Share

6 - Om!?

“Hari ini kita kedatangan dokter tamu lagi!”

Salah seorang asisten praktikum mengumumkan hal itu tepat di depan kelas. Rindu, Miquel dan Pandu hanya mengangguk. Karena hal itu memang sudah biasa, tidak ada yang spesial dengan kedatangan dokter tamu, bahkan dari rumah sakit ternama pun.

“Eh…gue kebelet lagi!” Rindu berbisik pelan.

“Boker?”

“Bukan, mau pipis gue!” Rindu menghela nafas, di luar sedang hujan, terlihat dari jendela kaca yang memisahkan luar dengan gedung LAB. Dengan segera Rindu angkat tangan untuk izin.

“Kak, dokternya tampan gak?” salah satu mahasiswi bertanya, lalu di sambut dengan tawa oleh circlenya. Pandu hanya memutar bola matanya malas, entah kenapa dia tidak pernah suka jika pada wanita sudah mulai bertindak seperti itu. Apa-apa selalu pandang fisik.

“Kenapa, lo sirik?” seru Miquel yang sudah paham betul dengan maksud dari tatapan Pandu yang mengenaskan itu.

“Diam ae lo!”

“Ada apa…ada apa?” seru Rindu yang baru saja masuk, “lo ngatain gue?”

“Ya, katanya cariin Pandu jodoh. Kasihan banget gak dapat jodoh dari jaman purba!” kekeh Miquel, puas ketika wajah Pandu terlihat kesal sekali.

Praktikum sudah dimulai, dan kali ini mereka akan melakukan bedah tingkat 3. Dokter tamu yang katanya akan mengisi kuliah hari ini tak kunjung datang, jadilah asisten praktikum sudah memulai lebih dulu. Mengingat batas pemakaian lab yang juga terbatas.

Namun di sela-sela kesibukan mereka dengan dunia sendiri, seseorang mengetuk pintu, mengalihkan semua perhatian ke arah sana.

“Maaf saya telat, tadi prof Imam ada urusan dengan saya!”

“Dokter? Tidak apa-apa dok, silahkan di perhatikan saja dulu, setelah ini silahkan mengambil waktu dokter!” Brianita—asisten praktikum—itu mengajak sosok itu untuk berjalan-jalan.

Kegiatan mereka semua sedikit terganggu. Bahkan terdengar jelas bisik-bisik yang mengatakan sosok itu sungguh tampan. Termasuk Chika yang sudah mulai cari perhatian, tidak peduli jika dia baru saja melakukan kesalahan beberapa waktu lalu kepada sosok itu.

Semuanya memperhatikan gerak-gerik sang dokter, kecuali Rindu dan kedua temannya yang tengah fokus membedah bagian otak. Kali ini mereka akan melakukan operasi yang tidak biasa.

Ruangan itu semakin terdengar ribut, namun mereka bertiga sama-sekali tidak mau teralihkan. Hingga Pandu yang lebih dulu mengalihkan perhatian karena penasaran apa penyebab keributan itu langsung terkesiap. Di depannya, sosok dokter bak jelmaan malaikat itu tengah berdiri.

“Sepertinya menyenangkan?” seru Ragata, dia memperhatikan kedua sosok lainnya yang sama-sekali tidak teralihkan fokusnya karena kedatangannya. Padahal Ragata jelas tahu jika semua mahasiswa kedokteran di ruangan LAB itu tengah membisikkan dirinya.

Rindu dan Miquel masih sibuk sendiri, hingga senggolan dari Pandu membuat Miquel lebih dulu sadar.

“Miq, lo kok lepasin sih? Kan…” ucapan Rindu terpotong begitu matanya tidak sengaja menangkap siulet yang sejak semalam memenuhi isi pikirannya. Dan tindakan konyolnya tadi malam mulai terlintas jelas di pikirannya. Hampir saja gunting bedah itu jatuh dari tangan Rindu, jika Pandu tidak segera menyenggolnya.

“Ahh…dok…dokter Ragata?” guman Rindu pelan.

“Lanjutkan saja, hewan itu lebih menarik perhatianmu bukan?”

Ragata berbicara santai. Hal itu sontak mengundang banyak pertanyaan dari semua mahasiswa di sana.

“Bukan…bukan begitu dok, saya…”

“Tidak apa, lanjutkan saja!” seru Ragata dengan aura dingin, dan segera berlalu dari sana kembali memperhatikan semua kegiatan yang ada di lab. Namun tetap saja Ragata mencuri pandang ke arah meja gadis itu.

Menarik. Bahkan cara gadis itu memegang pisau bedah terlihat sudah ahli. Beberapa kali Ragata mendapati gadis itu juga curi pandang padanya.

“Dok…Anda sudah bisa mengambil waktunya, terima kasih sudah mengisi kuliah hari ini!”

“Tidak masalah!” guman Ragata dingin, lalu segera menuju ke depan.

Tidak ada yang berbicara selagi Ragata memperkenalkan dirinya.

“Dok, apa dokter masih lajang?”

Rindu, Angga dan Miquel mendadak panik saat salah satu mahasiswa melontarkan pertanyaan itu diselingi dengan siulan menggoda. Terakhir sang dokter di tanya seperti itu, auranya berubah gelap, dan pergi tanpa mengatakan apapun. Sebagai manusia yang  normal, sudah diketahui bahwa sang dokter tidak ingin ditanyakan mengenai hal itu.

Itu sensitif.

Dan benar saja, aura Ragata berubah dalam sekejap. Wajahnya yang sejak tadi tidak menampilkan ekspresi apapun, kini semakin terlihat menyeramkan. Membuat mahasiswa yang tadi bertanya dalam sedetik itu juga gugup.

“Kita lanjut saja topiknya, benar begitu dok? Hahahaha, tadi hanya pertanyaan iseng saja. Maafkan praktikanku kali ini dokter Ragata!”

“Tidak masalah!” seru Ragata, tersenyum miring, “Saya memang masih lajang. Tidak ada yang salah dengan status itu bukan?”

Terdengar suara dari belakang. Rindu memperhatikan sang dokter dengan serius, dia merasa sedikit aneh ketika sosok itu tidak marah ketika ditanyakan hal itu. Mata mereka sempat bertemu untuk beberapa saat, sebelum Rindu memutus kontak mata itu.

Dia tidak kuat jika harus melakukan eye kontak. Rasanya tubuhnya terbakar jika terus-terusan seperti ini.

“Rindu, kenapa wajah lo memerah? Lo gak panas kan?”

Memerah? Rindu lekas memegangi wajahnya yang memang terasa panas. Dia jelas baik-baik saja, dan tidak ada apa-apa dengan tubuhnya. Tunggu dulu, kenapa wajahnya memerah? Apa karena tatapan tadi itu? Ayolah, padahal Rindu sudah beberapa kali menatap sang dokter, tapi tetap saja wajahnya tidak bisa terkendali.

Miquel hendak menyentuh keningnya, namun Rindu lekas menghindar.

“Gue baik-baik saja, gada apa-apa kok, tenang aja!”

“Lo…serius?” Miquel masih berusaha untuk menyentuh kening itu, namun selalu saja Rindu menghindar secepat kilat. Entah itu memundurkan tubuhnya, atau memiringkan kepalanya. Pada akhirnya, Miquel menarik kembali tangannya dan tersenyum kecut.

“Ya udah, ntar gue antar pulang ya!”

“Tapi kan arah rumah gue beda, Miq!”

“Gak papa, gue antar aja!”

“Tolong yang di pojok!”

Suara itu jelas ditujukan pada geng Rindu. Ketiganya langsung kembali pada posisi masing-masing.

“Perhatikan kuliah dari dokter Ragata, tolong jangan membuat keributan di kelas ini. Jika ingin melakukannya, kalian bisa keluar keluar jika tidak bisa menuruti peraturan!”

“Maaf kak!” guman Pandu yang posisinya memang lebih dekat, jika dibandingkan Rindu dan Miquel.

“Baik, jangan diulang lagi!”

“Ck, kalian sih, pada acara ngomong-ngomong segala!” kesal Pandu.

Ragata hanya diam ketika sosok di sebelahnya menginterupsi Rindu. Dia memang tidak terbiasa dengan orang lain yang tidak memperhatikan kuliah tamunya. Memang dia hanya menjadi dosen tamu, tapi untuk 2 bulan kedepannya, Ragata akan menjadi sosok yang penting di nilai mata pelajaran mereka.

1 hari yang lalu, Prof Imam menemuinya.

“Anda sudah sangat dewasa sekali, kapan ya saya melihatmu memecahkan gelas beaker?”

Tawa Angga meledak, dia, Ragata, dan Prof Imam sedang duduk bersama di ruang tamu milik Angga.

“Dia memang selalu gegabah seperti itu!” Sambung Angga, meledek Ragata yang hanya diam saja.

“Daripada lo? Bukannya lo mengulang beberapa mata kuliah ya?”

Skakmat.

Angga mendadak diam, tidak berkutik seperti orang bisu. Dia meringis mendengar ejekan yang memang benar adanya. Jujur, untuk mendapatkan gelarnya, Angga harus berusaha mati-matian. Dia mengulang beberapa matkul karena gagal. Tidak seperti Ragata, yang selalu lulus, dan juga wisuda mendahuluinya. 1,5 tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya.

Ragata si jenius.

“Sudah, tapi kan sekarang dia sudah bisa menjadi dokter hebat, Ragata. Itu saja sudah cukup!” seru Prof Imam yang berusaha memecahkan situasi.

“Nah, lo dengar gak tuh? Profesor aja belain gue!”

“Ngomong-ngomong prof, kenapa Anda tiba-tiba menemui saya?” tanya Ragata to the point.

“Selalu saja to the point!” kekeh Prof Imam, “tapi aku tidak akan membuang-buang waktumu, aku tahu kamu anak yang sibuk!”

“Lalu…?”

Angga di tempat duduknya hanya bisa menghela nafas malas. Baginya hidup Ragata terlalu serius hingga tidak bisa melihat mana yang benar. Sejujurnya, dia sedikit merasa kasihan dengan lelaki itu, terlebih dengan nasibnya.

“Aku ingin kamu mengajar di almamater kamu dulu nak!”

Begitulah kronologinya, hingga sekarang Ragata berdiri di sini, di depan mahasiswa kedokteran yang haus akan ilmu. Jujur, Ragata jadi teringat dengan dirinya yang dulu saat masih berada di posisi mereka.

Selama proses pemberian mata kuliah berjalan, Rindu tidak bisa berhenti terkagum-kagum dengan Ragata. Bahkan, dengan terang-terangan gadis itu menunjukkan ketertarikannya. Dan semua itu, tidak lepas dari pandangan Miquel.

Usai mata kuliah berakhir, semuanya berbisik-bisik mengenai sosok Ragata. Bahkan dalam sekejap, dokter sudah mendapatkan banyak panggilan. Si tampan, si jenius, si cool banget. Begitulah kira-kira, dan saking banyaknya Rindu jadinya kesal.

Mereka bertiga sudah berjalan di koridor menuju kantin.

“Rin, tumben lo senyum-senyum aja dari tadi. Apa jangan-jangan lo tertarik sama itu om-om?” Pandu yang juga mengamati Rindu sejak tadi tidak bisa menahan pertanyaannya.

“Om?” seru Rindu, langkahnya berhenti dan menatap Pandu kesal.

“Ya Om gak sih? Kan secara usia pak dokter itu pasti sudah berbeda jauh dari kita. Ya kali dipanggil tante, kan gak mungkin juga!”

“Gak mesti om kali, Ndu. Panggil pak professor aja emang kenapa?”

“Ya, siapa tahu Rindu emang sukanya sama modelan om-om kayak gitu!” Pandu masih saja melanjutkan ocehannya.

“Bisa diam…”

“Siapa yang om…om?”

Langkah ketiganya langsung berhenti. Pandu melototkan matanya, begitu juga dengan Rindu. Begitu berbalik, Pandu benar-benar ketar-ketir. Kakinya mendadak berubah menjadi jelly. Miquel masih kalem, karena dia memang tidak merasa bersalah.

“Siapa yang kamu bilang om-om?” Ragata mengulangi pertanyaannya, menatap Pandu dengan sorot mata tajam.

“P…prof, saya…saya!”

“Apa saya setua itu ya?”

“Prof, maafkan teman saya. Tidak ada maksud untuk mengejek kok prof, maaf ya prof!” Rindu lebih dulu mendahului Pandu.

“Kamu tidak ada urusannya dengan saya!”

“Prof…saya minta maaf atas nama teman saya. Tolong ya prof, kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”

Ragata menyipitkan matanya sejenak, menatap satu-satunya gadis yang selalu bersama dengan kedua pemuda di depannya.

“Tidak semudah itu untuk mendapatkan maaf dari saya!”

Rindu mendadak ketar ketir.

“Saya rasa kesalahan tadi tidak terlalu fatal prof, lagipula itu kan menurut asumsi teman saya.” Miquel berbicara dengan nada tegas, dan tidak ada gemetar. Rindu mendadak semakin panik, dia menginjak sepatu lelaki itu dengan kesal.

“Ohhh….” Ragata tersenyum miring, “jika saya merasa itu mencemarkan nama baik, apa kamu…”

“Maaf prof, saya akan bertanggung jawab atas kesalahan teman saya. Apapun akan saya lakukan prof!”

Senyuman miring Ragata terbit, dia menatap Rindu dengan tampang menilai.

“Ikut dengan saya!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status