Awan yang sudah berbalik dan siap memberi ganjaran si pengganggu kegiatan menyenangkannya sontak mundur beberapa langkah saat melihat seorang lelaki menyibak jalan di antara beberapa orang berpakaian hitam. Sementara di belakangnya, Nesa tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membenahi diri lantas menyampirkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Pakaiannya sudah tak berguna setelah dikoyak tangan kurang ajar Awan.“Siapa yang akan kamu buat mati, brengsek!” Orang itu maju dan langsung memukuli Awan dengan tongkat. “Sudah kubilang, aku yang akan menghajarmu lebih dulu sebelum Barata kalau kamu nekat mengganggu istrinya!”“Ayah, kenapa Ayah berada di sini.” Awan mencoba menghalau tiap serangan Wirang, meskipun upayanya tak berarti apa-apa. Tongkat itu tetap mampu mengenainya, menyakitinya. “Dan tolong hentikan ini!”“Berhenti katamu?” Wirang justru semakin menggencarkan pukulannya pada sekitaran betis putranya yang tak bosan membuatnya marah itu. “Kamu yang harus berhenti dengan otak sekalig
Barata tampak memimpin jalan, mengomandoi 20 orang di belakangnya dalam rangka melancarkan serangan kepada si brengsek penculik istrinya. Dia sungguh tak habis pikir, mengapa pria itu tak henti mengusiknya. Mulai dari menyusupkan anak buahnya memeriksa kolam-kolam miliknya lalu beberapa hari setelah itu meracuni ikan-ikannya hingga tak tersisa seekor pun yang hidup, dan sekarang Nesa yang tak tahu menahu menjadi sasaran keusilannya. Apa pria itu pikir, dia tak bisa berlaku kejam kepadanya? Pria bernama Awan itu benar-benar meremehkannya!Waktu sudah menunjukkan tengah malam saat dia dan timnya sampai di kawasan kediaman pribadi Awan. Dengan hati-hati, Barata dan timnya mulai memantau situasi di sekitar rumah yang dibentengi dengan gerbang. Mereka berada di posisi yang strategis, menyembunyikan diri di balik pepohonan. Bahkan, Barata sendiri rela memanjat pohon demi mengawasi keadaan. Ini semua dia lakukan demi istrinya.Sudut bibir Barata tertarik ke atas, meremehkan. Ternyata Awan t
Setelah beberapa menit yang panjang nan sengit, Barata dengan kecerdasan dan keterampilan bertarungnya, akhirnya melihat celah dalam pertahanan Awan. Dengan gerakan cepat dan kuat, dia membuat tubuh Awan terpelanting hingga terjatuh ke tanah.Bug! “Sialan!” Awan meringis saat punggungnya menghantam tanah. Kemudian, langkah Barata yang mengandung aura kemenangan, mendekat pada Awan, menjulang kokoh di atas tatapan sengit pria yang sudah kalah itu.Bibir Barata menyunggingkan senyum kemenangan, menunduk menatap Awan dengan pongah. “Bukankah aku telah membuatmu menyesali keputusanmu menerima tantanganku?” kata Barata dengan puas, pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.“Brengsek!” Awan mengumpat, masih tak percaya dia menjadi pihak yang terkalahkan. Padahal, dia berpikir, bentuk tubuhnya dan Barata nyaris serupa, sama-sama memiliki tubuh liat, kokoh dan atletis. Dan semestinya kekuatan mereka seimbang. Kemungkinan dia menang bukanlah hal mustahil. Akan tetapi, mengapa ternyata hasilny
Sepasang bola mata hitam dan dalam milik Barata yang laksana jurang tanpa dasar, mencurahkan tatapannya pada paras gadis yang berbaring di ranjangnya. Waktu sudah mendekati fajar, tetapi pandangan Barata terus melekat pada rupa cantik yang tampak damai dalam lelap tersebut. Sesekali tangan Barata mengusap puncak kepalanya dan menyingkirkan anak rambut yang melintang di wajahnya. Sambil mengamati, dalam hati pria itu berjanji bahwa hilangnya sang istri kali ini menjadi pertama dan terakhir kali. Dia takkan melepaskan Nesa sampai kapan pun, sekuat apa pun gadis itu berhasrat lepas darinya sebab sesuatu yang sudah menjadi miliknya, maka selamanya itu takkan berubah. Sekalipun semesta menentangnya, dia takkan goyah. Bila perlu, dia akan menantangnya dengan gagah. Barata memang seobsesi itu pada gadis bernama Annisa Raharja itu. “Saya akan bersabar, Nes, sampai kamu menerima saya,” ucapnya. Ingin sekali dia mencuri ciuman lagi, tetapi dirinya terlalu khawatir tak dapat mengendalikan diri
Romi yang hendak ke dapur untuk membuat kopi mengangkat kepalanya dan menemukan sosok Barata yang menuruni tangga dengan langkah kasar. Saat sudah mencapai anak tangga paling bawah, Romi memberanikan diri bertanya, “Ada hal urgent, Mas?” Dilihat dari air mukanya, Romi menangkap kemarahan di sana. Barata hanya berlalu, tanpa menanggapinya. Pria itu menuju dapur sambil memanggil Mbok Dami. Romi yang melihat itu hanya dapat mengelus dada. Mas bosnya itu masih marah dan bersikap dingin padanya imbas dari kecerobohannya. Dia yang sebelumnya ingin ke dapur pun, akhirnya mengurungkan niat tersebut. Lebih baik menunggu singa yang sedang marah itu keluar dari sana daripada memaksa ke dapur hanya untuk menerima amukannya. Romi masih sayang nyawanya.“Iya, Mas bos.” Mbok Dami yang sedang berdiskusi dengan koki perihal menu hari ini pun tampak berlari tergopoh-gopoh setelah mendengar suara sang majikan memanggilnya. Bisa dibilang, peran perempuan itu di rumah itu ialah kepala atau pemimpin para
Nesa sudah keluar kamar mandi 15 menit lalu. Kini gadis itu tengah berdiri di depan jendela, memandang gazebo dengan tangan terlipat di dada. Dress pendek berwarna biru muda membalut tubuh mungilnya, sangat pas di badannya. Seakan yang memilih gaun ini hafal detail ukuran lingkar pinggang, dada, dan lengannya. Andai saat ini situasinya berbeda, mungkin Nesa akan sangat menyukai penampilannya. Dress yang sangat indah membuat pesonanya yang biasanya mengintip malu-malu bahkan bersembunyi kini terpancar sempurna.Meskipun marah dan membenci Barata, tetapi dia tak punya pilihan lain selain menggunakan barang-barang di rumah ini yang disiapkan untuknya. Sebab, dia dibawa ke sini tanpa membawa apa-apa selain sepotong baju kurung lusuh yang dipakainya waktu pertama kali datang dan dia tak tahu ke mana pakaian itu sekarang. Kemeja yang dipakainya waktu kembali ke sini pun itu merupakan kemeja pembantu Tuan Wirang yang diikhlaskan kepadanya, maka tak mengherankan kalau kedodoran waktu dia paka
Begitu sampai kamar, Nesa langsung merangkak ke kasur. Tak sabar ingin membuka box yang tergenggam di tangannya. Ternyata box itu sudah dibuka dan ponselnya sudah terisi kartu SIM. Jadi, suaminya itu sungguh tak ingin dia kesulitan. Segala sesuatunya dipermudah. “Tetap saja, Mas Bara. Aku nggak akan tersentuh dengan segala effort yang kamu tunjukkan. Bagaimanapun, aku nggak akan pernah lupa gimana kejamnya kamu memisahkanku dengan Bagus,” ucapnya bermonolog. Lalu dia tak butuh waktu lama membuka aplikasi sosial media yang sudah terunduh. Beruntung, Nesa selalu mengingat alamat em*il dan kata sandi yang digunakannya mendaftar dulu. Nama yang pertama kali dia ketik di kolom pencarian tentu saja nama sang kekasih—Bagus Setya. Hanya lima menit, Nesa sudah menemukan akun yang dimaksud. Tertera di sana Bagus terakhir aktif 10 menit lalu. Jemarinya langsung menari lincah di atas layar, mengetikkan pesan pada akun yang dimaksud. “Hai, Gus. Aku di sini baik-baik saja. Kamu nggak perlu cem
“Mas, baksonya satu mangkok lagi, ya,” ucap seorang pelanggan pada pelayan warung bakso sambil mengacungkan telunjuknya disertai bibir semringah. Tampaknya, perempuan gendut itu ketagihan dengan cita rasa bakso yang barusan rampung disantapnya.Si pelayan mengangguk lalu bergegas ke bilik belakang, tempat si bos meracik pesanan. “Enam, Pak,” ucapnya pada si bos, menyebutkan angka pesanan. Malam ini warung lumayan ramai, mungkin didukung oleh cuaca yang dingin sebab sedari tadi sore hujan mulai turun, dan sekarang intensitas curahnya tampak lebat.Si bos mengangguk. “Oke,” jawabnya pada pegawainya yang baru beberapa hari ini dia pekerjakan. “Amri mana, Gus? Kok dari tadi kamu yang bolak-balik?”“Oh, dia sedang riweh di cucian, Pak,” jawab Bagus. “Malam ini sepertinya dewi keberuntungan sedang mampir ke sini. Dari tadi sore orang keluar masuk mau cobain bakso joss Bapak.”Iya, pekerja baru di warung bakso itu tak lain adalah Bagus Setya, kekasih Nesa. Semenjak Andre—orang suruhan Barata