Share

Bab 6. Bencana Keluarga Bejat

Diselamatkan oleh seseorang tidak pernah terbayang dalam benak Lana sebelumnya. Ia pikir semua itu hanya ada di dalam cerita dan mustahil terjadi di kehidupan nyata. Selama ini ia tidak pernah merasa cukup layak untuk mendapat nasib baik, Lana berakhir mengukur segala sesuatu dengan hal yang pasti-pasti dan jauh dari kata muluk-muluk. 

Akan tetapi, hari ini dia mengalami perubahan drastis dalam hidupnya. Ditolong oleh Pascal dalam kondisi terjepit merupakan pengalaman paling mengharukan. Pemuda itu bahkan membantunya kembali ke kamar dan mengambilkan pakaian ganti untuk Lana.

Ia ingin mengatakan sejuta kata terima kasih kepada Pascal, tapi yang keluar hanyalah tangis tersedu. Lana tidak berharap hidupnya sesial ini. Bahkan selama bekerja di kasino saja tidak pernah ada yang sekurang ajar Lukman. Pria biadab itu benar-benar binatang dan jika Lana sanggup, ingin rasanya mencabik tubuh Lukman sampai lumat.

“Nyonya, kamu mau menelepon tuan Morino?” tawar Pascal, menatap dengan pandangan iba pada wanita muda yang masih menggigil dan tersedu lirih.

Lana menggeleng, bibir itu gemetar berikut dengan tubuhnya. Pascal menghela napas, intimidasi yang keluarga ini lakukan sepertinya sudah di luar batas. Dia harus mengambil tindakan, jika tidak … Lana akan menerima perlakuan buruk itu terus menerus.

“Aku akan kembali setelah mastiin di luar baik-baik saja.” Pascal membiarkan Asmi menemani Lana selagi dia keluar untuk menemui keluarga Isac, yang notabene adalah keluarganya sendiri.

Tidak ada yang tahu, jika lelaki yang kini berada di rumah mereka bukan hanya sekedar penjaga pribadi Lana belaka. Keberadaan Pascal memang disembunyikan dari keluarga ini, atas dasar yang dirahasiakan oleh Isac.

Bahkan Pascal sendiri belum paham sepenuhnya, apa tujuan Isac melakukan semua itu. Sejak kecil dia selalu mendengar tentang orang-orang di rumah ini, beserta dengan versi sifat dan karakter masing-masing.

Ayahnya mengatakan, tentang tidak mempercayai siapa pun yang ada di keluarga mereka. Isac bahkan menyebutkan soal keserakahan pamannya, yang selalu meminta uang untuk membeli tanah diam-diam.

Kini, berhadapan langsung manusia yang memiliki ikatan darah dengannya, Pascal mencoba merasakan kedekatan secara emosional. Sayang, dia tidak menemukan sama sekali. Esther dan Johan terlihat paling menunjukkan sikap tak bersahabat.

Sementara Lukman dibawa oleh Mona ke rumah sakit, sisa keluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Meraih rokok yang ada di saku, Pascal duduk di sofa dengan sikap santai. Dia tidak peduli, sekalipun pandangan yang tertuju kepadanya begitu menusuk.

“Aku tidak akan membahas tentang perbuatan laknat Lukman.” Pascal mengepulkan asap dari bibir, sambil menatap si kembar yang seakan tidak terpengaruh oleh kondisi ayah mereka. “Tapi, selama aku di sini, pastikan kalian tidak menyentuh nyonya Lana apalagi melakukan tindakan semena-mena seperti sebelum ini.” 

“Kamu nggak lebih dari kacung yang Isac bayar, jangan pikir dapet otoritas penuh buat merintah kami!” kecam Johan, seketika meradang.

“Oh, menurutmu begitu?” Pascal tersenyum. “Oke, nggak masalah. Bagaimanapun juga, aku tetap melaksanakan tugas dan kalau kalian nggak setuju atau sepakat, silakan lapor ke tuan Morino. Aku hanya menerima perintah dari dia dan bukan yang lain.”

Tidak ada lagi yang membantah, bahkan Esther mulai terlihat menciut. 

“Apa ada pertanyaan?” Pascal memandang satu persatu, menjentikkan rokok di asbak. Semua bungkam termasuk Sola dan Sona. “Baiklah, berhubung nggak ada yang kalian ingin tanyakan, berarti semua jelas, bukan? Aku akan menempati kamar di atas dan mulai sekarang, nggak ada satu pun kegiatan di rumah ini yang terlepas dari pengamatanku. Jadi, jangan bikin hal aneh-aneh!”

Pascal mematikan rokok yang sudah sampai di ujung, berdiri sambil tersenyum sinis. Ia meninggalkan ruang tengah dengan langkah panjang, diikuti sumpah serapah dari keluarga tersebut.

[-]

“Siapa dia, Johan? Aku nggak pernah liat bocah sialan itu! Ada apa dengan Isac? Kenapa kakakmu bertingkah aneh seperti ini?!” teriak Esther, penuh murka dan geram.

Mereka berkumpul secara rahasia, mengambil tempat di paviliun belakang yang selama ini sering dijadikan tempat pesta oleh Sola dan Sona.

“Mana aku tahu? Isac sama sekali nggak pernah ngasih tahu soal dia!” bentak Johan, tidak kalah berang.

“Kalau dia tinggal di rumah ini dalam waktu lama, bisa hancur kita semua diperintah sama si kacung! Aku nggak sudi menuruti dia, Johan! Bisa nggak kamu nelpon Isac? Tanya ke dia, apa maksud kakakmu dengan nempatin bocah keparat itu di rumah?!” pekik Esther, mulai merasa terancam.

“Kamu pikir aku nggak nyoba dari tadi?! Isac nggak nerima panggilanku!” Johan melempar ponsel itu ke meja dengan wajah memerah.

“Aku juga udah nelpon, tapi opa Isac sama aja nggak ngangkat,” cetus Sola. “Sialan, kalo begini kita bisa batal ngadain pesta minggu ini!”

“Padahal aku udah nyebarin ke temen-temen,” keluh Sona. “Bakalan malu deh! Mukaku mau ditaruh di mana coba?”

“Kamu dengar itu, Johan? Cucu-cucumu kena getahnya! Cuman gara-gara Lana anjing itu, Isac jadi nempatin penjaga nggak tahu diri!” tuntut Esther.

Johan mendengus kesal, tapi dia tidak memiliki solusi sedikit pun. Kepalanya berdenyut, memikirkan segala hal yang mendadak berubah di tempat tinggal ternyaman saat ini. Dia mengutuk perbuatan Lukman yang gegabah. Seandainya menantunya itu bisa lebih pintar menggunakan cara halus, mungkin tidak akan seburuk ini. 

‘Obat perangsang udah banyak, tinggal ngasih diem-diem ke Lana, beres! Ngapain juga pake acara merkosa! Dasar Lukman goblok!’ Membatin sambil mengeluarkan sumpah serapah, Johan sama sekali tidak tersinggung oleh niat menantunya hendak mengagahi Lana.

Mona adalah keponakan Johan, seharusnya dia murka dan marah jika mengetahui Lukman melakukan tindakan menjijikkan tersebut. Kenyataannya, Johan justru mengecam kebodohan Lukman yang kurang cerdik dalam menuntaskan kebejatan.

“Arrgh! Persetanlah! Adain aja pesta! Apa susahnya? Kenapa harus ngikutin kacung itu sih?” 

Mendengar dukungan kakek mereka, wajah si kembar kembali berseri. 

“Beneran, ya, Opa?” Sola kembali memastikan. 

“Iya, terusin aja! Nggak usah dipeduliin!” tegas Johan.

Sola dan Sona tak lagi memikirkan hal lain, segera hengkang dari paviliun untuk menyiapkan pesta mereka. 

[-]

Lana mengusap bekas lebam di lengan, akibat cengkeraman Lukman. Ia tidak mampu mengenyahkan bayangan pemerkosaan tadi, terus terngiang dalam memorinya.

Betapa segala penderitaan yang harus Lana alami, kini dilengkapi dengan peristiwa paling menakutkan dalam hidupnya. Lana masih sanggup melakukan segala pekerjaan yang dibebankan kepada dia selama ini, tapi bukan termasuk melayani nafsu bejat keluarga ini.

Bahkan Isac sendiri tidak pernah menyentuh atau memperlakukan dia secara kurang ajar. Suaminya menempatkan Lana di kamar berbeda, memberikan kehormatan sebagai nyonya utama. 

Ketukan halus di pintu kamarnya yang sedikit terbuka, mengalihkan lamunan Lana. Ia menoleh, seiring Pascal masuk dan menyapa lewat senyuman.

“Kamu mau kupanggilin dokter? Biar meriksa kalo semisal ada luka?” 

Lana menggeleng, menyembunyikan lebam dengan selimut. 

“Aku nggak apa-apa,” sahutnya pelan, menunduk dalam-dalam. 

Pascal berdiri dengan kedua tangan di saku, menarik napas berat. 

“Apakah ini udah berlangsung lama?”

Bibir mungil itu membisu, Lana tidak memiliki nyali untuk bercerita. Jika ada yang tahu tentang perbuatan keluarga ini kepadanya, Lana takut akan ancaman mereka.

“Bisa kita nggak ngomongin ini lagi?” pintanya pada Pascal, penuh permohonan.

Kening pria itu berkerut. Lana tampak ketakutan sekali dan sepertinya bukan hanya disebabkan kejadian tadi. 

“Nyonya, suka atau enggak, kita harus ….”

“Tolong ….” Lana menyambar kalimat itu sebelum selesai. “Lupakan dan aku nggak mau nungkit lagi.” 

Pascal benar-benar kaget. Ada yang tidak beres dan dia ingin mencari tahu lebih jauh. Mustahil mengulik dari mulut Lana, sebab gadis itu tidak akan bicara.

“Oke, maaf.” Pascal mengangguk, berusaha menekan rasa penasaran saat ini. “Aku mau minta izin untuk mengambil beberapa dokumen di brankas tuan Morino.”

Lana menghela napas lega, lalu mengiyakan. “Kamu bisa ambil di kamar sebelah.”

Jawaban tersebut menghadirkan kejutan berikutnya. Pascal membasahi bibir, tampak tidak percaya jika ….

“Kalian nggak tidur sekamar?” tanyanya dengan suara kering.

Kepala Lana menggeleng, sementara tangannya mengambil kunci dalam laci, lalu menyorongkan benda tersebut di atas kasur kepada Pascal.

“Dia menerima aku sebagai istri sebagai bayaran atas hutang dari keluargaku. Isac nggak sebejat atau sekotor pikiran orang-orang di luar sana.”

Segala tuduhan keji untuk ayahnya, seketika luntur. Pascal tertegun selama beberapa detik, seiring rasa bersalah menyelimuti batin.

“Ayahmu adalah pria baik yang paling kupercaya, melebihi siapa pun juga, Tuan Maximus.”

Pujian Lana untuk Isac mempertegas fakta, bahwa Pascal tidak pantas melekatkan stigma buruk pada lelaki tersebut. Kesetiaan Isac mungkin bisa dipertanyakan pada Andini, tapi selama bersama Yolanda–ibunya, pria itu tidak pernah menduakan. Sempat mengecam Isac sebagai tukang kawin, Pascal sepertinya harus mengubah pandangan itu.

“Aku akan mengambil berkas itu di sebelah,” pungkas Pascal, tidak ingin membahas lagi mengenai ayahnya. 

Lana mengangguk, membiarkan pria itu berlalu dari kamarnya.

[-]

Pascal berjalan menuju ke depan, seiring orang kepercayaan dia di kantor datang. 

“Rus, aku mau kamu pasang setiap sudut dengan CCTV! Jangan ada yang lewat, karena ini penting! Paham?”

Ahli IT bernama Rusli itu mengangguk dengan cepat. “Paham, Bos!”

Mereka menelusuri setiap titik, sambil Pascal menentukan posisi mana saja. 

“Pastikan CCTV itu terhubung ke emailku dan bos Isac. Jangan ada yang bisa mengakses, kecuali kami berdua.”

Rusli mencatat dengan baik, setiap pesan yang Pascal ucapkan. 

“Satu lagi!” Sebelum mengakhiri, bos kedua di perusahaan besar Morino tersebut menandaskan perintah berikutnya. “Perbaiki sistem keamanan, aku mau ditingkatkan lebih baik. Ganti nomor pin dan pastikan hanya terhubung dengan dua email kami.”

Segala perintah Pascal hari itu diiyakan dengan patuh. Rusli pun pamit, agar bisa segera bertindak. Pascal menarik napas lega, kembali melanjutkan tugas selanjutnya.

Ia memasuki ruangan yang akan Pascal pergunakan sebagai kantor pribadi. Pengawai rumah sudah selesai merapikan dan dia sangat puas akan hasilnya. 

BRAK!

Pintu kantornya dibuka dengan kasar, Johan masuk disertai muka merah padam.

“Kenapa aku nggak bisa ngakses rekening pribadi sendiri?! Petugas bank bilang, kalo kamu membekukan untuk sementara waktu! Apa-apaan ini, hah?!”

Pascal yang belum sempat duduk tersenyum, ia menaik bangku beroda dan menghempaskan pantat santai.

“Bukannya sudah kukatakan sejak awal, Tuan Johan Antares?” Jawaban itu sangat tenang dan penuh penguasaan diri. “Aku diberi kekuasaan penuh oleh tuan Isac Morino, kakakmu, untuk mengelola dan tinggal di rumah ini sementara waktu. Jika ada keberatan, silakan bicara pada beliau. Pembekuan rekeningmu kulakukan, karena aku melihat terlalu banyak dana mengalir ke sana dan Melan sedang menyelidikinya. Kalau semua baik-baik saja, kamu akan mengakses lagi dalam waktu dekat. Jangan khawatir.”

“Bajingan, kau benar-benar bajingaan!!” pekik Johan murka.

“Hei, jangan jadikan ini masalah pribadi. Oke? Kuingatkan satu kali lagi, seperti sebutanmu dan yang lain kepadaku, aku adalah kacung dan pelaksana tugas belaka. Paham?”

Bibir Johan bergerak-gerak diikuti mata mendelik, tapi tidak ada yang bisa dia ucapkan sebagai bantahan. Suka atau tidak, menerima atau menolak, kondisi mereka tidak akan berubah.

Pascal adalah penguasa di rumah untuk sementara waktu dan bencana ini akan menjadi mimpi buruknya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status