***
"Ya, Jerry. Aku akan berangkat sebentar lagi."Suara bariton seorang lelaki terdengar sangat dekat di telinga Bela. Dan hal itu membuatnya segera membuka mata.
Ia terkejut. Tentu saja! Karena ia bangun di dalam kamar Nial padahal sebelumnya ia tidur di sofa ruang tamu.
Apalagi saat ini ia melihat Nial duduk di sampingnya dengan keadaan tanpa mengenakan atasan sehingga Bela disuguhi pemandangan tubuh atletisnya.Ia juga tampak baru saja bangun saat menerima panggilan lelaki bernama Jerry di ponselnya.
'Apa yang terjadi semalam?' Bela menggigit bibirnya dan mengecek keadaannya di bawah selimut. Masih berpakaian lengkap.
'Jadi Nial membawaku naik?' Ia sekilas melihat Nial yang ternyata mata elangnya sudah mengawasinya lebih dulu. Bela terbaring dengan kaku. Lidahnya membeku sampai dia tidak bisa mengatakan apapun bahkan hanya untuk menyapa Nial.
"Sudah bangun?"
Suara bariton dingin Nial kembali tedengar. Membuat Bela mengangguk dan Nial hanya melemparkan seringainya.
"K-kamu membawaku naik semalam?"
Bela memberanikan diri bertanya, Nial mengangguk dan memiringkan kepalanya ke kanan.
"Ya. Aku membawamu naik saat kamu tidur seperti kerbau di musim dingin."
Jika ada lomba membuat orang naik pitam dan menghancurkan mood pagi anak orang, maka Nial sudah dipastikan menang. Karena hanya dengan mengucap itu saja membuat Bela kesal tak kepalang.
"Kamu tidur di ruang tamu ingin menggoda Hendro kalau misalnya dia mampir?"
Nial bertanya dengan masih belum mengalihkan matanya.
"Aku? Menggoda ayahmu? Kenapa aku harus melakukannya?"
Bela bertanya balik juga dengan kesal karena Nial selalu saja mengatakan Bela berusaha menggoda Hendro.
Tapi Nial tak menjawab Bela, ia membuka selimut yang menutupi tubuh Bela sehingga ia bisa melihat kemeja putih oversize yang dipakai Bela dan juga hotpants dengan warna yang sama."Aku bilang jangan memakai dress di atas lutut tapi kamu malah memakai hotpants?" tunjuknya pada kaki ramping Bela yang terbuka hingga ke paha.
"Kamu sengaja memakai ini dan tidur di ruang tamu untuk menunggu Hendro?"
Bela mendengus. Ia muak dengan Nial yang terus saja berbuat sekehendak hatinya.
"Mas Nial, Mas Nial sendiri yang semalam bilang aku tidak boleh masuk ke kamar. Aku menurutimu meski pakaianku basah. Aku meminta pakaian pada bu Kim dan dia memberiku ini karena tidak ada yang ukurannya pas di badanku. Kamu juga bisa lihat kemejanya kebesaran, 'kan?"
"Ya. Karena itu milikku. Kemejaku."
"Lalu aku harus bagaimana? Tidur dengan pakaian yang basah?"
Bela membuang pandangannya dan turun dari tempat tidur.
"Bela! Kamu sudah berani menjawabku? Hah?!"
Abai.
Bela enggan menanggapi kalimat Nial yang menabuh genderang pertengkaran bahkan saat matahari belum tampak di luar sana.
Sementara meski terus saja mengeluarkan kata-kata kasar, sebenarnya Nial diam-diam meraba dadanya sendiri dengan degub jantung yang berdetak tak terkendali.
Ia tidak tahu sejak kapan kemeja oversize dan juga celana kurang bahan itu akan terlihat begitu agresif di tubuh seseorang.Dan itu ... di tubuh Bela.
"Ini bahaya!"
***
Mendung.
Tapi itu di luar sana. Bela dapat melihat mendung hitam yang menggantung dari perpustakaan di kampusnya.
Ia menghadap jendela dan melihat lalu-lalang mahasiswa yang beraktivitas siang ini.Ada hal yang mengusiknya sedari pagi. Yaitu tentang kabar pernikahannya yang menyebar dengan cepatnya. Dan bisik-bisik itu terdengar tidak sedap karena mereka mengatakan bahwa Bela menikah dengan seorang pria tua dan hanya menjadi simpanannya.
Ia mendorong napasnya dengan pelan, tapi juga kembali menghela dengan berat.
"Terlihat seperti menanggung beban."
Bela menoleh ke samping kanannya dan melihat kontur wajah Niko yang sempurna. Lelaki itu tersenyum saat melepas coat panjang warna cream dan membuka buku setelah mengambil duduk di samping Bela.
"Kak Niko?"
"Hai! Semalam kamu tidur dengan baik?"
Bela mengangguk. Ia tersihir oleh bagaimana bersahajanya lelaki ini.
Dari sekian ribu orang yang mengagumi pesona Niko, ia justru memilih duduk di samping Bela dengan mata bening yang berbinar penuh kilauan."Kamu baik-baik saja? Kenapa mengambil napas dengan berat?" Niko bertanya sekali lagi, kali ini lebih lirih karena tidak ingin mengganggu ketenangan di dalam perpustakaan.
"Iya, aku baik-baik saja."
Senyumnya mengembang. Ia sekilas melihat ke arah tangan Bela di mana di sana ada cincin yang melingkar di jari manisnya dengan sangat cantik.
"Kamu sudah dengar bagaimana anak-anak menggila saat tahu kamu menikah?"
"Iya. Aku sudah dengar."
"Aku tidak akan bertanya alasan apa kamu tiba-tiba menikah dengan Nial. Tapi ...."
Niko menghentikan kalimatnya. Kali ini ia benar-benar menatap Bela, tidak hanya sekedar mencuri pandang.
"Tapi, saat kamu merasa tidak bahagia, datanglah padaku, Bela! Kamu tahu 'kan bagaimana perasaanku?"
Dada Bela seketika itu sesak. Di mana kalimat sederhana Niko telah menggugah duka dalam hatinya. Memanggil kembali ingatan tentang ucapan Nial agar ibunya cepat sembuh sehingga Nial tidak perlu lagi melihat Bela di rumahnya.
Dan jika hal itu benar-benar terjadi, maka akan memberinya kabar baik bahwa ibunya telah pulih. Tapi kabar buruknya, jika dikaitkan dengan ucapan Nial, bukankah itu artinya Nial akan melepas Bela dan mereka bercerai?
Yang artinya ... ia akan menjadi janda.
Tanpa sadar air mata Bela meleleh. Akibat dari apa yang dilakukan Vida—yang menolak dirinya dijodohkan dengan Nial—maka lelaki itu akan melampiaskan kebenciannya pada Bela.
"Bela."
Tangan Niko sampai di bahunya. Membuat Bela menghapus air matanya dengan segera.
"Kenapa menangis?"
"Tidak apa-apa. Aku pulang duluan."
Ia merapikan buku yang tadi ia ambil dan berjalan meninggalkan Niko yang masih ada di sana dan menyaksikan punggungnya menjauh.
Bela terus berjalan keluar gerbang dengan selidik pandang puluhan bahkan ratusan orang yang mengikuti pandang ke mana ia melangkah. Saling menunjuk seperti, 'Itu yang jadi simpanan lelaki tua.'
Bela tak peduli. Angannya terus saja melayang ke sana ke mari saat ia tahu cepat atau lambat ia akan menjadi janda ketika Nial melepasnya.
Berita baik sebenarnya karena dengan begitu ia tidak lagi terikat dengan lelaki yang hatinya telah menjadi batu itu.
Tapi sebagai gantinya ia tidak sanggup menanggung pendapat miring orang-orang yang akan memandangnya sebagai janda dalam usia muda.Bela lupa saat-saat ia naik ke dalam taksi online yang ia pesan dan sampai di depan rumah Nial. Saat ia masuk, ia sudah menjumpai Nial duduk di dalam sana, di ruang tamu. Bersama dengan Hendro.
"Selamat siang," sapa Hendro lebih dulu saat melihatnya mendekat.
"Selamat siang," balas Bela singkat. Mengindari mata Nial yang melakukan pengecekan padanya dari bawah sampai ke atas.
"Masuk ke kamar, Bela!" perintah Nial dengan dingin, sama seperti biasanya.
"Iya."
Bela menuruti Nial untuk masuk ke kamar dan meletakkan tas di ruang ganti. Saat itu, matanya menangkap dompet milik Nial di atas meja, terbuka. Ia menyentuhnya, dan ia dapat melihat foto Catherine ada di sana, bersama anaknya, anak Nial.
Harusnya ia biasa saja, tapi Bela justru merasakan kakinya kebas.
Nial tidak berbohong saat mengatakan ia tidak bisa menggantikan mantan istrinya.
Jelas saja! Hanya dilihat dari bagaimana caranya Nial memperlakukan masa lalunya seistimewa ini, Nial menunjukkan bahwa ia tidak akan bisa lepas dari bayangan Catherine.Tapi ada sengatan aneh dalam hati Bela. Seperti rasa teriris yang membuat perutnya perih.
Nial—yang memperlalukannya sekehendak hatinya itu—sebenarnya bukanlah lelaki brengsek.
Ia hanya terlalu mencintai Catherine sampai lupa ada hidup miliknya sendiri yang harus dilanjutkan.Rasa cinta Nial pada Catherine membuat Bela iri.
Meski tanpa ada cinta Nial untuknya, Bela sebenarnya ingin Nial meperlakukannya dengan sedikit lebih baik.Bela beringsut mundur saat Nial datang dari pintu ruang walk in closet. Suaranya memenuhi seisi ruangan saat ia melihat Bela berdiri dengan menyentuh dompetnya.
"LANCANG!!"
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele