Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”
Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…” Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.” Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?” Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.” Yuni memandang Riana dengan sorot mata yang penuh amarah, matanya menyala dalam dingin yang menghujam. “Tidak!” seru Yuni, nadanya tegas dan tak terbantahkan. “Keluarga itu sudah mempermalukan Mama! Mama tidak akan pernah merestui Fandy kembali pada perempuan itu. Walaupun sudah sembuh, Mama tidak akan pernah memberikan restu apalagi menyetujui dia menceraikan kamu.” Yuni tidak bisa menerima kenyataan bahwa putranya, Fandy, masih berniat untuk kembali kepada Citra setelah perempuan itu sembuh. Sudah cukup baginya menahan amarah dan penghinaan ketika pernikahan mereka dibatalkan secara mendadak, hanya demi mengetahui belakangan bahwa alasan di balik pembatalan itu adalah penyakit yang Citra sembunyikan selama enam bulan terakhir. Keluarga Citra, baginya, tak hanya mempermalukan putranya tetapi juga mengorbankan martabat keluarganya sendiri. “Bodoh! Bodoh kalau Fandy masih mencintai perempuan itu. Sudah tahu, keluarga Citra yang sudah membatalkan pernikahan itu. Itu artinya Citra sudah tidak menginginkan Fandy lagi. Brengsek, memang si Fandy ini,” geram Yuni, kemarahannya menggelegak tanpa kendali. Riana hanya tersenyum tipis, pandangannya dingin, namun ada ketabahan yang tersembunyi di balik bibirnya yang tertutup rapat. Dia tahu betul sikap Fandy, bagaimana lelaki itu tak pernah benar-benar memperlakukannya dengan penuh cinta atau kasih sayang, namun tetap saja, sebagai istri yang terjebak dalam situasi ini, ia tahu batasan untuk berbicara. “Ma,” bisiknya lirih, “Saya juga tidak mengharapkan pernikahan ini langgeng. Kalau bisa, saya ingin pisah saja dengan dia.” Perkataan Riana membuat Yuni terkejut, dan tanpa berpikir panjang, perempuan itu jatuh berlutut di hadapan Riana, mengangkat kedua tangannya seolah merapal doa kepada Tuhan. “Jangan, Nak,” katanya dengan suara lirih, penuh permohonan. “Mama mohon, jangan, Sayang. Mama tidak ingin kalian berpisah.” Riana terperangah, mencoba menarik Yuni agar berdiri, namun Yuni menolak. “Ma… jangan seperti ini. Bangunlah, Ma!” Yuni tetap menggelengkan kepalanya, suaranya bergetar penuh tekad. “Mama tidak akan bangun kalau kamu tidak mengiyakan permintaan Mama. Jangan cerai dengan Fandy, Sayang. Mama janji, Mama akan membuat Fandy mencintai kamu.” Riana akhirnya mengangguk dengan berat hati, menyentuh tangan Yuni yang masih bergetar. “Iya, Ma. Saya tidak akan berpisah dengannya. Saya mohon, Ma, bangunlah.” Dengan lembut, dia menarik Yuni, membantunya untuk duduk kembali di sofa. Yuni menatap Riana dengan penuh tekad, seperti ibu singa yang bersumpah melindungi anaknya. “Mama tidak ingin Fandy kembali pada Citra. Tanpa mereka sadari, mereka sudah membuat kami terluka. Fandy memang bodoh! Tapi, Mama akan memberi pelajaran padanya!” “Jangan, Ma…” Riana berbisik dengan nada takut, hampir seperti gumaman. “Fandy akan memarahi saya karena Mama tahu apa yang dia rencanakan. Dia terlalu arogan menurut saya, Ma. Dia bisa… membunuhku kalau tahu, saya bercerita semuanya pada Mama.” Riana menghela napas pelan, menyembunyikan ketakutan di balik kata-katanya. Fandy bukan hanya seorang lelaki yang bertindak sesuka hatinya; dia bisa menjadi sosok yang begitu menakutkan saat marah. Pernah suatu kali, ia kehilangan kendali, dan itu meninggalkan jejak dalam ingatan Riana. Keterbatasannya melawan, kelemahannya, semua itu membuat dia tak bisa melawan saat situasi memanas. Yuni menggigit bibirnya, menahan amarah. “Mama pikir, Fandy akan melupakan perempuan itu. Rupanya tidak. Malah ingin menunggunya sampai sembuh dan akan menceraikan kamu kemudian menikah dengan dia. Kurang ajar!” serunya penuh kejengkelan. “Seharusnya dia berterima kasih pada kamu karena sudah bersedia menggantikan Citra.” Di dalam hati Yuni, tersimpan kekecewaan yang mendalam pada putranya, putranya yang hanya mempermalukan dirinya dan keluarganya. “Tanpa kamu, Riana, mereka semua akan menertawakan keluarga kita. Mama tak akan membiarkan itu terjadi. Kamu harus tahu, kita semua berterima kasih atas pengorbananmu,” ujarnya dengan penuh empati. Riana hanya bisa menganggukkan kepala. “Kalau begitu, Ma, saya akan berusaha sebaik mungkin,” ucapnya, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Mungkin keinginannya untuk berpisah hanya akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud. Yuni berdiri, mengusap mata yang mulai basah, lalu menghela napas. “Mama harus pulang sekarang. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama. Jangan diam saja.” Riana tersenyum tipis. “Iya, Ma. Saya akan menghubungi Mama kalau ada sesuatu.” Setelah Yuni pergi, rumah itu terasa sunyi kembali. Riana duduk termenung, memandangi ruang kosong yang kini terasa seperti cangkang kosong. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore, saatnya berangkat kerja. Malam ini, ia merasa sedikit lega, sebab ia akan pulang larut malam, dan Fandy mungkin sudah tidur, memberinya waktu untuk menikmati kedamaian sementara. Saat tiba di hotel, Vivi, rekannya, langsung mendekat. “Riana! Kemarin kamu ke mana? Kok nggak masuk?” tanya Vivi penasaran. “Oh, kemarin ada urusan mendadak, Vi. Makanya nggak masuk,” jawab Riana beralasan, sambil mencoba tersenyum. Vivi mengangguk. “Aah, baiklah. Eh, tolong bersihkan kamar nomor 203, ya. Aku mau ke lantai lima dulu, ada pasangan pengantin baru yang mau ketemu aku.” “Pengantin baru? Siapa?” tanya Riana, sedikit tertarik.Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya