"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya."
(HR. Ahmad, 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)*********
"Seorang laki-laki tak akan disebut beriman. Jika dia tak pernah memperlakukan istrinya dengan baik. Harusnya, Mas, tahu hal itu."
"Cih! Tahu apa kamu tentang keimanan. Kamu sendiri bahkan tak pernah menunjukan bahwa dirimu adalah wanita muslimah. Lihat caramu berpakaian! Apa ini pantas, dipakai perempuan yang sudah menikah? rambut dibiarkan terbuka, dan lihat?" Laki-laki itu menatapku dengan pandangan mencemooh, dari ujung kepala ke ujung kaki. Sebelum kemudian dia melanjutkan ucapannya.
"kamu bahkan bisa dengan leluasa memamerkan lekuk tubuhmu di depan laki-laki lain. Apa kamu tak sadar? Auratmu, adalah jalan yang akan menyeretku ke neraka."
Kata-kata yang dilayangkan seseorang yang mereka sebut suami itu, sungguh menyakiti hatiku. Dia memang orang yang menyebutkan namaku dalam ijab kabul beberapa bulan yang lalu.
Sebenarnya impianku sederhana, menikah dengan orang yang kucintai dan mencintaiku. dimana di dalamnya akan dipenuhi kasih sayang dan juga rahmat-Nya.
Namun, sekali lagi, manusia hanya bisa berencana. Tapi tetap akhirnya Allah lah yang memiliki kehendak di atas segalanya
Aku sebagai hamba-Nya tak bisa berbuat apa-apa. Jika Takdir yang digariskan padaku harus seperti ini. Aku mencintai orang lain, tapi Allah mempertemukanku dengan orang yang sama sekali tak kusebut dalam doa.
Aku wanita biasa, pun menginginkan rumah tangga yang kubangun kelak bisa sakinah. Walau aku tahu, bahwa yang digariskan Allah untukku adalah yang terbaik.
Bukan! Aku bukannya menolak jodoh yang Rabbku berikan. Hanya saja, ada satu hal dalam diriku yang merasa bahwa aku bukan lah apa-apa jika dibandingkan dengan Mas Adit. Aku merasa rendah diri mengenai ilmu agamaku. Laki-laki itu terlalu baik, dan selalu menjunjung tinggi agama lebih dari apa pun. Sementara aku, haya seorang Kayla, wanita yang tak tahu banyak tentang agama. Belum lagi penampilanku yang sama sekali tak memperlihatkan jika aku adalah wanita muslimah. Seperti yang di ucapkannya, Aku bahkan tak memakai hijab besar seperti yang di kenakan Nazwa, istri pertamanya yang telah tiada.
Namun, aku sadar, seberapa keras aku mencoba menyangkal, tetap tak akan bisa merubah kenyataan. Bahwa sekarang, dia adalah suamiku.
Diusiaku yang menginjak dua puluh delapan tahun, aku harus dihadapkan pada takdir Allah yang begitu rumit. Hidupku berubah, Saat Nazwa, sahabat sekaligus orang yang kuanggap adik meninggal. Setelah melahirkan anak pertamanya.
Perempuan itu meninggalkan wasiat, bahwa perempuan yang harus menjadi istri dari Adit, dan ibu dari Jovan, anaknya, adalah aku. Sementara aku sendiri memiliki Dimas, kekasih sekaligus sahabatku.
Mau tak mau, aku menyetujui keinginan Nazwa. Tapi semuanya tak semudah yang kubayangkan, saat Adit yang begitu hangat, tiba-tiba berubah jadi sedingin es saat kami dipersatukan dalam ikatan takdir-Nya
Bahkan setelah acara ijab qobul, laki-laki itu justru mengeluarkan kata-kata yang membuat impianku tentang pernikahan sakinah, seakan hancur.
*****
Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit, tempat Nazwa di rawat. Kabar yang kudengar tadi pagi membuatku panik. dengan segera aku memutuskan untuk terbang ke indonesia. Kutinggalkan meeting penting perusahaan aku bekerja, di Kuala Lumpur. Hanya demi wanita yang sudah kuanggap adik. Rasa bersalah membuat aku membuang mimpi-mimpi ini. Tak ada yang lebih menyakitkan selain hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah. Aku takut tak akan memiliki kesempatan meminta maaf.
"Permisi, Sus! Ruangan atas Nama Ny. Kahffi ada di mana, ya?" Aku bertanya pada bagian resepsionis.
"Oh, sebentar," suster itu berkata, lalu mencari daftar nama yang tertera.
"Ny. Kaffi ada di ruang ICU, di sebelah sana!" Suster itu menunjuk sebuah lorong di sebelah kanan. Aku bergegas berlari untuk mencari. Dari jauh aku melihat punggung tegap seorang laki-laki tengah berdiri sambil menelungkupkan tangan ke tembok. Sementara seorang wanita mengenakan kerudung besar berwarna abu-abu sedang mencoba menguatkannya.
Aku berjalan dengan pelan menghampiri Laki-laki itu. Hingga membuat semua orang yang ada di sana terlihat kaget.
"Mas Adit." Laki-laki yang kupanggil menoleh dengan wajah yang terlihat kacau.
Iba rasanya melihat Mas Adit yang biasa rapi kini terlihat lebih kuyu. Tak ada lagi Adit yang rapih, bulu-bulu halus di sekitar dagunya bahkan dibiarkan memanjang. Belum lagi pakaiannya yang terlihat acak-acakan, dengan kantung mata terlihat menghitam. Menandakan sekali, jika laki-laki di depanku kurang tidur atau sekedar istirahat.
"Kay, kamu pulang?" Mas adit berkata dengan nada lirih.
"Bagaimana keadaan Nazwa, Mas?" Aku mengabaikan pertanyaannya.
"Nazwa keritis setelah melahirkan Jovan," ujarnya dengan nada penuh luka.
Aku tercekat, berita yang baru saja kudengar seolah menamparku cukup keras. Bagaimana tidak, baru tiga hari kemarin Nazwa menghubungiku, dan Kami sempat bertengkar karena satu hal. Aku bahkan belum menjelaskan yang terjadi dan meminta maaf padanya.
Tiba-tiba seorang suster keluar mengintrupsi pembicaraan kami.
"Maaf, Tuan Aditya?"
Mendengar namanya di sebut, Mas Adit buru-buru merangsak kedepan.
"Ya, Sus. Bagaimana keadaan istri saya? Apa dia baik-baik saja?" Mas Adit bertanya dengan nada khawatir, dan panik.
"Maaf, Ny. Kaffi ingin bicara dengan Anda," ujar suster.
Mas Adit hanya menjawab ucapan itu dengan anggukan samar. Setelahnya dia melangkah ke dalam ruang rawat.
Setelah Mas Adit masuk, kutatap beberapa orang yang ada di sana. Ada ayah dan ibu Nazwa yang terlihat sedih. Juga seorang perempuan yang kuketahui adalah ibu mertua Nazwa. Perempuan berpakaian syar'i itu menatapku penuh penilaian. Aku tentu sedikit tak nyaman karena tatapannya yang terkesan menghakimiku. Setelahnya dia tersenyum, dan kubalas dengan senyum sopan.
"Nak, kamu kapan sampai?" tanya ibu Nazwa mendekat. Kusunggingkan senyum ke arah wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri.
"Bu, Kay baru sampai hari ini," aku mmencium punggung tangan ibu Nazwa dan ayahnya.
"Kay langsung kesini setelah Gea memberi tahu keadaan Nazwa. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Nazwa, Bu?"
Perempuan berpenampilan sederhansa di depanku terlihat menaha tangisnya. Seakan membicarakan soal keadaan Nazwa adalah hal paling menyakitkan. Tak ayal, aku pun ikut merasakan kesedihannya.
"Nazwa ... sebenarnya sakit, Tap-"
Belum selesai ibu Halimah bicara, suara pintu ruangan ICU di buka terdengar. Mas Adit keluar dengan wajah yang terlihat memerah. Rahangnya terkatup rapat. Terlihat sekali dia tengah menahan marah. Mas Adit adalah laki-laki penyabar, aku bahkan belum pernah melihatnya begitu marah.
Dia berjalan dengan cepat dan berhenti di depanku. Ada yang aneh dengan tatapannya, bukan tatapan hangat seperti yang biasa kudapatkan darinya. Tapi jenis tatapan dingin yang terasa menusuk. Kurasakan hal yang janggal disini. Namun, bukannya memaki-maki aku, dia justru pergi begitu saja tanpa menghiraukan ibunya yang berteriak menyerukan namanya.
Tak berapa lama, seorang suster keluar dan menyuruhku masuk ke ruangan Nazwa.
"Maaf, apa ada yang namanya Kayla di sini?"
"Saya, Sus."
"Ny. Kaffi menyuruh Anda masuk." Aku hanya mengangguk kecil, lalu melangkah ke dalam ruangan Nazwa.
Menikahlah bukan hanya karena cinta. Tapi karena kamu yakin, bersamanya surga menjadi lebih dekat.**********Kutatap bayangan diriku di dalam cermin. Sosok yang terlihat di sana begitu berbeda dengan aku yang biasanya. Kebaya putih yang membalut tubuh ini dengan pas, dan makup tipis yang kugunakan, tak mampu menyamarkan kegetiran dalam senyum itu. Mungkin bagi semua wanita, hari pernikahan adalah hari paling sakral dan membahagiakan. Tapi berbeda denganku, yang kurasakan sekarang justru rasa hampa yang teramat sangat.Tak ada pesta mewah seperti yang kalian bayangkan, tak ada suara suka cita dari semua tamu yang datang. Karena pernikahan ini hanya dihadiri beberapa keluarga dekat. Hanya ada ayahku, orang tua Mas Adit, orang tua Nazwa, dan saksi.Entah pernikahan seperti apa yang akan kulalui nanti. Sementara kata cinta bahkan
“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu, dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (Al-A'raf: 189)**********Setelah acara ijab, kami bergegas ke rumah Mas Adit. Dan di sinilah aku berada, duduk termenung sambil mengamati kamar yang didominasi warna abu-abu. Dengan ranjang mewah berukuran king size. Ada banyak foto Nazwa di kamar ini.Aku melangkah menghampiri satu foto Mas Adit yang terletak di atas nakas. Di dalam foto terlihat Laki-laki itu sedang mencium kening Nazwa. Aku tersenyum miris, mengingat di tempat ini dulu, Nazwa menghabiskan waktunya.Dan jangan tanyakan tentang Mas Adit, karena laki-laki itu sama sekali tak mau menatapku setelah acara ijab qobul. Dia bahkan masih sibuk mengurus pekerjaannya di hari pernikahan kami.Sadar diri akan p
Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Adil, menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan. Karena Ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya juga butuh kelembutan dan kesabaran. Agar ia tidak patah.***********Sesungguhnya, takdir setiap manusia telah tertulis jauh sebelum kita dilahirkan. Termasuk masalah jodoh.Kita tak bisa memilih dengan siapa kita akan menjatuhkan pilihan hidup.Satu hal yang pasti dalam hidup ini, aku ingin jatuh cinta dan menikah hanya sekali. Tapi harapan itu tak lagi berguna, saat Allah memberiku badai bernama: Cobaan.Allah mengambil Nazwa dari sisiku, dan mendatangkan Kayla di tengah-tengah kami. Kayla, seorang wanita yang dulu pernah membuatku terpesona. Ketika pertama kali aku melihat mata coklatnya Yang memancarkan keberanian.Aku pikir se
Bagian paling menyakitkan dari sebuah pertemuan, adalah perpisahan.********Pernah kah kalian berpikir Allah begitu tak adil? Aku pernah, bahkan sekarang aku sedang merasakan hal itu. Aku tahu ini salah, mengingkari takdir yang telah digariskan adalah dosa. Aku hanya manusia biasa, dan rasa putus asa ini yang membuatku berpikir keliru. Maafkan aku ya Raab.Rasanya baru kemaren kami mengikat janji suci. Tapi dalam hitungan menit, Allah telah membuat kami dalam keadaan seperti ini.Belum lagi memikirkan Anakku harus hidup tanpa Ibu, rasanya berat. Apa aku bisa menjaganya?Suatu saat, akan ada hari dimana dia menginginkan memiliki ibu bukan? Lalu, apa yang harus kujelaskan?Saat pikiranku dipenuhi firasat buruk, dan khawati tentang keadaan Nazwa yang sedang kritis. Suara familiar yang menjadi pemicu pertengkaran kami terdengar. Aku tah
Sudah satu bulan aku menyandang setatus baru sebagai Nyonya Kaffi. Tapi hubunganku dan Mas Adit seakan tanpa setatus. Laki-laki itu selalu bicara seperlunya padaku. Itu pun mengenai Jovan. Hanya saat hari libur Adit ada di rumah. Selebihnya sering dihabiskan di kantor.Pagi ini seperti biasa, sebelum Mas Adit bangun dan keluar dari ruang kerja, aku lebih dulu menyiapkan keperluannya, lalu ke kamar Jovan untuk mengecek keadaannya.Hari ini aku ingin mencoba menyiapkan sarapan, karena Bi Inah sudah kembali ke kediaman Umi. Wanita itu sengaja dikirim ke rumah ini agar bisa membantu Nazwa saat dia hamil.Aku memutuskan akan membuat Nasi goreng ala kadarnya. Jujur, ini pertama kalinya aku mencoba memasak sendiri. Selama ini aku hanya mebantu Bi Inah sebisaku. Jadi, apa yang harus kusiapkan lebih dulu, aku pun tak mengerti. Akhirnya aku memilih mengeluarkan semua yang ada di kulkas.Dalam kebingungan, sebuah suara b
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(Al-Ahzab:59)***************Aku mematut diri di depan cermin. Kutatap wajah yang kini telah berbalut hijab berwarna pech itu. Ada rasa berdebar saat aku mengenakannya. Wanita di depan sana lebih cantik dari yang biasa aku lihat. Lebih terasa terlindungi dan terasa aman. Tapi disatu sisi, aku belum merasa pantas, sementara akhlakku saja masih jauh dari kata sempurna.Tiba-tiba suara panggilan terdengar. Mas Adit menyuruhku untuk cepat turun."Kay, Cepat! Umi sudah lama menunggu!""Ya, sebentar!" jawabku tergesa.
Sabar memang tak ada batas.Tapi perlu diingat, bahwa manusia juga punya titik lelah dan titik jenuh. Dimana sabar tak bisa lagi mengambil alih.************Sore ini rumah terasa begitu sepi. Hanya ada aku dan Jovan, karena tadi pagi Yani ijin pulang ke Bogor, menengok ibunya yang sakit. Aku memilih di rumah saja untuk menjaga Jovan. Anakku sedang terlelap sekarang. Dia terlihat nyaman berada di dekapanku. Tidurnya bahkan tak terusik sama sekali.Dering phonsel terdengar beberapa saat kemudian, aku yang nyaris tertidur terpaksa bangkit walau enggan. Tertera nama Delilah di layar. Aku tersenyum lebar dan buru-buru mengangkatnya."Asalamualaikum, De.""Waalaikumsalam, Kayla! Bagaimane kabar? Kenapa kau tak balik-balik lagi ke sini?" Suara Delilah ter
Bersikaplah sebagai laki-laki sejati. Jaga apa yang sudah Allah amanahkan padamu, sebelum kamu menyesal saat dia pergi. Dan berusahalah menerimanya jadi bagian hidupmu. Jika dia tak sesempurna yang kamu mau, maka tugasmu adalah meluruskan. Bukan menghakimi. Perlu kamu ingat, Allah selalu punya alasan terbaik dari setiap takdir-Nya.**********Dua bulan sudah kami menikah. Tapi aku masih bertahan dengan sikap tak acuh. Bahkan aku jarang sekali berbicara pada Kayla, jika bukan karena masalah Jovan.Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mengabaikannya hanya karena rasa bersalah. Tapi aku benar-benar tak bisa berada di dekat Kayla terlalu lama. Karena setiap kali melihat wajah itu, yang terbayang dalam ingatanku adalah tangisan Nazwa. Aku bahkan selalu menghabiskan watu di dalam ruang kerja hingga akhirnya tertidur di sana.