“Prof, saya sudah bisa pulang?”
Rindu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Bibirnya tidak berhenti mengomel dalam hati, sejak dia mendadak mau menjadi volunteer untuk menggantikan Pandu yang seharusnya ada di posisinya ini. Berkali-kali Rindu menilik sosok yang ada di depannya dengan sabar.
Sosok itu tengah sibuk dengan laptopnya dengan tangan yang sejak tadi mengetik. Entah apa yang lelaki itu kerjakan, Rindu Pun tidak tahu.
“Siapa suruh kamu jadi pengganti?” Rangga jaketnya, dan beranjak dari tempat duduknya, merapikan laptopnya.
“Prof…” Rindu panik saat sosok itu masih tidak memberikan jawaban yang pasti. Ini gimana nasibnya? Masa dia harus melototin kodok yang ada di depannya sih? Sudah 2 jam dia menjadi orang bodoh seperti ini. Mau gimana lagi? Dia sendiri yang sok-sokan menjadi pahlawan kesorean.
Satu alis Ragata tertarik.
“Ada apa?”
“Nasib saya gimana prof, saya kan udah melototin ini kodok sejak 2 jam lalu. Mata saya mulai pegal nih prof!”
“Siapa yang nyuruh kamu masih di sini memang? Saya sudah lelah, jadi saya mau pulang!”
“Prof…” Rindu speechles. Tunggu dulu, tadi perindah dari manusia laknat di depannya ini jelas menyuruhnya untuk menatap kodok di depannya selama…WAIT. Rindu mendadak bangkit dari duduknya, matanya menatap Rangga yang terlihat menatapnya geli.
“Saya menyuruh kamu untuk menatap kodok itu kan?”
“Tapi…” Rindu menelan ludahnya miris. Jadi dia sedang dipermainkan di sini? Kenapa Rindu merasa dirinya benar-benar bodoh saat ini?
“Sudah jelas kan siapa yang salah? Sudah, saya mau pulang, awas nanti kodoknya berubah!”
“Berubah jadi apa prof?”
“Pangeran kodok?”
Cringe. Rindu tidak bisa melanjutkan apa yang kini ada di pikirannya. Rasa kesalnya semakin meledak-ledak, dan baru kali ini Rindu mengalami hal seperti ini.
Sebelum Ragata benar-benar keluar dari dalam ruangan itu, dia hendak menawarkan untuk mengantarkan gadis itu pulang. Namun Rindu lebih dulu mendahuluinya, mengabaikannya. Mendadak ada perasaan bersalah pada Rangga. Dia hanya bisa menatap punggung Rindu yang semakin menjauh.
Tanpa memperdulikan sosok di depannya, Rindu dengan segera mengambil ranselnya dan keluar dengan perasaan kecewa. Sungguh, dia tidak bisa menahan seperti apa rasanya dipermainkan.
“Dasar dosen rese, kesel banget!” teriak Rindu setelah dia berada di luar gedung. Langit kelabu menyambutnya, dan Rindu makin kesal karena dirinya benar-benar bodoh. Mana 2 manusia yang menjadikan seperti ini sudah menghilang lagi.
Rindu benar-benar mengumpat dalam hati. Dia kira Pandu dan Miquel akan menunggunya, tapi siapa juga yang akan menunggu sampai 2 jam lamanya? Rindu kemudian menghela nafas, dan lekas mengeluarkan ponselnya. Memesan taxi online adalah keputusannya saat ini.
Namun sebelum ponselnya menekan tombol pesan, seseorang menyentuh punggungnya dari belakang. Begitu Rindu hendak berbalik, sebuah botol dingin di tempelkan di keningnya. Dan sebuah senyuman menyambutnya. Rindu tertegun untuk beberapa menit, sebelum bunyi kekehan di depannya membuat Rindu kembali pada dunianya.
“Miquel, lo…lo?”
“Ayo pulang, gue anter!”
“Wait. Lo nungguin gue 2 jam?”
Rindu semakin tidak bisa berkata-kata saat lelaki di depannya mengangguk, tubuhnya masih kaku sebelum mendadak merasakan tarikan.
“Ayo jalan, sudah mulai gelap nih. Kita juga masih harus nugas!”
Minuman segar itu sudah mengalir ke tenggorokan Rindu. Dia mengikuti Miquel menuju parkiran.
“Gue kesel tahu liat itu profesor.”
“Lo disuruh ngapain?” Miquel bertanya, tangannya mengambil helm dan memasangkannya pada Rindu yang hanya manut saja.
“Masak dia cuman nyuruh gue melototin kodok sih? Gila gak sih, cringe banget, rese. Tau ah, gelap!”
“Udah, lo sih, mendadak mau jadi sukarelawan!”
“Pandu mana?”
“Dia tadinya ikutan nungguin lo, tapi bokapnya nelpon dia. Gue gak tahu sih apa masalahnya, tapi akhir-akhir ini Pandu memang kelihatan banget lagi tertekan!”
Rasa kesal Rindu pada Pandu mendadak menguap. Dia menatap Miquel yang sudah menyalakan motornya.
“Tenang, bokapnya paling cuman mau ngasih wejangan aja, lo gak usah terlalu khawatir sama itu bocah!”
“Lo yakin?”
“Naik yok, keburu hujan nanti!”
Suara motor itu menghilang di balik belokan. Ragata yang berdiam diri di dalam mobilnya lagi-lagi hanya bisa menatap mereka pergi. Padahal tadi dia sudah berniat untuk memberikan tumpangan pada gadis itu. Tapi sepertinya mereka tidak ditakdirkan untuk meluruskan masalah ini.
Getaran di ponsel Ragata membuat lelaki itu harus segera pergi dari sana. Rumah sakit sedang membutuhkannya sekarang.
***
Ruangan operasi terlihat menegangkan. Semua keluarga pasien yang berada di atas untuk menyaksikan bagaimana operasi itu berjalan hanya bisa memanjatkan doa.
“Bodoh, kita benar-benar akan kehilangan nyawa malam ini!” Andreas mendesah frustasi, berkali-kali mereka berusaha untuk menyambung saraf yang terputus itu, tetap tidak biasa. Denyut jantung yang ada di monitor benar-benar mengkhawatirkan.
Agam, lelaki berusia 25 tahun itu adalah korban kecelakaan lalu lintas. Dan karena hanya Andreas dokter yang berjaga, jadilah dia yang menangani lelaki itu.
“Dok…”
Aca—perawat yang bertugas menemani Andreas mengingatkan lelaki itu agar tetap berusaha.
“Tidak ada harapan untuk korban ini, dia terus mengalami pendarahan!” desah Andreas frustasi, “dimana Ragata? Apa dia belom juga datang, dia harusnya sudah….”
Klik
Pintu terbuka, dan sosok yang sudah dibalut dengan pakaian operasi itu memasuki ruangan. Ketampanan Ragata terlihat berkali-kali lipat jika mengenakan seragam itu. Wajah Andreas dan beberapa dokter pembantu yang semula tegang, kini mulai diberikan pancaran harapan.
Posisi dokter utama langsung diambil alih oleh Ragata.
“Jelaskan!”
“Kami sudah berusaha untuk menyambung kembali saraf yang terputus, tapi nadinya benar-benar lemah. Pendarahan terus terjadi, gue khawatir kalo….”
“Lo siap?” Ragata menatap Andreas yang mengambil posisi di seberangnya. Anggukan darinya membuat Ragata mengalihkan perhatiannya pada seisi ruangan operasi. Semuanya mendapatkan kembali rasa kepercayaan diri mereka. Tidak lupa, Ragata menatap ke luar kaca, dan mengangguk pada sosok yang sedang menunggu di luar sana.
“Kita mulai. Gunting!”
Tangan Ragata bergerak dengan lihai. 3 jam berlalu, akhirnya Ragata menyelesaikan jahitannya. Tubuhnya berpindah ke bagian tengkorak, dan kembali melakukan hal yang sama.
“Bagaimana?”
“Kita lakukan tes denyut jantung!”
“Baik, nyalakan mesinnya!” seru Andreas
Semuanya tegang saat menunggu hasil. Mereka kembali menghidupkan jantung yang beberapa menit tadi mereka hentikan. Garis-garis di monitor mulai menunjukkan grafis naik turun, lalu naik dan stabil di angka yang normal.
Helaan nafas legah terdengar di seisi ruangan.
“Terima kasih dokter Ragata, Anda menyelamatkan nyawa pemuda ini!” salah satu suster yang usianya sudah setengah abad lebih itu.
“Kerja bagus team, kita semua melakukan ini. Saya keluar dulu, selesaikan sampai tuntas!”
“Baik dok!”
Ragata dan Andreas sudah keluar, sisa operasi itu dilanjutkan oleh dokter yang baru saja memasuki ruangan. Begitu Ragata sudah diluar, dia disambut dengan senyuman dan air mata.
“Dokter, bagaimana dengan keadaannya?”
Usianya sekitar 70 tahunan, begitulah perkiraan Ragata saat menatap lelaki tua yang menatapnya dengan senyuman itu.
“Semuanya berjalan dengan lancar untuk saat ini, sisanya sedang ditangani oleh dokter lainnya, pak!”
“Terima kasih dok, terima kasih sudah menyelamatkan putraku!”
“Anda yang kuat pak, saya permisi dulu!”
Ragata berlalu dari sana, begitu juga dengan Andreas. Suara perut keroncongan itu membuat Andreas berhenti. Dia menatap Ragata yang terus berjalan.
“Wait, lo kelaparan? Bukannya habis dari kampus lo makan?”
“Menurut lo?”
“Okay deh, ayo makan. Gue yang traktir deh, hitung-hitung lo udah bantuin gue tadi”
“Resto bintang 5 yang kemarin, jam 9 jemput gue!”
Langkah Andreas mendadak berhenti. Sepertinya telah salah bicara untuk saat ini. Bahkan Ragata tidak menunggunya, lelaki itu sudah memasuki ruangan pribadinya dan menutup pintunya rapat-rapat. Tidak ada opsi lain selain menuruti perkataan lelaki itu. Dan jatah untuk jajannya bulan ini sepertinya akan ludes dalam sekejap.
Salah sendiri sih, mengajak manusia yang tidak akan pengertian.
Resort ramai. Mereka memutuskan menginap di resort karena semalaman penuh, Bali diterjang hujan. Bahkan pagi ini, gerimis masih terlihat menyelimuti tempat wisata. Namun tetap saja ada rombongan yang berkunjung, bahkan sang sopir terlihat baru keluar dari mobil usai memarkirkan bus besar di parking area hotel.Jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 09.00, dan Pandu yang baru saja memarkirkan mobil hanya bisa berceloteh ringan. Bahkan sosok yang membuatnya bangun pagi-pagi buta untuk menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, tidak mengatakan apa-apa setelah mobil tiba di parkiran hotel.Langsung membuka pintu mobil, dan pergi begitu saja. Membuatnya kesal setengah mati. Pandu lekas mengikuti Ragata yang sudah menghilang di balik lift. Memang ya, kalau sudah mencintai seseorang, tidak ada kata bertahan berpisah. Kekesalan Pandu selain itu, karena baru tahu Rindu juga harus pulang malam ini. Itu artinya rencana mereka ke Lombok juga tertunda.Di tengah langkahnya yang hendak menuju kamar Rindu
Pandu POVMungkin, orang-orang tidak tahu seberapa besar arti dari sebuah persahabatan. Bagiku, bertemu dengan dua manusia yang meskipun sedang sibuk makan seperti pork dan tidak menyisakan bagianku, aku tetap menyayangi mereka tulus dari lubuk hatiku.Hari sedang cerah di luar, terlihat jelas dari gorden ruang tamu yang berterbangan dan cahaya yang menembus sehingga ruang tengah terang benderang.Kami sedang liburan di Bali, mumpung ada weekend, dan aku pun bisa mengambil jatah libur. Awalnya Rindu mengatakan tidak bisa ikut, tapi dengan segala akal yang aku punya, jadilah dia diberikan kesempatan.Sudah beberapa bulan berselang. Bayi imut yang dulu tidak bisa memanggilku kini sudah mulai mengenaliku. Walau tidak bisa mengeluarkan suara. William sedang berada di pangkuanku. Dan lihatlah, dia benar-benar menggemaskan.Setidaknya itu menghilangkan rasa kesalku pada induknya yang sibuk makan di hadapanku. Tidak ada bedanya dengan Miquel. Mereka berdua benar-benar menikmati hidangan itu t
Pandu sudah mulai membaik, itu sebuah kemajuan besar. Chika sedang duduk sambil mengamati wajah lelaki yang sedang tertidur itu. Sejak semalam, dia tidak pulang. Bersikeras untuk merawat Pandu. Bahkan rela melewatkan seminarnya, padahal itu adalah kesempatan besar untuk Chika. “Kau tidak kerja hari ini, Chika?”Xavier akhirnya bisa menghilangkan pikiran buruk sangkanya setelah melihat bagaimana Chika merawat sang adik. Sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, Xavier mengambil duduk tidak jauh dari kedua orang itu. Udara di rumah sakit amat sangat dia benci. Tapi karena itu adalah Pandu, mau tidak mau Xavier harus mengesampingkan egonya.“Saya shift malam, kak.”“Panggil nama saja, tidak usah terlalu formal. Toh juga aku dengan Pandu hanya beda menit lahirnya.”Chika mengangguk, sambil meneguk isi gelas berisi teh Rosella itu. Sepertinya homemade. Dari rasanya Chika bisa tau. Jemari Pandu mulai bergerak, membuat Chika bersemangat. Tapi menunggu sepersekian menit, tidak ada tanda-
Suasana rumah sakit di pagi hari sedikit berbeda daripada sebelumnya. Perbedaan itu paling terasa pada Chika. Sejak tadi dia hanya memantau kehadiran sosok yang sudah menghantuinya belakangan ini. Bahkan nomornya saja tidak bisa di hubungi. Dan Pandu tidak masuk sudah beberapa hari. Gimana gak panik coba?Begitu melihat sosok Rindu yang berjalan dengan tenang, Chika berlari. Menarik tangan Rindu yang hampir saja menghindarinya lagi.“Rin, gue tau lo pasti tau kenapa Pandu gak ngangkat nomor gue kan? Please, I need a hand right know, dia gak balas pesan gue udah dua hari ini. Something happened?”Ekspresi datar Rindu membuat Chika menghela nafas. Dia sudah berusaha menjelaskan bahwa malam itu adalah sebuah kesalahpahaman. Tapi tak satupun yang percaya padanya. Miquel dan Rindu, hanya diam saja.“Rin, kalo emang Pandu gak seberarti itu buat gue, ngapain juga gue rela nungguin dan mau ngasih tahu kalo malam di club itu adalah kesalahan? Tapi karena gue suka sama dia, makanya gue mau nge
Suasana club mulai ramai. Chika duduk di salah satu sofa, tidak jauh darinya ada seorang lelaki yang tengah meneguk cocktailnya. Malam itu adalah ulang tahun dari salah satu teman Chika, dan seperti biasa bagi kaula muda. Mereka merayakannya di club.“Chika, lo yakin mau ngelanjutin hubungan lo sama dia? Atau lo emang cuman kasihan sama usaha bokap lo?”“Kevin, please deh gak usah bahas soal itu.”“Lo belom move on dari gue?” Kevin menyeringai. Dia tahu Chika belum menerima Pandu, karena itu hanyalah alibi semata.“Kev, lo itu cowok berengsek tau gak sih? Buat apa mertahanin manusia sampah kayak lo. Mending lo jauh dari sini.”“Aigoo…kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Setiap bertemu pasti akan berdebat, apa tidak ada kegiatan yang bisa kalian berdua lakukan selain ini?” Gangga menyela sambil menatap Kevin datar. Dia adalah salah satu teman kuliah Chika, dan juga kenal baik dengan Kevin.Chika hanya menghela nafas. Beberapa dari teman mereka sudah mulai mabuk, dan sudah b
“Mas, aku mau kerja lagi.”Ragata langsung berhenti mengetik di tuts keyboardnya. Diam beberapa menit, lalu berjalan mendekati sang istri yang sedang menatapnya sambil berdiri. Seolah Rindu sedang laporan padanya. Ragata tersenyum, mengambil tangan sang istri dan membawanya duduk di sofa.Bukannya ingin membatasi ruang gerak sang istri. Ragata justru senang jika sang istri tetap produktif. Sebab, Ragata tahu istrinya itu hanya merasa bosan. Jika masalah finansial, Ragata yakin mereka tidak kekurangan. Dia memberikan Rindu Black cardnya, dan bebas mau dibelanjakan untuk apa saja.“Kalo kita sama-sama kerja, nanti yang jaga William siapa sayang? Kalo dia udah umur 4 tahun, baru nanti bisa sekolah atau di jaga sama ibu. Dia baru jalan satu setengah tahun, kamu gak kasihan sama dia?”Wajah Rindu sedikit ditekuk. Tapi tidak mengurungkan niat wanita itu untuk membujuk sang suami. “Tapi kalo di rumah terus, aku bosan banget, Mas. Aku bisa ambil shift pagi, terus nanti William di jaga sama i