“Gila, lo yakin mau ke sini?”
Ragata masih ragu, dari luar saja sudah terdengar suara musik yang sangat-sangat keras. Bukannya tidak pernah mendatangi tempat seperti ini, namun Ragata sedang tidak mood untuk mengulang kembali kebiasaannya waktu masih kuliah dulu.
Sebagai seorang lelaki, dia memang pernah mendatangi tempat-tempat seperti itu.
“Musiknya doang yang kegedean, Ga. Dalamnya masih gada apa-apa, lo gak usah mikir yang lain-lain deh. Udah masuk aja, daripada lo balik lagi?”
“Ya mending gue balik aja daripada harus di sini!”
“Goblok!” Angga meletakkan tangannya di pundak Ragata, dan memaksa temannya itu agar memasuki café di depan mereka. Sudah terlanjur juga lagian, nanggung banget, kang parkir yang nanti tersenyum.
“Udah, gak usah sok alim lo. Lagian gue heran deh sama lo, kenapa lo gak pernah nyentuh si mantan sih? Kan kalo dia hamil duluan, ya dia gak bakal selingkuh!”
“Ck, bisa diam gak sih? Kenapa sih lo masih bawa-bawa nama dia? Udah gue bilang dari dulu, gue gak mau nyentuh wanita.”
“Tapi kan lo sering disentuh!”
Ragata hampir saja menyemprot Angga, jika ponsel lelaki itu tidak berbunyi. Sebagai dokter, ponsel mereka tetap harus dibunyikan. Itu adalah kewajiban mereka.
“Sial, harusnya gue pura-pura gak bawa ponsel aja.”
“Operasi dadakan?”
Dari raut wajah Angga sudah cukup menjelaskan semuanya. Ragata membiarkan lelaki itu untuk berbicara dengan seseorang di ponselnya. Langkahnya membawanya masuk lebih dulu, mengantri di antara barisan-barisan yang akan memesan kopi. Jika dilihat, tempat ini memang tidak seburuk pikiran Ragata. Hanya musiknya saja yang terlalu keras.
“Maaf mbak, kalau memang gak bawa duit, mbaknya bisa ngantri di belakang atau pesan nanti aja!”
“Aduh maaf banget mas, gue lupa bawa dompet. Teman gue juga belom datang, apa gak bisa bayar nanti aja mas”
Saat mengantri, gadis di depan Ragata terlihat sedang bernegosiasi. Ragata berdecak, dia tidak tahu jalan pikiran anak muda zaman sekarang ini. Jika dilihat dari penampilannya, gadis di depannya itu sepertinya masih anak kuliahan.
“Bayar sekalian punya gue aja!” seru Ragata, niatnya untuk mempercepat antrian. Sebab lelaki di belakang Ragat sejak tadi sudah mengumpat dengan kasar.
Ragata lekas berlalu, dan memasuki café itu. Tidak terlalu memperhatikan gadis yang tadi dia bantu, dan mengucapkan terima kasih padanya. Selain Angga, ternyata sudah ada Andreas di dalam menunggunya.
“Raga, Angga mana!” teriak Andreas begitu menatap kehadiran Ragata. Dia masih saja terbawa emosi karena kejadian tadi sore.
Menaikkan bahunya tidak peduli, Ragata lekas duduk dan menatap ponselnya. Angga baru mengiriminya pesan, lelaki itu harus segera kembali ke rumah sakit karena operasi dadakan.
“Dia balik ke rumah sakit, katanya ada operasi dadakan!”
“Shit, operasi apanya. Gue tau itu bocah pasti sengaja menghindar, lo tau gak sih tadi dia nyiram gue pas lagi bareng doi gue?”
“Lagi adegan plus-plus pasti!”
“Ya elah, ya kan tapi dia gak berhak buat gituan gue!”
“Lo make meja kerja lo?”
Mendadak Andreas diam, dia menatap Ragata kesal.
“Ya wajar aja sih menurut gue, lagian lo buat adegan plus-plus di ruang kerja yang satu sama Angga. Kalo dia di posisi gue, ya mungkin gue juga bakal buat hal yang lebih keji!”
“Bangsat emang lo berdua, apes banget punya teman kayak lo berdua!” Andreas mengeluh, dia benar-benar jengkel dengan Angga dan juga Ragata, “dobel shit tau gak sih?”
“Wow…wow…woww…tenang, tenang.” Justin yang baru saja mendaratkan pantat berisinya menengahi pertikaian diantara teman-temannya. Dia meletakkan sebotol wine di depan meja. Hal itu sontak menarik perhatian Andreas.
“Gila, lo bisa bawa Wine kemari?”
“Yaelah, gue beli lah. Masa bawa, itu ada di sana. Ini Café kan buat orang dewasa, gue heran kok sekarang ada anak-anak kuliah yang nongki di sini ya. Harusnya kan mereka gak lulus sensor!”
Andreas mengangguk setuju, di daerah pojokan, memang terlihat banyak mahasiswa. Tapi melihat dari tampang-tampang stress muda-mudi itu, seketika Andreas sadar jika mereka sepertinya mahasiswa tingkat akhir yang sedang pusing dengan skripsinya.
“Mahasiswa akhir kayaknya, ngomong-ngomong lo besok harus ke kampus gak sih? Tapi lo kok malah nongki malang-malam gini?” Justin bertanya sambil menuangkan wine ke botol kecil yang baru diantar oleh salah satu kenalannya.
“Kampus apanya?” Ragata bertanya, namun mata elangnya sejak tadi merasa bahwa ada yang memperhatikannya. Benar saja, 4 meja dari mereka, sekumpulan anak muda—lebih tepatnya 3, sedang mem perhatiannya.
Berbisik-bisik, lalu ketawa saat Ragata balas menatap mereka. Jika dia tidak salah, salah satu ketiga orang itu adalah gadis yang tadi dia bantu. Ragata tersenyum miring, gadis itu sepertinya ular licik.
“Lo ngeliatin siapa, segitunya sampe gak dengar gue. Lo naksir sama cewek di bawah umur? Jangan-jangan lo mengidap…”
Pluk
Andreas menimpuk mulut Justin lebih dulu, sebelum pembicaraan mereka akan menyangkut masalah pernikahan Raga yang gagal. Andreas hanya berjaga-jaga, karena Justin itu memiliki mulut ember yang ga ada remnya. Jadi selalu bocor gak tau situasi kondisi.
“Kampus apaaan?”
“Kalian gak baca grup pasti. Tadi baru diumumkan, besok kita jadi sukarelawan ke kampus UB buat nyuntik lagi!”
“Kok kita sih? Rumah sakit apa gak punya dokter umum aja atau gimana gitu?” Andreas mengeluh, “gue gak suka masuk kampus lagi. Gada enak-enaknya, mending masuk klub, dapat tontonan gratis itu!”
“Yeay, dari dulu kita gak pernah ikut karena ngeles terus. Sekarang ga ada alasan lagi, gue kesel liat perawat yang tadi adu mulut sama gue pas rapat!”
“Wulan?”
“Lo kenal?”
“Dia cewek bayaran bukan sih? Dengar-dengar dia sering keluar masuk ruangan dokter Sam, lo tau kan itu dokter meski umur udah tua, tapi tetap aja gatel banget sama cewek!”
“Bukannya dia suka sama Angga?”
“Dia suka sama semua cowok yang mukanya tampan!”
“Dokter Sam?” Justin bertanya ragu, karena sewajarnya, tidak ada wanita yang tertarik dengan dokter satu itu jika bukan karena…” Good rekening?”
“Tepat sekali!”
Pembicaraan mereka akhirnya merambat pada masalah pekerjaan, asmara dan pernikahan. Ragata yang merasa sedikit mabuk izin untuk pergi ke toilet. Tenggorokannya terasa terbakar, padahal dulu dia kuat sekali mabuk.
Hampir saja tubuhnya oleng, jika tidak ditahan. Samar-samar Ragata menatap wajah yang terlalu dekat dengannya. Mengetahui bahwa itu adalah perempuan, sontak membuat Ragata menarik dirinya.
“Minggir lo!”
“Ma…maaf, sir? Gue gak bermaksud apa-apa, tapi gue cuman mau bilang…”
Huek
Ragata muntah. Andreas dan Justin yang menatap itu lekas berlari panik, dan membawa Ragata.
“Aduh…lo kena ga?”
“T…tidak!” Rindu Senja, yang tadinya ingin mengembalikan duit sosok yang sudah membantunya di kasir sedikit terkejut. Dia berjalan mundur, dan membiarkan ketiganya pergi dari hadapannya.
Namun, dia tidak bisa menghilangkan senyuman di bibirnya. Tidak bisa menampik bahwa dia tertarik pada sosok itu. “Menarik!”
“Yaelah…Rin…Rindu Senja!” teriakan itu memenuhi lorong kampus. Sedangkan yang dipanggil terus berjalan lurus tidak peduli. Gadis itu menjadi pusat perhatian dari beberapa orang yang juga lewat di koridor, atau hanya sekedar duduk di bangku yang memang disediakan di sana.Fakultas kedokteran selalu sunyi, bahkan di koridornya sekalipun. Sudah horor, makin horor ketika para mahasiswa itu duduk di koridor dengan buku yang tidak lepas dari pandangan mereka.“Rindu, lo kenapa sih? Pagi-pagi udah bete aja jadi orang, niat hidup gak sih lo? Udah fakultas kayak kuburan heningnya, lo malah…yaelah, gue ditinggal kan!” Pandu berdecak sebal saat sang sahabat sudah berpindah lebih dulu.Dia berusaha mengejar lagi, namun seseorang lebih dulu mendaratkan tangan di bahunya. Lekas Pandu menoleh dan mendapati si oleh yang sepertinya tidak tahu permasalahanya pagi ini.“Lo kenapa sih pagi-pagi udah berantem sama mahluk satu itu, Ndu?” Miquel menatap Pandu dengan sorot mata bertanya.“Ck. Lo tau gak sih
Ragata POVTidak ada yang menarik menjadi seorang dokter. Bagiku begitu. Namun, ketika aku mendengar profesi ini diagung-agungkan, apalah kata yang tepat untuk mengatakan pada mereka bahwa profesi mereka entah apapun itu adalah sama pentingnya?“Ga…gue mau serius nanya sama lo!”Itu suara Angga, sudah hafal betul aku dengan suara itu. Terkadang malas mendengarnya, demi apapun. Terlebih saat ini, pintu ruanganku jelas tertutup dan seharusnya dia sadar apa maksud dari hal itu. Aku sedang tidak ingin menerima tamu untuk hari. Rasanya sungguh malas, dan aku ingin menenangkan pikiran sejenak.Tapi sekeras apapun aku melarang, Angga tetaplah Angga. Dia sungguh batu, dan tidak mengerti kata-kata manusia. Tingkah absurd nya dan juga Andreas yang selalu menarik perhatianku untuk menciptakan pil baru, yang bisa melenyapkan kedua mahluk ini.Namun, aku juga sadar tingkah absurd keduanya lah yang bisa membuatku bertahan hingga saat ini. Jujur, sampai detik ini, aku masih trauma dengan yang namany
“Hari ini kita kedatangan dokter tamu lagi!”Salah seorang asisten praktikum mengumumkan hal itu tepat di depan kelas. Rindu, Miquel dan Pandu hanya mengangguk. Karena hal itu memang sudah biasa, tidak ada yang spesial dengan kedatangan dokter tamu, bahkan dari rumah sakit ternama pun.“Eh…gue kebelet lagi!” Rindu berbisik pelan.“Boker?”“Bukan, mau pipis gue!” Rindu menghela nafas, di luar sedang hujan, terlihat dari jendela kaca yang memisahkan luar dengan gedung LAB. Dengan segera Rindu angkat tangan untuk izin.“Kak, dokternya tampan gak?” salah satu mahasiswi bertanya, lalu di sambut dengan tawa oleh circlenya. Pandu hanya memutar bola matanya malas, entah kenapa dia tidak pernah suka jika pada wanita sudah mulai bertindak seperti itu. Apa-apa selalu pandang fisik.“Kenapa, lo sirik?” seru Miquel yang sudah paham betul dengan maksud dari tatapan Pandu yang mengenaskan itu.“Diam ae lo!”“Ada apa…ada apa?” seru Rindu yang baru saja masuk, “lo ngatain gue?”“Ya, katanya cariin Pan
“Prof, saya sudah bisa pulang?”Rindu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Bibirnya tidak berhenti mengomel dalam hati, sejak dia mendadak mau menjadi volunteer untuk menggantikan Pandu yang seharusnya ada di posisinya ini. Berkali-kali Rindu menilik sosok yang ada di depannya dengan sabar.Sosok itu tengah sibuk dengan laptopnya dengan tangan yang sejak tadi mengetik. Entah apa yang lelaki itu kerjakan, Rindu Pun tidak tahu.“Siapa suruh kamu jadi pengganti?” Rangga jaketnya, dan beranjak dari tempat duduknya, merapikan laptopnya.“Prof…” Rindu panik saat sosok itu masih tidak memberikan jawaban yang pasti. Ini gimana nasibnya? Masa dia harus melototin kodok yang ada di depannya sih? Sudah 2 jam dia menjadi orang bodoh seperti ini. Mau gimana lagi? Dia sendiri yang sok-sokan menjadi pahlawan kesorean.Satu alis Ragata tertarik.“Ada apa?”“Nasib saya gimana prof, saya kan udah melototin ini kodok sejak 2 jam lalu. Mata saya mulai pegal nih prof!”“Siapa yang nyuruh kamu masih di si
Sudah 1 jam menunggu, namun dosen yang masuk mata kuliah pagi ini tidak kunjung datang. Rindu dan kedua temannya duduk sambil menatap ponselnya masing-masing. Tidak hanya mereka sebenarnya, tapi hampir semua orang tengah berfokus dengan kesibukannya sendiri-sendiri.“Rin, lo ga ke rumah sakit hari ini?”“Iya, tapi habis kelas!”Pandu mengangguk, lalu kembali merebahkan kepalanya. Pagi ini tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, dan dia butuh istirahat. Dan berselang 10 menit kemudian, Bram—sang ketua kelas, mengumumkan bahwa kelas hari ini di cancel.Jadilah Rindu, Miquel dan Pandu berjalan menuju parkiran. Ketiganya harus berpisah karena rumah sakit yang akan mereka datangi juga berbeda.“Lo gapapa naik ojol? Gue anterin aja!” Miquel masih menawarkan.“Kita bedah arah, Miq, mending gue naik ojol aja deh. Lagian udah gue pesen, tinggal bentar lagi kok!”“Apa lo bawa…”“Udah itu, gue duluan ya. Jangan lupa ntar malam kita ke tempat biasa!”“Okey, hati-hati!”Pandu dan Miquel juga lekas m
Miquel dan Pandu menatap Rindu yang terlihat tidak seperti biasanya dengan heran. Gadis yang biasanya selalu menghabiskan banyak waktu untuk membaca lembar demi lembar buku, kini tengah senyum-senyum tidak jelas sambil menatap ke luar jendela. Parahnya, gadis itu juga mengabaikan kedua temannya.Sekali lagi Pandu dan Miquel saling menatap, dan menggeleng karena tidak mendapatkan jawaban atas alasan gadis itu menjadi aneh.“Rindu, lo gak sakit kan?”“Apaan sih pegang-pegang?” Rindu menepis tangan Pandu yang berada di keningnya. Rindu selalu kesal jika disentuh, apalagi di kening.“Ya kan lo dari tadi kayak orang kehilangan tujuan hidup tau gak sih? Senyum-senyum aja dari tadi, kenapa, lo kesambet apaan di jalan tadi? Jangan-jangan arwah nenek moyang di gedung Fakultas teknik nyangkut lagi ke lo!”“Sialan, tuh bibir bisa gak sih di jaga cara ngomongnya?”“Ya kan lo gak jawab senyum-senyum karena apa.” Pandu masih ngotot, mereka berdua terdiam selama beberapa menit sambil menunggu dosen
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit, Rindu bergegas untuk pulang. Namun baru saja beberapa langkah dari lobby, hujan deras sudah melingkupi malam hari. Padahal rencananya Rindu masih harus membeli beberapa kebutuhannya di supermarket dekat rumah sakit. Mana dia tidak bawa payung lagi.“Neng, mau pulang?” tegur pak satpam.“Ya pak, sekalian mau ke supermarket terdekat sih. Tapi hujan, gak bawa payung lagi!”“Mending pesen taxi aja neng, besok-besok aja ke sononya.”“Iya pak!”Rindu menghela nafas, dia merasa sedikit sakit di perutnya. Sepertinya dia akan datang bulan, dan dia kehabisan stok pembalut. Bukan kabar baik tentunya. Rindu berjalan mendekati hujan, menaikkan tangannya dan merasakan air hujan membasahinya.Rindu Senja dan hujan. Dia menyukai setiap kali hujan turun, rasanya damai ketika mendengar bunyi air mengalir. Banyak perasaan yang ingin dia tuangkan ketika hujan turun. Namun Rindu tidak suka petir. Tekad Rindu sudah bulat, sepertinya dia harus menerobos hu
Ragata memutuskan memutar haluan mobilnya menuju rumah orang tuanya. Dia memang sangat mengantuk dan sangat ingin merebahkan tubuhnya. Namun mendadak dia teringat jika dia harus memastikan bahwa Rindu baik-baik saja. Dia juga tidak enak hati meninggalkan gadis itu seorang diri. Takut jika Rindu tidak nyaman dengan keluarganya.Namun, baru saja Ragata turun dari mobil dan melangkah ke ruang tamu. Suara tawa adiknya—Lia—memenuhi seisi rumah. Dari penjelasan penjaga rumah, ibu dan ayahnya sudah pergi 1 jam lalu. Ragata melangkah menuju kamar adiknya saat tidak menemui Rindu di kamarnya. Pintu yang tidak terkunci rapat membuatnya bisa melihat jika adiknya tengah diajari oleh Rindu?Wait. Sejak kapan keduanya sangat dekat?Dia pikir keduanya bukan berada pada angkatan yang sama, selain itu, Lia cukup ekstrovert menjadi manusia. Sangat tidak jika Rindu bisa berteman dengan adiknya yang bar-bar. Apa jangan-jangan….“Bang?”Rindu yang tidak menyadari kehadiran sosok itu lekas mengalihkan pand