“Apa? Kalung yang sama? Apa yang Tuan maksud sebenarnya?” sahut Syera seraya memutar tubuhnya menghadap Tama. Kemudian, melirik kalung di yang ada tangannya. “Tidak mungkin aku memiliki kalung yang sama dengan istrimu, Tuan.” Meskipun kalung miliknya memang memiliki desain yang unik, namun tidak mungkin sama dengan milik mendiang istri Tama. Kalaupun memang mirip, sudah pasti harganya berbeda sangat jauh. Bukannya ia meragukan pemberian orang tuanya, tetapi barang milik orang kaya pasti memiliki harga yang fantastis. “Kalung seperti ini mungkin dimiliki banyak orang, Tuan. Desainnya memang mirip, tapi bukan berarti hanya satu orang yang memilikinya. Kalung ini pemberian ibuku, hanya kalung biasa. Tidak mungkin sama dengan kalung yang istri Tuan miliki!” sambung wanita itu tanpa ragu. Tama melangkah maju dan menarik tangan Syera yang sedang menggenggam kalung itu. “Biasa? Apa kamu tidak bisa membedakan mana berlian langka dan berlian biasa? Lihat sendiri! Dan perlu kamu jika kalung
Ringisan pelan lolos dari bibir Syera yang spontan menyentuh keningnya. Manik matanya menatap lurus-lurus ke arah wanita paruh baya yang tampak ingin menelannya hidup-hidup itu. Ia tidak mengerti mengapa wanita itu tiba-tiba menyerangnya. Namun, sepertinya mereka pernah bertemu sebelumnya. Pelan-pelan Syera berusaha bangkit dari posisinya dengan tatapan waspada. Khawatir wanita paruh baya di hadapannya ini kembali menyerangnya. “Kenapa Anda tiba-tiba menyerangku? Apa salahku, Nyonya?” tanya wanita itu bingung. Di detik berikutnya, Syera langsung mengingat di mana dirinya pernah bertemu dengan wanita paruh baya ini. Di rumah sakit tempo hari. Dan barusan wanita paruh baya ini juga menyebut ‘anakku' dan ‘menantuku'. Sepertinya wanita ini adalah ibu kandung Tama. “Kamu masih bertanya apa salahmu? Kamu benar-benar tidak tahu diri! Setelah membunuh menantuku, kamu berani menginjakkan kaki di rumah ini, hah?! Harusnya kamu sudah membusuk di penjara!” bentak wanita paruh baya bernama Rebe
Suara bariton Tama yang tiba-tiba terdengar itu membuat Syera terlonjak. Buru-buru ia menyimpan kembali figura foto mendiang istri Tama itu. Namun … PYAR! Syera yang panik hanya menyimpan asal figura tersebut dan akhirnya benda itu malah jatuh di samping nakas dan pecah. Syera semakin panik dan langsung berjongkok untuk mengambil benda tersebut. Tama pasti mengamuk karena dirinya telah menghancurkan benda yang sangat berharga. “Aw!” Ujung telunjuknya tak sengaja tergores serpihan kaca figura yang telah hancur itu. “Apa yang kamu lakukan?! Minggir!” sentak Tama yang langsung mendorong Syera menjauh dari sana. Ia langsung mengambil foto Kirana—mendiang istrinya dari serpihan figura tersebut dan memastikan foto itu tidak rusak. Dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat, Syera bangkit dari posisinya. Mengabaikan jemarinya yang terluka dan masih mengeluarkan darah, ia lebih takut mendapat hukuman tidak masuk akal lagi dari lelaki di hadapannya yang tampak sangat murka itu. “Siap
Langkah Utari spontan terhenti setelah mendengar pertanyaannya. Syera pun sontak menghentikan langkahnya dan memperhatikan gelagat aneh yang ditunjukkan oleh wanita di hadapannya. Sudah sejak lama ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Utari. Syera tak ingin berpikiran negatif, apalagi pada Utari, satu-satunya orang yang berpihak padanya saat ini. Namun, gelagat aneh yang wanita paruh baya itu tunjukkan membuatnya semakin penasaran. Siapa tahu saja Utari mengetahui sesuatu yang dirinya perlukan untuk mencari bukti. “Kenapa kamu malah menanyakan hal seperti itu? Mana mungkin aku tahu siapa yang melakukannya. Sudahlah, jangan berpikir macam-macam. Fokus saja mencari bukti jika kamu tidak bersalah,” sahut Utari setelah lama terdiam. Kemudian, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan langkah dengan terburu-buru, seolah sengaja menghindar. Syera yang merasa belum puas atas jawaban Utari bergegas mengejar wanita paruh baya itu. Ia ingin mendapatakan kejelasan sekarang juga. “Justru
Sontak saja, Syera langsung mengubah posisinya menjadi duduk sembari mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya. Ia menatap lelaki yang sedang sibuk membereskan sesuatu di lantai, tepat di samping ranjang yang ditempatinya. Jika dilihat dari penampilan lelaki itu, sepertinya dia adalah seorang dokter. Dan alat-alat yang lelaki itu bereskan juga merupakan peralatan medis. Menyadari itu, Syera segera bangkit dari ranjang dan membantu dokter itu. “Maaf, aku tidak sengaja menjatuhkannya dan membuat gaduh. Kamu jadi terbangun. Tapi, aku malah senang karena aku bisa melihat mata indahmu. Ternyata istri baru Tama secantik ini, pantas saja dia menyembunyikanmu,” tutur dokter tampan itu serampangan. “Aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Dareen. Kamu Syera, ‘kan?” Syera yang masih terkaget-kaget melihat sikap mengejutkan dokter bernama Dareen itu tetap membalas uluran tangan lelaki itu. Nyawanya masih belum terkumpul dan dirinya malah disuguhi dengan sikap aneh dokter yang menangan
Kalimat terakhir yang Tama bisikkan tepat di samping telinganya membuat jantung Syera berdebar keras. Belum lagi dengan pelukan erat lelaki itu di perutnya. Syera mengerjapkan matanya berulang kali, meyakinkan diri jika yang terjadi saat ini bukanlah mimpi. Syera tidak berani menoleh ke belakang sama sekali. Untuk menggerakkan tubuhnya pun, dirinya tidak berani. Apalagi ia juga merasakan embusan napas panas Tama menerpa tengkuknya. Bisa diperkirakan seberapa dekatnya jarak di antara mereka saat ini. Syera berdeham pelan, berusaha kembali mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. “An-anda harus makan dan minum obat, Tuan. Aku juga harus mengecek Elvina, siapa tahu dia terbangun dan aku tidak ada di sana.” Bukannya menurut, Tama malah semakin mengeratkan rangkulannya pada perut ramping Syera. “Diamlah, aku tidak lapar. Aku hanya ingin tidur, temani aku sebentar saja di sini.” Syera yang biasanya selalu memberontak tak bisa berkutik lagi karena permintaan tersebut. Entah kenapa rasa ibany
Syera yang baru saja terjaga kembali dibuat terlonjak ketika tubuhnya ditarik paksa oleh Rebecca—ibu mertuanya. Wanita itu meringis pelan ketika lututnya bergesekan dengan lantai dan sepertinya sedikit terluka. Rebecca menghempas lengan Syera yang diseretnya, kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya, seakan sedang membersihkan kotoran dari sana. “Semakin hari, tingkahmu semakin berani saja! Kamu pikir setelah putraku menikahimu, kamu bisa menjadi nyonya di rumah ini?” Syera yang tak terima atas perlakuan buruk Rebecca langsung berusaha bangkit dari posisinya. Dihiraukannya nyeri yang bersarang di lututnya. Sebelumnya ia tidak sempat melakukan perlawanan, tetapi sekarang tidak lagi. “Apa Anda tidak bisa bertanya baik-baik dulu sebelum melakukan sesuatu, Nyonya? Perlu Anda tahu kalau aku tidak seperti yang Anda tuduhkan. Aku tidak pernah memggoda siapa pun! Putra Anda sendiri yang memintaku menemaninya di kamar ini semalam.” Syera tak menyangka paginya kali ini akan menjadi suram karen
Tanpa sadar Syera melangkah mundur, seakan sedang memberi ruang untuk Tama dan seorang wanita asing yang bersama lelaki itu masuk. Ia berusaha menerka siapa gerangan wanita cantik berpakaian modis itu. Namun, wajah itu terasa cukup familiar baginya. Rasanya Syera sudah seperti seorang istri yang memergoki suaminya sendiri bermesraan dengan wanita lain. Meskipun kenyataannya memang seperti itu, tetapi banyak perbedaan di dalamnya. Ia tidak merasa sakit hati atau dikhianati. Mungkin hanya sedikit kecewa, karena dirinya sudah menunggu lelaki itu berjam-jam dan ternyata yang ditunggu olehnya malah asyik bersama wanita lain. Sesaat, Syera menatap keduanya secara bergantian tanpa membuka suara. Karena tak ingin dianggap pengganggu, wanita itu nyaris membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi. Akan tetapi, suara wanita yang datang bersama Tama itu menginterupsi langkahnya. “Jadi, kamu yang menabrak Kirana?” Wanita bernama Viandra itu sembari bergerak memutari Syera dan melipat kedua tangannya