LOGIN“Aku…” suaraku serak, seolah kata-kata itu harus diperas sampai habis dari tenggorokan yang kering.
“Aku tidak bahagia,” akhirnya keluar, pelan tapi tegas. Kata-kata itu seperti pecahan kaca — tajam, dingin, menghantam ruang di antara kami. Adam menoleh padaku dengan mata yang segera basah. Ada harapan terselip di sorotnya, seolah ia mengira jawaban itu akan membuka pintu pelarian. “Nayla…” suaranya hampir berbisik, penuh belas. “Kau tidak perlu bertahan seperti ini. Kita bisa cari jalan—” Arkana melangkah maju sebelum Adam sempat menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya berubah; bukan marah, bukan lembut — sesuatu yang lebih berbahaya: kontrol penuh yang tiba-tiba menutup semua ruang napasku. Ia berdiri sangat dekat, jarak yang membuatku merasa terbelenggu. “Kau bilang tidak bahagia,” katanya pelan, setiap kata diucapkannya begitu tenang sehingga terdengar seperti ancaman yang dikemas rapi. “Bagus. Jujur itu memudahkan segalanya.” Adam mengangkat tangan, ingin menyentuhku, tapi Arkana menatapnya tajam. Sekali lagi, Adam mundur, tersudut oleh otoritas yang tak terlihat. “Apa maksudmu ‘memudahkan’?” Adam menuntut. Suaranya bergetar—antara marah dan takut. Arkana tersenyum tipis, bukan senyum kelembutan, melainkan senyum yang menimbang angka di kepala. “Kalau istri merasa tidak bahagia, kita bisa membuat beberapa penyesuaian. Tapi penyesuaian itu harus buat kau tetap—berguna.” Matanya kembali mengarah padaku. “Untuk semua orang yang berkepentingan.” Perkataan itu menimbulkan pertanyaan tanpa suara di kepalaku. Siapa “semua orang” itu? Siapa yang berkepentingan? Dan sejauh mana mereka akan pergi? Aku merasakan jantungku seperti berdebar di tenggorokan. Napasku pendek. “Siapa mereka, Arkana? Siapa yang menginginkanku sampai kau bilang mereka lebih berbahaya dari dirimu?” Aku bersuara lebih keras dari yang kutuju, menuntut kebenaran yang selama ini hanya diisyaratkan. Arkana menunduk, seolah mempertimbangkan apakah ia akan membuka pintu itu. “Ada orang yang melihat peluang, Adam. Ada yang melihat keuntungan. Mereka tidak peduli soal perasaan.” Ia berhenti, lalu menambahkan dengan suara yang hampir sayang: “Dan mereka tidak tertarik pada drama. Mereka hanya ingin hasil.” Adam menatapnya seperti ingin melompat ke atasnya, tapi lagi-lagi ia menahan diri. Ia memandangku, penuh permintaan. “Nayla, ceritakan semuanya. Apa pun yang kau tahu, katakan. Aku akan bantu.” Aku ingin membuka mulut, menumpahkan semua ketakutan, semua kecurigaan yang tiba-tiba menyeruak—namun di saat itu ringtone pelan bergema dari saku Arkana. Ia mengeluarkan ponsel, membaca layar, dan tubuhnya berhenti seperti patung. Wajahnya berubah lagi—lebih dingin, lebih cepat. Sekilas kilatan keputusan melintas di sorot matanya. Ia mematikan ponsel tanpa membuka pesan itu, tapi cukup untukku melihat bayangan kata-kata di layar saat ponsel masih menerangi wajahnya beberapa detik: sebuah nama, lalu tiga digit angka, lalu kata yang membuat darahku beku tanpa aku mengerti alasan pastinya. Arkana memasukkan ponsel kembali. Matanya menatapku, terlalu tenang. “Nayla,” bisiknya, hampir manis. “Malam ini, kau jangan pergi ke mana-mana. Jangan beritahu siapa pun tentang ini. Tidak satu kata.” “Apa? Kenapa—” Adam mulai, tapi Arkana mengangkat tangan. “Kau perlu tidur. Besok akan panjang,” katanya singkat, lalu menoleh dan melangkah keluar dari kamar. Langkahnya meninggalkan gema di lantai. Setelah pintu menutup, keheningan terasa menekan. Adam mendekat, meraih tanganku dengan gentar. “Kau baik-baik saja? Aku—” “Tidak,” jawabku, suaraku nyaris tidak terdengar. “Aku tidak baik-baik saja.” Tapi aku juga tidak bisa menjelaskan pesan samar yang sempat kulihat di layar ponsel Arkana, karena membaca lebih banyak akan sama dengan mengundang bahaya — itu yang tiba-tiba kupikirkan, tanpa alasan jelas. Aku menoleh ke jendela. Kota di bawah tampak biasa saja; mobil lewat, orang-orang beraktivitas—namun ada sesuatu bergerak di pinggiran pandanganku, sebuah bayangan yang tidak wajar, sebuah mobil hitam yang baru saja berhenti di seberang jalan, lampu yang redup, kemudian dua figur turun. Panik mengaum di dadaku. “Adam,” kataku pelan, “kamu lihat itu?” Ia menatap ke arah yang kutunjuk. Matanya melebar. “Jangan-jangan—” Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu depan rumah; bukan ketukan sopan tapi ketukan yang memaksa, cepat, berulang-ulang. Suara itu menggema sampai ke kamar kami. Sebuah bisik melalui pintu—bukan suara asli namun seperti melalui pengeras suara—memanggil satu nama dengan nada yang dingin dan sangat tenang: “Nayla Pratama.” Aku menekup mulut. Adam mendorong kursi, berlari menuju pintu, tapi aku menghentikannya dengan tangan gemetar. “Jangan buka!” kukatakan terlalu keras, hampir berteriak. Suara dari luar berhenti sesaat, lalu berganti: sebuah tawa pendek, lalu sebuah suara lain mencicit, nyaris tidak jelas, “Kita tunggu di bawah.” Jantungku melompat seperti hendak meledak. Semua yang tertutup di sekitarku terasa rapuh; keamanan, rencana—semuanya bisa runtuh dalam satu ketukan. Adam menoleh padaku dengan mata penuh tekad. “Kita harus keluar dari sini sekarang. Kita—” Sebelum ia selesai, lampu di lorong padam sejenak. Ruangan bergulung dalam kegelapan yang pendek tapi pekat. Saat lampu menyala kembali, ada satu hal yang berubah: sebuah amplop putih tergeletak di ambang pintu kamar ini—belum ada di sana tadi. Di atasnya tertulis tinta hitam rapi: Jangan bergerak. Jangan bicara. Jangan percaya pada siapa pun kecuali dia. Tanganku gemetar saat meraih amplop itu. Di dalamnya hanya selembar kertas tipis. Aku membuka lipatan itu, membaca satu baris yang membuat seluruh tubuhku dingin: “Jika kau buka mulut, kami akan ambil sesuatu yang lebih berharga darimu.” Di bawah kalimat itu, ada tanda tangan yang kusam—bukan nama, melainkan simbol yang kutahu entah kenapa pernah kulihat sekali di foto lama ayahku. Aku menatap Adam. “Simbol itu… aku pernah lihat ini. Di—” Suara langkah cepat turun di tangga. Suara pembuka gembok. Dan dari koridor terdengar bisik yang menenggelamkan semua kata: “Jangan coba-coba lari, Nayla. Jangan jadi bodoh.” Suara itu bukan Arkana, bukan Adam. Suara itu menempel di dinding rumah, di udara. Aku merasakan dingin merayap ke seluruh kulitku. Ada sesuatu yang lebih besar dari pernikahan ini, sesuatu yang melibatkan nama-nama, ancaman, dan harga yang tidak bisa kubayangkan. Aku menatap satu per satu wajah di ruangan: Adam, panik namun berjuang; Arkana, di luar sana entah merencanakan apa; dan aku—terjebak di antara mereka, dengan amplop di tangan, dengan jawaban yang sudah kukatakan dan konsekuensi yang baru saja menimpa. Di ambang pintu, seseorang menghela napas panjang, lalu berkata—dengan nada yang membuat darahku membeku: “Kau punya pilihan terakhir, Nayla. Pilih dengan benar.” Aku menutup mata. Pilihan? Aku, yang belum tahu apa-apa, diminta memilih. Antara siapa? Antara hidup yang sebenarnya tidak pernah kubangun dan kebenaran yang bisa menghancurkan semua yang kucintai. Di luar, sebuah mobil melaju meninggalkan gerbang dengan cepat—lampu rem berkedip dua kali—dan suara mesin menjauh seperti hitungan mundur. Aku menatap kertas di tanganku lagi. Pilihan terakhir. Nama yang tertera di balik simbol. Satu kata yang membuat tubuhku kaku. Di luar pintu, suara itu memanggil lagi, kali ini dekat, lebih jelas: “Nayla.” Aku membuka mulut. Suaraku menempel di langit-langit kamar, pecah menjadi bergetar. “Aku memilih—” Dan kata yang keluar dari bibirku terhenti, terputus, karena di saat yang sama ponselku bergetar dengan pesan masuk yang membuat layar langsung membara: sebuah foto. Foto yang memperlihatkan sesuatu yang aku pikir sudah hilang—sesuatu yang bila tersebar, tak ada yang akan selamat. Lampu kamar berkedip. Pintu depan berderit. Di luar, langkah berat mendekat. Dan aku terjebak di antara dua hal: kata yang hampir kutegaskan, dan gambar yang kini menuntut jawabku. Kalimat itu menggantung di udara, belum selesai, dan semuanya berhenti—seolah dunia menahan napas menunggu pilihan yang akan kubuat.Begitu sinyal merah itu menyala, ruangan berubah seperti tercekik oleh gelombang energi. Udara terasa padat, cahaya dari monitor memantul di wajah Nayla yang kini pucat, tapi matanya terbuka lebar—terhubung pada sesuatu yang jauh melampaui ruang di hadapannya. Raven menatap data yang berloncatan di layar. “Aktivitas neural meningkat tajam. Sistem otaknya tersambung langsung ke jaringan Seraphim. Arka, dia bukan cuma mengakses... dia sedang masuk ke pusat kendali mereka.” Arka memegang bahu Nayla, suaranya rendah tapi tegas. “Nay, dengarkan aku. Kau tetap di sini. Jangan tenggelam di dalam sistem itu.” Namun Nayla tak menjawab. Tubuhnya diam, matanya bergetar halus, pupilnya berubah warna samar keperakan—efek integrasi chip lama yang kini kembali aktif. Di layar holografik, peta jaringan Seraphim terbuka perlahan seperti sarang laba-laba bercahaya, setiap titiknya mewakili node rahasia, setiap garis menghubungkan puluhan kehidupan yang mereka kendalikan. Suara samar muncul dari sis
Malam itu, hujan belum juga berhenti. Suara derasnya menjadi latar bagi ruang persembunyian mereka — sebuah gudang tua di pinggiran kota yang telah lama ditinggalkan. Lampu gantung berayun perlahan, menciptakan bayangan yang menari di dinding retak. Arka berdiri di depan meja logam, menatap layar holografik yang kini menampilkan data hasil curian Nayla dari markas Project Seraphim. Raven mengetik cepat, menautkan setiap file ke sistem terpisah. “Data ini gila… mereka bukan cuma memantau Nayla, tapi seluruh anak yang pernah ikut program penelitian genetik tahun 2003.” Nayla menatap layar itu tanpa suara. Setiap baris kode seperti serpihan masa lalu yang disusun ulang, membentuk kebenaran yang selama ini dikubur. “Itu tahun aku diadopsi,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Arka menoleh, matanya tajam tapi hangat. “Berarti kau memang bagian dari proyek itu sejak awal.” Rian yang sejak tadi memantau sinyal komunikasi tiba-tiba bersuara. “Ada pola aneh di jalur data ini. Beberapa fi
Hujan malam itu menampar wajah Nayla saat ia dan tim menembus lorong gelap menuju titik koordinat terakhir yang mereka temukan di server. Setiap langkah terasa berat, bukan karena jarak, tapi karena ketegangan yang mencekam. Hanya suara sepatu menapak, derap langkah anak buah Arka, dan hujan yang menimbulkan gema di dinding beton yang lembab. Arka berjalan di depan, matanya terus memindai setiap sudut. “Nay, tetap fokus. Anak buahku di belakang dan sampingmu. Setiap langkah kita satu paket—strategi dan perlindungan.” Nayla mengangguk, tangannya mengepal, tetapi hatinya tetap bergetar. Ia tahu setiap langkah bisa jadi jebakan. Setiap file yang mereka temukan menegaskan satu hal: dalang Project Seraphim bukan hanya mengendalikan Adam atau pion lain, tapi mengatur hidup Nayla sejak kecil. Dan sekarang, mereka mengetahui bahwa Nayla mengetahui eksistensi mereka. Di lorong sempit itu, sensor gerak yang ditinggalkan dalang masih aktif. Rian dan beberapa anak buah Arka mengantisipasi deng
Malam itu di markas sementara terasa hening, hanya suara hujan yang terus memukul genting logam dan ketukan jendela. Lampu-lampu redup memantulkan bayangan panjang di lantai, seolah ikut menambah ketegangan. Nayla duduk di meja logistik, perangkat portable di tangan, layar komputer menampilkan data yang baru saja mereka ambil dari pusat data Adam. Tapi ketenangan itu palsu. Setiap file yang terbuka semakin menunjukkan bahwa Project Seraphim bukan sekadar organisasi rahasia—mereka adalah jaringan yang menembus ke semua lapisan kehidupan Nayla. Arka berdiri di belakangnya, mata tajam mengamati layar. “Nay, aku ingin kamu fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasai. Timku di posisi, setiap jalur pengamanan kita cek ulang.” Nayla mengangguk, tapi matanya tetap terpaku pada layar. Ia menemukan folder yang diberi label “SUBJEK: NAYLA – LEVEL ACCESS”. Begitu dibuka, dokumen itu berisi rekaman rahasia tentang pengawasan Nayla sejak kecil. Foto-foto, catatan harian yang disalin dari buku yang
Hujan malam itu masih mengguyur, menempel di jaket dan rambut Nayla, namun ia tetap tegak, menatap gedung pusat komando yang kini tampak suram dan mengancam. Arka berdiri di sampingnya, matanya tajam memindai setiap sudut sekitar, sementara anak buahnya menyebar strategis, menutupi jalur masuk dan potensi serangan mendadak. “Raven, kita butuh akses langsung ke server pusat,” Arka memberi perintah cepat, suaranya rendah tapi tegas. Raven mengangguk, matanya fokus pada layar tablet yang menampilkan jaringan digital gedung. “Sudah aku identifikasi. Ada jalur bypass di sisi barat, tapi sistem keamanannya… sangat sensitif. Satu kesalahan saja bisa memicu alarm penuh.” Nayla menatap jalur itu, menelan napas. “Aku bisa masuk, tapi kita harus hati-hati. Mereka pasti menunggu langkah kita.” “Persis,” Arka menepuk bahu Nayla, memberinya dorongan. “Anak buahku akan menahan setiap gangguan fisik. Kau fokus ke sistem. Jika ada yang mencurigakan, aku beri kode. Kita harus bergerak cepat dan sin
Malam itu, setelah hujan reda, Nayla, Arka, Raven, dan Rian bersembunyi di markas sementara mereka, namun ketegangan masih menggantung di udara. Logo Seraphim di layar perangkat data seperti menatap mereka, mengingatkan bahwa ancaman yang sebenarnya baru saja dimulai. “Dari sini, kita bisa melacak pusat komando mereka,” kata Raven sambil menunjuk peta digital yang menampilkan jaringan tersembunyi. “Sinyal terakhir menunjukkan ada gedung di pinggiran kota, terpencil, dilindungi sistem keamanan canggih.” Arka mengangguk, menatap Nayla. “Ini jalur kita. Aku akan memimpin infiltrasi fisik. Anak buahku siap menutup jalur lain, sementara kau fokus ke sistem digital.” Nayla menarik napas dalam, jantungnya berdetak cepat. “Aku siap. Tapi… kalau ada jebakan, kita harus bergerak cepat.” “Jangan khawatir,” jawab Arka, matanya tajam. “Kita sudah latihan untuk ini. Timku berjaga di setiap titik. Jika ada ancaman, mereka akan bertindak tanpa kau harus memikirkan itu.” Mereka bergerak di malam







