Share

Bab 7. Kenyataan Mengejutkan

"Baiklah sayang, jika kamu tidak mau membukakan pintu untukku kali ini. Aku akan memilih sendiri gaunmu untuk pernikahan kita nanti. Oh ya.. yaa.. Aku tahu bahwa kamu menyukai warna  silver. Hm.. seperti tadi pagi, kamu terlihat sangat cantik menggunakan gaun warna silver itu. Sungguh pun kamu dalam keadaan tertidur lelap, tapi kamu sangat cantik dan seksi sayang.. Hm, dan gairahmu yang bergelora membuat aku jatuh cinta."

"Duaar.. "

Bagaikan suara halilintar menyambar, Aina tersentak mendengar ocehan si lelaki yang tidak ia kenal yang masih saja berceloteh di depan pintu kamarnya. 

Pikiran Aina bercampur aduk antara ocehan lelaki itu dengan ucapan wanita yang baru saja ia dengar di ponsel milik Zano suaminya. Namun sesungguhnya Aina tidaklah tahu kalau kedua anak manusia yang kini mengusik kenyamanan hidupnya adalah sepasang suami istri yang memiliki cara hidup tidak lazim. 

"Ooh.. mengapa ia tahu kalau tadi aku memakai gaun berwarna silver? Aku terlelap dia juga tahu? Terlelap...? ooh.."

Aina memijit pelipisnya yang dari tadi terasa puyeng. Rasa yang dari tadi ia rasakan namun tidak ia pedulikan, kini semakin kuat menjalari saraf di kepalanya. Aina mencoba mengingat-ingat apa sebenarnya yang telah terjadi  pada dirinya sebelum ia menemui Zano yang baru saja pulang ke rumah. 

"Astagaaa...!" tiba-tiba Aina berteriak kecil setelah ia meraba bagian belakang kepalanya yang terasa sedikit ngilu ketika ditekan. Disana juga ada sebuah benjolan yang tidak terlalu besar. 

"Aku ingat setelah bangun tidur aku tergesa-gesa untuk membuka pintu. Lalu aku terjatuh dan aku tidak ingat apa-apa lagi.. oooh.." Aina kembali memijit keningnya memaksa ingatannya bekerja sebaik mungkin. 

"Lalu aku merasakan sentuhan-sentuhan lembut di sekujur tubuhku. Ooh.. daaan... daaan... oh ya Allah... siapakah sebenarnya yang bersamaku pagi tadi...??? Zano ataukah laki-laki ini...??? Ooh Tuhaaan...! ! 

Histeris Aina tidak bisa lagi dibendung. Bahkan suara wanita yang tadi menelpon Zano tidak lagi ia ingat. Yang paling membuatnya panik adalah lelaki asing itu. 

"Laki-laki itu bahkan bisa masuk rumah denga leluasa tanpa harus dibukakan pintu..!" erang Aina di dalam hatinya. 

Mata wanita itu sebentar melotot dan sekali-kali menyipit. Ia terus memacu dan memaksa otaknya untuk menyibak sebuah teka-teka yang kini menjadi keraguan hatinya. 

Tiba-tiba bagaikan diburu hantu belahu Aina berlari sekencang mungkin menuju pintu kamar dan membukanya. 

"Braaak..."

Netra wanita itu mengembang melihat lelaki pemilik body atletis membelakang ke arahnya dan berjalan tergesa menuju pintu utama. 

"Tunggu...!!" 

Aina membentak seakan ingin mengalahkan suara halilintar terbesar yang pernah singgah di belahan bumi. 

Tuan Arnold tersenyum dibalik sorot matanya yang menjelaskan akan kekejaman seorang lelaki berdarah mafia. 

"Tap.."

Tuan Arnold menghentikan langkahnya namun tiada menoleh ke belakang. Egonya telah lahir dengan sempurna karena ia tahu bahwa dirinya telah memenangkan permainan. 

"Tap.. tap. tap.."

Langkah Aina mendekat seiring menghilangnya senyuman di wajah lelaki itu. Yang tersisa kini hanyalah keangkuhan yang menunjukkan jati dirinya seutuhnya. 

"Katakan siapa kau sebenarnya.. Dan katakan apa yang telah kau lakukan padaku.." suara Aina tercekat mengucapkan  kalimat tanpa tanda baca yang pasti, apakah ia sedang bertanya atau sedang menghakimi. 

Senyuman yang tadi menghilang dari wajah Tuan Arnold kini datang kembali dan bertengger di antara kedua belah bibirnya yang berhiaskan sepasang kumis tertata rapi.  Namun seindah apa pun penampakan sepasang bibir pria itu, namun sayang senyuman yang dihasilkan tidaklah semanis harapan. sebelah dari bagian atas bibir Tuan Arnold terangkat dan kelopak bawah bibirnya bergetar. Bahkan senyuman yang tersungging lebih tepat disebut seringaian. 

"Hei...! Jawab..!" bentak Aina tanpa menambah jumlah langkah kaki ke depan. Ia berdiri mematung dengan sorot mata yang tajam. Wanita itu kini sudah terbebas dari ketakutan. 

"Byaar.."

Bunyi kibaran jas milik Tuan Arnold sedikit berdesau seiring tubuhnya berkelabat membalik menghadap Aina. 

"Kau berani membentakku..?" ucap Tuan Arnold berdesis dengan pandangan sedingin es. 

"Owwh.."

Aina sedikit mundur ke belakang begitu pandangan matanya bertubrukan dengan sorot dingin yang dipancar kedua belah mata Tuan Arnold. 

Aina terkesima dan mencoba mempertahankan nyalinya yang perlahan menciut. Ia tidak menyangka kalau lelaki yang tadi berbicara cukup lembut kepadanya kini menampak wujud wajah yang tidak sama. 

"Jawaaab...!!"

Kali ini Tuan Arnold yang membentak bahkan berlipat ganda dari kerasnya bentakkan Aina tadi. 

"Si.. siapa kau sebenarnya..? Mengapa masuk ke rumahku tanpa izin..?" Suara Aina bergetar walau ia sudah berusaha bertahan agar tubuhnya tidak gemetar. 

Dua langkah di buka Tuan Arnold dan itu cukup membuat jarak di antara mereka tersisa menjadi satu meter saja. Dengus nafas Tuan Arnold bagaikan tiupan topan yang terus menggerus sisa-sisa keberanian Aina. Tatapan mata Aina melemah. Bahkan ketakutan yang mendera bathinnya hampir saja membuat ia menangis. 

"Seharusnya aku yang bertanya mengapa kau ada disini." desis Tuan Arnold tanpa memalingkan wajahnya dari Aina. 

"Ii.. ini rumah suamiku." sahut Aina bermaksud menjelaskan. 

"Rumah suamimu...??" tanya Tuan Arnold sedikit menaikkan alis matanya. 

"Yah..!" jawab Aina yang ia buat setegas mungkin. Wanita itu berharap laki-laki yang berada lebih kurang dua depa di hadapannya itu akan lari terbirit-birit. Namun ternyata dugaan Aina meleset. Lelaki asing di depannya malah gelak terkekeh. 

"heheheh.. eh.."

"Hei wanita super dungu...! Apakah mungkin seorang lelaki penjual cinta mampu membeli bangunan semegah ini..?"

"Jangan lancang mulutmu Tuan berdasi! Aku tidak akan segan-segan melemparkanmu keluar dari rumah ini jika kau masih berani menghina suamiku..!" bentak Aina berubah garang. Seorang istri tentu tidak rela suaminya dihina serendah itu. Dan ternyata kemarahan Aina telah mengembalikan keberanian dirinya. 

Tuan Arnold memperlihatkan ekpresi seakan-akan dirinya benar-benar terkejut. Namun itu tidak berlangsung lama. Lima detik kemudian senyuman mengejek kembali menghiasi bibirnya yang angkuh. 

Ia melangkah sedikit memiring dan perlahan mengitari tubuh Aina. Untuk menambah frekwensi keangkuhan dirinya, Tuan Arnold sengaja memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. 

"Aku tipe lelaki yang tidak mau banyak basa-basi. Namun kutegaskan kepadamu segeralah berkemas karena besok aku akan membawamu ke rumah keluarga besarku. Aku akan mengatakan bahwa kau adalah istriku walau aku tidak berkeinginan menikahi dirimu." ucap Tuan Arnold sembari berjalan perlahan mengitari Aina yang berdiri mematung. Lelaki itu sepertinya berubah pikiran untuk menikahi Aina. "Sebagai gundik saja cukuplah." begitu kata hatinya. 

Mata Aina mendelik. Ia benar-benar merasa dihina dan direndahkan. 

"Apa hak-mu membawaku hah..? Kau pikir kau bisa melakukan apa saja yang kamu inginkan..??" sahut Aina makin berani bahkan menunjukkan jarinya ke wajah si Tuan tampan. 

Tuan Arnold menghentikan langkahnya dan menatap kembali wajah Aina masih dengan pandangan dinginnya. Aina membalas tatapan mata Tuan Arnold dengan keberanian yang hampir sempurna. 

"Ketahuilah wahai perempuan yang tidak kuketahui namamu! Ayahku mengajariku untuk berbuat seenaknya kepada siapa pun. Merebut perempuan dari tangan lelaki yang mencintainya adalah kesukaanku."

"Kau gila..!" bentak Aina makin jengkel mendengar ocehan lelaki tampan yang mulai tak jelas arahnya. 

"Kegilaanku itu bermula ketika ayahku merebut kekasihku dan menjadikannya istri yang sekali gus ibu tiriku dan juga merupakan permaisuri dalam kerajaan bisnis keluarga kami." sambung Tuan Arnold tanpa menghiraukan makian Aina. 

"Itu masalahmu..! Kau pasti berasal dari keluarga gila..!" jawab Aina kini berkacak pinggang.  Namun Tuan Arnold tidak terlihat marah walau Aina menghina dirinya dan keluarganya. Ia bahkan meneruskan curhatan hatinya walau ia tahu Aina tidak tertarik untuk mendengarkannya. 

Sambil mengelus dagunya yang ditumbuhi jenggot yang tertata sangat rapi, Tuan Arnold melanjutkan kisahnya. Kali ini nadanya cukup miris. 

"Setiap kali aku melihat ayah memesrai kekasihku, darahku mendidih. Tapi aku tidak akan memarahi ayahku. Karena ayah adalah guru terbaik yang membuat aku menjadi orang yang sangat kuat seperti sekarang ini."

"Sudaaah...! Aku tidak butuh celotehmu..! Sekarang juga kau pergiiii...!"

Aina sudah sangat muak lalu mendorong tubuh Tuan Arnold hingga terjejal beberapa langkah ke depan. 

"Baik! Aku akan pergi. Dan besok aku akan datang kembali untuk menjemputmu. Itu adalah sebagai bentuk tanggung jawabku kepada perempuan yang sudah kunikmati tubuhnya." sahut Tuan Arnold tanpa nada bersalah sedikit pun. Ucapannya tenang laksana samudra yang tiada berombak. 

"Apaa...???"

Aina terpekik lalu sebelah telapak tangannya spontan menutup mulutnya yang terbuka. Matanya mendelik memandang tidak percaya kepada lelaki yang baru saja mengungkapkan pengakuan dosa. 

"Kaa.. kau yang meniduriku disaat aku tidak sadarkan diri?" bertanya Aina dengan mata kini berkaca-kaca. Ia menyumpahi waktu yang telah membuat dirinya ternoda. 

"Tidak sadarkan diri? Hm, bagus juga pengakuan tak masuk akalmu. Tapi aku menghargai usahamu yang cukup keras untuk mempertahankan harga dirimu yang memang tidak ada." sahut Tuan Arnold lancar tanpa jeda, lalu ia kembali membalikkan badan untuk bersiap pergi. 

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status