Share

Gelagat Aneh

Syera mengerutkan kening dan spontan membuka mata ketika merasakan sesuatu yang terciprat di wajahnya. Manik matanya yang sayu menatap bingung ke arah seseorang dengan pakaian hitam putih khas pelayan yang berkacak pinggang di sampingnya.

“Akhirnya kamu bangun juga. Membuang-buang waktu saja menunggumu di sini. Kalau bukan karena perintah, aku tidak akan sudi menunggumu sampai bangun!” gerutu wanita muda berseragam pelayan itu sembari meletakkan segelas air yang sudah berkurang setengahnya di atas nakas.

Sebelum Syera sempat membuka mulut dan menanyakan sesuatu, wanita itu sudah lebih dulu keluar ruangan. Syera memaksa mengubah posisinya menjadi duduk meski tubuh masih lemas.

Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tampaknya ruangan tempatnya berada saat ini adalah sebuah kamar. Ruangannya tidak terlalu luas, hampir seukuran dengan kamarnya, tetapi tempat ini jelas lebih baik.

Syera meraba wajahnya yang terasa basah, kemudian menoleh ke arah gelas air yang diletakkan wanita tadi. Sepertinya pelayan itu menyiram wajahnya, tega sekali. Tiba-tiba pintu kamar itu kembali terbuka dan seorang wanita paruh baya yang berpakaian sama dengan wanita sebelumnya.

“Syukurlah kamu sudah sadar, Nak. Bagaimana keadaanmu? Apa kamu masih pusing?” tanya wanita paruh baya itu dengan seulas senyum hangat yang terbit di bibirnya. Di tangannya terdapat secangkir teh yang asapnya masih mengepul dan sepiring makanan dengan berbagai menu.

“Minumlah, teh ini bisa menghangatkan tubuhmu. Hati-hati, tehnya masih panas.” Wanita itu menyodorkan cangkir yang dibawanya pada Syera. “Panggil saja aku Utari. Siapa namamu, Nak?”

“Terima kasih, Bibi.” Syera segera menerima cangkir tersebut dan menyesapnya perlahan-lahan. Tubuhnya yang semula sangat lemas perlahan mulai membaik walau pusingnya masih terasa. “Namaku Syera.”

Utari mengangguk dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. “Ah, Syera. Namanya yang cantik, sama seperti orangnya. Sekarang makanlah, kamu pasti lapar. Kamu pasti tidak makan dengan benar sebelumnya. Semoga kamu menyukai makanan ini.”

Senyum Syera pelan-pelan mengembang di bibirnya yang pucat. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan baik dari wanita paruh baya di hadapannya ini. Padahal dirinya yakin jika Utari pasti sudah mengetahui alasan mengapa dirinya berada di sini.

Syera langsung menyantap makanan itu dengan lahap. Ia tidak ingat kapan terakhir kali perutnya terisi makanan. Mungkin di malam sebelum insiden mengenaskan itu terjadi padanya. Lapar yang membuat perutnya terasa perih sekarang tersamarkan oleh pikirannya yang kalut.

“Seharusnya kamu masih beristirahat setelah ini. Tapi, Tuan ingin kamu langsung membersihkan gudang setelah kamu sadar. Tenang saja, aku akan membantumu. Habiskan makananmu, setelah itu kita langsung pergi ke gudang,” tutur Utari sembari mengelus lengan Syera.

Begitu Syera selesai makan, keduanya langsung beranjak dari kamar itu. Beberapa kali Utari meminta maaf pada Syera karena tidak bisa membantu meringankan hukuman wanita itu di saat baru saja sadar dari pingsan.

Hal itu justru membuat Syera merasa tidak enak hati. Dirinya memang tak bersalah dan tidak seharusnya menjalani hukuman ini. Tetapi, ia tidak mau ada orang lain yang ikut menjadi korban lagi setelah ayahnya.

“Bibi, biarkan aku sendiri yang membereskan semuanya. Aku tidak mau Bibi terkena masalah hanya karena ingin membantuku,” ucap Syera pada Utari yang sudah lebih dulu mengambil alat kebersihan di samping gudang.

Lagi, Utari menyunggingkan senyum menenangkan yang seolah menyiratkan jika semuanya akan baik-baik saja. “Tidak apa-apa, Nak. Aku tahu apa yang membuatmu berada di sini, tapi aku yakin kamu tidak bersalah.”

“Kalaupun dugaanku meleset, aku tetap yakin kalau kamu adalah gadis yang baik,” imbuh Utari tanpa ragu. “Sekarang waktunya kita bekerja. Tuan atau suruhannya akan datang dan mengecek tempat ini. Dan sebelum itu terjadi, semuanya harus sudah rapi.”

Syera tersenyum haru seraya menerima peralatan kebersihan yang Utari berikan padanya. Tak menyangka masih ada orang baik yang berpihak padanya. Bahkan, tidak ragu menolongnya padahal mereka tidak saling mengenal.

“Terima kasih sudah percaya padaku, Bibi,” ujar Syera lirih.

“Kamu harus membuktikan kebenarannya. Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu. Kamu kuat dan kamu harus bangkit secepatnya,” balas Utari sembari mengangkat sebelah tangannya yang terkepal ke udara.

“Emm … tapi, kenapa Bibi semudah itu percaya padaku di saat semua orang menuduhku pembunuh?” tanya Syera spontan.

“I-itu tidak penting. Lebih baik kita segera membersihkan gudang ini sebelum ada yang datang,” jawab Utari yang langsung buru-buru memasuki gudang.

Syera mengernyit heran melihat gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Utari. Namun, ia memilih mengabaikan dan segera menyusul wanita paruh baya itu. Dengan sisa tenaga yang berusaha dikumpulkannya, ia mulai membersihkan debu tebal yang menempel di mana-mana menggunakan vacum cleaner. Begitu juga dengan Utari yang melakukan hal yang sama.

Walaupun hanya gudang, nyatanya ruangan ini memiliki ukuran cukup luas. Belum lagi dengan barang-barang yang menumpuk di mana-mana. Itu lumayan menyulitkan tugas mereka karena keduanya harus bersama-sama memindahkan benda-benda itu dulu untuk dibersihkan.

Hampir satu jam berlalu dan belum ada tanda-tanda tugas ini akan selesai. Dengan mengandalkan tenaga dua orang saja, bahkan mereka baru berhasil membersihkan separuh gudang yang luas ini.

“Kita istirahat dulu sebentar. Yang penting sebagian sudah kita kerjakan. Sisanya—”

“Nona Syera, Tuan Tama ingin Anda menemuinya sekarang juga,” interupsi seorang lelaki muda dengan pakaian serba hitam yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu gudang. “Mari ikut saya, Nona.”

Syera mengurungkan niatnya untuk melayangkan protes karena Utari sudah memberi isyarat agar dirinya menurut saja. “Tolong jangan lanjutkan tugas ini sebelum aku kembali,” pesannya sebelum beranjak pergi.

Syera terpaksa mengikuti langkah lelaki di hadapannya. Menelusuri area lantai kedua rumah ini yang anak tangganya banyak sekali. Kakinya sampai pegal berjalan dari area belakang lantai satu hingga saat ini dan belum ada tanda-tanda lelaki di depannya akan berhenti.

Ternyata rumah ini jauh lebih luas dari yang Syera pikir sebelumnya. Seharusnya rumah seperti ini akan memberikan kenyamanan ekstra bagi setiap orang yang menempatinya. Namun, ia yakin itu tidak mungkin terjadi mengingat bagaimana sikap sang tuan rumah.

Tak berselang lama, lelaki itu menghentikan langkah di depan sebuah pintu besar yang memiliki corak berbeda, meski berwarna senada dengan yang lainnya. Lelaki itu mengetuk pintu sampai suara seseorang yang familiar menyahut dari dalam sana.

Setelah membukakan pintu, lelaki itu langsung pamit undur diri. Meninggalkan Syera yang berdiri kaku di depan pintu sembari menatap punggung lelaki yang menghancurkan hidupnya penuh kebencian.

“Sekarang apa lagi yang Anda inginkan, Tuan?” sarkas Syera tanpa basa-basi.

Tama meletakkan bayinya di atas ranjang kecil yang tersedia, kemudian membalikkan tubuhnya. “Kamu sudah membuat putriku kehilangan ibunya, berarti sekarang kamu yang harus menggantikan peran itu. Rawat putriku dengan baik, jangan berani-berani melukainya seujung kuku pun!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status