Share

Bayar dengan Hidupmu!

"Aku tak akan pernah membiarkan wanita yang menghabisi nyawa istriku bisa menghirup udara segar!" ucap Tama langsung mencengkeram lengan Syera dan menyeret paksa wanita itu keluar dari ruangan.

“Lepaskan aku! Aku tidak bersalah!” seru Syera dengan suara tertahan.
Syera berusaha meronta dengan sekuat tenaga. Tak peduli dengan perih yang mulai menjalari pergelangan tangannya. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa mengusir orang-orang ini sebelum ayahnya menyadari keributan yang terjadi.
Namun terlambat, Kuncoro sudah terlanjur mendengar keributan yang terjadi. Pria paruh baya yang baru keluar dari kamar itu terlihat sangat terkejut melihat banyaknya orang yang berada di rumah sempitnya. Kuncoro langsung menyadari ada yang tidak beres di sini.
“Lepaskan tangan Anda dari putri saya! Apa yang terjadi sebenarnya? Apa kalian tidak memiliki sopan santun sampai menerobos masuk ke rumah orang lain tanpa izin?” tegas Kuncoro dengan tatapan tajam.
Tama hanya menatap Syera sekilas dengan tatapan membunuh. Cengkeraman lelaki itu pada tangan Syera malah semakin kuat. “Dia sudah menabrak dan membunuh istriku! Dia harus menerima balasan yang setimpal!”

“Apa?! Tidak mungkin! anakku tidak--” Kuncoro terbelalak, namun, ucapannya terhenti karena dirinya merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya sehingga dia terjatuh.

Melihat ayahnya mengerang kesakitan, Syera pun memberontak lebih keras dan menginjak kaki Tama kuat-kuat. Begitu cekalan lelaki itu terlepas, ia langsung berlari menghampiri ayahnya yang sudah terjatuh dari kursi roda.

“Ayah! Tolong jangan dengarkan dia. Aku tidak bersalah, ini hanya salah paham.” Syera berusaha keras menahan isak tangisnya meskipun suaranya sudah berubah serak. Jantungnya mencelos saat menyadari tidak ada pergerakan lagi dari Kuncoro.

“Ayah, tolong buka matamu! Jangan membuatku takut.” Syera mengguncang tubuh ayahnya lebih kuat. Namun, pria paruh baya itu tetap tidak bergerak sama sekali. Desakan air mata yang sedari tadi sudah berkumpul di pelupuk matanya langsung meluncur deras diiringi dengan isakan pelan.

Tubuh Syera bergetar hebat. Wanita itu tak berhenti mengguncang tubuh sang ayah. Berharap ada satu saja harapan yang membuatnya sedikit lega. Ia terus meraung, memanggil ayahnya berulang lagi seperti orang gila.

Sedangkan Tama dan anak buah lelaki itu yang menyaksikan itu hanya menatap dengan sorot dingin tanpa berniat membantu sama sekali. Seolah-olah yang terjadi di depan mata mereka hanya sekadar akting belaka.

Syera mengangkat kepalanya, menatap kumpulan manusia tak beradab yang telah membuat kekacauan di rumahnya. Tatapan penuh kebenciannya menyorot ke arah dalang dari kekacauan ini. Aditama Ravindra. “Apa kalian tidak memiliki hati sama sekali?! Ayahku harus dibawa ke rumah sakit sekarang!”

Syera berusaha mengangkat tubuh ringkih ayahnya. Namun, apalah daya tenaganya tidak sekuat itu. Tama yang sudah muak menyaksikan drama menjijikkan di depan matanya langsung meminta salah satu anak buahnya memeriksa kondisi Kuncoro.

Syera dipaksa menyingkir dari sana karena dianggap menghalangi. Anak buah Tama itu langsung memeriksa napas dan denyut nadi Kuncoro. “Pria tua ini sudah tidak bernyawa,” tutur lelaki berkepala plontos itu seraya kembali menegakkan tubuhnya.

“TIDAK MUNGKIN!” seru Syera dengan tatapan tak percaya.

Syera spontan bangkit dari posisinya dan memacu langkah keluar dari rumahnya. Tak peduli anak buah Tama akan mengejarnya karena mengira dirinya kabur, ia hanya ingin meminta pertolongan pada seorang bidan yang kebetulan bertempat tinggal di belakang rumah kontrakannya.

Begitu sampai di rumah yang ia tuju, Syera langsung mengetuk sekuat tenaga sembari memanggil-manggil nama sang bidan. Untung saja, orang yang dirinya cari berada di tempat. Wanita itu langsung memohon agar bidan itu dapat membantu ayahnya.

Setelah mendapat persetujuan dari bidan itu, Syera segera mengajak sang bidan menuju rumahnya. Kuncoro pun kembali diperiksa dan air mata Syera yang semula sudah mengering kembali keluar dari manik matanya saat bidan itu menggeleng.

“Nak Syera, mohon maaf, tapi ayah Nak Syera memang sudah meninggal dunia. Saya turut berbelasungkawa, tolong ikhlaskan beliau. Maaf saya tidak bisa menemani lebih lama, Nak Syera yang sabar ya, saya permisi dulu,” pamit bidan tersebut sembari menepuk bahu Syera.

Syera yang terlalu fokus dengan kesedihannya sendiri tak sempat mengucapkan terima kasih. Rasanya benar-benar seperti mimpi, beberapa menit yang lalu ia masih berbincang dengan ayahnya. Dan sekarang sang ayah telah tiada. Satu-satunya keluarga yang wanita itu miliki telah pergi selama-lamanya.

Bahkan, Syera belum sempat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada sang ayah. Ini semua terjadi karena kedatangan Tama. Lelaki itu yang membuat ayahnya terkena serangan jantung dan meninggal dunia.

Syera baru bangkit dari posisinya ketika beberapa tetangganya datang. Mereka mengucapkan belasungkawa dan memberikan petuah pada Syera agar mengikhlaskan kepergian Kuncoro. Beberapa orang itu juga membantu Syera mengurus jenazah sang ayah, termasuk mengurus masalah pemakaman.

Tama dan anak buah lelaki itu masih berada di sini hingga hari berganti. Seakan tak ingin memberi kesempatan bagi Syera untuk melarikan diri. Setelah semalaman mengurung diri, wanita itu sangat terkejut mendapati Tama masih berada di depan rumahnya.

Para tetangga Syera menganggap lelaki itu penagih utang Kuncoro yang tiba-tiba datang dan membuat penyakit ayah Syera kambuh hingga meregang nyawa. Meskipun kenyataan sebenarnya tidak seperti itu.

Karena asumsi orang-orang itu, Tama dan anak buah lelaki itu ditatap penuh kebencian oleh semua orang. Setidaknya itu bisa mengurangi setitik kesedihan yang Syera rasakan. Sebab, orang yang menghancurkan hidupnya dalam sekejap telah mendapatkan sedikit balasan.

“Apa Anda sudah puas menghancurkan hidupku, Tuan?” tanya Syera pada Tama yang tanpa tahu malu sudah kembali memasuki rumahnya.

Sepertinya, hati nurani seorang Aditama Ravindra memang telah mati. Sampai-sampai tidak peduli sama sekali pada apa yang terjadi pada Syera. Mungkin akan jauh lebih baik jika lelaki itu bersedia membantu. Sayangnya, itu tidak terjadi.

Sekarang Syera hanya ingin menenangkan diri. Menangis nyaris semalaman masih belum membuatnya puas. Ia tidak ingin mendapat gangguan dari siapa pun, terutama lelaki yang tanpa tahu malu masih berada di rumahnya ini.

“Puas?” sahut Tama setengah mencibir. “Bukannya ini adalah salah satu akibat perbuatan busukmu pada istriku?! Kamu sudah melenyapkan nyawanya dan sekarang kamu juga kehilangan orang yang kamu sayangi. Semuanya sudah jelas sekarang, kamu memang bersal—”

PLAK!

Telapak tangan Syera yang baru saja mendarat di wajah Tama terasa panas. Bisa dibayangkan seberapa keras tamparan tersebut. Meski menyadari kalau tindakannya semakin menyulut api permasalahan di antara mereka, Syera tidak peduli lagi.

Syera sudah tidak bisa menahan luapan amarahnya lagi. Apa yang Tama lakukan padanya sangat keterlaluan. Bahkan, di saat dirinya masih dalam keadaan berduka seperti ini, lelaki itu tetap tidak memiliki belas kasihan sama sekali.

“Perlu aku katakan berapa kali lagi kalau aku tidak bersalah?! Memangnya kalau orang yang menabrak istrimu mirip denganku, berarti aku pelakunya?! Berhenti memfitnah diriku! Aku tidak pernah mencelakai istrimu! Apa masih belum cukup Anda membuatku kehilangan satu-satunya keluarga yang aku miliki?” raung Syera dengan suara serak.

Sebutir cairan bening lolos dari manik matanya dan langsung ia hapus dengan gerakan kasar. Sorot matanya menatap Tama dengan tatapan nyalang. Deru napasnya pun memburu. Wanita itu mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya.

Tama berdecih sinis sembari mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Sebelah sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring. “Beraninya kamu menamparku?!” Lelaki itu merangsek maju dan langsung mencengkeram pergelangan tangan Syera.

“Anda pantas mendapatkannya! Bahkan, lebih dari itu! Sekarang tinggalkan rumah ini! Jangan ganggu hidupku lagi!” usir Syera tanpa basa-basi. “Dan berhenti menganggap diriku sebagai pembunuh istrimu! Jika Anda termasuk orang yang cerdas, harusnya Anda tidak langsung mengambil kesimpulan begitu saja!”

Orang sekelas Aditama Ravindra pasti bisa menemukan informasi sedetail apa pun yang mereka inginkan. Bahkan, mungkin juga termasuk yang sulit dilacak oleh orang lain. Tetapi, lelaki di depannya ini malah langsung asal tuduh tanpa bukti yang kuat.

“Kamu yang seharusnya berhenti mengelak! Aku yakin pasti ada seseorang yang menggerakkanmu untuk mencelakai istriku! Berapa banyak dia membayarmu sampai kamu tidak mau mengatakan yang sebenarnya? Aku bisa membayarmu jauh lebih mahal! Katakan nominal yang kamu inginkan!” balas Tama sinis.

Syera menyentak keras cekalan Tama hingga terlepas. “Aku tidak tahu siapa yang mencelakai istrimu! Kalau kamu menjebloskan aku ke penjara. Kamu yang akan menyesal karena aku tidak bersalah!”

“Memangnya siapa yang akan menjebloskan kamu ke penjara?” sahut Tama seraya bergerak maju yang otomatis membuat Syera melangkah mundur. Lelaki itu mengunci pergerakan Syera yang sudah terhimpit di tembok. “Bayar dengan hidupmu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status