Share

Istri Pengganti (Journey Of Love)
Istri Pengganti (Journey Of Love)
Author: Nurmoyz

1. Prolog

"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya."

(HR. Ahmad, 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)

*********

"Seorang laki-laki tak akan disebut beriman. Jika dia tak pernah memperlakukan istrinya dengan baik. Harusnya, Mas, tahu hal itu."

"Cih! Tahu apa kamu tentang keimanan. Kamu sendiri bahkan tak pernah menunjukan bahwa dirimu adalah wanita muslimah. Lihat caramu berpakaian! Apa ini pantas, dipakai perempuan yang sudah menikah? rambut dibiarkan terbuka, dan lihat?" Laki-laki itu menatapku dengan pandangan mencemooh, dari ujung kepala ke ujung kaki. Sebelum kemudian dia melanjutkan ucapannya.

"kamu bahkan bisa dengan leluasa memamerkan lekuk tubuhmu di depan laki-laki lain. Apa kamu tak sadar? Auratmu, adalah jalan yang akan menyeretku ke neraka."

Kata-kata yang dilayangkan seseorang yang mereka sebut suami itu, sungguh menyakiti hatiku. Dia memang orang yang menyebutkan namaku dalam ijab kabul beberapa bulan yang lalu.

Sebenarnya impianku sederhana, menikah dengan orang yang kucintai dan mencintaiku. dimana di dalamnya akan dipenuhi kasih sayang dan juga rahmat-Nya.

Namun, sekali lagi, manusia hanya bisa berencana. Tapi tetap akhirnya Allah lah yang memiliki kehendak di atas segalanya

Aku sebagai hamba-Nya tak bisa berbuat apa-apa. Jika Takdir yang digariskan padaku harus seperti ini. Aku mencintai orang lain, tapi Allah mempertemukanku dengan orang yang sama sekali tak kusebut dalam doa.

Aku wanita biasa, pun menginginkan rumah tangga yang kubangun kelak bisa sakinah. Walau aku tahu, bahwa yang digariskan Allah untukku adalah yang terbaik.

Bukan! Aku bukannya menolak jodoh yang Rabbku berikan. Hanya saja, ada satu hal dalam diriku yang merasa bahwa aku bukan lah apa-apa jika dibandingkan dengan Mas Adit. Aku merasa rendah diri mengenai ilmu agamaku. Laki-laki itu terlalu baik, dan selalu menjunjung tinggi agama lebih dari apa pun. Sementara aku, haya seorang Kayla, wanita yang tak tahu banyak tentang agama. Belum lagi penampilanku yang sama sekali tak memperlihatkan jika aku adalah wanita muslimah. Seperti yang di ucapkannya, Aku bahkan tak memakai hijab besar seperti yang di kenakan Nazwa, istri pertamanya yang telah tiada.

Namun, aku sadar, seberapa keras aku mencoba menyangkal, tetap tak akan bisa merubah kenyataan. Bahwa sekarang, dia adalah suamiku.

Diusiaku yang menginjak dua puluh delapan tahun, aku harus dihadapkan pada takdir Allah yang begitu rumit. Hidupku berubah, Saat Nazwa, sahabat sekaligus orang yang kuanggap adik meninggal. Setelah melahirkan anak pertamanya.

Perempuan itu meninggalkan wasiat, bahwa perempuan yang harus menjadi istri dari Adit, dan ibu dari Jovan, anaknya, adalah aku. Sementara aku sendiri memiliki Dimas, kekasih sekaligus sahabatku.

Mau tak mau, aku menyetujui keinginan Nazwa. Tapi semuanya tak semudah yang kubayangkan, saat Adit yang begitu hangat, tiba-tiba berubah jadi sedingin es saat kami dipersatukan dalam ikatan takdir-Nya

Bahkan setelah acara ijab qobul, laki-laki itu justru mengeluarkan kata-kata yang membuat impianku tentang pernikahan sakinah, seakan hancur.

*****

Dua bulan sebelum pernikahan

Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit, tempat Nazwa di rawat. Kabar yang kudengar tadi pagi membuatku panik. dengan segera aku memutuskan untuk terbang ke indonesia. Kutinggalkan meeting penting perusahaan aku bekerja, di Kuala Lumpur. Hanya demi wanita yang sudah kuanggap adik. Rasa bersalah membuat aku membuang mimpi-mimpi ini. Tak ada yang lebih menyakitkan selain hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah. Aku takut tak akan memiliki kesempatan meminta maaf.

"Permisi, Sus! Ruangan atas Nama Ny. Kahffi ada di mana, ya?" Aku bertanya pada bagian resepsionis.

"Oh, sebentar," suster itu berkata, lalu mencari daftar nama yang tertera.

"Ny. Kaffi ada di ruang ICU, di sebelah sana!" Suster itu menunjuk sebuah lorong di sebelah kanan. Aku bergegas berlari untuk mencari. Dari jauh aku melihat punggung tegap seorang laki-laki tengah berdiri sambil menelungkupkan tangan ke tembok. Sementara seorang wanita mengenakan kerudung besar berwarna abu-abu sedang mencoba menguatkannya.

Aku berjalan dengan pelan menghampiri Laki-laki itu. Hingga membuat semua orang yang ada di sana terlihat kaget.

"Mas Adit." Laki-laki yang kupanggil menoleh dengan wajah yang terlihat kacau.

Iba rasanya melihat Mas Adit yang biasa rapi kini terlihat lebih kuyu. Tak ada lagi Adit yang rapih, bulu-bulu halus di sekitar dagunya bahkan dibiarkan memanjang. Belum lagi pakaiannya yang terlihat acak-acakan, dengan kantung mata terlihat menghitam. Menandakan sekali, jika laki-laki di depanku kurang tidur atau sekedar istirahat.

"Kay, kamu pulang?" Mas adit berkata dengan nada lirih.

"Bagaimana keadaan Nazwa, Mas?" Aku mengabaikan pertanyaannya.

"Nazwa keritis setelah melahirkan Jovan," ujarnya dengan nada penuh luka.

Aku tercekat, berita yang baru saja kudengar seolah menamparku cukup keras. Bagaimana tidak, baru tiga hari kemarin Nazwa menghubungiku, dan Kami sempat bertengkar karena satu hal. Aku bahkan belum menjelaskan yang terjadi dan meminta maaf padanya.

Tiba-tiba seorang suster keluar mengintrupsi pembicaraan kami.

"Maaf, Tuan Aditya?"

Mendengar namanya di sebut, Mas Adit buru-buru merangsak kedepan.

"Ya, Sus. Bagaimana keadaan istri saya? Apa dia baik-baik saja?" Mas Adit bertanya dengan nada khawatir, dan panik.

"Maaf, Ny. Kaffi ingin bicara dengan Anda," ujar suster.

Mas Adit hanya menjawab ucapan itu dengan anggukan samar. Setelahnya dia melangkah ke dalam ruang rawat.

Setelah Mas Adit masuk, kutatap beberapa orang yang ada di sana. Ada ayah dan ibu Nazwa yang terlihat sedih. Juga seorang perempuan yang kuketahui adalah ibu mertua Nazwa. Perempuan berpakaian syar'i itu menatapku penuh penilaian. Aku tentu sedikit tak nyaman karena tatapannya yang terkesan menghakimiku. Setelahnya dia tersenyum, dan kubalas dengan senyum sopan.

"Nak, kamu kapan sampai?" tanya ibu Nazwa mendekat. Kusunggingkan senyum ke arah wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri.

"Bu, Kay baru sampai hari ini," aku mmencium punggung tangan ibu Nazwa dan ayahnya.

"Kay langsung kesini setelah Gea memberi tahu keadaan Nazwa. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Nazwa, Bu?"

Perempuan berpenampilan sederhansa di depanku terlihat menaha tangisnya. Seakan membicarakan soal keadaan Nazwa adalah hal paling menyakitkan. Tak ayal, aku pun ikut merasakan kesedihannya.

"Nazwa ... sebenarnya sakit, Tap-"

Belum selesai ibu Halimah bicara, suara pintu ruangan ICU di buka terdengar. Mas Adit keluar dengan wajah yang terlihat memerah. Rahangnya terkatup rapat. Terlihat sekali dia tengah menahan marah. Mas Adit adalah laki-laki penyabar, aku bahkan belum pernah melihatnya begitu marah.

Dia berjalan dengan cepat dan berhenti di depanku. Ada yang aneh dengan tatapannya, bukan tatapan hangat seperti yang biasa kudapatkan darinya. Tapi jenis tatapan dingin yang terasa menusuk. Kurasakan hal yang janggal disini. Namun, bukannya memaki-maki aku, dia justru pergi begitu saja tanpa menghiraukan ibunya yang berteriak menyerukan namanya.

Tak berapa lama, seorang suster keluar dan menyuruhku masuk ke ruangan Nazwa.

"Maaf, apa ada yang namanya Kayla di sini?"

"Saya, Sus."

"Ny. Kaffi menyuruh Anda masuk." Aku hanya mengangguk kecil, lalu melangkah ke dalam ruangan Nazwa.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nor Moyz
Opening yang bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status