“Jika memang bukan kamu pelakunya, bagaimana kamu bisa menjelaskan kalung istriku di dalam tas milikmu?”
Ucapan dari lelaki di hadapannya seketika membuat napas Syera tercekat. Kalung? Kalung apa yang dimaksud pria itu?"Apa maksud--"Belum sempat Syera menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba suara ketukan mengejutkan keduanya. Tama pun bergegas untuk membukakan pintu yang menunjukkan kehadiran bawahan dari pria itu.Manik Syera menatap wajah dingin sang lelaki yang seolah sedang membicarakan sesuatu yang serius, dan dalam sekejap, lelaki itu melangkahkan kakinya dengan cepat ke arahnya."Jangan pergi kemana-mana," titah Tama. Tak lama, lelaki itu pun langsung pergi meninggalkan Syera sendiri di sebuah ruangan kosong di rumah sakit.Tak peduli dengan ucapan lelaki tadi, setelah memastikan sang lelaki telah pergi, Syera segera memacu langkah keluar dari ruangan itu. Mendapati keadaan di luar ruangan tersebut sangat sepi membuat senyum di wajah wanita itu perlahan mengembang. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung berlari ke arah bagian belakang rumah sakit.Syera tidak mau mempertanggungjawabkan kesalahan yang bukan perbuatannya. Apalagi jika sampai mendekam dalam penjara.Syera ingin mengambil sepeda motornya di basement rumah sakit. Namun, ia harus berjalan memutar yang sudah pasti memakan waktu. Belum lagi kemungkinan dirinya ketahuan melarikan diri dan anak buah Aditama Ravindra mengejarnya. Terpaksa wanita itu meninggalkan sepeda motor kesayangannya di sana.Syera langsung melepas jaket yang membalut tubuhnya. Kemudian, memasukkan benda tersebut ke dalam tas selempangnya. Sebisa mungkin ia tidak menunjukkan gelagat mencurigakan sampai keluar dari area rumah sakit. Beruntungnya, tak jauh dari sana terdapat pangkalan ojek.“Tolong jalan saja dulu, Pak. Nanti saya beritahu alamatnya. Saya sedang buru-buru,” tutur Syera sembari memakai helm dari tukang ojek itu.Tanpa banyak bertanya, tukang ojek tersebut langsung mengangguk dan menyalakan mesin motornya. Syera menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Helaan napas lega lolos dari bibirnya setelah tidak mendapati siapa pun mengikutinya.“Semoga saja mereka tidak menemukan aku lagi,” gumam Syera dalam hati.Syera tidak melarikan diri karena merasa bersalah. Justru ia memilih pergi karena tidak mau mempertanggungjawabkan sesuatu yang bukan kesalahannya. Sebab, wanita itu tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan jika dirinya tidak bersalah.Dalam rekaman CCTV itu saja terlihat seolah-olah memang dirinya yang menabrak istri tuan Aditama. Satu-satunya petunjuk yang dapat membuktikan Syera tidak bersalah hanya plat nomor motor yang penabrak itu kendarai. Namun, plat nomor motor tersebut tidak terlalu jelas.Syera mulai menerka-nerka, mungkinkah sebenarnya dirinya yang dijebak di sini?Syera menggeleng pelan. Ia harus menghapus asumsi konyol ini. Tidak mungkin ada orang yang tiba-tiba menjebak dan membuatnya seakan-akan menjadi tersangka di sini. Wanita itu tak merasa memiliki urusan apa pun dengan keluarga Ravindra.“Nak, kenapa kamu baru pulang? Ayah tunggu kamu dari semalam. Lho, ke mana motor kamu? Kenapa kamu malah pulang baik ojek?” tanya pria paruh baya yang baru saja keluar dari rumah minimalis yang Syera tuju.Syera hanya melemparkan senyum tipis pada ayahnya. Begitu motor yang dinaikinya berhenti dengan sempurna, wanita itu segera turun dan membayar ongkosnya. Setelah itu barulah ia menghampiri sang ayah yang menatap penuh kekhawatiran ke arahnya.“Ayah, maafkan aku membuatmu cemas. Semalam motorku mogok, karena sudah terlalu malam, akhirnya aku memilih menginap di kos salah satu temanku,” jelas Syera sembari menyalami tangan kurus sang ayah.Syera meminta maaf dalam hati. Ia tak bermaksud membohongi ayahnya, namun dirinya juga tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Apalagi kondisi ayahnya sering menurun belakangan ini. Syera tidak mau membuat sang ayah syok setelah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.“Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah? Ayah pikir ada sesuatu yang terjadi padamu. Handphone kamu juga tidak bisa dihubungi semalam. Syukurlah kamu baik-baik saja dan sudah kembali pulang,” jawab Kuncoro yang terlihat lebih lega.“Handphoneku mati, Yah. Baterainya habis. Aku juga baru mengeceknya pagi ini. Maaf tidak sempat menghubungi Ayah,” sesal Syera yang sedang berlutut di depan kursi roda ayahnya.Syera bergegas kembali menegakkan tubuhnya saat menyadari kalau dirinya sedang tidak aman sekarang. Meskipun belum tentu orang-orang itu dapat menemukannya di sini, tetap saja ia harus waspada. Sebelum mengambil posisi di belakang kursi roda Kuncoro, wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Memastikan tidak ada yang mencurigakan.“Kita langsung masuk saja ya, Yah,” tutur Syera sembari mendorong kursi roda ayahnya kembali memasuki rumah kontrakan yang mereka tempati sejak wanita itu masih belia. “Ayah sudah sarapan atau belum? Aku juga sudah sangat lapar.”Syera segera menutup dan mengunci pintu rumah itu dengan gerakan tergesa. Jangan sampai orang-orang tak berperasaan itu menemukan keberadaannya di sini. Apalagi sampai memberitahu ayah tentang fitnah kejam yang mereka lakukan.Tentu saja hal itu menarik perhatian ayahnya yang berada tak jauh dari sana. “Syera, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu terlihat ketakutan seperti dikejar-kejar orang? Cerita sama Ayah, jangan membuat Ayah khawatir.”Syera yang terlalu fokus dengan ketakutannya sendiri tersentak mendengar suara sang ayah. Wanita itu segera membalikkan tubuhnya dan tersenyum tipis. “Tidak ada apa-apa, Yah. Aku hanya sedikit lelah karena kurang tidur semalam.”Lebih tepatnya memang tidak tidur semalaman penuh. Sejak pulang dari minimarket tempatnya bekerja dan mengantar istri konglomerat itu ke rumah sakit, ia belum beristirahat sama sekali. Untung saja tubuhnya masih cukup kuat dan tidak langsung tumbang.“Ayah sudah sarapan belum? Aku buatkan makanan kesukaan Ayah ya?” tawar Syera mengalihkan pembicaraan. Ia khawatir malah keceplosan kalau terlalu banyak membahas persoalan semalam dengan sang ayah.“Ayah sudah sarapan, sekarang kamu saja yang sarapan. Kalau kamu punya masalah, cerita sama Ayah. Jangan kamu pendam sendiri. Siapa tahu Ayah bisa bantu kamu atau memberi solusi. Istirahatlah kalau kamu lelah. Hari ini jadwal libur kamu, ‘kan?” Kuncoro balik bertanya.Syera hanya menanggapi pertanyaan ayahnya dengan anggukan singkat. Sayangnya, ia tidak mungkin membeberkan masalah ini pada ayahnya. Setelah Kuncoro kembali ke kamar, wanita itu pun turut kembali ke kamarnya.Mimik tenang yang sedari tadi berusaha wanita itu pertahankan menguap seketika. Alih-alih sarapan atau beristirahat, ia malah sibuk mondar-mandir sembari memikirkan bagaimana caranya lepas dari fitnah ini. Sempat terlintas pikiran untuk pergi sejauh mungkin, namun Syera tidak tega meninggalkan ayahnya sendirian.“Apa memang lebih baik aku pergi dulu untuk sementara waktu?” monolog Syera yang masih bergelut dengan pikirannya sendiri.Tetapi, jika Syera pergi dan bersembunyi, itu sama saja dirinya membiarkan orang-orang berasumsi jika dirinya menang bersalah. Ia ingin membuktikan kalau tujuannya memang hanya menolong, namun tidak tahu bagaimana caranya.BRAK!Syera terlonjak hebat mendengar suara bising tersebut. Wanita itu spontan bergegas keluar dari kamarnya, khawatir ada sesuatu yang terjadi pada ayahnya. Ia malah dibuat terpaku ketika membuka pintu kamarnya. Matanya terbelalak melihat Aditama Ravindra sudah berdiri di tak jauh dari tempatnya berada.Beberapa anak buah Tama pun sudah memenuhi ruang tamu sempit di rumah itu. Jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak dari yang Syera lihat di rumah sakit. Syera yakin pasti masih ada yang berjaga di luar juga. Rumahnya sudah dikepung!“Kamu pikir aku bodoh sampai membiarkan pembunuh istriku berkeliaran bebas? Aku tidak akan pernah membiarkan kamu menghirup udara segar setelah berani menghabisi nyawa istriku!”“Huek! Huek!” Syera memejamkan mata seraya memijat pelipisnya setelah mual yang dialaminya sedikit membaik. Selama beberapa saat, wanita itu masih berpegangan pada pinggiran wastafel sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah dirasa mualnya tak akan datang lagi, barulah wanita itu membersihkan mulut dan wajahnya. Kemudian, beranjak dari toilet dengan langkah pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut. Padahal ia sudah meminum obat masuk angin, namun tetap saja tak ada hasil yang signifikan. Semenjak hari ulang tahun Aidan yang ke-1 seminggu lalu, Syera selalu seperti ini. Tubuhnya lemas dengan pening dan mual yang melengkapinya. Untung saja Bianca dan Rebecca sering berkunjung belakangan ini. Jadi, dirinya tidak keteteran mengurus kedua anaknya dalam keadaan seperti ini. “Kamu masih mual-mual? Yakin tidak perlu ke dokter? Suamimu akan marah besar kalau tahu kamu sakit tapi tidak mau ke dokter,” tutur Bianca yang baru saja masuk ke kamar putrinya bersama Aidan yang sedang
“Maaf membuatmu kesal seharian ini. Aku sengaja melakukan itu agar kamu tidak sadar kalau orang-orang rumah sedang mempersiapkan pesta ini,” ucap Tama membongkar rencana terselubungnya memuat Syera kesal seharian ini. Syera spontan menoleh. Tak menyangka jika sikap menyebalkan suaminya adalah unsur kesengajaan. Ia menyadari hari ini para pelayan yang biasanya jarang berkeliaran tampak lebih sibuk. Tetapi, mengabaikannya karena dibuat kesal dengan sikap sang suami. Hal yang lebih mengejutkan adalah mereka mengingat hari ulang tahunnya. Entah siapa yang memiliki ide untuk merayakan ulang tahunnya. Tetapi, jujur saja ini sangat membahagiakan baginya. Sebelumnya tak pernah ada yang membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Dulu, sang ayah hanya mengucapkan selamat ulang tahun jika ingat saja dan tidak ada perayaan spesial setelahnya. Syera mengira hal itu karena ayahnya masih mengingat ibu kandungnya. Tetapi, ternyata itu terjadi karena Kuncoro memang bukan ayah kandungnya. Wajar jika
“Kenapa mataku harus ditutup, Mas? Memangnya kita akan ke mana? Bagaimana kalau aku tersandung?” protes Syera setengah menggerutu karena Tama memaksa menutup matanya dengan kain begitu mereka turun dari mobil. Ketika pulang dari kantor, tiba-tiba Tama memaksa Syera yang saat itu sedang memasak di dapur untuk bersiap-siap pergi. Ternyata lelaki itu mengajaknya mengunjungi salah satu salon di dekat tempat tinggal mereka dan langsung meminta para stylish mendandaninya. Syera tak sempat bertanya karena para stylish itu langsung membawanya memasuki ruangan lain. Setelah dirinya selesai didandani oleh mereka dengan riasan yang cukup mewah, barulah ia bertanya pada sang suami ke mana mereka akan pergi karena riasan juga gaun yang dirinya pakai rasanya terlalu merah jika untuk menghadiri undangan dari rekan bisnis lelaki itu. Namun, seperti biasa, Tama lebih senang membuat Syera penasaran dan bertanya-tanya sendiri. Lelaki itu hanya mengatakan jika mereka akan mendatangi acara penting. Enta
“Tadi kamu mengunjungi makam Kirana, ‘kan? Kenapa tidak terus terang padaku?” Tama yang baru saja berbaring di ranjang langsung bertanya tanpa basa-basi. “Supirku tidak mungkin bisa kamu ajak bekerja sama.” Tama yang tahu kalau Syera belum tidur langsung membalikkan tubuh wanita itu. “Aku tidak akan marah atau melarangmu kalau kamu jujur. Jadi, kenapa kamu memilih berbohong? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana dan aku tidak tahu?” Syera merutuk dalam hati. Ia memang tak ingin Tama mengetahui dirinya mengunjungi makam sang kakak karena tidak mau ditanya macam-macam. Sebenarnya wanita itu berencana berangkat menggunakan taksi. Namun, hal itu pasti semakin memicu kecurigaan Tama. Syera sudah berpesan pada supir yang mengantarnya agar tidak perlu memberitahu ke mana dirinya pergi setelah mengunjungi makam Kuncoro. Namun, ia lupa jika semua orang yang bekerja di rumah ini pasti memberitahu aktivitasnya pada lelaki itu. “Emm … aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Lagipula aku
Selama ini Syera tak pernah mendengar informasi apa pun mengenai ayah mertuanya. Ia sempat mengira jika mungkin saja kedua orang tua Tama sudah berpisah dan hidup masing-masing hingga tak pernah berkumpul lagi. Namun, setelah Tama mengajaknya ke suatu tempat yang mengejutkan, Syera tahu dugaannya salah. Setelah mereka makan siang bersama, Tama benar-benar mengajak istri dan anaknya mendatangi tempat papanya berada. Syera mengikuti langkah Tama yang lebih dulu berjalan memasuki area pemakaman umum yang ternyata berlokasi cukup dekat dengan kantor lelaki itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah pusara bertuliskan nama Bagas Ravindra. “Selamat siang, Pa. Maaf baru mengunjungi Papa lagi. Aku ingin mengenalkan orang-orang yang sangat ku sayangi. Istri dan anak-anakku,” ucap Tama sembari berjongkok di samping pusara sang papa dan mengusap batu nisannya. Syera ikut berjongkok di samping suaminya sembari membetulkan gendongan Aidan yang sedikit melorot. “Halo, Pa. Maaf baru d
“Apa?! Lalu, bagaimana, Mas?” sahut Syera khawatir. Syera sudah menduga jika cepat atau lambat Elena pasti melakukan sesuatu yang akan merugikan pihak mereka. Walaupun jelas wanita itu yang salah, Elena tak mungkin tinggal diam setelah diperlakukan seperti itu oleh Tama. Perusahaan yang Tama pimpin baru mulai stabil beberapa bulan lalu, itupun karena bantuan dari Elena juga. Jika wanita itu tiba-tiba menarik seluruh investasi, pasti dampaknya cukup besar bagi perusahaan sang suami. Tama menarik pelan sang istri yang hendak bangkit kembali ke pelukannya. “Jangan khawatir, Sayang. Sejak kejadian malam itu aku sudah menebak kalau dia akan melakukan ini. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya. Tadi aku hanya memperbaiki sedikit masalah. Perusahaanku tidak akan kolaps seperti waktu itu lagi.” Syera yakin Tama pasti dapat menyelesaikan masalah di perusahaan yang lelaki itu pimpij secepatnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin Elena kembali berulah setelah ini. Sebelumnya wanita itu selalu m