Share

Bab 04. Istri Palsu Tuan Presdir

"Aish, aku lupa bawa baju ganti lagi," gerutu Zea.

Zea membalut tubuhnya dengan handuk yang terlilit sampai dada. Wanita itu keluar mengendap-endap, takut jika Zayyan melihatnya.

Zea berjalan ke arah lemari yang tadi ditunjuk oleh suami kakaknya itu. Dia mendelik melihat baju-baju kurang bahan yang ada di sana.

"Aduh, mana piyamanya?" Zea menyimak baju-baju mahal yang sengaja digantung di sana. "Sudahlah, aku pakai ini saja. Sepertinya hanya ini yang tidak terlalu terbuka."

"Hem!"

Tubuh Zea seketika menegang, secepatnya wanita itu mengambil satu baju piyama, lalu menutupi dadanya. Zea berbalik dengan wajah yang sudah merah seperti tomat masak. Dia memaksakan senyum ketika melihat Zayyan yang berdiri di belakangnya sambil melipat kedua tangan di dada.

"Kenapa lama?"

Zayyan menelan saliva ketika melihat paha mulus Zea. Sebelumnya walau Zevanya telanjang di depannya, pria itu sama sekali tak berhasrat. Namun, kenapa saat melihat adik iparnya ini adik kecilnya seketika sesak di dalam sana.

Zea mengikuti arah pandang Zayyan, seketika matanya membulat sempurna ketika apa yang dilihat lelaki itu.

"Dasar mesum!" Dia mendorong tubuh Zayyan dan berlari ke arah kamar mandi.

Zayyan hampir terjerembab ke atas lantai, jika dia tak menahan dengan kakinya.

"Kau–" Namun, terlambat karena Zea sudah menyembunyikan dirinya di dalam kamar mandi.

Lagi-lagi Zayyan terkekeh gemas. Ah, kenapa gadis itu sungguh menggemaskan? Apa sebelumnya dia memang belum pernah dekat dengan laki-laki lain? Kenapa ditatap begitu saja sudah membuatnya salah tingkah.

Zayyan kembali duduk di sofa seraya memainkan benda pintar itu sambil menunggu Zea keluar dari kamar mandi.

"Kenapa dia lama sekali? Dia berganti atau bersemedi sih?" gerutu Zayyan. "Kau tidak akan bisa mempermainkan aku, Gadis Kecil. Lihat saja nanti, aku takkan melepaskanmu." Dia tersenyum smrik.

Tidak lama kemudian, gadis itu keluar dari kamar mandi. Dia merutuki piyama seksi yang membungkus tubuhnya.

"Kau mandi atau bertapa?" sindir Zayyan.

"Mandi, Kak," jawab Zea jujur.

Zayyan menatap Zea dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sudut bibir pria itu tertarik melihat wajah polos Zea tanpa make-up. Wanita ini memiliki kecantikan alami yang tak perlu diragukan lagi.

"Duduk di sini!" Zayyan menepuk pahanya.

"Eh tidak mau, Kak!" tolak Zea sambil menggeleng. Jari jemarinya saling meremas satu sama lain menahan gugup.

"Aku tidak suka penolakan atau kau mau..." Zayyan berjalan ke arah Zea.

"Kakak mau apa?" Jantung Zea berdegup kencang.

"Kau mau kita berolahraga ranjang, Sayang. Aku sudah lama tidak membuatmu mendesah di bawahku. Bukankah dulu kau yang selalu merayuku."

Zea menunduk sambil mengigit bibir bawahnya. Dia tidak tahu seperti apa kehidupan kakaknya, jelas dia tidak akan bisa seperti Zevanya. Lalu apa yang harus Zea lakukan? Bagaimana jika sampai ketahuan bahwa dirinya bukan istri dari pria itu? Bisa-bisa dia dan sang ayah tinggal nama.

"Kenapa diam? Atau kau memang mau–"

"Iya, Kak. Aku akan duduk di pangkuan Kakak," ujar Zea memaksakan senyum.

"Bagus. Ayo sini!" Zayyan duduk kembali di sofa.

Zea menghembuskan napasnya kasar lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di pangkuan laki-laki itu.

"Apa kau lapar?" Tadi Zayyan hanya melihat Zea makan sedikit karena suasana meja makan yang canggung.

"Aku masih kenyang, Kak," jawab Zea sembari mengangguk dan tak berani menatap wajah Zayyan.

Tiba-tiba perut wanita itu berbunyi. Wajah Zea langsung merah, rasanya dia ingin mencebur ke sungai.

"Perutmu tidak bisa berbohong, Sayang."

Tanpa sadar Zayyan tertawa padahal, sudah belasan tahun dia hampir tak pernah tersenyum dan tertawa, sejak kehilangan sang ibu.

"Hehe, aku masih sedikit lapar, Kak. Tapi, tidak banyak. Aku makan besok pagi saja," ujar Zea.

"Apa kau akan membiarkan perutmu kelaparan semalam?" Zayyan geleng-geleng kepala.

Zea hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Malu sudah pasti, rasanya dia ingin berlari kabur dan ini, kenapa dia menduduki benda keras? Ah jangan-jangan, adik lelaki itu sudah berdiri.

Tidak lama kemudian, datang tiga orang pelayan sembari mendorong troli berisi beberapa makanan.

"Selamat malam, Tuan. Makanannya sudah siap!" lapor salah satunya.

"Letakan di atas meja!" perintah Zea.

Para pelayan itu terheran-heran melihat Zea yang duduk di pangkuan Zayyan. Sebelumnya mereka tak pernah seakrab itu, bahkan saling tegur sapa saja hampir tidak pernah. Kecuali, saat Zion ingin meminta uang untuk membeli barang-barang mahal.

"Kami permisi, Tuan," pamit ketiga pelayan itu.

Zayyan tak membalas. Dia malah melihat ke arah Zea yang tampak bingung melihat makan-makanan yang ada di atas meja.

"Makanlah!" Dia mengangkat tubuh gadis itu agar turun dari pangkuannya.

"Eh!" Zea lagi-lagi terkejut.

"Cepat makan!" suruh Zayyan.

"Iya, Kak."

Zea menatap makanan mewah yang ada di atas meja. Wanita itu sampai bingung mau makan yang mana dulu?

'Kenapa semuanya makanan ini seafood, mana aku alergi lagi?' batin gadis itu.

"Kau mau aku suapi?" Zayyan menaikan turunkan kedua alisnya menggoda Zea.

Zea menggeleng. "Tidak, Kak. Aku akan makan sendiri," tolaknya memaksakan senyum.

"Kalau begitu cepat makan. Aku sudah mengantuk!"

"Iya, Kak."

Zea mengambil beberapa makanan. Sebenarnya dia tahu ingin makan, tetapi kalau menolak Zayyan pasti curiga. Zea alergi makanan jenis seafood, berbeda dengan Zevanya yang memang menyukai jenis makanan seperti itu.

Zea makan pelan, baru saja dia telan sedikit makanan itu, tenggorokannya sudah terasa dicekik. Zea terus memaksa makanan itu masuk ke dalam mulutnya dan mencoba tak peduli dengan rasa aneh yang mulai menjalar.

"Enak?" Zea membalas dengan anggukan. "Makanlah yang banyak." Zayyan mengusap kepala Zea.

"Kak." Zea berusaha menghindar dari usapan Zayyan.

"Kenapa? Kau tidak sudi aku sentuh? Jangan lupa, aku adalah suamimu," geram Zayyan. Sepertinya Zea ini keras kepala dari Zevanya. Sialnya lagi, kenapa dia malah peduli?

"Bukan begitu, Kak. Aku sedang makan," kilah Zea.

"Tunggu! Kenapa wajahmu merah?" tanya Zayyan panik.

Zea meletakkan piring di atas meja. Dia menggaruk-garuk tangan dan lehernya yang gatal-gatal dan tubuhnya terasa panas.

"Astaga, apa yang terjadi? Kau kenapa?" tanya Zayyan panik.

Pria itu langsung mengangkat tubuh kecil Zea menuju ranjang.

"Tunggu, sebentar!"

Zayyan langsung menelpon asistennya agar membawa dokter masuk ke dalam kamarnya.

Zea masih menggaruk tubuhnya bahkan kulitnya sedikit terkelupas dan itu meninggalkan perih. Harusnya dia tadi tidak memaksa makanan itu masuk ke dalam mulutnya.

'Tolong aku, Tuhan. Jangan sampai Kak Zayyan tahu jika aku bukan Kak Zeva. Tapi, ini gatal sekali dan aku tidak kuat menahannya!' teriak Zea dalam hati.

"Apakah sakit?" tanya Zayyan lembut.

Zea membalas dengan anggukan.

"Tunggu! Kenapa kau tiba-tiba alergi seafood? Bukankah ini makanan kesukaanmu?"

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status