Share

5 - Tidak ada yang menarik

Ragata POV

Tidak ada yang menarik menjadi seorang dokter. Bagiku begitu. Namun, ketika aku mendengar profesi ini diagung-agungkan, apalah kata yang tepat untuk mengatakan pada mereka bahwa profesi mereka entah apapun itu adalah sama pentingnya?

“Ga…gue mau serius nanya sama lo!”

Itu suara Angga, sudah hafal betul aku dengan suara itu. Terkadang malas mendengarnya, demi apapun. Terlebih saat ini, pintu ruanganku jelas tertutup dan seharusnya dia sadar apa maksud dari hal itu. Aku sedang tidak ingin menerima tamu untuk hari. Rasanya sungguh malas, dan aku ingin menenangkan pikiran sejenak.

Tapi sekeras apapun aku melarang, Angga tetaplah Angga. Dia sungguh batu, dan tidak mengerti kata-kata manusia. Tingkah absurd nya dan juga Andreas yang selalu menarik perhatianku untuk menciptakan pil baru, yang bisa melenyapkan kedua mahluk ini.

Namun, aku juga sadar tingkah absurd keduanya lah yang bisa membuatku bertahan hingga saat ini. Jujur, sampai detik ini, aku masih trauma dengan yang namanya hubungan. Meski tidak semua wanita itu sama, tapi bagaimana bisa rasa kepercayaanku tumbuh pada mereka, di saat aku sudah dikhianati orang terdekat, dan pacarku selama 7 tahun lamanya?

“Yaelah pak dokter, lo ga dengar gue dari tadi?”

“Lo ngomong?” serius ini gue lagi gak bercanda. Tidak ada satupun gelombang suara yang merambat masuk lewat gendang telingaku. Atau apa mungkin aku sedang berhalusinasi akut?

Bisa jadi sih. Dan itu yang aku inginkan untuk saat ini.

“Yang modelan gini nih buat gue darah tinggi. Gak…gue gak ngomong, tapi menyanyi!” Angga ngegas, wajahnya datar karena menahan amarah yang selalu saja meledak-ledak jika sudah berhadapan denganku. Padahal kan aku tidak bersalah ya, hanya ada kesalahan teknis saja tadi.

"Lo ada mau apa datang ke ruangan gue?”

Dia tidak akan pergi selagi aku tidak ingin mendengar ceritanya. Si bodoh yang juga genius. Aku bingung bagaimana harus menjelaskan seperti apa sosok di depanku saat ini.

“Lo…kenal sama mahasiswi kedokteran semalam gak?”

“Siapa?”

“Yaelah, itu loh yang duduk di sebelah lo pas makan. Masa lo gak inget sih?”

“Ahh….” Aku ingat, tentu saja karena sudah beberapa kali berpapasan dengannya. “Maksud lo, gadis yang namanya Rindu Senja?”

“Buset…lo beneran inget?”

Pertanyaan berulang yang menyebalkan. Entah kenapa aku sangat ingin menceburkan kepala Angga ke dalam bak mandi saat ini juga. Dia pura-pura bodoh, atau pura-pura tuli sih? Tidak hanya Angga saja sih sebenarnya, hampir semua manusia yang aku temui selalu saja mengulang pertanyaan dua kali.

Mubazir. Berlebihan. Tidak efisien.

“Menurut lo, dia gimana?”

“To the point aja bisa ga? Lo udah nyita waktu gue yang berharga buat ngomongin masalah hal gak berguna kayak gini!”

“Ck!” Angga berdecak, menatap kesal ke arah Ragata, “ya kan siapa tahu aja lo mendadak suka gitu. Siapa tahu aja dia itu cewek berbeda, kan kalo lo…”

Brugh

Bantingan di meja aku rasa cukup untuk menunjukkan batasan Angga. Bukannya bermaksud yang lain, hanya saja untuk saat ini aku ingin merasa sendiri. Karena sendiri itu jauh lebih baik daripada berada di keramaian namun tetap merasa kesepian. Hatiku rasanya kosong, tidak semudah itu untuk mengisi ulang. Dikiranya batre yang bisa diisi ulang apa?

Oh no. Tentu tidak.

“Please Angga, gue tahu maksud lo, maksud Andreas, maksud mama, itu semua demi kebaikan gue. Tapi lo tau gak sih rasanya kalo kepercayaan diri lo udah di injak-injak sama orang yang lo sangat-sangat percaya dan sayangi? Buat nyatuin kepingan itu, butuh waktu Ngga. Lo gak bisa maksain kehendak lo doang tanpa mempertimbangan si penderita. Gue pikir lo paham sampai di sini!”

Jujur. Angga sudah terbiasa dengan amukan Ragata yang sering naik turun. Namun untuk kali ini, dia merasa sedikit awkward, dan juga merinding.

“Gue cuman mau bilang, kita ada rapat!”

Angga berdiri, dan berlalu dari ruanganku. Helaan nafasku memenuhi ruangan, tanganku memijat keningku berusaha untuk menenangkan pikiranku yang mendadak kacau dan dipenuhi dengan bayang-bayang gadis bernama Rindu itu.

“Ayolah, dia itu hanya sementara saja. Stop jadi orang bodoh karena masalah tidak berguna ini Ga!” gumanku, lebih untuk menyemangati diri sendiri. Tapi sekeras apa usahaku, tetap saja terbayang dengan kejadian semalam ketika di parkiran.

Melihat interaksinya dengan kedua lelaki itu, aku yakin jika hubungan di antara mereka itu tidak murni. Deringan di ponselku, membuatku dengan segera beranjak dari kursi ternyaman ini. Rapat lagi, rapat lagi. Apa mungkin ini sudah menjadi titik terjenuh ya? Aku ingin menghilang dari muka bumi ini, to be honest.

“Dok…duduk di sini saja!”

Suara dari salah satu dokter begitu aku tiba di ruang rapat. Tapi entah kenapa aku tidak berminat untuk duduk di sebelah wanita itu. Alhasil, aku melewatinya dan duduk di deretan meja Angga dan Andreas. Aku bisa melihat wajah wanita tadi sedang menahan malu. Lagian, jika aku perhatikan, dia adalah tipe gadis yang cari perhatian. Persis seperti mahasiswi yang semalam mempertanyakan hal sensitif itu padaku.

“Baiklah, karena semuanya sudah di sini. Kita mulai saja, dan aku mohon tanggung jawab dari masing-masing pemimpin operasi ini!”

2 jam berlalu hanya untuk membahas masalah yang tidak penting. Aku hampir saja menguap jika tidak melihat Andreas yang sudah tepat. Dia baru melakukan operasi 12 jam, dan aku yakin dia sedang tidak ingin berada di ruangan ini.

“Lo gak mau cabut?” tawaku pada Angga yang duduk di sebelahku.

“Cabut gundulmu, ini mau giliran kita. Lo gak tau apa kalo operasi 3 hari lalu itu bermasalah? Lo sih, nyerahin sama dokter Koas. Jelas lo tahu itu butuh penanganan khusus!”

“Memangnya ada apa?”

Sebelum Angga menjawab, dokter yang membawa acara rapat kali ini sudah menatap ke arah jajaran kami. Kali ini aku merasa keadaan tidak baik-baik saja. Tapi kenapa dengan pasien itu? Aku sudah memeriksanya lebih dulu, sebelum menyerahkannya pada dokter koas tahun ke-3.

***

Author POV

“Untuk kali ini, dokter andalan di rumah sakit kita membuat kesalahan. Dokter Ragata Wijaya, Anda menyerahkan operasi itu pada dokter koas, padahal itu adalah tanggung jawab Anda, benar begitu?”

“Ya!” Ragata menjawab dengan santai. Tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu sedang gugup, atau merasa kebingungan.

“Lalu, bagaimana pertanggung jawaban Anda selaku dokter penanggung jawabnya? Apakah Anda merasa nyawa adalah main-main saja?” Kali ini nada suara dokter Hans—dokter yang memimpin rapat—mulai meninggi. Semua orang tahu jika dokter Hans, yang usianya jauh lebih tua dari Ragata itu, tidak menyukai pemuda itu.

Jabatan membuatnya demikian. Bahkan sekarang, terlihat sekali jika sosok itu tengah perkara dengan Ragata.

“Saya akan memeriksanya nanti, dok. Atau sekarang juga saya bisa pergi dari rapat ini untuk memeriksanya.” Ragata sudah bersiap untuk pergi.

Prak

Namun pukulan di atas meja menahan langkah Ragata. Dokter itu tetap tenang, tidak peduli siapapun yang dia hadapi saat ini juga.

“Sekarang? Anda pikir ini rumah sakit milik ayah Anda dokter Ragata yang terhormat? Banyak keluhan yang saya terima akhir-akhir ini dari pasien rumah sakit mengenai pelayanan Anda. Jika tidak bisa becus menjadi dokter, kenapa tidak Anda tanggalkan saja jas putih itu?”

Jujur, Angga dan Andreas yang mendengar itu ikut tersulit emosi. Keduanya tahu jika Ragata memang melakukan kesalahan karena menyerahkan tanggung jawab. Justin, yang tadinya sedang tertidur bangun-bangun langsung berdiri dan hendak membela Ragata. Sebagai fans fanatik yang berharap diterima kehadirannya oleh Ragata rela melakukan apapun.

Namun, sebelum para pendukung Ragata bertindak, lelaki itu sudah lebih dulu melakukannya. Tanpa suara memang, hanya ada senyuman di wajah dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di area dagunya. Jujur, ketampanan Ragata meningkat jika sedang tersenyum. Beberapa dokter wanita yang ada di dalam ruangan itu seketika lupa dengan situasi panas yang sedang terjadi. Bahkan dokter wanita yang tadi Ragata tolak mentah-mentah ikut memperhatikan lelaki itu dengan senyuman di bibirnya.

Ragata tetap tenang. Salah satu kunci untuk menghadapi musuh adalah ketenangan, begitulah ilmu yang dia dapat dari mendiang profesor yang mendidiknya hingga menjadi seperti ini. Ragata melangkah maju ke atas podium, dan berdiri beberapa langkah dari Dokter Hans.

“Anda berteriak di podium ini, seolah ingin mengatakan bahwa…saya salah?”

“Jadi Anda tidak merasa bersalah? Wah…hebat betul ya, Anda tidak merasa bersalah atas pasien yang hampir meninggal itu?”

“Menyerahkan tanggung jawab kepada dokter KOAS tingkat 3, apakah itu…sebuah kesalahan? Bukankah, Anda juga tahu perintah itu sebelum operasi dijalankan?”

Hans mendadak gelagapan. Dia menatap Ragata dengan tatapan tidak suka, dan benci.

“Saya tahu dan…”

“Kenapa bukan Anda, yang jabatannya ada di atas saya, yang mengingatkan? Atau, apakah ada unsur kesengajaan di sana?”

Ruangan rapat semakin terasa gerah saat Ragata sudah mulai mengintimidasi. Dokter KOAS tingkat 3, yang juga ikut di dalam rapat itu menundukkan kepalanya ketakutan. Takut jika namanya akan dipanggil oleh dokter bimbingannya itu.

“Namun kendati demikian, saya mengaku salah. Tapi, kenapa Anda berkoar-koar di sini setelah mengetahui bahwa pasien sudah baik-baik saja?”

“Itu adalah tugas saya, hari ini kita melakukan evaluasi terhadap semua kinerja para dokter!”

“Evaluasi?” kekeh Ragata sambil memainkan matanya, “haruskah kita melakukan evaluasi juga pada Anda, senior? Saya punya cukup bukti jika jabatan Anda ingin saya rebutkan!”

“Apa…apaan kamu hah? Apakah Anda tidak tahu…”

“Berhenti mengelak dokter Hans, jangan pernah memprovokasi saya, jika saya tahu betul permasalahannya dimana. Saya akui, kesalahan itu adalah murni kesalahan saya, bukan kesalahan dokter koas tingkat 3. Lalu sekarang apa?”

Hans mendadak kaku, dia gemetar dengan ancaman tersirat itu.

“Sudahlah, rapat saya selesaikan. Semuanya bubar dan jangan ada yang berada di sini!” Hans melemparkan mik begitu saja. Beruntung Angga tanggap dan lekas menangkapnya.

Semuanya sudah bubar dari acara rapat itu. Kecuali Ragata, dan 4 orang dokter yang masih duduk di sana. Ragata tersenyum miring, emosinya benar-benar terkuras hari ini. Sekalipun dia bisa menahan amarahnya, namun tidak dengan batinnya.

“Dok, saya…saya minta maaf!” Reyhan baru berani bicara setelah mendapat kode dari Angga.

“SEKALI LAGI LO BUAT MASALAH, KOAS LO BAKALAN SIA-SIA!” guman Ragata, dan segera meninggalkan ruangan itu.

Angga memutuskan untuk keluar demi menjernihkan pikirannya yang masih terasa panas. Baik Angga, dan Andreas tidak ada yang mengejar. Semuanya sudah tahu sifat Ragata jika sudah marah, jangan harap ada satupun yang bisa lewat dari amukannya.

“Udah nasib lo dapat Ragata, lain kalo lebih teliti aja! Lo yang sabar kalo aja kalo mau cepet-cepet lulus dari dia!” Andre memberikan semangat.

“Makasih dok!” Rayhan berseru lemas, dan segera pergi dari sana.

Kena amukan dari Ragata memang sudah sangat sering baginya. Namun kali ini pure kesalahannya, jadi dia merasa akan berpengaruh besar pada kelulusannya nanti.

Di lain sisi, Rindu tengah sudah menyelesaikan studi banding yang di lakukan di rumah sakit. Pagi ini, professor pembimbingnya memintanya untuk melakukan studi di rumah sakit, guna untuk mendapatkan data pendukungnya.

Dan langkah Rindu berhenti di area taman. Tidak sengaja, dia menatap sosok yang semalam menghantuinya. Senyum Rindu terbit, entah kenapa dia selalu merasa nyaman meski dokter itu cuek-cuek dingin.

Rindu malah tertantang.

“Dok!”

Ragata terkesiap begitu menoleh. Dia tidak espek bahwa dia akan bertemu gadis itu lagi? Tidak mungkin gadis di depannya sedang menguntitnya, terlihat jelas dari jas LAB yang dikenakan gadis itu. Wait. Ragata lekas mengalihkan perhatiannya, kenapa dia jadi menilai gadis itu? Tidak penting juga baginya.

“Dok…” Rindu lagi-lagi bertanya kali tadi sapaannya tidak kunjung direspon.

“Hmmm?”

“Ya Ampun, dokter kenapa sih? Sombong banget gak mau jawab!” jujur, Rindu juga tidak tahu datang darimana keberaniannya ini. Tapi dia juga geram lama-lama didiemin kayak gini. Aslinya Rindu itu barbar sekali, jadi dia tidak bisa berlama-lama berhadapan dengan cowok dingin seperti dokter di depannya ini. 

“Lo siapa?” guman Ragata, kali ini nadanya semakin ketus dan datar.

“Anu…” Rindu gelagapan, padahal tadi niatnya hanya ingin menyapa saja, tapi malah berujung jadi seperti ini, “saya aslinya tuh cuman mau nyapa aja dok.”

“Trus?” Ragata melirik dari ekor matanya.

“Trus?!” Rindu balik bertanya, “oh iya, ini dok.”

Belum juga Ragata menangkap pergerakan Rindu, namun sesuatu yang dingin sudah ada di tangannya.

“Itu…saya aslinya cuman mau bilang terima kasih sama dokter, karna udah bayarin minuman saya waktu di Café malam itu. Gada niatan apa-apa kok dok, asli, suer, demi neptunus!” Rindu menaikkan dua jarinya, membentuk sumpah ala-ala anak muda jaman sekarang.

Perhatian Ragata tertuju pada botol kaleng dingin yang ada di tangannya. Banana milk Shake. Hampir saja Ragata tersenyum menatap judul minuman yang bahkan tidak pernah dia ketahui itu. Hampir sih, beruntung Ragata bisa menahan raut wajahnya agar tetap datar.

“Ya udah deh dok, makasih udah bayarin yang kemarin. Itu sebagai gantinya, ya meskipun gak setimpal. Saya pamit dulu ya dok, sekali lagi terima kasih!”

Rindu buru-buru berlari dari sana, tanpa membalikkan pandangannya lagi. Dia benar-benar tidak tahu malu sekali.

Sementara Ragata, dia masih menatap punggung Rindu yang sudah menghilang di balik gedung A dengan C. Lalu memperhatikan minuman di tangannya, tanpa menyadari bahwa bibirnya tersenyum karena tingkah itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status