Ragata POV
Tidak ada yang menarik menjadi seorang dokter. Bagiku begitu. Namun, ketika aku mendengar profesi ini diagung-agungkan, apalah kata yang tepat untuk mengatakan pada mereka bahwa profesi mereka entah apapun itu adalah sama pentingnya?
“Ga…gue mau serius nanya sama lo!”
Itu suara Angga, sudah hafal betul aku dengan suara itu. Terkadang malas mendengarnya, demi apapun. Terlebih saat ini, pintu ruanganku jelas tertutup dan seharusnya dia sadar apa maksud dari hal itu. Aku sedang tidak ingin menerima tamu untuk hari. Rasanya sungguh malas, dan aku ingin menenangkan pikiran sejenak.
Tapi sekeras apapun aku melarang, Angga tetaplah Angga. Dia sungguh batu, dan tidak mengerti kata-kata manusia. Tingkah absurd nya dan juga Andreas yang selalu menarik perhatianku untuk menciptakan pil baru, yang bisa melenyapkan kedua mahluk ini.
Namun, aku juga sadar tingkah absurd keduanya lah yang bisa membuatku bertahan hingga saat ini. Jujur, sampai detik ini, aku masih trauma dengan yang namanya hubungan. Meski tidak semua wanita itu sama, tapi bagaimana bisa rasa kepercayaanku tumbuh pada mereka, di saat aku sudah dikhianati orang terdekat, dan pacarku selama 7 tahun lamanya?
“Yaelah pak dokter, lo ga dengar gue dari tadi?”
“Lo ngomong?” serius ini gue lagi gak bercanda. Tidak ada satupun gelombang suara yang merambat masuk lewat gendang telingaku. Atau apa mungkin aku sedang berhalusinasi akut?
Bisa jadi sih. Dan itu yang aku inginkan untuk saat ini.
“Yang modelan gini nih buat gue darah tinggi. Gak…gue gak ngomong, tapi menyanyi!” Angga ngegas, wajahnya datar karena menahan amarah yang selalu saja meledak-ledak jika sudah berhadapan denganku. Padahal kan aku tidak bersalah ya, hanya ada kesalahan teknis saja tadi.
"Lo ada mau apa datang ke ruangan gue?”
Dia tidak akan pergi selagi aku tidak ingin mendengar ceritanya. Si bodoh yang juga genius. Aku bingung bagaimana harus menjelaskan seperti apa sosok di depanku saat ini.
“Lo…kenal sama mahasiswi kedokteran semalam gak?”
“Siapa?”
“Yaelah, itu loh yang duduk di sebelah lo pas makan. Masa lo gak inget sih?”
“Ahh….” Aku ingat, tentu saja karena sudah beberapa kali berpapasan dengannya. “Maksud lo, gadis yang namanya Rindu Senja?”
“Buset…lo beneran inget?”
Pertanyaan berulang yang menyebalkan. Entah kenapa aku sangat ingin menceburkan kepala Angga ke dalam bak mandi saat ini juga. Dia pura-pura bodoh, atau pura-pura tuli sih? Tidak hanya Angga saja sih sebenarnya, hampir semua manusia yang aku temui selalu saja mengulang pertanyaan dua kali.
Mubazir. Berlebihan. Tidak efisien.
“Menurut lo, dia gimana?”
“To the point aja bisa ga? Lo udah nyita waktu gue yang berharga buat ngomongin masalah hal gak berguna kayak gini!”
“Ck!” Angga berdecak, menatap kesal ke arah Ragata, “ya kan siapa tahu aja lo mendadak suka gitu. Siapa tahu aja dia itu cewek berbeda, kan kalo lo…”
Brugh
Bantingan di meja aku rasa cukup untuk menunjukkan batasan Angga. Bukannya bermaksud yang lain, hanya saja untuk saat ini aku ingin merasa sendiri. Karena sendiri itu jauh lebih baik daripada berada di keramaian namun tetap merasa kesepian. Hatiku rasanya kosong, tidak semudah itu untuk mengisi ulang. Dikiranya batre yang bisa diisi ulang apa?
Oh no. Tentu tidak.
“Please Angga, gue tahu maksud lo, maksud Andreas, maksud mama, itu semua demi kebaikan gue. Tapi lo tau gak sih rasanya kalo kepercayaan diri lo udah di injak-injak sama orang yang lo sangat-sangat percaya dan sayangi? Buat nyatuin kepingan itu, butuh waktu Ngga. Lo gak bisa maksain kehendak lo doang tanpa mempertimbangan si penderita. Gue pikir lo paham sampai di sini!”
Jujur. Angga sudah terbiasa dengan amukan Ragata yang sering naik turun. Namun untuk kali ini, dia merasa sedikit awkward, dan juga merinding.
“Gue cuman mau bilang, kita ada rapat!”
Angga berdiri, dan berlalu dari ruanganku. Helaan nafasku memenuhi ruangan, tanganku memijat keningku berusaha untuk menenangkan pikiranku yang mendadak kacau dan dipenuhi dengan bayang-bayang gadis bernama Rindu itu.
“Ayolah, dia itu hanya sementara saja. Stop jadi orang bodoh karena masalah tidak berguna ini Ga!” gumanku, lebih untuk menyemangati diri sendiri. Tapi sekeras apa usahaku, tetap saja terbayang dengan kejadian semalam ketika di parkiran.
Melihat interaksinya dengan kedua lelaki itu, aku yakin jika hubungan di antara mereka itu tidak murni. Deringan di ponselku, membuatku dengan segera beranjak dari kursi ternyaman ini. Rapat lagi, rapat lagi. Apa mungkin ini sudah menjadi titik terjenuh ya? Aku ingin menghilang dari muka bumi ini, to be honest.
“Dok…duduk di sini saja!”
Suara dari salah satu dokter begitu aku tiba di ruang rapat. Tapi entah kenapa aku tidak berminat untuk duduk di sebelah wanita itu. Alhasil, aku melewatinya dan duduk di deretan meja Angga dan Andreas. Aku bisa melihat wajah wanita tadi sedang menahan malu. Lagian, jika aku perhatikan, dia adalah tipe gadis yang cari perhatian. Persis seperti mahasiswi yang semalam mempertanyakan hal sensitif itu padaku.
“Baiklah, karena semuanya sudah di sini. Kita mulai saja, dan aku mohon tanggung jawab dari masing-masing pemimpin operasi ini!”
2 jam berlalu hanya untuk membahas masalah yang tidak penting. Aku hampir saja menguap jika tidak melihat Andreas yang sudah tepat. Dia baru melakukan operasi 12 jam, dan aku yakin dia sedang tidak ingin berada di ruangan ini.
“Lo gak mau cabut?” tawaku pada Angga yang duduk di sebelahku.
“Cabut gundulmu, ini mau giliran kita. Lo gak tau apa kalo operasi 3 hari lalu itu bermasalah? Lo sih, nyerahin sama dokter Koas. Jelas lo tahu itu butuh penanganan khusus!”
“Memangnya ada apa?”
Sebelum Angga menjawab, dokter yang membawa acara rapat kali ini sudah menatap ke arah jajaran kami. Kali ini aku merasa keadaan tidak baik-baik saja. Tapi kenapa dengan pasien itu? Aku sudah memeriksanya lebih dulu, sebelum menyerahkannya pada dokter koas tahun ke-3.
***
Author POV
“Untuk kali ini, dokter andalan di rumah sakit kita membuat kesalahan. Dokter Ragata Wijaya, Anda menyerahkan operasi itu pada dokter koas, padahal itu adalah tanggung jawab Anda, benar begitu?”
“Ya!” Ragata menjawab dengan santai. Tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu sedang gugup, atau merasa kebingungan.
“Lalu, bagaimana pertanggung jawaban Anda selaku dokter penanggung jawabnya? Apakah Anda merasa nyawa adalah main-main saja?” Kali ini nada suara dokter Hans—dokter yang memimpin rapat—mulai meninggi. Semua orang tahu jika dokter Hans, yang usianya jauh lebih tua dari Ragata itu, tidak menyukai pemuda itu.
Jabatan membuatnya demikian. Bahkan sekarang, terlihat sekali jika sosok itu tengah perkara dengan Ragata.
“Saya akan memeriksanya nanti, dok. Atau sekarang juga saya bisa pergi dari rapat ini untuk memeriksanya.” Ragata sudah bersiap untuk pergi.
Prak
Namun pukulan di atas meja menahan langkah Ragata. Dokter itu tetap tenang, tidak peduli siapapun yang dia hadapi saat ini juga.
“Sekarang? Anda pikir ini rumah sakit milik ayah Anda dokter Ragata yang terhormat? Banyak keluhan yang saya terima akhir-akhir ini dari pasien rumah sakit mengenai pelayanan Anda. Jika tidak bisa becus menjadi dokter, kenapa tidak Anda tanggalkan saja jas putih itu?”
Jujur, Angga dan Andreas yang mendengar itu ikut tersulit emosi. Keduanya tahu jika Ragata memang melakukan kesalahan karena menyerahkan tanggung jawab. Justin, yang tadinya sedang tertidur bangun-bangun langsung berdiri dan hendak membela Ragata. Sebagai fans fanatik yang berharap diterima kehadirannya oleh Ragata rela melakukan apapun.
Namun, sebelum para pendukung Ragata bertindak, lelaki itu sudah lebih dulu melakukannya. Tanpa suara memang, hanya ada senyuman di wajah dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di area dagunya. Jujur, ketampanan Ragata meningkat jika sedang tersenyum. Beberapa dokter wanita yang ada di dalam ruangan itu seketika lupa dengan situasi panas yang sedang terjadi. Bahkan dokter wanita yang tadi Ragata tolak mentah-mentah ikut memperhatikan lelaki itu dengan senyuman di bibirnya.
Ragata tetap tenang. Salah satu kunci untuk menghadapi musuh adalah ketenangan, begitulah ilmu yang dia dapat dari mendiang profesor yang mendidiknya hingga menjadi seperti ini. Ragata melangkah maju ke atas podium, dan berdiri beberapa langkah dari Dokter Hans.
“Anda berteriak di podium ini, seolah ingin mengatakan bahwa…saya salah?”
“Jadi Anda tidak merasa bersalah? Wah…hebat betul ya, Anda tidak merasa bersalah atas pasien yang hampir meninggal itu?”
“Menyerahkan tanggung jawab kepada dokter KOAS tingkat 3, apakah itu…sebuah kesalahan? Bukankah, Anda juga tahu perintah itu sebelum operasi dijalankan?”
Hans mendadak gelagapan. Dia menatap Ragata dengan tatapan tidak suka, dan benci.
“Saya tahu dan…”
“Kenapa bukan Anda, yang jabatannya ada di atas saya, yang mengingatkan? Atau, apakah ada unsur kesengajaan di sana?”
Ruangan rapat semakin terasa gerah saat Ragata sudah mulai mengintimidasi. Dokter KOAS tingkat 3, yang juga ikut di dalam rapat itu menundukkan kepalanya ketakutan. Takut jika namanya akan dipanggil oleh dokter bimbingannya itu.
“Namun kendati demikian, saya mengaku salah. Tapi, kenapa Anda berkoar-koar di sini setelah mengetahui bahwa pasien sudah baik-baik saja?”
“Itu adalah tugas saya, hari ini kita melakukan evaluasi terhadap semua kinerja para dokter!”
“Evaluasi?” kekeh Ragata sambil memainkan matanya, “haruskah kita melakukan evaluasi juga pada Anda, senior? Saya punya cukup bukti jika jabatan Anda ingin saya rebutkan!”
“Apa…apaan kamu hah? Apakah Anda tidak tahu…”
“Berhenti mengelak dokter Hans, jangan pernah memprovokasi saya, jika saya tahu betul permasalahannya dimana. Saya akui, kesalahan itu adalah murni kesalahan saya, bukan kesalahan dokter koas tingkat 3. Lalu sekarang apa?”
Hans mendadak kaku, dia gemetar dengan ancaman tersirat itu.
“Sudahlah, rapat saya selesaikan. Semuanya bubar dan jangan ada yang berada di sini!” Hans melemparkan mik begitu saja. Beruntung Angga tanggap dan lekas menangkapnya.
Semuanya sudah bubar dari acara rapat itu. Kecuali Ragata, dan 4 orang dokter yang masih duduk di sana. Ragata tersenyum miring, emosinya benar-benar terkuras hari ini. Sekalipun dia bisa menahan amarahnya, namun tidak dengan batinnya.
“Dok, saya…saya minta maaf!” Reyhan baru berani bicara setelah mendapat kode dari Angga.
“SEKALI LAGI LO BUAT MASALAH, KOAS LO BAKALAN SIA-SIA!” guman Ragata, dan segera meninggalkan ruangan itu.
Angga memutuskan untuk keluar demi menjernihkan pikirannya yang masih terasa panas. Baik Angga, dan Andreas tidak ada yang mengejar. Semuanya sudah tahu sifat Ragata jika sudah marah, jangan harap ada satupun yang bisa lewat dari amukannya.
“Udah nasib lo dapat Ragata, lain kalo lebih teliti aja! Lo yang sabar kalo aja kalo mau cepet-cepet lulus dari dia!” Andre memberikan semangat.
“Makasih dok!” Rayhan berseru lemas, dan segera pergi dari sana.
Kena amukan dari Ragata memang sudah sangat sering baginya. Namun kali ini pure kesalahannya, jadi dia merasa akan berpengaruh besar pada kelulusannya nanti.
Di lain sisi, Rindu tengah sudah menyelesaikan studi banding yang di lakukan di rumah sakit. Pagi ini, professor pembimbingnya memintanya untuk melakukan studi di rumah sakit, guna untuk mendapatkan data pendukungnya.
Dan langkah Rindu berhenti di area taman. Tidak sengaja, dia menatap sosok yang semalam menghantuinya. Senyum Rindu terbit, entah kenapa dia selalu merasa nyaman meski dokter itu cuek-cuek dingin.
Rindu malah tertantang.
“Dok!”
Ragata terkesiap begitu menoleh. Dia tidak espek bahwa dia akan bertemu gadis itu lagi? Tidak mungkin gadis di depannya sedang menguntitnya, terlihat jelas dari jas LAB yang dikenakan gadis itu. Wait. Ragata lekas mengalihkan perhatiannya, kenapa dia jadi menilai gadis itu? Tidak penting juga baginya.
“Dok…” Rindu lagi-lagi bertanya kali tadi sapaannya tidak kunjung direspon.
“Hmmm?”
“Ya Ampun, dokter kenapa sih? Sombong banget gak mau jawab!” jujur, Rindu juga tidak tahu datang darimana keberaniannya ini. Tapi dia juga geram lama-lama didiemin kayak gini. Aslinya Rindu itu barbar sekali, jadi dia tidak bisa berlama-lama berhadapan dengan cowok dingin seperti dokter di depannya ini.
“Lo siapa?” guman Ragata, kali ini nadanya semakin ketus dan datar.
“Anu…” Rindu gelagapan, padahal tadi niatnya hanya ingin menyapa saja, tapi malah berujung jadi seperti ini, “saya aslinya tuh cuman mau nyapa aja dok.”
“Trus?” Ragata melirik dari ekor matanya.
“Trus?!” Rindu balik bertanya, “oh iya, ini dok.”
Belum juga Ragata menangkap pergerakan Rindu, namun sesuatu yang dingin sudah ada di tangannya.
“Itu…saya aslinya cuman mau bilang terima kasih sama dokter, karna udah bayarin minuman saya waktu di Café malam itu. Gada niatan apa-apa kok dok, asli, suer, demi neptunus!” Rindu menaikkan dua jarinya, membentuk sumpah ala-ala anak muda jaman sekarang.
Perhatian Ragata tertuju pada botol kaleng dingin yang ada di tangannya. Banana milk Shake. Hampir saja Ragata tersenyum menatap judul minuman yang bahkan tidak pernah dia ketahui itu. Hampir sih, beruntung Ragata bisa menahan raut wajahnya agar tetap datar.
“Ya udah deh dok, makasih udah bayarin yang kemarin. Itu sebagai gantinya, ya meskipun gak setimpal. Saya pamit dulu ya dok, sekali lagi terima kasih!”
Rindu buru-buru berlari dari sana, tanpa membalikkan pandangannya lagi. Dia benar-benar tidak tahu malu sekali.
Sementara Ragata, dia masih menatap punggung Rindu yang sudah menghilang di balik gedung A dengan C. Lalu memperhatikan minuman di tangannya, tanpa menyadari bahwa bibirnya tersenyum karena tingkah itu.
“Hari ini kita kedatangan dokter tamu lagi!”Salah seorang asisten praktikum mengumumkan hal itu tepat di depan kelas. Rindu, Miquel dan Pandu hanya mengangguk. Karena hal itu memang sudah biasa, tidak ada yang spesial dengan kedatangan dokter tamu, bahkan dari rumah sakit ternama pun.“Eh…gue kebelet lagi!” Rindu berbisik pelan.“Boker?”“Bukan, mau pipis gue!” Rindu menghela nafas, di luar sedang hujan, terlihat dari jendela kaca yang memisahkan luar dengan gedung LAB. Dengan segera Rindu angkat tangan untuk izin.“Kak, dokternya tampan gak?” salah satu mahasiswi bertanya, lalu di sambut dengan tawa oleh circlenya. Pandu hanya memutar bola matanya malas, entah kenapa dia tidak pernah suka jika pada wanita sudah mulai bertindak seperti itu. Apa-apa selalu pandang fisik.“Kenapa, lo sirik?” seru Miquel yang sudah paham betul dengan maksud dari tatapan Pandu yang mengenaskan itu.“Diam ae lo!”“Ada apa…ada apa?” seru Rindu yang baru saja masuk, “lo ngatain gue?”“Ya, katanya cariin Pan
“Prof, saya sudah bisa pulang?”Rindu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Bibirnya tidak berhenti mengomel dalam hati, sejak dia mendadak mau menjadi volunteer untuk menggantikan Pandu yang seharusnya ada di posisinya ini. Berkali-kali Rindu menilik sosok yang ada di depannya dengan sabar.Sosok itu tengah sibuk dengan laptopnya dengan tangan yang sejak tadi mengetik. Entah apa yang lelaki itu kerjakan, Rindu Pun tidak tahu.“Siapa suruh kamu jadi pengganti?” Rangga jaketnya, dan beranjak dari tempat duduknya, merapikan laptopnya.“Prof…” Rindu panik saat sosok itu masih tidak memberikan jawaban yang pasti. Ini gimana nasibnya? Masa dia harus melototin kodok yang ada di depannya sih? Sudah 2 jam dia menjadi orang bodoh seperti ini. Mau gimana lagi? Dia sendiri yang sok-sokan menjadi pahlawan kesorean.Satu alis Ragata tertarik.“Ada apa?”“Nasib saya gimana prof, saya kan udah melototin ini kodok sejak 2 jam lalu. Mata saya mulai pegal nih prof!”“Siapa yang nyuruh kamu masih di si
Sudah 1 jam menunggu, namun dosen yang masuk mata kuliah pagi ini tidak kunjung datang. Rindu dan kedua temannya duduk sambil menatap ponselnya masing-masing. Tidak hanya mereka sebenarnya, tapi hampir semua orang tengah berfokus dengan kesibukannya sendiri-sendiri.“Rin, lo ga ke rumah sakit hari ini?”“Iya, tapi habis kelas!”Pandu mengangguk, lalu kembali merebahkan kepalanya. Pagi ini tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, dan dia butuh istirahat. Dan berselang 10 menit kemudian, Bram—sang ketua kelas, mengumumkan bahwa kelas hari ini di cancel.Jadilah Rindu, Miquel dan Pandu berjalan menuju parkiran. Ketiganya harus berpisah karena rumah sakit yang akan mereka datangi juga berbeda.“Lo gapapa naik ojol? Gue anterin aja!” Miquel masih menawarkan.“Kita bedah arah, Miq, mending gue naik ojol aja deh. Lagian udah gue pesen, tinggal bentar lagi kok!”“Apa lo bawa…”“Udah itu, gue duluan ya. Jangan lupa ntar malam kita ke tempat biasa!”“Okey, hati-hati!”Pandu dan Miquel juga lekas m
Miquel dan Pandu menatap Rindu yang terlihat tidak seperti biasanya dengan heran. Gadis yang biasanya selalu menghabiskan banyak waktu untuk membaca lembar demi lembar buku, kini tengah senyum-senyum tidak jelas sambil menatap ke luar jendela. Parahnya, gadis itu juga mengabaikan kedua temannya.Sekali lagi Pandu dan Miquel saling menatap, dan menggeleng karena tidak mendapatkan jawaban atas alasan gadis itu menjadi aneh.“Rindu, lo gak sakit kan?”“Apaan sih pegang-pegang?” Rindu menepis tangan Pandu yang berada di keningnya. Rindu selalu kesal jika disentuh, apalagi di kening.“Ya kan lo dari tadi kayak orang kehilangan tujuan hidup tau gak sih? Senyum-senyum aja dari tadi, kenapa, lo kesambet apaan di jalan tadi? Jangan-jangan arwah nenek moyang di gedung Fakultas teknik nyangkut lagi ke lo!”“Sialan, tuh bibir bisa gak sih di jaga cara ngomongnya?”“Ya kan lo gak jawab senyum-senyum karena apa.” Pandu masih ngotot, mereka berdua terdiam selama beberapa menit sambil menunggu dosen
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit, Rindu bergegas untuk pulang. Namun baru saja beberapa langkah dari lobby, hujan deras sudah melingkupi malam hari. Padahal rencananya Rindu masih harus membeli beberapa kebutuhannya di supermarket dekat rumah sakit. Mana dia tidak bawa payung lagi.“Neng, mau pulang?” tegur pak satpam.“Ya pak, sekalian mau ke supermarket terdekat sih. Tapi hujan, gak bawa payung lagi!”“Mending pesen taxi aja neng, besok-besok aja ke sononya.”“Iya pak!”Rindu menghela nafas, dia merasa sedikit sakit di perutnya. Sepertinya dia akan datang bulan, dan dia kehabisan stok pembalut. Bukan kabar baik tentunya. Rindu berjalan mendekati hujan, menaikkan tangannya dan merasakan air hujan membasahinya.Rindu Senja dan hujan. Dia menyukai setiap kali hujan turun, rasanya damai ketika mendengar bunyi air mengalir. Banyak perasaan yang ingin dia tuangkan ketika hujan turun. Namun Rindu tidak suka petir. Tekad Rindu sudah bulat, sepertinya dia harus menerobos hu
Ragata memutuskan memutar haluan mobilnya menuju rumah orang tuanya. Dia memang sangat mengantuk dan sangat ingin merebahkan tubuhnya. Namun mendadak dia teringat jika dia harus memastikan bahwa Rindu baik-baik saja. Dia juga tidak enak hati meninggalkan gadis itu seorang diri. Takut jika Rindu tidak nyaman dengan keluarganya.Namun, baru saja Ragata turun dari mobil dan melangkah ke ruang tamu. Suara tawa adiknya—Lia—memenuhi seisi rumah. Dari penjelasan penjaga rumah, ibu dan ayahnya sudah pergi 1 jam lalu. Ragata melangkah menuju kamar adiknya saat tidak menemui Rindu di kamarnya. Pintu yang tidak terkunci rapat membuatnya bisa melihat jika adiknya tengah diajari oleh Rindu?Wait. Sejak kapan keduanya sangat dekat?Dia pikir keduanya bukan berada pada angkatan yang sama, selain itu, Lia cukup ekstrovert menjadi manusia. Sangat tidak jika Rindu bisa berteman dengan adiknya yang bar-bar. Apa jangan-jangan….“Bang?”Rindu yang tidak menyadari kehadiran sosok itu lekas mengalihkan pand
Sudah beberapa hari berlalu, tapi sosok Ragata tidak pernah muncul di depan Rindu. Senja berlalu dan tidak ada yang istimewa. Sepertinya Rindu sudah terbawa virus tercandu-candu oleh ketampanan Ragata, dan juga perangai baiknya. Habisnya, siapa anak gadis yang tidak akan baper jika diperlakukan seperti itu?“Lo…kenapa? Kelihatannya dari tadi gak serius, something wrong?” Pandu yang duduk di sebelah Rindu memang memperhatikan gerak-gerik Rindu yang terlihat bukan biasanya.“Gue emang kenapa?”“Ya lo kayak lagi gak pengen belajar gitu, kan biasanya lo yang semangat 45 buat nugas.”Miquel yang duduk di hadapan Rindu akhirnya ikut memperhatikan. Mereka sedang berada di discussion room perpustakaan. Ruangannya tertutup, dan bisa di isi sampai dengan 10 orang. Biasanya digunakan untuk diskusi atau kerja kelompok.Lalu tatapan Miquel jatuh pada lengan Rindu. “Tangan lo kenapa? Lo sakit?”Pandu baru me-notice. Tatapannya mengikuti arah Miquel, dan benar saja, lengan Rindu ada tusukan dan meli
Rindu POVSialan, aku benar-benar ingin meremas wajah lelaki itu. Jadi kejadian malam hari itu dia bilang tidak sengaja? Padahal kami hampir berciuman di acara prom, dan kini dia bisa tertawa lebar dengan beberapa dosen seolah tidak melakukan kesalahan. Jika dia adalah roti yang sedang aku makan ini, sudah aku lenyapkan dia dari seluruh penjuru dunia.Bohong kalau aku mengatakan tidak baper waktu itu. Aku tidak pernah mendapatkan perhatian seperti itu, apalagi dari seorang ayah. Jadi ketika pertama kali diperhatikan begitu, aku…hatiku terasa tidak baik-baik saja. Rasanya mendebarkan, setiap malam aku memimpikan wajahnya. Lalu di pagi harinya, aku bangun dengan perasaan kesal karena apa?Karena semuanya hanyalah mimpi.Dimana, itu tidak mungkin pernah terjadi?!“Rindu, lo kenapa sih dari tadi bete mulu? Mana waktu prom kemarin lo juga ngilang.”Pandu bergabung denganku di taman, lalu tidak lama Miquel dengan wajahnya yang selalu datar dan tanpa ekspresi ikut bergabung. Entah kenapa aku