondisi telungkup di atas meja setrika. 

Lukman semakin senang, sebab dia bisa menggerayang bokong bulat sekal milik Lana. Tangisan yang terlontar tak lagi pelan, tapi penuh jerit ketakutan. Tubuh gempal Lukman menindih, perut yang agak buncit menekan pinggul Lana hingga gadis tersebut kian tak bisa berkutik.

Tangan menjijikkan Lukman mulai menarik celana ke bawah, walau kaki Lana terus menjejak. Terbelenggu nafsu yang menguasai, Lukman tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.

Saat langkah cepat terdengar dari belakang, Lukman tak sempat menyadari dan tahu-tahu seseorang menarik kerah kemejanya lalu melayangkan pukulan.

BUK BUK BUK!

Tak ayal, Lukman terjengkang dengan celana sudah melorot. Wajah juga dadanya jadi sasaran kepalan tangan bertubi-tubi.

“Ampun! Ampuuun!” Lukman berusaha menutupi mukanya, tapi itu tak bisa menghalangi jotosan yang membuat bibir juga pelipis pecah.

Jejakan kaki dengan sepatu bot juga turut menghajar perut dan pinggang tanpa jeda. Pria menyedihkan tersebut berakhir terkapar, dalam kondisi mengerang kesakitan dan tak sanggup bergerak lagi. 

Terengah sambil mengatur napas, sosok yang berhenti menghajar Lukman kembali menegakkan tubuh lalu meludah dengan ekspresi muak.

“Sekali lagi kamu ngelakuin ini, selanjutnya bukan rumah sakit yang nampung tapi liang kubur!” desisnya bengis.

Lana berdiri merapat ke dinding dengan tubuh menggigil, memandang Pascal penuh ketakutan. 

Ya, lelaki muda yang Isac minta untuk menjaga dia, datang hari ini dan menyelamatkan dari menjadi mangsa predator.

Pascal menarik salah satu handuk, menutupi tubuh Lana yang pakaiannya sudah tercabik tak karuan. “Kamu nggak apa-apa?”

Masih terguncang dalam isak tangis gugup, Lana hanya bisa mengangguk. 

“Mana kamarmu? Aku antar sampe ke sana,” tanya Pascal.

Belum sempat mereka beranjak, suara hak tinggi mendekat terdengar dan lima detik kemudian muncul Mona. Ia menatap Pascal dengan wajah kebingungan, lalu menurunkan pandangan ke lantai dan menemukan Lukman sedang babak belur.

“Sayang!!” Mona seketika panik, menghampiri suami biadabnya yang tak bisa bangkit lagi. “Aduh, kamu kenapa?! Tolongin suamiku dong! Slamet, Unang, Pardiiii!!” 

Semua pekerja laki-laki dipanggil, sementara Mona kalang kabut–tak tahu harus melakukan apa. Ia berpaling pada Pascal dan Lana, spontan darahnya mendidih.

“Bajingan!” Berdiri sambil memasang tampang mirip setan betina, Mona mengacungkan jari pada Lana. “Kamu pasti godain suamiku lagi dan sekarang minta tolong sama kacungnya Isac buat bantuin! Dasar, Perempuan Binal!”

“Jaga mulutmu!” Pascal mendorong kasar Mona yang hendak merenggut rambut Lana untuk membalas dendam. “Jangan macem-macem!”

Perempuan yang dipenuhi kebencian itu kian berkobar amarahnya. Anak buah Isac yang jarang Mona lihat telah berlaku lancang sekali.

“Wah! Berani ngelawan aku?!” Mata bermaskara tebal milik Mona mendelik, seolah hendak keluar dari rongganya. “Pangkat kacung aja mau sok jagoan?! Udah bosen kerja, ya?!”

Pascal tersenyum sinis, mencemooh sikap Mona yang sangat tidak berkelas.

“Aku menerima perintah dari Tuan Isac Morino untuk menjaga Nyonya Lana selama dia nggak ada di rumah! Jadi ….” Pascal menoleh juga ke arah Sola dan Sona yang terpaku sambil berdiri di pintu ruang Laundry. “Tolong dengar baik-baik!”

Dua gadis muda yang baru lepas usia remaja itu terlalu terpana pada raut tampan makhluk di depannya. Konsentrasi mereka tertuju penuh pada Pascal, bahkan kondisi Lukman saja diabaikan.

“Mulai hari ini, siapa pun yang mencoba memperlakukan Nyonya Lana dengan kurang ajar, tidak hormat apalagi berusaha menyakiti dia melalui sikap atau kata-kata, akan berurusan denganku!” Pascal memberikan pandangan meremehkan pada Mona, sampai adik dari Isac tersebut nyaris meledak.

“Satu hal paling penting, jangan pernah nyoba nguji kesabaranku,” sambung Pascal pelan, tapi setiap kata mendapat tekanan. “Aku terbiasa menggunakan kekerasan untuk menuntaskan tugas dari Tuan Morino, kuharap kalian paham risiko pelanggaran dari peringatan yang tadi.”

Pascal melirik Lukman yang akhirnya digotong keluar oleh dua pegawai. Ia tertawa kecil, seolah sedang meledek kemalangan suami Mona yang tak berdaya.

“Kalo kalian nggak seneng, silakan telpon bosku. Aku cuman kacung yang ngejalanin perintah.” Setengah menyindir telak, pria itu memberikan kalimat pungkasan terepik. “Tapi, kalo sampe Tuan Morino tahu perbuatan Lukman terhadap Nyonya Lana, siapkan baju berkabung sekaligus kerudungnya, Mona. Oke?”

Pascal menuntun Lana, yang sudah gemetar tak karuan melihat drama saat ini, untuk segera pergi. Mengeraskan rahang dalam emosi membludak, Mona tak bisa membantah lagi. Di rumah ini tidak ada yang bisa mengubah keputusan Isac, jadi dirinya harus menerima. 

Namun, di luar itu semua, jika Isac tahu perbuatan tak senonoh yang Pascal tuduhkan pada Lukman, suaminya sudah pasti akan menjadi almarhum dalam hitungan detik!

Pernyataan Pascal menjadi alarm bagi penghuni mansion. Mendapat tugas dari Isac secara langsung, Pascal akan melindungi Lana dari rengkuhan para predator di rumah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status