'Catherine dia bilang?'
Ia menghela napasnya.
'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'
Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis.
Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun."Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.
Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela.
Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.
Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan Nial.
Cincin pernikahan yang ia lihat melingkar di jari manisnya itu hanyalah simbol belaka. Nial mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah bisa menggantikan Catherine.Bela tersenyum menyeringai, Seperti Joker. Kedua sudut bibirnya terangkat namun air matanya menggenang bersama air hujan.
Ia tahu tidak akan pernah ada cinta Nial untuknya sejak lelaki itu tidak bisa melupakan masa lalunya.
Bela berpikir, 'Apa yang aku inginkan? Aku sudah tahu dari awal kalau aku akan menderita, 'kan?'Ia terkejut karena tubuhnya yang terguyur gerimis lebat tiba-tiba saja terlindungi. Saat ia melihat ke depan, seorang lelaki dengan payungnya yang berwarna merah berdiri di sana, menaunginya agar tidak kebasahan lebih jauh.
Samudera Nikolass Arka, dia adalah Presiden Mahasiswa di universitasnya.
Lelaki yang sama yang tadi sore memisahkan pertengkarannya dengan Vida. Lelaki yang mengantar pulang Bela sekligus menjadi awal bagaimana murkanya Nial."K-Kak Niko?"
"Kamu kenapa di sini, Bel?"
Ia bertanya tanpa beranjak seinchi pun dari tempatnya.
"Aku menjenguk ibuku."
"Bukan itu. Kenapa duduk di bawah hujan, Bela?"
Mata mereka bertemu.
"Hanya ... ingin duduk sebentar di sini."
Bela meremas tangannya yang gugup saat Niko tidak mengalihkan pandangannya dari Bela dengan mata teduhnya. Cara menatap yang jauh berbeda dari cara Nial yang penuh kebencian padanya.
"Kak Niko kenapa di sini?"
"Aku? Menjemput ayahku."
"Dia dokter yang bekerja di sini?'
"Iya. Bangunlah dari sana! Ayo berteduh!"
Tangan Niko meraih tangan Bela karena ia tidak tahan melihat Bela duduk lebih lama dengan keadaan pakaian yang nyaris basah di sana.
Tapi sebelum ia menyentuhnya, ada tangan lain yang lebih dulu merebut tangan Bela.Bela terkejut karena Nial kembali datang dan meraih tangannya dengan cepat sebelum ia dan Niko bersentuhan.
"Mas Nial?"
Bela melihat mata Nial yang tajam melihat pada Niko. Begitu juga sebaliknya.
"Kenapa kamu menyentuh istriku?"
Frontal, tanpa basa-basi dan dingin. Nial melemparkan pertanyaan itu pada Niko yang bibirnya mengatup dalam diam karena ia tahu saat ini sedang bertemu muka dengan suami Bela. Lelaki yang sedari sore terus saja dipertanyakan oleh anak-anak seisi kampus—seperti apa rupa dan wajahnya—sejak kabar Bela menikah meluas dengan cepat.
"Mas Nial," panggil Bela mencoba menenangkannya.
Karena dilihat dari gelagatnya Nial akan menghajar siapapun yang ada di hadapannya.Tapi Niko—yang terbiasa memimpin demo mahasiswa dan menggebrakkan tangannya ke meja saat menetapkan mosi tidak percaya pada anggota dewan itu—tetap terlihat tenang. Ia seperti kedamaian bunga teratai yang menghadapi badai.
"Hm ... jadi kamu suaminya Bela?"
"Ya! Ingat namaku baik-baik! Danial Abdisatya. Aku tidak suka milikku disentuh orang lain."
Niko tersenyum.
"Kamu tidak suka milikmu disentuh orang lain, tapi kamu membiarkannya duduk di bawah hujan. Siapa yang tega membiarkan bunga secantik itu menggigil kedinginan?"
Suaranya tenang dan ringan. Perumpamaan yang disampaikannya membuat Bela merinding.
Ia menahan tangis saat rasa dalam dadanya membuncah dengan penuh lara. Kalimat itu dikatakan oleh Niko, cinta pertamanya, cinta pertama Bela.Nial tidak menjawab Niko dan menarik Bela agar pergi dari sana.
Tapi baru satu langkah, Nial berhenti lebih dulu karena Niko mengucap,"Kamu tidak tahu kalau aku lebih tertarik pada istri orang?"
Bela dengan cepat memutar kepalanya. Matanya sekilas bertemu pendang dengan Niko.
Tapi Nial juga tidak kehabisan kata karena dia juga membalas Niko.
"Tentu saja. Karena semua hal jauh lebih indah saat sudah menjadi milik orang lain."
Seperti kalimat penutup perdebatan.
Bela lupa bagaimana caranya dia pergi dari hadapan Niko dengan tangan Nial yang menggenggamnya begitu erat. Sampai Nial membuka pintu mobil untuknya dan memintanya untuk masuk.Di bawah payung merah, Niko memeriksa ponselnya. Merasakan ketidak asingan wajah dan nama 'Danial Abdisatya' yang tadi ia dengar membuatnya mengetikkan nama itu di mesin pencarian internet.
Benar!
Ia tahu lelaki itu tidak asing karena dia adalah CEO Ones Air. Salah satu perusahaan penerbangan yang meroket. Wajahnya kerap wara-wiri di surat kabar dan artikel bisnis sebagai 'young billionaire' yang disegani banyak orang. Dan lelaki itu ... kini adalah suaminya Bela.Bela, dia hanya diam saat Nial memintanya memakai seat belt.
Ia masih terperangkap dalam kalimat Niko, dan bagaimana mata teduhnya yang tidak pernah gagal membuatnya jatuh cinta.Karena tidak mengindahkan Nial, dan tampaknya Nial tidak ingin berdebat lebih jauh, alhasil ia yang memasangkan seat belt pada Bela.
"Kenapa?" tanya Nial saat melihat Bela yang menunduk di tempatnya.
"Tidak."
Nial menghela napasnya saat membuka coat panjangnya dan menaruhnya di bagian depan tubuh Bela.
"Kamu kedinginan."
Ia hanya mengatakan itu sebelum menghidupkan mesin mobil dan pergi dari rumah sakit.
Bela merapatkan coat Nial yang terasa hangat di tubuhnya yang memang kebasahan.Mereka hanya saling diam sampai mobil berbelok di rumah Nial dan berjalan memasuki rumah besar itu.
"Tidurlah di tempat lain, Bela! Aku tidak ingin melihatmu malam ini."
Suara Nial mengakhiri percakapan mereka, ia berjalan menaiki tangga sementara Bela masih berdiri di ruang tamu.
'Aku juga tidak ingin melihatmu. Sama sekali tidak ingin.'
Bela duduk di ruang tamu yang sudah temaram setelah meminta pakaian ganti dan juga selimut pada bu Kim, sang Kepala Pelayan. Ia duduk di sana dengan rasa dalam hatinya yang sedang tak bisa diuraikan.
Tentang bagaimana Nial dan Niko yang membuatnya berdiri di antara ketegangan mereka.
Ia melihat lilin yang dinyalakan di meja ruang tamu, api kecilnya meliuk-liuk.
'Kamu cantik, Bela!'
Itu adalah kalimat yang diucapkan Niko di hari mereka bertemu pada penerimaan mahasiswa baru beberapa waktu yang lalu.
'Kak Niko jangan bilang begitu! Nanti aku bisa dikeroyok fans-mu!'
Niko tersenyum saat itu, mereka duduk melihat api unggun yang sedang berkobar di tengah rimba.
'Kenapa aku tidak boleh bilang begitu, Bel? Aku jujur, kok.'
Bela membalas senyum Niko. Saat itu ia sangat bahagia sampai tidak bisa memikirkan apapun selain dadanya yang meletup dengan penuh bunga.
Tanpa tahu di depan sana ada masa depan yang tidak pernah ia bayangkan sedang menunggunya.Senyuman Niko memudar, terbakar bersama liuk api lilin kecil di depannya.
Bela berpikir, sebenarnya dirinya ini dan Nial sama saja.Nial tidak bisa melupakan istrinya? Sama! Bela juga, kenangan bersama Niko, semua kebersamaan mereka yang meski tanpa status mereka saling menjaga diam-diam dari kejauhan.
Kenyataan tidak akan berubah. Bahwa lelaki yang saat ini menjadi suaminya bukanlah cinta pertamanya. Bukanlah Niko, tapi Nial.
Bela meringkuk di atas sofa besar dan selimut yang menelan habis tubuhnya. Ia merasakan sedih yang tidak bisa dijelaskan.
Ellipsism, itu yang ia ketahui sedang menggerogotinya hingga lelap.
....Dari kamar atas, Nial mencari di mana keberadaan Bela. Anak itu benar-benar tidak masuk kamar sejak ia memintanya agar tidur di tempat lain. Nial khawatir karena sebelumnya baju Bela basah, dan ia takut Bela memaksakan diri tidur dengan pakian yang basah jika dilihat dari naifnya yang akan menuruti apapun yang dikatakan Nial.Nial menemukannya tidur di sofa panjang ruang tamu dengan berselimut yang hanya menyisakan kepalanya.
"Apa yang terjadi antara kamu dan Niko? Apa aku hadir di tengah-tengah kalian?" tanya Nial lirih, hampir tak terdengar.
Bela bergerak dan selimutnya tersingkap sehingga membuat kaki mulusnya terlihat. Yang mana hal itu membuat hasrat Nial yang tadi belum tuntas kembali memberontak.
'Sial! Lalu bagaimana sekarang?'
Tidak ada kata apapun lagi. Ia mengangkat Bela memasuki kamarnya.
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele