Ayesha menerima surat perjanjian itu gemetar.
Dibacanya berkas yang baru disodorkan.
Tidak ada yang aneh di sana. Hanya saja, Ayesha tidak bisa menerima kenapa harus ada perjanjian pernikahan?
“Saya hanya kurang paham tentang perjanjian ini,” ucap Ayesha, dari nada bicaranya sepertinya mulai memikirkan tawaran itu, “mengapa harus melakukan perjanjian pernikahan?”
Hilbram menyender di kursinya. “Keluargaku mendesak agar aku menikah paling tidak tahun ini. Dan aku tidak punya waktu sekedar memikirkan wanita.”
“Hidupku hanya tentang mengurus bisnis. Aku tahu kau wanita baik. Aku juga sudah memahami kesusahanmu karena hutang-utang pamanmu itu. Meskipun aku melepasmu, apakah kau yakin pamanmu itu tidak lagi menjualmu untuk hutang-hutang yang lainnya? Setidaknya kita saling menguntungkan dalam hal ini!” jujur Hilbram.
Pria itu sadar tidak bisa memanipulasi gadis di hadapannya ini.
Lagipula, dengan tahu alasannya, mungkin Ayesha akan mempertimbangkan dengan tenang.
Dan benar saja, alasan Hilbram terlihat berhasil.
Ayesha tampak terdiam berpikir sebelum akhirnya mengangguk.
“Baiklah, Tuan. Saya akan pelajari perjanjian ini. Tapi, bolehkan saya juga mengajukan beberapa hal dalam perjanjian?” tanya perempuan itu penuh harap.
“Hmm!” deham Hilbram santai–tidak mempermasalahkan.
Jika pun dia tidak setuju, Ayesha mengajukan hal yang tidak diinginkannya,
Hibram cukup bilang tidak, kan?
“Bolehkah saya tetap bisa mengajar setelah pernikahan ini?” tukasnya.
Mendengar itu, Hilbram menahan senyum. Dia jelas tidak keberatan. Toh, Ayesha bekerja di sekolah milik yayasan keluarganya sendiri.
“Boleh!” jawabnya.
Ayesha tampak senang. “Lalu, karena kita menikah hanya sebuah perjanjian, bolehkan kita tetap bisa menjaga privasi masing-masing. Maksudnya–kita tidak melakukan sebagaimana suami istri pada umumnya.”
Hilbram tersenyum miring menatap Ayesha lekat. “Bahkan tanpa pernikahan ini pun, aku sudah ingin menidurimu. Apa menurutmu aku mau dengan syaratmu tadi?”
Ayesha tercengang. Bukankah yang ada di pikiran pria ini hanyalah tentang tidur dengannya?
“Setidaknya, setelah aku menikahimu, sudah dihalalkan bagi kita untuk melakukan persetubuhan. Poin pentingnya di situ. Kita tidak sedang berzina, tapi beribadah,” jelas Hilbram.
Ayesha menatap dan menilai jawaban pria di hadapannya ini.
Hatinya sedikit lega karena akan menikahi pria yang paham agama meski tidak tahu sepaham apa itu.
Dia pun akhirnya mengangguk, lalu membaca kembali surat perjanjian itu.
Disebutkan paling sebentar dalam waktu setahun.
Dan jika pada akhirnya keduanya saling cocok maka pernikahan akan dilanjutkan sebagaimana pernikahan normal yang lain.
Perlahan, Ayesha pun menandatanganinya. Dia tak sadar bahwa Hilbram tengah menahan euforia karena berhasil memiliki gadis yang sudah mondar-mandir di mimpinya sejak beberapa bulan lalu.
***
“Oke, jalani saja dulu! Selanjutnya bisa dipikir sambil lalu.” Ayesha mencoba menguatkan diri kala di ruang kamar yang baru.Dari ruangan yang begitu luas, dia menduga bahwa pria yang akan menikahinya itu adalah pengusaha yang sangat kaya raya.
Semua perabotnya tampak mewah dan mahal.
Ada lukisan yang tergantung di dinding tampak elegan.
Di walk in kloset, beberapa gaun yang disediakan untuk gantinya juga merupakan barang branded. Bahkan, alat-alat make up yang kini dipakainya pun semuanya barang bermerk yang kualitasnya terjamin.
Tok tok tok!
Terdengar pintu diketuk. Ayesha sontak menatap pintu. Ritme jantungnya sedikit cepat. Apa pria itu yang datang?
“Permisi, Nyonya!”
Terlihat seorang pelayan wanita masuk dan memberinya hormat.
Menyadari itu, Ayesha sedikit tenang. Namun, sikap hormat pelayan di hadapannya ini membuat Ayesha merasa tak nyaman.
“Siapa namamu?” tanya Ayesha pada pelayan itu.
“Momo, Nyonya!” jawabnya sopan.
“Momo, mengapa memanggilku Nyonya? Panggil saja aku Ayesha. Namaku Ayesha!” tukas Ayesha.
“Mohon maaf, saya tidak berani, Nyonya. Kepala pelayan di sini bisa memecat saya.” Momo menjelaskan alasan dia tidak bisa sembarangan membuat panggilan sendiri.
“Tapi aku bukan Nyonya-mu!” Ayesha masih keberatan.
“Pak Rahman bilang, besok Nyonya akan menikah dengan Tuan Hilbram. Sudah seharusnya saya memanggil Nyonya.”
Ayesha mengangguk. “Momo, ke sini untuk apa?” tanyanya.
“Oh, saya hanya ingin memberitahu bahwa nanti ada pegawai butik yang hendak mengukur untuk baju-baju Nyonya, serta dokter kecantikan untuk menentukan perawatan yang sesuai untuk anda.”
Ayesha menahan ingin tertawa mendengar hal itu.
Dia pikir hal seperti itu hanya ada di drama korea atau novel-novel bucin yang pernah dibacanya. Tapi ternyata, dia mengalaminya sendiri.
Berlebihan sekali bukan pria itu?
“Apa dia yang mengatur semua ini?” tanya Ayesha.
“Dia?” Momo mengulang karena tidak paham siapa yang dimaksud dia.
“Maksudku, Tuan Hilbram!”Baru pertama dia menyebut nama pria itu.
“Bukan, Nyonya. Semua sudah diatur kepala pelayan atas perintah Pak Rahman.”
Entah mengapa, Ayesha sedikit kecewa.
Namun, mana mungkin pria itu ikut campur masalah seperti ini, kan?
Bukankah dia sendiri yang bilang bahwa tidak ada waktu bahkan sekedar mencari kekasih?
Hidupnya hanya tentang mencari uang dan bekerja.Menikah pun sampai terpaksa membayar seorang wanita dari rumah pelacuran.
Hanya saja, Ayesha tiba-tiba teringat ucapan Hilbram yang mengatakan menyukainya, padahal mereka baru bertemu setelah dari rumah pelacuran itu?‘Apa aku sudah bertemu dengannya sebelum ini?’ batin Ayesha penasaran.
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber