Share

Istri Penebus Hutang
Istri Penebus Hutang
Penulis: Nabila Gemoy

Terpaksa dijodohkan

"Aiska, dia Juragan Arun. Bapak dan ibu memiliki hutang besar.” Wanita paruh baya itu mengusap hidung merah dengan tangan, berat rasanya untuk kembali berucap. “ Dan kamu sebagai jaminan hutangnya.” Mata memerah itu kembali mengeluarkan bening air.

Aiska gadis berusia 19 tahun mengernyitkan dahi, “ Maksud Ibu apa?”

“Kami tidak mampu membayarnya, Nak. Untuk itu sebagai pelunas hutang kau harus menikah dengan beliau.”

Sang ayah melontarkan kalimat yang membuat hati Aiska bak disambar petir, Aiska dipaksa menikah dengan pria sedingin Juragan Arun. Tetapi Aiska tak punya pilihan lain.

"Kenapa kalian tidak pernah membicarakan masalah ini padaku? Kenapa kalian mengambil keputusan sepihak?”cebik Aiska, dadanya naik turun. Biar bagaimanapun, dia harus tahu sebelum memutuskan semua.

“Aku tidak ingin waktuku terbuang sia-sia, jadi bagaimana?” tanya Arun yang tidak sabar. Pria dingin itu menekan kedua orang tua Aiska.

“Beri kami waktu, aku akan coba mencicil hutangnya.” Dengan berani Aiska berkata. Walaupun dia belum tahu sanggup atau tidak, setidaknya mengulur waktu.

Arun Sanjaya berusia 45 tahun tersenyum remeh, “Dengan apa keluarga kalian yang miskin ini mendapatkan uang? Rumahmu saja kurang untuk membayar hutangmu!” ejeknya lalu bangkit berdiri, “Tapi baiklah, aku tidak ingin terlihat sebagai orang jahat, satu minggu. Kau harus dapatkan uang dalam satu minggu untuk membayarnya!” tantang Arun.

“Baiklah, terima kasih, Juragan,” jawab Aiska.

Kedua orang tua Aiska hanya bisa menangis dan menunduk. “Bagaimana kita bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu satu minggu, Nak?” Sang ibu menatap Aiska kebingungan.

“Aku akan mencoba meminta tolong Farid, Bu.” Setelah berucap Aiska berpamitan pergi.

Dia yakin, Farid akan membantunya. Apalagi dia tahu Farid merupakan dari keluarga yang berada berbeda dengan Aiska.

Dalam hati gundah juga merasa tertekan dengan sikap juragan Arun yang tidak punya hati sama sekali. Selain kejam, lelaki itu juga sangat dingin dan sombong, itu yang membuat Aiska enggan menerima perjodohan tidak masuk akal kedua orang tuanya. “Setidaknya aku memiliki kekasih yang baik, semoga Farid mau menolongku kali ini,” ujarnya.

Setelah perjalanan panjang naik angkutan desa. Langkah Aiska berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Beberapa kali mengetuk pintu tidak ada jawaban. Gadis itu kemudian masuk ke dalam rumah. Aiska sering berkunjung ke rumah Farid, jadi paham benar di mana letak kamar sang kekasih itu berada.

Namun, Aiska dikejutkan dengan suara desahan bersahutan di kamar sang kekasih.

“Lakukan lebih cepat, Farid,” suara erangan seorang wanita yang Aiska kenal membuat mata berembun. Dada gadis itu kembang kempis. Secepatnya didorong pintu yang tidak tertutup rapat.

“Kalian kurang ajar!” pekik Aiska histeris melihat sang kekasih dan teman baiknya bersetubuh. Pemandangan yang membuat hati Aiska sangat sakit.

“Aiska, bukannya kamu baru pulang ke rumah, kenapa sudah—”

“Kalian berdua brengsek!” Tanpa mendengar penjelasan lagi Aiska berlari keluar lalu berhenti di tepian jalan raya saat napasnya tersengal, lelah. Dia menangis sekenceng-kencangnya menumpahkan segala sesak yang mendadak menyeruak. “Kalian brengsek! Kurang ajar!”

Belum berhenti tangis, suara ponsel berdering. Aiska meraih benda pipih di tas selempang yang dia tenteng. “Halo, Ibu,” Setelah mengambil napas dan mengontrol emosinya, gadis itu menjawab panggilan.

“Aiska, bapak kamu masuk rumah sakit, Nak. Sakitnya kambuh.” Suara dari sang ibu menambah beban pikiran Aiska. Bagaimana tidak, dia baru saja melihat sebuah oenghiaantan Farid, dan kini dia harus mengurus sang ayah yang sedang sakit.

“Apa?” Aiska memijat kening, “Ais akan segera menyusul ke rumah sakit, Bu,” jawabannya lalu bangkit berdiri.

Kesedihan semakin menumpuk, ditambah berita sang ayah masuk rumah sakit. Di rumah sakit sang ibu sudah menangis di depan ruang gawat darurat.

“Kita butuh uang untuk operasi ayahmu sakit usus buntu ayahmu harus segera di operasi kalau tidak maka akan semakin parah, Nak. Bagaimana ini?” Sambutan yang diterima Aiska saat baru sampai. Gadis itu hanya bisa memeluk tubuh sang ibu tanpa berbicara.

“Aiska.” Suara Farid terdengar.

Aiska menoleh dan menatap jijik kekasih yang baru saja berhubungan badan dengan teman gadisnya. “Kau mengikutiku?”

Farid mengangguk, “Mari kita bicara, kau butuh uang, bukan?”

Aiska ragu, tetapi melihat keadaan sekarang mungkin Farid bisa berbesar hati untuk membantunya meminjamkan uang setidaknya sebagai biaya operasi sang ayah.

“Baiklah.” Aiska mengajak Farid ke arah lorong rumah sakit yang sepi usai berpamitan dengan ibunya.

“Katakan,” ucap Aiska dengan kesal.

“Sayang, maaf untuk yang tadi—”

“Tidak perlu basa-basi, kau tahu aku sekarang membutuhkan uang, jika kau tidak bisa meminjamkan aku—”

“Akan aku berikan untuk operasi ayahmu, asalkan kau mau tidur denganku.” Giliran Farid yang menyela ucapan Aiska.

Mata gadis itu melebar, “Maka kita harus menikah, aku akan coba memaafkan kalian dan menganggap tidak pernah melihat dirimu berhubungan badan bersama temanku itu, tapi—”

“Oh, Aiska. Ayolah Sayang, kita tidak mungkin menikah. Kau tahu orang tuaku membencimu—”

“Jadi kau ingin merenggut kesucian diriku tanpa ikatan sah? Kau gila Farid!”

“Oh, ayolah, bukankah ini transaksi bagus, kau mendapatkan uang dan aku menikmati tubuhmu.” Suara menjijikkan kembali membuat Aiska meradang. Dia tak menyangka pria yang dia banggakan, ternyata seorang pria bejat.

“Jangan pernah menemuiku kembali, aku jijik melihat bajingan seperti dirimu!” pekik Aiska.

“Kau mau pergi ke mana? Mau menjual dirimu untuk mendapatkan banyak uang. Aku tahu kau sedang terdesak, terima saja dan mari saling menikmati—”

Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Farid. Farid tampak memegangi pipinya yang habis di tampar Aiska.

“Dasar jalang sombong!” Lelaki itu melebarkan mata lalu melayangkan tangan ke arah Aiska. "Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan menolongmu?" tanya Farid sombong. Seakan hanya dia dewa penolong untuk masalah Aiska.

Gadis itu menutup mata dan menyilangkan tangan di depan wajah bersiap menghalangi pukulan Farid. Sepersekian detik tidak ada reaksi. Aiska membuka mata, dia terkejut bukan main.

“Melakukan kekerasan pada seorang wanita hanya perbuatan lelaki pecundang!” Arun berdiri tegak mencengkeram tangan Farid. Hingga Farid merasa kesakitan pada pergelangan tangannya.

“Lepas sialan,” pekik Farid.

Arun menghempaskan tangan pemuda itu.

“Pergilah, siapa kau, beraninya ikut campur urusan kami”

“Dia calon suamiku.” Mulut Aiska yang sedari tadi tertutup mengeluarkan suara.

Kedua lelaki tersebut menatap ke arahnya. “Heh, jangan bilang kau menjual tubuhmu untuk orang tua ini!” sindir Farid.

“Setidaknya dia siap menikah denganku, tidak seperti seseorang yang hanya mementingkan selangkangan saja,” tegas Aiska. “Mari kita pergi, Juragan!” Aiska merangkul Arun.

Juragan Arun tersenyum menyeringai, lalu berbisik pada Aiska “Orang yang memiliki harga diri seperti dirimu menyerah begitu saja?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status