Share

2. Gosip

“Jadi, dokter Raga memang diselingkuhi?”

Begitulah situasi rumah sakit saat ini. Padahal udah 2 bulan sejak kejadian, tetap saja berita itu masih menjadi pembicaraan hots di rumah sakit. Berita itu menyebar kemana-mana, ada yang merasa kesal, namun ada juga yang merasa senang. Terlebih kaum para wanita baik dari dokter, perawat, bahkan dari beberapa pasien ada yang merasa senang karena dokter idaman mereka tidak jadi memiliki pemilik sah.

“Padahal, dokter Melisa biasa aja loh tampangnya. Tapi bisa-bisanya dia seperti itu. Dasar wanita tidak tahu diuntung memang, coba kalo aku jadi pacarnya dokter Raga, mana mau diri ini berselingkuh?”

“Diam aja deh, itu masalah mereka. Lo kepo banget sih jadi orang?”

“Gue bukannya kepo, cuman mengutarakan pemikiran gue aja!”

“Sama aja, lo bisa kena masalah kalo masih ngomongin masalah dokter Raga. Dia senior kita, dan sangat banyak fans. Jadi….”

“Jadi kenapa?”

Mendadak, sosok 2 perawat itu mengatupkan mulutnya. Angga yang baru saja selesai melakukan operasi memang mendengar percakapan itu dengan jelas. Bukannya merasa marah, Angga hanya ingin tahu pemikiran mereka. Tepatnya, dia ingin tahu kenapa kabar itu masih saja tetap hot di setiap penjuru rumah sakit.

“Lah, kok pada diam?”

“Ah…maaf dok, kami salah.”

Kening Angga mengerut, sejak kapan dia mengatakan mereka salah?

“Padahal gue niat mau nimbrung gibah. Gak asik lo berdua, udah ah, beliin gue kopi dong di supermarket depan. Caramel macciato, less ice, gula 80%.”

“Duitnya dok?”

“Ya pake duit lu dulu, ntar gue ganti!”

Angga pergi, tidak peduli dengan senyuman gadis yang tadi dia beri perintah. Wulan namanya, sosok perawat yang sejak dulu memang mengagumi sosok Angga. Baginya, dokter Ragata pun masih kalah jauh ketampanannya jika dibandingkan dengan sosok dokter itu.

“Ciee…muka lo merah Lan!” goda Aca, dia tahu bahwa teman sesama perawatnya itu memang mengidolakan dokter Angga.

“Ihhh…apaan sih!” Wulan menolak, “gue mau beliin kopi dulu ya!”

“Ya elah, mau aja lo di suruh-suruh. Lama-lama jadi babunya dia ntar lo!”

“Gue gak peduli, jadi babunya juga gue rela!” Wulan tersipu malu-malu saat mengatakan hal itu, “asal sama dokter Angga aja, gue mau!” lanjutnya sebelum meninggalkan meja kerjanya.

Aca menggelengkan kepala. Terkadang, jika sudah mencintai seseorang, kita bisa berubah menjadi bodoh dan tidak seperti diri kita sendiri. Untung kalo sama-sama mencintai, kalo cuman sebelah tangan saja? Ya sama aja kita yang goblok namanya.

Jadi sebagai wanita, perlu confess dulu. Jangan mau dijadiin bucin—budak cinta—yang gak jelas tujuan dan arahnya.

Di lain sisi, Angga yang sudah tiba di dalam ruangannya menghela nafas kesal begitu mendapati sang sahabat yang tengah bermesraan di ruangannya. Ruangan kerja mereka memang sama, hanya dipisahkan oleh sekat. Tapi tolonglah, desahan dari ruangan Andreas sungguh mengganggu pendengaran Angga.

Ahhh…faster Ndre.

I’m coming babe. Yes, lubangmu emang senikmat ini.

Ahh…ahhh

Tersenyum jahil, Angga punya ide bagus.

Dengan segera dia memasuki kamar mandi, lalu mengambil air di dalam gayung. Sebelum melakukannya, Angga tertawa jahat dulu. Dia memang senang mendapati masalah. Tidak lupa, dia juga berdoa dalam hati, karena setelah ini, dia pasti akan mendapatkan masalah serta hidupnya tidak akan tenang.

Byurrr

“ARGHHHH”

Teriakan dari dalam ruang kerja Andreas membuat Angga tertawa keras. Dia lekas mengambil kunci mobil dan juga dompetnya, lalu segera berlari sebelum dia menjadi sate.

“Sialan, Angga. Gue bakal bunuh lo hidup-hidup!” teriak Andreas kesal, tubuh tanpa busana mereka sudah basah.

Vira hendak turun dari sofa, namun Andreas menahan.

“Lanjut ya sayang, udah basah gini kan tambah nikmat!” godanya, menahan lengan Vira agar tidak pergi meninggalkannya.

“Ahhh, gak mau ah. Tadi kan aku juga udah bilang jangan di sini, tau sendiri Angga itu jahil!”

“Udah gapapa sayang, nanti kita kasih itu bocah pelajaran. Kasih satu ronde lagi ya, please, ya…ya, mau ya!”

Vira memutar bola matanya malas, namun karena wajah Andreas yang menggemaskan, akhirnya dia mengangguk lagi. Lagipula, basah-basah ada nikmatnya juga. Sentuhan di setiap sudut tubuhnya menambah kenikmatan bagi Vira.

“Ndre…ahhh…jangan kasar sayang!” gumannya, meningatkan Andreas agar bermain dengan pelan.

“Hehehe…maaf sayang, kamu sih, nikmat banget. Kan aku jadi gak tahan kalo lama-lama!”

Andreas membalikkan tubuh Vira, sekarang keindahan itu terpampang di depannya. Perlahan dia kembali menelusuri tubuh indah kekasihnya itu dan memberikan kenikmatan.

***

Situasi ruangan ujian terasa begitu mendebarkan. Setiap tulisan yang tertuang dalam secarik kertas diatas meja akan menentukan nilai apa yang akan mereka dapatkan. Dari semua mahasiswa yang sedang berjuang di atas ruangan itu, Rindu senja adalah salah satu dari mereka.

Jarum panjang jam di depan mereka terus bergerak, menunjukkan waktu yang tersisa hanya sedikit.

Rindu Senja bersama dengan kedua temannya—Pandu, dan Miquel—berada di barisan paling depan. Fokus pada soal-soal hafalan yang menguras otak. Pulpen Pandu lebih dulu diletakkan di atas meja, usai memeriksa semua jawaban, dan memastikan semuanya benar, barulah dia menjadi sosok pertama yang keluar dari ruangan penuh hawa panas itu.

Miquel juga menyusul setelahnya.

Sekarang tinggal Rindu Senja, gadis yang biasa dipanggil Rindu itu sedikit kesulitan untuk menjawab soal terakhir. Namun pada akhirnya, sesuatu terlintas di pikirannya, hingga tangannya yang tadi sempat berhenti menulis, kini menuangkan apa yang dia ingat mengenai pertanyaan susah itu.

Dia bangkit berdiri, dan lekas bergabung bersama dengan Pandu dan Miquel yang sejak tadi berdiri di ambang pintu untuk menunggunya.

Trio anak kedokteran yang dikenal di hampir semua jurusan. Ketiganya adalah kombinasi yang sempurna, dan benar-benar saling mendukung satu sama lain. Hanya Rindu seorang, yang menjadi perempuan di circle mereka.

“Tumben lo lama jawabnya” guman Pandu, di sela-sela perjalanan mereka menuju kantin.

“Gue lupa jawaban pertanyaan terakhir. Tapi ya udahlah, bodo amat, yang penting udah kelar!”

Miquel dan Pandu mengangguk, lalu mereka memasuki kantin yang masih sepi. Karena memang semuanya masih berakhir di ruangan ujian yang terasa seperti neraka. Hanya mereka bertiga yang bisa menyelesaikan soal itu dengan cepat.

Ujian akhir yang akan menentukan kelayakan mereka sebagai dokter.

“Lo udah dapat tempas Koas belum?” Pandu lagi-lagi bertanya.

“Belum, tapi kayaknya gue bakal coba rumah sakit yang dekat aja deh!”

“Lo yakin?”

“Ya!”

“Kalau gitu, kayaknya kita bakalan pisah KOAS deh, gue mau di luar jawa. Soalnya bokap gue nyuruh di Medan, jadi gue harus balik kampung dulu!” Miquel berseru sambil meneguk es teh yang baru saja diletakkan di atas mejanya.

“Lah, bukannya kalo KOAS di luar daerah itu lebih susah ya? Lo udah konsul sama dosen pembimbing lo ga?”

“Belom sih, mungkin ntar sore gue mau nemuin beliau!”

Pandu dan Rindu mengangguk. Mereka memang sudah berteman sejak semester 1, dan tidak pernah merasakan bahwa satu sama lain adalah rival. Ketiganya melakukan semampu yang mereka bisa, saling membantu, dan berusaha untuk menjaga perasaan mereka masing-masing.

“Ini…lo suka jamur krispi kan?” Pandu meletakkan jamur miliknya di piring Rindu. Miquel hanya memalingkan wajahnya.

“Thanks!”

“Nanti malam, lo berdua pada sibuk ga? Nongki yuk, di space coffee, gue udah jenuh banget 1 minggu ujian terus. Lagian, masih ada 3 hari buat ujian berikutnya.”

“Kosong sih, lo gimana Ri?”

“Gue juga free sih, ya udah, nongki di sana?” tanyanya, yang di angguki oleh Miquel dan Pandu bersamaan.

“Oke Deh!”

***

“Lo mau sampai kapan sih kayak gini, Ragata? Keluar kek, entah kemana kek, yang penting jangan di sini dong. Gerah tau gak sih?” Angga mengumpat setelah terkejut mendapati Ragata di dalam apartemennya begitu dia menyalakan lampu.

Semua manusia pasti akan melakukan hal yang sama. Bayangin, lo pergi tidak ada orang di rumah dan itu selalu sama. Tapi, pas balik dan baru aja nyalain lampu, lo nemuin manusia lain di dalam apartemen lo, duduk di atas sofa dengan mata melotot.

Hanya orang gila yang tidak akan berteriak marah. Untung Angga tidak pingsan saking terkejutnya.

“Lebay!” guman Ragata, “matiin lampunya, gue mau tidur!”

“What? Lo merintahin gue? Lo sadar gak sih ini apartemen siapa?”

“Apartemen lo!” jawan Ragata, sambil memejamkan matanya, dan sudah merebahkan badannya di atas sofa empuk yang baru Angga beli.

“Sialan lo, Ga.” Teriak Angga marah, “keluar ga, gue mau ME-TIME dulu, jangan jadi setan pengganggu bisa gak?”

“Lo…mau tanggung jawab?”

Mendadak bulu kuduk Angga berdiri saat Ragata menatapnya dengan tajam. Semenjak pernikahan Ragata gagal, lelaki itu benar-benar berubah 360 derajat. Wajahnya selalu menyeramkan, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Untungnya, Raga masih menjadi dokter di rumah sakit dan menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya.

Meski bukan jadwalnya untuk operasi, tapi Ragata mengambil semua jadwal operasi di hari yang berturut-turut. Gila memang, tapi rumah sakit jelas senang karena hal itu. Ragata adalah masalah depan rumah sakit, dia begitu pintar dan sangat lihai.

Tau bahwa Ragata tidak akan berpindah dari sofa barunya, Angga memutuskan untuk tidak peduli. Dia tidak bisa membiarkan lelaki itu sendirian, atau Raga akan melakukan hal bodoh lagi.

“Lo udah makan gak?”

“Masakin mie instan, telurnya setengah matang!”

“LO BENERAN TEMAN LAKNAT, DASAR SETAN!” guman Angga, kali ini dia menyesal sudah bertanya, niat awalnya memang ingin memasak mie instan, tapi ketika mendengar perintah Raga, membuat Angga mendadak kesal. Dia mau melakukannya, namun tidak dengan perintah seperti itu.

“Hmmm!” Ragata hanya mengguman, tanpa peduli seperti apa reaksi dari Angga yang terlihat ingin menguburnya hidup-hidup saat ini.

Aroma mie instan mulai memenuhi semua sudut apartemen. Ragata yang kelaparan sejak tadi segera bangkit dari sofa empuknya,maksudnya sofa empuk milik Angga. Berjalan ke dapur, dan menatap bagaimana Angga memasak mie instan itu dengan lihai.

“Lo…ngapain sih natap gue kayak gitu? Gue ngeri, tau gak sih?” teriak Angga terkejut, saat dia berbalik dan mendapati Ragata berdiri bak orang bodoh sambil menatapnya tanpa kedip.

Angga itu normal, please. Jika dia harus belok karena Ragata, mungkin itu bisa terjadi di kehidupan berikutnya. Sebentar lagi Angga akan menikahi kekasihnya—Elsa.

“Lo lebay banget, orang gue cuman lihat lo doang.”

“Ya, lihat-lihat jangan gitu juga dong. Lo gimana sih, gue sebagai lelaki tulen jelas keberatan lo natap gue gitu, bego!”

“Gue bego?” Ragata menatap Angga tajam, “kalo gue bego, gak mungkin gue bisa jadi dokter dengan prestasi terbaik di rumah sakit. Lo sadar gak itu?”

Mendadak wajah Angga berubah masam. Dia tahu jika Ragata Wijaya memang sangat berprestasi di rumah sakit. Semua memujinya, dan tidak ada celah di dalam diri lelaki itu. Hanya satu yang menjadi kekurangan Ragata.

Kisah percintaan yang tidak begitu beruntung.

Mungkin, jika kisah percintaan lelaki itu beruntung, Angga akan sangat mengiri. Pasalnya, sudah anak sultan, dokter jenius, tampan bak dewa Yunani abad sekarang, dan memiliki sejuta fans. Dia adalah julukan lelaki sempurna.

“Mana mie gue?”

“Ambil sendiri dong, lo gak cacat kan?”

Tidak ada penolakan. Ragata mengambil piringnya sendiri, mengambil mangkonya dan mengisinya dengan seporsi mie instant gede, ditambah dengan 3 telur setengah matang. Untung Angga tau jika lelaki itu belum makan dan kelaparan. Jadi dia memang memasak 5 telur setengah matang.

Keduanya duduk diam di meja makan. Hanya ada suara dentingan garpu yang saling beradu dengan piring.

“Lo kapan nikah?”

“Kalo gada kemunduran, mungkin 2 minggu lagi.”

Ragata mengangguk, “lo yakin mau nikah?”

“Ya iyalah, gue kan bukan kayak….”

Hampir saja Angga salah bicara, dia menelan mienya yang masih setengah kunyahan dengan kasar saat hawa di meja makan mendadak surat. Bibirnya memang selalu saja keceplosan ketika sudah membahas pernikahan. Meski Ragata tidak mengatakannya secara langsung, namun Angga tahu dari aura lelaki itu.

“Sorry, gue bukannya pengen ngungkit masa lalu lo!”

“Hmm!”

“Ya tapi, Elsa yang ngelamar gue duluan. Jadi gue bisa apa?”

“Hmmm!”

“Buset, irit banget jawabannya. Btw, nanti malam keluar yuk. Udah lama gak nongki, mau ngingat jaman dulu pas masih kuliah di Malang. Kayaknya space coffe enak deh, mumpung lagi free gak ada jadwal operasi. Jadi biasalah keluar bentar!”

“Malas, lo aja keluar sama Elsa. Ngapain lo ngajak gue, miring!”

“Najis anjer, gue ngajak lo karna kasihan. Lo 2 bulan di apartemen gue, sama rumah sakit mulu. Gak eneg apa kerja mulu?”

“Gak!”

“Ntar malam, jam 11. Kalo gak, lo gak usah nongol di apartemen gue.”

“Siapa lo ngatur-ngatur gue!”

“Sialan, gue santet juga lo ya. Lagian, gak selamanya wanita itu sama aja, siapa tau lo ketemu jodoh pas nongki gitu!”

“Bisa diam gak?”

“Jam 11, jangan molor lo!”

“Hmmm!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status