Share

Bab 7. Perubahan Meresahkan

Pagi itu sangat berbeda. Tidak ada yang mengedor pintu kamar Lana, apa lagi berteriak padanya. Keluarga suaminya bersantap dengan wajah tegang, melirik ke arah Pascal yang tampak tenang menghabiskan sarapan.

Lana tidak turut duduk di sana, bahkan ketika Pascal mengajaknya, ia menolak. Pria itu masih bisa menahan diri, memantau semua dan mempelajari satu persatu kejadian. Dia tidak habis pikir, Isac membiarkan istrinya tersiksa di sangkar emas yang ayahnya ciptakan untuk Lana.

“Tinggalkan semua itu, Nyonya!” seru Pascal, ketika melihat Lana membereskan meja makan. 

“Kenapa?” tanya gadis itu, tak paham larangan yang dicetuskan.

“Bukannya ada pegawai yang sudah dibayar untuk mengerjakan?” Menatap dengan tajam, Pascal tidak menyukai tindakan Lana yang menempatkan dirinya sebagai pembantu.

“Dia terbiasa melakukan itu! Kenapa harus mengubah kalo Lana suka?!” sambar Esther, dengan muka sinis.

Pascal berpaling pada wanita tua dengan raut dingin. “Bagaimana jika kamu yang menggantikan dia, Nyonya Antares? Bagus untuk kesehatan tulang tuamu, supaya tidak kegemukan!”

Esther mendelik, bibirnya yang terpoles gincu merah bergerak penuh emosi. 

“Kau …,” desisnya. 

“Ada masalah dengan saranku tadi?” tanya Pascal, sementara tak mengalihkan tatapannya. 

Johan tampak tak peduli, karena sibuk memikirkan nasib uangnya di bank. Mona pun tidak nampak, si kembar entah ada di mana. Melihat dirinya tak ada yang membela, Esther membanting lap dan meninggalkan ruangan dengan langkah kesal.

Lana menggelengkan kepala, menatap Pascal yang kembali meneguk kopi dengan santai. Satu persatu taring keluarga suaminya dicopot. Tak ada yang berani membantah Pascal ….

[-]

“Aku akan mengantarmu dan menjemput sendiri sore nanti,” tegas Pascal, ketika Lana berpamitan untuk pergi ke rumah orang tuanya.

Gadis itu hanya mengiyakan dalam diam. Tak ada bantahan apa pun, hanya menuruti semua peraturan yang Pascal terapkan. 

Kunjungan hari ini adalah wajib dan sudah Isac sepakati dengan ibu dan paman Lana, untuk istrinya pulang dua minggu sekali. Sebetulnya bukan untuk melepas rindu, sebab Lana tidak pernah memiliki ikatan batin apa pun dengan ibu juga pamannya. 

Satu-satunya hal yang diharapkan oleh dua manusia itu adalah jatah uang dari Lana.

“Ini ponsel baru untuk menggantikan milikmu yang lama.” Pascal menaruh paperbag di samping tempat duduk Lana, sementara mobil melaju. “Sudah siap pakai dan nomor yang tersimpan adalah milikku dan punya tuan Morino.”

Lana menatap kotak yang ada di dalam, semakin tidak memahami perubahan demi perubahan yang terjadi saat ini. 

“Biasakan diri untuk menjadi nyonya dan nasibmu tidak lagi seperti kemarin.” Entah peringatan atau saran, Lana sama sekali tak peduli. Ia menoleh ke sebelah, di mana Pascal berada.

“Kapan Isac pulang?” tanyanya pelan. Dia lebih memilih suaminyalah yang berada di rumah, daripada pria muda ketus dan kasar seperti Pascal.

Meski secara garis besar perlakuannya adalah meringankan beban Lana, tapi dia tidak menyukai cara bicara dan sikap angkuh juga dingin lelaki itu.

“Cukup lama.”

Jawaban singkat itu kurang menyenangkan. Lana malas melanjutkan, mengalihkan muka ke depan dan berusaha mengabaikan keberadaan Pascal.

[-]

“Cuman segini aja? Kenapa makin lama suamimu semakin pelit? Nggak ada peningkatan dan ngasihnya selalu ngepas!” kecam ibunya, merenggut amplop yang Lana sodorkan. 

Anaknya sudah terbiasa, menerima perlakuan sinis dari wanita yang dia panggil ibu. Sudah sejak pagi paman dan ibunya terlihat gelisah, berkali-kali keluar masuk kamar. Lana menebak ada masalah yang muncul dan tidak dia ketahui. Kepulan asap dari ruang tengah memenuhi udara. Ibunya seakan berlomba dengan pamannya mengisap rokok, sementara berembuk.

Lana masih mencuci piring dan membereskan dapur lepas makan malam. Dia tidak peduli akan dengung keresahan yang saat ini terlontar. Pulang ke rumah ini, dia tidak juga mendapat kelonggaran untuk bersantai. Tetap membersihkan rumah dan merapikan semuanya. 

“Mati kita, Ndra, kalo sampe nggak bisa bayar. Kamu mikir dong, cara dapetin duit cepat.” Ibunya tampak mulai melontarkan kalimat bernada kesal.

“Untuk sementara aman, Mir. Orang itu udah kubungkam tiga ratus juta.” Pamannya mencoba menenangkan.

“Dia minta satu miliar, Indra! Tiga ratus juta itu jauh dari kata semiliar!” Mirah mulai jengkel.

“Buntu otakku, jangan neken teruslah! Lama-lama bisa meledak kepala ini!” Indra pun perlahan turut emosi.

Obrolan dua orang yang memuakkan hati Lana terus berlangsung. 

Mirah Satiningrum adalah perempuan cantik yang memiliki tubuh rupawan, tapi sangat ambisius. Menikahi ayah Lana, Johan Bastin, harapannya untuk menjadi kaya raya harus pupus. Johan yang bekerja di bea cukai menolak untuk korupsi, bekerja jujur adalah prinsipnya sedari dulu.

Sementara teman sejawat mulai menanjak kehidupannya, Johan merangkak pelan. Lama-lama Mirah pun gerah. Kehadiran Indra, adik kandung Johan, mulai mengguncang rumah tangga mereka.

Saat mengetahui perselingkuhan keduanya, Johan berniat menceraikan Mirah. Lana masih berusia tujuh tahun waktu itu. Akan tetapi, sebelum ketok palu, Johan ditemukan terbunuh di pelabuhan. Tubuhnya mengalami luka tembakan lima kali, diduga aksi dari gembong mafia yang tidak suka Johan menolak uang suap mereka.

Belum sampai sebulan, Indra tinggal di rumah dan dia bertingkah seolah-olah menjadi paman yang baik dan bertanggung jawab. Hanya Lana yang tahu, bagaimana lelaki itu setiap malam menunggangi ibunya yang merintih dan menjerit penuh nikmat.

“Mungkin kita harus nyoba utang sama koh Lim, Mir.” Indra mencetuskan ide yang menurutnya brilian tersebut. “Paling dia ngajuin syarat minta kamu tidurin.”

Mirah tidak pernah keberatan melakukan itu. “Kalo dia mau? Kalo enggak?”

“Pasti mau, siapa yang bisa menolak keseksianmu?” Indra menarik Mirah agar mendekat. Kursi itu tergeser, seiring tangan Indra mendarat di payudara Mirah yang tidak terlindungi bra.

Mengenakan daster bertali satu, perempuan berusia tiga puluh sembilan tahun ini memang benar-benar memiliki lekuk badan yang sintal dan menggairahkan untuk para lelaki. Menikahi Johan pada usia muda, terkadang semua mengira Mirah dan Lana adalah kakak adik.

“Ooh, kamu bikin aku basah, Ndra …,” rintih perempuan itu, saat mulut adik iparnya mengulum payudara bergantian. Benda kenyal itu sudah dipenuhi liur, lumatan Indra benar-benar tampak beringas.

Jemarinya meremas rambut Indra, sementara kedua mata terpejam. Mulut itu terus mendesis, sesekali lidahnya terjulur. Indra tidak akan pernah puas menggarap tubuh Mirah. Setiap saat dia akan menuntaskan hasrat, tak peduli ada di mana. 

Tangan Indra mulai menyelusup ke pangkal paha, menemukan lembah basah yang siap untuk menghangatkan dirinya. Pinggul Mirah meliuk tak tentu, dada itu kian membusung.

“Sini, aku udah sabar nih!” Indra menjauh, menurunkan celana pendeknya dan duduk di sofa. 

Mirah segera mendekat dengan napas memburu. Birahinya sudah memuncak, terlebih lagi ketika melihat benda tumpul sudah mencuat gagah. 

Untuk masalah kejantanan, ukuran milik si Indra memang tidak tertandingi di mata Mirah. Stamina lelaki yang sanggup bercinta dalam durasi lama itu juga membuat Mirah selalu ketagihan.

Ia naik ke atas pangkuan, melesakkan pedang mengkilap yang kini amblas ke dalam rahimnya.

“Oooh!” 

Mengerang bersamaan penuh ekspresi nikmat, di ruang tengah tersebut dua insan mengejar puncak. Lana mendadak mendengar rintihan dari ibunya, berikut kata-kata kotor yang diucapkan keras-keras. Dia seketika memejamkan mata, menahan rasa nyeri yang mendera dada.

Ibunya mirip pelacur, yang bersedia digarap di mana saja. Indra sendiri tidak lebih dari pria menjijikkan, yang Lana tidak pernah harapkan akan hadir dalam hidup mereka. Beruntungnya, Indra tidak pernah berniat menggagahi dia. Lana paham, jika pria sakit itu hanya tertarik pada wanita yang lebih tua. 

“Goyang lebih cepat, Mirah! Teruss, aaah!”

Dengan kepala tertunduk, Lana melewati ruang tengah untuk menuju kamarnya di atas. Kedua orang tersebut sama sekali tidak peduli, seakan mengabaikan keberadaan dia.

Begitu sampai di kamar, Lana menangis sejadi-jadinya. Satu persatu perubahan memang terjadi, tapi dia tak mengharapkan seperti ini. Pascal adalah pilihan buruk sebagai penjaganya, sementara situasi Mirah membuat Lana kian merasa muak.

‘Sampai kapan aku menjalani hidup kayak gini?’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status