Share

2. Istri Pengganti

Menikahlah bukan hanya karena cinta. Tapi karena kamu yakin, bersamanya surga menjadi lebih dekat.

**********

Kutatap bayangan diriku di dalam cermin. Sosok yang terlihat di sana begitu berbeda dengan aku yang biasanya. Kebaya putih yang membalut tubuh ini dengan pas, dan makup tipis yang kugunakan, tak mampu menyamarkan kegetiran dalam senyum itu. Mungkin bagi semua wanita, hari pernikahan adalah hari paling sakral dan membahagiakan. Tapi berbeda denganku, yang kurasakan sekarang justru rasa hampa yang teramat sangat.

Tak ada pesta mewah seperti yang kalian bayangkan, tak ada suara suka cita dari semua tamu yang datang. Karena pernikahan ini hanya dihadiri beberapa keluarga dekat. Hanya ada ayahku, orang tua Mas Adit, orang tua Nazwa, dan saksi.

Entah pernikahan seperti apa yang akan kulalui nanti. Sementara kata cinta bahkan tak ada dalam ikatan ini. Aku sama seperti perempuan lain, mendambakan pernikahan yang kujalani kelak dipenuhi cinta di dalamnya. Bukan pernikahan atas dasar keterpaksaan.

Jika bukan karena rasa sayangku pada Nazwa, juga Janjiku padanya untuk menjaga Jovan, aku tak akan pernah mau melakukan ini. Menyakiti semua pihak dan orang yang kucintai.

Kuembuskan napas berat, menghalau kepedihan dalam dada. Mengingat Dimas kekasihku, dan pembicaraan kami kemarin.

Aku dan Dimas duduk di taman dengan pemandangan Air mancur di depan kami. Aku menarik napas dalam sebelum mengutarakan maksudku mengajaknya bertemu di tempat ini.

Selama kami bersama sebagai kekasih, kami lebih sering menjalani LDR. Selain karena jarak yang memisahkan, juga karena profesi Dimas adalah polisi. Tapi laki-laki itu sering bolak-balik Jakarta-Kuala Lumpur setiap ada kesempatan, hanya karena ingin bertemu denganku. Rasanya sulit mengakhiri ini semua, sementara kami memiliki cita-cita yang dulu pernah kami bagi bersama. Tentang impian dan harapan di masa depan. Tapi, aku harus mengahirinya sekarang, atau tidak sama sekali.

"Kay."

Tegurannya mengakhiri lamunanku "Ah ... ya."

"Ck, melamun aja dari tadi. Ada apa kamu meminta bertemu? Apa kamu merindukan aku?" Dimas menggodaku, disertai senyum usil seperti yang biasa dia lakukan.

Dadaku kembali nyeri. Apakah aku tega menghancurkan perasaannya? Sementara bertahun-tahun sudah kami lewati segala hal bersama. Susah atau pun senang. Kusunggingkan senyum getir mengingat segala perlindungan yang telah laki-laki ini berikan padaku. Bahkan sebelum kami tahu apa arti cinta sebenarnya.

"Ada apa?" Laki-laki itu balik bertanya dengan nada khawatir.

Aku terdiam, dan mengamati wajah tampannya, sekali ini saja izinkan aku menatapnya sedekat ini. Apa kalian tahu? Menyembunyikan apa pun di depan Dimas selalu percuma. Karena dia bahkan tahu segalanya mengenai aku.

"Kamu masih ingat pertama kali kita bertemu?" ujar ku setelah keheningan yang cukup lama

"Kay, ayolah, jangan basa-basi seperti ini. Aku tahu bukan hal ini, kan, yang ingin kamu tanyakan padaku?" Dimas mulai tak sabar.

Aku tersenyum getir kearahnya. Meski untuk sekedar menarik bibir ini saja rasanya sudah tak sanggup. Aku bukan jenis manusia yang bisa berpura-pura bahagia. Aku terbiasa menampilkan semua sesuai suasana hati.

"Ck ... percuma saja aku berbohong di depanmu. Karena kamu bahkan tahu aku lebih dari diriku sendiri. Aku tak bisa membayangkan jika aku tak bisa denganmu pada akhirnya," kataku dengan senyum kupaksakan.

"Sayang, jangan bicara seperti itu. Kamu masih ingat, kan, impian kita? Kita ak-"

"Kita sudahi saja hubungan ini." Aku memotong kata-kata Dimas, dan menatap matanya yang kini terlihat kosong. Senyum yang dari tadi tersungging untukku menghilang. Rasanya benar-benar sakit, tapi aku harus mengakhirinya. Sebelum aku benar-benar menghambur ke pelukan laki-laki berkulit sawo matang ini, dan pergi bersamanya.

"Jangan bercanda, Sayang. Ini sama sekali nggak lucu! Ini bukan hari ulang tahunku, ini juga bukan april mop. Jadi berhenti bicara yang tid-"

"Besok aku menikah." Aku memotong kata-katanya lagi. Tak akan ku izinkan Dimas mendebat, sebab jika terjadi aku jelas akan kalah dan luluh seperti biasa. Dimas terdiam, dan menatapku aneh.

"Menikah?" Dimas bertanya sekali lagi, seakan masih tak percaya akan apa yang didengarnya.

Ku pejamkan mata sejenak, mengumpulkan semua keyakinan dalam hati, jika pilihan ini lah yang terbaik. "Ya ... aku akan menikah," jawabku mantap.

Dimas yang masih belum terima dengan keputusan sepihak ku, mengacak rambut frustrasi.

"Nggak! Kamu pasti bercanda!" Dimas bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras. Marah dan kecewa, itu yang aku lihat dari tatapannya. Rasanya sakit sekali melihatnya terluka lagi. Dan kali ini karena aku.

"Aku minta maaf, karena menghianati janji kita dulu. Satu hal yang harus kamu tahu, sampai sekarang pun, rasa ini masih sama untukmu. Tapi Allah tak menakdirkan kita bersama. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini ... aku pergi." Setelah mengatakan itu, aku bangkit, dan meninggalkan Dimas yang terus meneriakan namaku.

Maaf, telah menyakitimu separah ini. Semoga kelak Allah mempertemukanmu dengan perempuan yang tepat. Sementara biarkan aku menjalani takdirku di sini. Menjadi seorang istri dan ibu pengganti.

Tiba-tiba suara pintu dibuka terdengar, kembali menyadarkan aku tentang kenyataan di depan mata yang harus dihadapi meski berat. Buru-buru aku menyeka airmata yang jatuh di pipi karena mengingat Dimas.

"Sudah waktunya ijab qabul, Nak. Ayo kita keluar. Semua keluarga Kaffi sudah menunggu." Ibu Salamah tersenyum, lalu berjalan menghampiriku.

Kusunggingkan senyum kearahnya. berusaha bersikap seolah semuanya baik-baik saja.

"tersenyum lah, Sayang. Hari ini adalah hari pernikahanmu. Jadi berbahagialah." Bu Salamah mengelus pipiku lembut. Sementara aku masih bertahan dengan senyum palsu.

"Kamu tahu, Nak. melihatmu ibu teringat Nazwa. Bagi Ibu, kamu atau pun Nazwa sama-sama anak Ibu. Berkat kamu lah, Nazwa bisa bangkit dari keterpurukan. Ibu tahu, kamu wanita yang baik. Maka Allah pasti akan memberimu yang terbaik,"

Ya ... Nazwa meninggal setelah dia mengutarakan wasiatnya padaku. Dia mengalami pendarahan hebat saat melahirkan.

"Berjanjilah, kamu akan menjaga Jovan dan menyayanginya seperti anak sendiri. Nazwa begitu percaya padamu, seperti itu pula Ibu mempercayai mu. Yakinlah kamu pasti bisa jadi ibu yang baik untuk Jovan."

Aku mengangguk, lalu kupeluk ibu Salamah. Ya, ini demi Nazwa dan Jovan. Tak ada lagi kesempatan untuk mundur sekarang. Apa pun yang terjadi, aku harus kuat. Demi mereka yang mempercayai kehadiranku mengasuh Jovan.

"Menikah lah bukan hanya karena Cinta. Tapi menikah lah karena kamu yakin, bersamanya Surga akan lebih dekat. Karena apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah itu baik untukmu, belajar lah mencintai Adit karena Allah."

Aku kembali mengangguk mendengar nasihat itu. "Ya, Bu."

Aku tahu, segala sesuatu yang tak didasari atas kecintaanku pada-Mu, pada akhirnya tak akan abadi. Maka di sini lah takdirku akan di uji. Apa aku akan sanggup mengemban amanah ini? Semoga Kau selalu menguatkan langkahku Allah.

"Baguslah. Ibu tahu, kamu wanita kuat. Yakinlah jika ini takdir terbaik yang diberikan Allah untukmu. Ibu percaya, Adit bisa jadi imam yang baik."

Kata-kata Ibu Salamah sedikit memberikan kekuatan. Meski jauh di dasar hati, aku benar-benar tak yakin.

Seandainya Ibu kandungku masih ada, mungkin semuanya akan jauh lebih baik. Setidaknya, aku akan memiliki tempat untuk berkeluh kesah.

**********

"Saudara Aditya Arsya Al-Kaffi bin Arsyad Al-Kaffi. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya. Kayla Asadiel Djalal Binti Adnan Asadil Djalal, dengan mas kawin seprangkat alat shalat di bayar, tunai!"

"Saya terima, Nikah, dan kawinnya, Kayla Asadiel Djalal binti Adnan Asadiel Jalal, dengan maskawin tersebut di atas, tunai!"

"Bagaimana saksi? sah?"

"SAH!"

Semua orang mengucapkan syukur untuk pernikahanku dan Mas Adit. Kucium punggung tangannya sebagai simbol penghormatan. Bahwa mulai saat ini, aku menyerahkan seluruh hidupku untuk mengabdi padanya.

Beribu doa kupanjatkan pada Sang Pencipta, agar kehadirannya bisa aku terima walau berat. Agar kelak Dia menghadirkan cinta di antara kami.

Seluruh keluarga tersenyum bahagia, begitu juga Ayahku. Setelah itu Mas Adit membacakan taklik pernikahan di depan semua orang. Taklik yang akan mengikat perjanjian kami dengan Allah. Bahwa dia akan bertanggung jawab sepenuhnya tentang hidupku.

Ini adalah babak baru dari kehidupan yang akan kujalani. Yang berarti aku harus rela mengorbankan segala karir dan pekerjaan, demi janji yang kubuat di hadapan-Nya. Juga demi wasiat Nazwa. Bahwa aku akan memenuhi tugasku menjadi seorang istri dan ibu untuk Jovan. Sesuai pesannya sebelum dia meninggal.

Aku memasuki ruang ICU, aku berjalan mendekati ranjang Nazwa dengan lutut terasa lemas. Mataku buram karena air mata yang terus menetes. Untuk kesekian kalinya, aku harus menyaksikan perempuan ini berjuang dengan rasa sakit. Allah, tak cukup kah Kau beri dia cobaan bertubi-tubi. sementara bahagia yang dirasakannya hanya sesaat. Jika Kau menyayanginya, aku mohon, jangan biarkan dia terus mengalami rasa sakit.

Nazwa tersenyum lemah kearahku, lalu kuraih tangannya yang terdapat selang infus.

"Mbak minta maaf, karena kemarin Mbak membuatmu sakit hati, mbak nggak berniat berbohong soal Mas Adit dan Mbak dulu. Tapi jangan seperti ini caramu menghukum mbak, Na." Nazwa hanya tersenyum lirih. Dia memberi isyarat dengan mengangguk.

Kami sempat bertengkar, karena Nazwa baru mengetahui prihal Mas Adit yang pernah mencoba melamarku. Nazwa tentu saja marah, dan merasa dibohongi. Dan kekecewaannya padaku lah yang membuat dia harus mengalami semua ini.

"Mbak Kay ... aku titip Mas Adit dan Jovan. Aku mohon, menikahlah dengan Mas Adit. Dan jadi ibu untuk Jovan," ujar Nazwa dengan suara lemah. Kugenggam tangannya erat-erat sementara air mata terus menetes dari pipiku. Melihat Nazwa seperti ini, rasanya sakit sekali. Aku merasa jadi orang paling jahat.

"Mbak nggak bisa, Na. Mbak nggak mungkin meninggalkan Dimas."  Ku coba memberikan pengertian pada Nazwa agar perempuan itu mau mengerti posisiku.

"Aku mohon, Mbak. Aku hanya punya Mbak yang bisa kupercaya untuk menjaga Jovan, bukan orang lain. Aku tak akan tenang meninggalkan Jovan tanpa seorang ibu disisinya."

"Tapi, aku dan Mas Adit nggak saling mencintai."

"Bukankah mbak dulu bilang, cinta datang karena terbiasa. Aku yakin, mbak bisa jadi pasangan yang serasi untuk Mas Adit. Karena aku tahu, Mbak orang baik. Aku sudah bicara dengan Mas Adit. Tolong penuhi wasiat terahir aku, Mbak." Nazwa terus memohon dengan suara lemah.

"Berhenti bicara yang tidak-tidak. Aku yakin kamu pasti sembuh."

Nazwa hanya tersenyum miris mendengar ucapanku. "Aku sudah berada di ambang batas kesanggupanku untuk bertahan," suara Nazwa semakin lirih, napasnya mulai tak teratur, hingga kemudian mata itu terpejam.

Aku menatap Nazwa degan nanar, begitu sadar tangannya yang kugenggam terasa dingin. Sementara bunyi suara monitor pendeteksi jantung melengking dengan nyaringnya. Dokter dan perawat panik. Mereka berhamburan masuk. Pun samar-samar aku masih mendengar suara tangisan Ibu Salamah di luar sana.

Selanjutnya yang kuingat, Aku terbangun di sebuah ranjang rumah sakit. Dengan rasa bersalah yang mungkin harus aku tanggung sepanjang hidup.

**********

Yeeey updet lagi!

Jujur ya ... aku paling nggak bisa bercuap-cuap terlalu banyak. takutnya kalian juga bakal males bacanya, hihihi

Jangan lupa tinggalkan jejak ... biar aku semangat lanjut. Aku butuh moodboster.

Ayolah ayolaaah jangan velit-velit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status