Share

Bab 4. Mengejar Nikmat Dengan Bayangan

Apartemennya terasa lenggang dan Pascal baru menyadari setelah delapan tahun hidup sendiri. Menatap ke setiap sudut, ia menemukan kebosanan mengintip dari perabotannya yang terkesan kaku dan jauh dari kesan hangat.

Ia melangkah gontai, melemparkan kunci ke meja tinggi marmer yang terdesain menyatu dengan dapur mininya. Kaki menapak tanpa suara, menuju kamar mandi. Pascal mengguyur badan di bawah pancuran, sementara memikirkan obrolan bersama Isac dan Lana.

Seakan enggan meninggalkan benak, apa yang Pascal lihat dan alami sore tadi hingga mengantar ibu tirinya yang masih belia, terus mengisi ruang memori.

Secara logis, kesan yang ada dalam pikiran rasionalnya ada tentang dua hal. Iba sekaligus kesal!

Iba terhadap kemalangan yang menimpa Lana, kesal sebab dirinya dianggap orang asing yang tidak bisa dipercaya. Cewek bertampang memelas tersebut bahkan jelas-jelas menolak untuk dia jaga, dan menerima dengan terpaksa setelah Isac berhasil meyakinkan.

‘Brengsek!’ umpat Pascal dalam hati, menyudahi bilas badannya dan menyambar handuk.

Dia butuh sesuatu untuk mengalihkan kekusutan otak yang kian parah, setidaknya melepaskan adrenalin emosi memuncak saat ini. Mengetik pesan dengan cepat, jari-jari yang terbiasa berlatih memukul benda keras itu mengirim pesan.

[Dateng sekarang, aku butuh!]

Lagi-lagi ia melempar benda itu sembarangan ke sofa, lalu menuju ke dapur mini yang jadi satu ruangan dengan ruang tamu. Apartemen studio yang Pascal pilih memang demi alasan tidak ribet, memiliki tempat kecil asal nyaman sudah lebih dari cukup.

Masih berbalut handuk yang memamerkan bentuk tubuhnya yang laksana pahatan patung dewa Yunani, Pascal membuat minuman di teko kaca bening. Dengan lincah tangannya menuang Bacardi, sedikit gula dan es batu. Ia mengaduk cepat, lalu menuang ke dalam gelat bulat dan jadilah klasik Bacardinya setelah ditambah irisan jeruk.

Tegukan pertama lumayan melelehkan sebagian dari tumpukan beban di kepala. Pascal menyalakan musik santai dengan beats ringan, lalu menghempaskan diri di sofa panjang. Televisi itu ia nyalakan, menjadi selingan ringan sementara menunggu.

Ceklek. 

Pintu apartemen dibuka, wanita yang menguarkan parfum lebih cepat dari kedatangannya itu tersenyum saat menemukan pria yang mengirim pesan sedang duduk di sofa.

“Kupikir kamu langsung jagain simpenannya bos,” cetus perempuan itu seraya melepas jaket juga sepatu hak tingginya.

“Besok baru tugas,” sahut Pascal singkat, menyesap isi gelas. 

“Cantik nggak dia?” Wanita yang menuang minumannya sendiri itu terdengar penasaran.

“Nggak merhatiin.” Tetap bersikap acuh, Pascal seolah malas membicarakan topik yang dia sendiri ingin mengenyahkan dari isi otaknya. 

“Gila, ya? Isac Morino yang kaku dan nggak pernah kegoda cewek, ternyata punya barang bagus di rumah,” komentar wanita dengan tubuh sensual itu dengan kagum.

Pascal terdiam, masih tidak menanggapi dengan antusias. Bukan hanya Melan–nama perempuan yang sekarang bersamanya, saja yang kaget. Dia sendiri masih tidak berhasil menemukan alasan tepat untuk menjawab keputusan Isac memperistri Lana.

Ditilik dari rupa dan bentuk badan, Lana sekilas tidak ada yang istimewa. Masih banyak wanita-wanita setara model Victorian Secret yang rela menjadi teman tidur ayahnya. Anehnya, Isac sama sekali tak pernah tergoda. 

“Tujuh tahun aku kerja buat Isac, baru ini nemuin rahasianya dia yang tertutup rapat.” Melan adalah asisten pribadi Isac yang memegang bagian keuangan.

Meski memiliki tampang wanita penggoda, tapi Melan tidak bisa diremehkan. Dia bisa menembak dahi lawan atau seseorang tanpa pertimbangan, selama itu diperintahkan oleh Isac. Semua mengenal Melan sebagai anjing pemburu Isac yang paling patuh.

Usai meneguk minuman hingga habis, Melan berdiri di depan Pascal lalu melepas pakaiannya satu persatu. Payudara yang berukuran besar itu menggantung, menggundang birahi Pascal seketika.

Putingnya yang kecil dengan nuansa pink tampak mulai mengacung, seakan memanggil mulut Pascal untuk segera mengulum. Lipatan mungil yang ada di antara pangkal paha juga tak lepas dari mata nanar pria tersebut. 

Jemari lentik itu membelai tengkuk Pascal sementara berdiri, Melan menikmati lidah yang menyapu aerola dan seluruh payudaranya tanpa terlewatkan.

“Aku berharap suatu saat bisa ngajak Isac tidur, aaah …. hmmm, aaaah.” Rintih penuh ekspresi birahi itu benar-benar meningkatkan gairah Pascal. Dia bahkan tidak peduli, ketika Melan menyebut pria lain yang notabene adalah ayahnya sendiri.

Hubungan badan yang sekarang mereka lakukan tak lebih sekedar saling memuaskan belaka, tanpa melibatkan perasaan.

Melan menarik handuk itu dalam gerakan cepat, benda tumpul yang telah terprovokasi oleh lekuk tubuh sintalnya berdiri tegak bak tugu monas.

Sembari mengocok lembut, Melan mendekatkan puncak buah dadanya satu lagi pada Pascal. Pria itu menyambar dengan mulutnya, mengisap kuat sementara jari itu bergerak ke arah bawah. 

Melan membuka mulut dalam desahan disertai mata terpejam, saat jari tengah Pascal sukses melelehkan cairan asmaranya. Betapa mudah bagi lelaki muda itu membuatnya terangsang. Melan tak lagi sabar, ia naik ke paha Pascal saking nafsunya.

Dengan napas memburu, ia memasukkan batang keras yang berukuran panjang dan gempal ke dalam tubuhnya lewat terowongan surga.

“Aaaah!” Melan mengerang, seiring dia menekan ke bawah dan seluruh rudal Pascal amblas.

Bokongnya mulai bergoyang lihai maju mundur, membentuk gerakan erotis yang sukses membuat Pascal merem melek keenakan. Namun, senikmat apa pun seks yang mereka lakukan, semua sebatas sentuhan fisik semata.

Perasaan Pascal hambar, tidak ada emosi yang terlibat. Kadang dia butuh satu jam untuk menggapai klimaks, sebab seenak apa pun hubungan badan mereka, terasa ada yang kurang.

Racauan dan rintihan Melan kian keras dan goyangannya pun makin cepat. Wanita itu mengakui, di antara sekian laki-laki pemuas nafsunya, hanya kejantanan Pascal sajalah dia bisa keok dalam sekejap. 

Selain ukurannya jumbo dan paling unggul, Melan merasa sex appeal Pascal sangat sulit untuk diabaikan.

“OOOOH! Shiiit!” Melan memekik, menggapai puncaknya dalam sepuluh menit pertama. 

Memberi jeda untuk wanita itu memulihkan diri, Pascal memintanya ganti posisi. Melan setengah rebah dengan kaki mengangkang lebar, lalu lelaki itu menumpukan lutut di sofa untuk kemudian menghajar tanpa ampun.

Melan hanya bisa menggelengkan kepala, menjerit pasrah dalam balutan nikmat. Dia benar-benar tergila-gila oleh cara Pascal menyetubuhi dirinya. Genjotan brutal itu sukses mengantar gelombang klimaks tanpa henti, sampai Melan gemetar dan tak kuat bersuara.

Satu jam berlalu, Pascal masih bertahan. Ia membalikkan tubuh Melan sesuka hati, lalu kembali melesakkan rudalnya dalam dorongan kasar. Suara berisik penanda nikmat memenuhi apartemen, Melan dibuat bahagia selama satu jam lebih.

Lelah mulai menghampiri, Pascal memusatkan fokus agar bisa meledak dalam waktu dekat. Ia menutup mata, sementara batangnya yang sudah mengkilap keluar masuk cepat. Detik-detik seluruh titik nikmatnya berkumpul, lintasan wajah Lana berkelebat. Entah kenapa, itu justru memicu rasa nikmat tiada tara dan Pascal pun mengejang hebat sambil menghunjamkan dalam-dalam.

“AAAAH!!”

Pekikan Melan menyusul, menjepit benda tumpul yang terbenam hingga menyentuh batas rahim terdalam. Sesekali wanita itu menggerakkan bokong, seolah masih terasa enak di antara kemeriahan orgasme saat ini. 

Pascal melepaskan tautan tubuh, lalu duduk di sofa sambil bersandar untuk mengatur napas. Kedua mata itu terpejam, pria muda yang tengah kacau balau tersebut benar-benar tak mengerti akan diri sendiri.

‘Sial, ngapain bayangin Lana sih?!’

Meski dia tak memahami arti dari perasaan yang sedang berkecamuk dalam batinya, tapi Pascal tidak menyangkal sedikit tentang kenikmatan barusan terasa berbeda dari selama ini.

Terdengar sangat menyedihkan, bila dia sedang menghajar kemaluan seseorang sembari membayangkan wajah perempuan lain yang menurut Pascal selalu muram dan menyimpan luka.

Saking kacaunya dia, sebab ini baru kali pertama mengalami hal barusan, Pascal tidak mempedulikan Melan yang pamit pulang.

Selama setengah jam terduduk, raut muka istri ayahnya kian jelas tercipta dalam kepala. Pascal tanpa sadar menyentuh pusakanya yang masih terasa licin oleh sisa lahar yang tadi. Tangannya bergerak naik turun, seiring dia menyebut nama seseorang.

“Lana ….”

Batang itu kembali mengeras, Pascal yang tidak pernah merintih sekarang mengerang juga mendesah. Fantasi liar Pascal tengah membayangkan Lana dalam tindihannya, mendesis lirih sementara dia menghentak cepat dan kuat.

“Oooh, aaaah … aaaah!”

Wajah polos dengan bibir ranum yang selalu basah itu seperti ada dalam lumatannya. Pascal seperti bisa mengecap manis dan kehangatan bibir Lana.

Gerakan tangan yang bergerak cepat itu semakin tak terkendali. Tangan Pascal satu lagi mencengkeram lengan sofa, dan teriakan yang dibarengi tubuh mengejang patah-patah itu menyemprotkan cairan dari ujung rudalnya.

“OOOH, OOOH, LA-NA ….”

Tidak sampai lima belas menit dia tumbang, Pascal sampai gemetar saking merasakan nikmat tiada tandingan. Matanya mengerjap sayu, rasa malu merayapi segenap jiwa juga pikiran. Ia menatap lelehan kental di seluruh jemari, kutukan sumpah serapah terus terlontar dalam hati.

‘FUUUCK! Ngapain jadi bayangin itu cewek sih?! Bangsat!’

Antara rasa sesal dan jengah, Pascal kembali mengakui nikmatnya menggapai puncak sambil membayangkan Lana. Dia berusaha menata logika dan menguasai diri, tapi definisi dari yang sedang Pascal alami tetap tak terjelaskan.

Apa yang telah terjadi pada dirinya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status