LOGINSisi ranjang di sebelahku kosong—Arkana sudah pergi.
Tubuhku lemas karena semalaman hampir tidak tidur. Aku membuka mata perlahan, menatap sinar matahari yang menembus tirai kamar setengah terbuka. Bayangan di cermin memantulkan wajah pucat dengan lingkaran hitam di mata. Inikah wajah seorang pengantin baru? Pintu terbuka. Seorang pelayan masuk. “Nyonya, Tuan Arkana menunggu di ruang makan. Beliau meminta Anda segera turun.” Aku mengangguk pelan. “Baiklah.” Ruang makan itu begitu luas dan megah, tapi bagiku lebih mirip ruang interogasi. Meja panjang dengan taplak putih, piring porselen berkilat, dan kursi empuk—semua tampak mewah tapi dingin. Di ujung meja, Arkana duduk dengan jas abu-abu, memegang cangkir kopi. Tatapannya dingin, sikapnya tenang, seolah-olah ia menguasai segalanya. “Duduk,” katanya singkat. Aku duduk di seberang. Hidangan mewah tersaji: roti panggang, sup hangat, jus jeruk segar. Tapi tenggorokanku terasa terkunci. Aku hanya menatap makanan tanpa menyentuhnya. Akhirnya, aku membuka suara. “Kenapa aku? Kau bisa mendapatkan siapa saja. Wanita cantik mana pun pasti rela menjadi istrimu. Tapi kenapa aku, yang jelas-jelas menolak?” Arkana meletakkan cangkirnya dengan tenang. “Karena kau satu-satunya yang tidak bisa menolak.” Aku terdiam. Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada yang kubayangkan. “Jadi aku hanya pion?” tanyaku lirih. “Alat tukar untuk menyelamatkan perusahaan Ayah?” Senyum tipis muncul di wajahnya. “Kau menyebutnya korban. Aku menyebutnya kesempatan.” Aku mengepalkan tangan di bawah meja. “Kalau aku kabur?” Sorot matanya langsung berubah tajam, menusuk seperti belati. “Jangan coba-coba, Nayla. Dunia di luar sana lebih kejam daripada aku. Kalau kau keluar dari perlindunganku, kau akan hancur dalam sekejap.” Aku menahan napas. Kata-katanya terdengar seperti ancaman, tapi juga menyimpan sesuatu—sebuah rahasia pahit yang tidak ingin ia jelaskan. “Kenapa kau bicara seperti itu? Seolah-olah ada sesuatu yang hanya kau ketahui,” desakku. Arkana berdiri, melangkah ke arahku. Setiap langkahnya berat, penuh wibawa. Aku hampir tidak bisa bernapas ketika ia berhenti di dekat kursiku. “Karena ada orang-orang yang lebih menginginkanmu daripada aku,” katanya pelan tapi penuh tekanan. “Dan mereka… tidak akan sebaik aku.” Aku terpaku. Tubuhku membeku. “Apa maksudmu? Siapa mereka?” Ia tidak menjawab. Hanya menatapku sebentar, lalu mengambil jasnya. “Pikirkan baik-baik, Nayla. Kau boleh membenciku. Tapi jangan pernah berpikir kau bisa hidup tanpaku.” Ia meninggalkan ruang makan dengan langkah mantap, menyisakan aku yang duduk kaku di kursi. Tanganku gemetar saat meraih gelas jus jeruk. Embun dingin menempel di kulitku, tapi bukan itu yang membuatku menggigil. Kata-katanya menggema di kepalaku, semakin lama semakin menekan. Untuk pertama kalinya, aku mulai merasa ketakutan—bukan hanya pada Arkana, tapi juga pada sesuatu di luar sana. Sesuatu yang bahkan lebih berbahaya daripada pria dingin ini. Aku kembali ke kamar, mencoba menenangkan diri. Ruangan mewah itu terasa semakin sempit. Aku membuka laci meja rias, menemukan sebuah buku catatan kecil kosong. Tanpa sadar, aku mulai menulis: Hari pertama sebagai istri Arkana Pratama. Aku tidak tahu apakah aku seorang pengantin… atau tawanan. Tapi aku tidak boleh menyerah. Jika Arkana menyembunyikan sesuatu, aku harus tahu kebenarannya. Aku berhenti menulis ketika mendengar ketukan pelan di pintu. “Boleh aku masuk?” Aku terlonjak. Suara itu begitu familiar, membuat jantungku berdetak kencang. Dengan tangan gemetar, aku membuka pintu. Sosok di hadapanku membuatku tercekat. “Adam?” Sahabat masa kecilku berdiri di sana, senyumnya lemah tapi matanya penuh kekhawatiran. “Nayla… aku dengar tentang pernikahanmu. Aku harus memastikan kau baik-baik saja.” Dadaku langsung hangat sekaligus sakit. “Bagaimana kau bisa masuk ke rumah ini?” “Aku punya cara,” jawabnya singkat. Ia menunduk, suaranya bergetar. “Kau bahagia, Nayla? Katakan yang sebenarnya.” Pertanyaan itu menghantam hatiku. Air mata hampir jatuh. Tapi sebelum aku sempat menjawab, suara langkah berat terdengar di koridor. Aku kaku. Jantungku serasa melompat ke tenggorokan. Pintu terbuka. Arkana berdiri di ambang pintu, tatapannya dingin dan tajam. “Apa yang kau lakukan di sini?” Adam menatap balik tanpa gentar. “Aku hanya ingin memastikan Nayla tidak menderita.” Arkana melangkah masuk, berdiri di antara kami. Aura dinginnya memenuhi ruangan. “Dia istriku. Aku tidak butuh orang lain mencampuri hidupnya.” Aku terjepit di antara dua tatapan membara—satu penuh kepedulian, satu penuh penguasaan. Adam menarik napas dalam, lalu menatapku lebih serius. “Aku tanya lagi, Nayla… kau bahagia?” Aku masih terdiam, jantungku berdegup kencang. Bibirku akhirnya terbuka perlahan. “Aku…”Begitu sinyal merah itu menyala, ruangan berubah seperti tercekik oleh gelombang energi. Udara terasa padat, cahaya dari monitor memantul di wajah Nayla yang kini pucat, tapi matanya terbuka lebar—terhubung pada sesuatu yang jauh melampaui ruang di hadapannya. Raven menatap data yang berloncatan di layar. “Aktivitas neural meningkat tajam. Sistem otaknya tersambung langsung ke jaringan Seraphim. Arka, dia bukan cuma mengakses... dia sedang masuk ke pusat kendali mereka.” Arka memegang bahu Nayla, suaranya rendah tapi tegas. “Nay, dengarkan aku. Kau tetap di sini. Jangan tenggelam di dalam sistem itu.” Namun Nayla tak menjawab. Tubuhnya diam, matanya bergetar halus, pupilnya berubah warna samar keperakan—efek integrasi chip lama yang kini kembali aktif. Di layar holografik, peta jaringan Seraphim terbuka perlahan seperti sarang laba-laba bercahaya, setiap titiknya mewakili node rahasia, setiap garis menghubungkan puluhan kehidupan yang mereka kendalikan. Suara samar muncul dari sis
Malam itu, hujan belum juga berhenti. Suara derasnya menjadi latar bagi ruang persembunyian mereka — sebuah gudang tua di pinggiran kota yang telah lama ditinggalkan. Lampu gantung berayun perlahan, menciptakan bayangan yang menari di dinding retak. Arka berdiri di depan meja logam, menatap layar holografik yang kini menampilkan data hasil curian Nayla dari markas Project Seraphim. Raven mengetik cepat, menautkan setiap file ke sistem terpisah. “Data ini gila… mereka bukan cuma memantau Nayla, tapi seluruh anak yang pernah ikut program penelitian genetik tahun 2003.” Nayla menatap layar itu tanpa suara. Setiap baris kode seperti serpihan masa lalu yang disusun ulang, membentuk kebenaran yang selama ini dikubur. “Itu tahun aku diadopsi,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Arka menoleh, matanya tajam tapi hangat. “Berarti kau memang bagian dari proyek itu sejak awal.” Rian yang sejak tadi memantau sinyal komunikasi tiba-tiba bersuara. “Ada pola aneh di jalur data ini. Beberapa fi
Hujan malam itu menampar wajah Nayla saat ia dan tim menembus lorong gelap menuju titik koordinat terakhir yang mereka temukan di server. Setiap langkah terasa berat, bukan karena jarak, tapi karena ketegangan yang mencekam. Hanya suara sepatu menapak, derap langkah anak buah Arka, dan hujan yang menimbulkan gema di dinding beton yang lembab. Arka berjalan di depan, matanya terus memindai setiap sudut. “Nay, tetap fokus. Anak buahku di belakang dan sampingmu. Setiap langkah kita satu paket—strategi dan perlindungan.” Nayla mengangguk, tangannya mengepal, tetapi hatinya tetap bergetar. Ia tahu setiap langkah bisa jadi jebakan. Setiap file yang mereka temukan menegaskan satu hal: dalang Project Seraphim bukan hanya mengendalikan Adam atau pion lain, tapi mengatur hidup Nayla sejak kecil. Dan sekarang, mereka mengetahui bahwa Nayla mengetahui eksistensi mereka. Di lorong sempit itu, sensor gerak yang ditinggalkan dalang masih aktif. Rian dan beberapa anak buah Arka mengantisipasi deng
Malam itu di markas sementara terasa hening, hanya suara hujan yang terus memukul genting logam dan ketukan jendela. Lampu-lampu redup memantulkan bayangan panjang di lantai, seolah ikut menambah ketegangan. Nayla duduk di meja logistik, perangkat portable di tangan, layar komputer menampilkan data yang baru saja mereka ambil dari pusat data Adam. Tapi ketenangan itu palsu. Setiap file yang terbuka semakin menunjukkan bahwa Project Seraphim bukan sekadar organisasi rahasia—mereka adalah jaringan yang menembus ke semua lapisan kehidupan Nayla. Arka berdiri di belakangnya, mata tajam mengamati layar. “Nay, aku ingin kamu fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasai. Timku di posisi, setiap jalur pengamanan kita cek ulang.” Nayla mengangguk, tapi matanya tetap terpaku pada layar. Ia menemukan folder yang diberi label “SUBJEK: NAYLA – LEVEL ACCESS”. Begitu dibuka, dokumen itu berisi rekaman rahasia tentang pengawasan Nayla sejak kecil. Foto-foto, catatan harian yang disalin dari buku yang
Hujan malam itu masih mengguyur, menempel di jaket dan rambut Nayla, namun ia tetap tegak, menatap gedung pusat komando yang kini tampak suram dan mengancam. Arka berdiri di sampingnya, matanya tajam memindai setiap sudut sekitar, sementara anak buahnya menyebar strategis, menutupi jalur masuk dan potensi serangan mendadak. “Raven, kita butuh akses langsung ke server pusat,” Arka memberi perintah cepat, suaranya rendah tapi tegas. Raven mengangguk, matanya fokus pada layar tablet yang menampilkan jaringan digital gedung. “Sudah aku identifikasi. Ada jalur bypass di sisi barat, tapi sistem keamanannya… sangat sensitif. Satu kesalahan saja bisa memicu alarm penuh.” Nayla menatap jalur itu, menelan napas. “Aku bisa masuk, tapi kita harus hati-hati. Mereka pasti menunggu langkah kita.” “Persis,” Arka menepuk bahu Nayla, memberinya dorongan. “Anak buahku akan menahan setiap gangguan fisik. Kau fokus ke sistem. Jika ada yang mencurigakan, aku beri kode. Kita harus bergerak cepat dan sin
Malam itu, setelah hujan reda, Nayla, Arka, Raven, dan Rian bersembunyi di markas sementara mereka, namun ketegangan masih menggantung di udara. Logo Seraphim di layar perangkat data seperti menatap mereka, mengingatkan bahwa ancaman yang sebenarnya baru saja dimulai. “Dari sini, kita bisa melacak pusat komando mereka,” kata Raven sambil menunjuk peta digital yang menampilkan jaringan tersembunyi. “Sinyal terakhir menunjukkan ada gedung di pinggiran kota, terpencil, dilindungi sistem keamanan canggih.” Arka mengangguk, menatap Nayla. “Ini jalur kita. Aku akan memimpin infiltrasi fisik. Anak buahku siap menutup jalur lain, sementara kau fokus ke sistem digital.” Nayla menarik napas dalam, jantungnya berdetak cepat. “Aku siap. Tapi… kalau ada jebakan, kita harus bergerak cepat.” “Jangan khawatir,” jawab Arka, matanya tajam. “Kita sudah latihan untuk ini. Timku berjaga di setiap titik. Jika ada ancaman, mereka akan bertindak tanpa kau harus memikirkan itu.” Mereka bergerak di malam







