“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu, dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (Al-A'raf: 189)
**********
Setelah acara ijab, kami bergegas ke rumah Mas Adit. Dan di sinilah aku berada, duduk termenung sambil mengamati kamar yang didominasi warna abu-abu. Dengan ranjang mewah berukuran king size. Ada banyak foto Nazwa di kamar ini.
Aku melangkah menghampiri satu foto Mas Adit yang terletak di atas nakas. Di dalam foto terlihat Laki-laki itu sedang mencium kening Nazwa. Aku tersenyum miris, mengingat di tempat ini dulu, Nazwa menghabiskan waktunya.
Dan jangan tanyakan tentang Mas Adit, karena laki-laki itu sama sekali tak mau menatapku setelah acara ijab qobul. Dia bahkan masih sibuk mengurus pekerjaannya di hari pernikahan kami.
Sadar diri akan posisiku yang hanya istri pengganti, aku tak akan menuntut hak dari Mas Adit. Tujuanku mau menikah dengan laki-laki itu hanya demi Jovan. Aku memutuskan duduk di depan meja rias. Bermaksud membersihkan sisa-sisa makup di wajahku.
Tak berapa lama, pintu kamar terbuka. Mas Adit berdiri tepat di belakangku dengan tatapan penuh intimidasi. Sementara aku masih terdiam dan menatap wajah angkuhnya dari balik cermin.
"Jangan berharap apa-apa dari pernikahan ini. Karena sampai kapan pun, kamu hanya seorang istri dan ibu pengganti. Jangan berharap pula aku akan mencintaimu sama seperti aku mencintai Nazwa. Karena kalian berdua terlalu bertolak belakang," ujarnya tanpa basa-basi. Nada suaranya begitu dingin. Seolah mampu membuat siapa pun yang mendengar jadi terintimidasi.
Aku menyunggingkan senyum kecut, lalu bangkit. Ku beranikan diri memutar tubuh menghadapnya.
"Mas tak usah khawatir, aku tahu posisiku di sini. Aku tak akan pernah berharap apa-apa, karena memang aku menikah dengan, Mas, demi Jovan," tegas ku
Walau rasanya sakit karena merasa tak diinginkan, aku tak akan pernah menangis di depan laki-laki ini. Laki-laki di depanku harus tahu, bahwa aku, tak mudah diintimidasi.
"Baguslah kalau begitu. Selama kamu melakukan tugasmu dengan baik. Sebagai istri dan juga ibu untuk Jovan, maka aku juga akan berusaha menjadi suami yang baik," ada jeda sejenak sebelum laki-laki berpenampilan rapi itu melanjutkan ucapannya.
"tapi satu hal yang harus kamu tahu, jangan pernah libatkan perasaan dalam pernikahan ini, kalau kamu tak ingin terluka. Aku tak bisa menjanjikan apapun untukmu." Setelah mengutarakan ketegasan itu, Mas Adit pergi. Meninggalkan aku yang hanya bisa menatap kosong punggung tegapnya.
Aku menitikan air mata tanpa sadar, sakit yang aku rasakan bukan karena penolakan Adit. Tapi karena semua impianku tentang pernikahan sakinah telah hancur berkeping-keping.
Sebagai wanita yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu, apa salah? jika aku bermimpi tentang sebuah keluarga utuh yang kelak bisa kuberikan pada anak-anakku.
Kuseka air mata sialan ini, kemudian bergegas membersihkan diri, dan berganti baju. Kaos oblong berwarna merah dan celana jeans berwarna biru jadi pilihanku. Meski sebenarnya aku terbiasa hanya mengenakan hot pants jika di rumah. Tapi berhubung mertuaku masih di sini, rasanya tak sopan saja.
Sebelum itu aku menggulung rambut tinggi-tinggi, dan keluar dari kamar untuk membantu Bi Inah memasak. Sementara ayah dan adik angkatku, langsung pulang ke jawa, diantarkan sopir keluarga Kaffi.
"Kamu kenapa keluar, Kay? Istirahat saja dulu. Pasti kamu lelah," ujar ayah mertuaku tiba-tiba.
Aku berhenti dan menghampirinya. "Kay mau bantuin Bi Inah menyiapkan makan siang,"
Di sampingnya, ibu mertuaku hanya mengarahkan tatapan yang tak dapat ku artikan. Dia terkesan tak menyukai aku jadi menantunya. Atau bisa jadi dia masih belum menerima kematian Nazwa. Aku tak ingin berburuk sangka sebenarnya. Tapi sikap tak acuhnya padaku seakan menegaskan segalanya.
"Ya, biarikan saja, Bi, namanya juga tugas istri, ya, melayani suami." Ibu mertuaku bicara dengan nada agak sinis. Meski begitu, aku tetap berusaha menghormatinya dengan tersenyum.
"Jangan sinis begitu, Mi! Biar bagaimanapun Kayla sekarang menantu kita." Ayah mertuaku menasehati.
"Nggak apa-apa, Bi. Kayla mengerti kok. Ya sudah Abi, Umi, Kay mau bantu Bi Inah dulu," pamitku.
"Lihat, Bi. Dia bahkan berbeda sekali dengan Nazwa. Cara berpakaiannya saja seperti itu, harusnya dia sadar, siapa suaminya sekarang." umi berkata dengan intonasi cukup keras, seolah memastikan agar aku bisa mendengar kata-katanya.
Aku menarik napas dalam. Mungkin hari-hari yang kulalui selanjutnya akan lebih berat dari ini. Jadi, bersabarlah mulai sekarang, Kayla!
Di dapur aku melihat Bi Inah sedang memotong sayuran dan juga ayam. Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum sopan kepadaku. Jujur saja, aku sama sekali tak bisa memasak. Paling banter aku bisa menggoreng telur atau memasak mie instan. Selama di Malaysia aku lebih sering delivery order. Karena jadwal pekerjaan yang padat, dan sering lembur sampai malam. Jadilah dapur di apartemen yang kusewa, jarang di gunakan. Apa kata ibu mertuaku jika dia tahu semua ini.
******
Ku gerakan tubuh, dan melihat jam di phoncel yang menunjuk pukul tiga pagi. Aku memutuskan bergegas bangkit. Untuk menengok Jovan yang berada di kamar bersama baby siternya.
Aku berjalan keluar, dan melewati ruang kerja Mas Adit. Dihantui rasa penasaran aku memutuskan membuka pintu ruangan. Aku memindai seluruh sudut ruang kerja yang di dominasi warna putih dan abu-abu. Aku menangkap sosok Mas Adit tidur di sofa panjang berwarna putih.
Apa semalaman laki-laki itu tidur di sini? Aku memutuskan kembali kekamar untuk mengambil slimut dan bantal. Jika tidur dalam posisi itu, saat dia bangun tubuhnya pasti akan sakit. Dan aku hanya berpikir sebagai istri, mana bisa aku membiarkannya. Terlepas dari sikapnya yang menyebalkan. Dia tetaplah suamiku.
Setelah kupastikan laki-laki itu tak terjaga, aku bergegas pergi untuk menengok Jovan.
Bayi mungil itu sepertinya terbangun mendengar aku datang."Hai, Sayang. Kamu bangun? Kamu tahu Bunda, datang?" Aku bicara sendiri.
Kulihat Yani, Baby siter Jovan tertidur di ranjang. Pasti dia kelelahan menjaga Jovan semalaman. Kuputuskan saja tak membangunkannya.
Setelah itu aku membuatkan susu untuk anakku.
"Kamu lapar, Sayang?" Aku bicara pada bayi itu, kemudian meraih dia dalam gendongan. Sambil memberinya susu, ku dendangkan shalawat, seperti yang sering ayah lakukan saat aku kecil.Jovan terlihat menguap, kutatap wajah mungil itu. Allah telah menitipkan bayi ini padaku. Bisakah aku menjaga dia seperti anaku? Tiba-tiba bayi itu tersenyum. Serta merta, adaku bergemuruh, perasaan haru ini tiba-tiba membuatku ingin menangis.
"Apakah itu artinya kamu menerima aku menjadi bundamu, Sayang?" Aku mendekapnya kedadaku. Merasakan detak jantungnya, bayi itu bahkan menggerak-gerakan kepalanya berusaha mencari kehangatan.
Di usiaku yang menginjak dua puluh delapan tahun. Aku sama sekali tak pernah merasakan perasaan seperti ini. Ada berjuta rasa yang tak dapat kugambarkan. Untuk pertama kalinya aku menyadari, aku memiliki Jovan, anakku, Ya... anakku.
Bayi ini telah ditinggalkan ibu kandungnya pergi, sama seperti yang aku alami. aku berjanji pada diriku sendiri akan berusaha memberikan semua kasih sayang , agar dia meras memiliki ibu. Agar dia tak pernah merasa sedih.
Aku menyeka airmata yang jatuh, ketika suster Yani terbangun, dan menatapku tak enak hati.
"Maaf, Bu, saya tertidur."
Aku tersenyum ke arahnya. "Ya, tidak apa-apa, tidur lagi saja. Pasti kamu lelah, Sus. Saya juga mau ikut shalat di sini," ujar ku sambil meletakan Jovan keranjangnya.
"Ya, Bu. Terimakasih."
Aku menjawab terima kasihnya hanya dengan anggukan kecil.
Saat aku kembali ke kamar, Mas Adit baru selesai mandi. Wajahku rasanya memanas saat melihat laki-laki itu bertelanjang dada, dan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Hosssh, kenapa kami terjebak dalam situasi canggung ini. Mas Adit hanya menatapku sekilas, bahkan seperti tanpa minat. Lalu begegas mengambil banju kerjanya di lemari. Sepagi ini dia sudah mau berangkat kerja?
Aku mendekat, berniat membantunya menyiapkan baju ganti.
"Biar, aku yang mencari, " kataku menawarkan, Mas Adit diam sejenak sebelum mengangguk, kemudian bergeser memberiku jalan untuk mencarikannya baju.Aku memilih mengambil kemeja merah marun dengan dasi berwarna abu-abu dengan celans bahan berwarna hitam. Ku serahkan baju-baju itu padanya.
"Terimakasih," ujar Mas adit datar. Aku hanya menjawab dengan anggukan.
Aku bersip pergi dari sana demi menghindari kecanggungan. Tapi baru satu langkah kakiku tak sengaja tersandung kursi kecil yang terdapat di pinggir meja rias. Nyaris saja aku terjatuh dengan dramatis, jika saja sebuah lengan kokoh tak melingkar di pinggangku. Untuk sejenak, hanya keheningan yang terjadi di antara kami. Manik berwarna hitam itu memancarkan sorot yang tak dapat ku artikan. Ya Allah, cobaan macam apa ini. Seumur hidup, ini pertama kalinya aku melihat seorang laki-laki bertelanjang dada di depanku.
Menyadari posisi kami terlalu berbahaya, aku buru-buru melepaskan diri, dan mendorongnya menjauh. Kami semakin terjebak dalam situasi canggung. Apa kabar wajahku yang sekarang terasa memanas. Ini benar-benar memalukan. Lagi pula sejak kapan ada kursi teronggok di sini sih! Makiku dalam hati.
******
Selamat malam pembaca. Yeeeay updet lagi dong. Jangan lupa tinggalkan jejaaak dengan coman, vote or shar. Biar semangat up. Lope lope kalian.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Adil, menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan. Karena Ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya juga butuh kelembutan dan kesabaran. Agar ia tidak patah.***********Sesungguhnya, takdir setiap manusia telah tertulis jauh sebelum kita dilahirkan. Termasuk masalah jodoh.Kita tak bisa memilih dengan siapa kita akan menjatuhkan pilihan hidup.Satu hal yang pasti dalam hidup ini, aku ingin jatuh cinta dan menikah hanya sekali. Tapi harapan itu tak lagi berguna, saat Allah memberiku badai bernama: Cobaan.Allah mengambil Nazwa dari sisiku, dan mendatangkan Kayla di tengah-tengah kami. Kayla, seorang wanita yang dulu pernah membuatku terpesona. Ketika pertama kali aku melihat mata coklatnya Yang memancarkan keberanian.Aku pikir se
Bagian paling menyakitkan dari sebuah pertemuan, adalah perpisahan.********Pernah kah kalian berpikir Allah begitu tak adil? Aku pernah, bahkan sekarang aku sedang merasakan hal itu. Aku tahu ini salah, mengingkari takdir yang telah digariskan adalah dosa. Aku hanya manusia biasa, dan rasa putus asa ini yang membuatku berpikir keliru. Maafkan aku ya Raab.Rasanya baru kemaren kami mengikat janji suci. Tapi dalam hitungan menit, Allah telah membuat kami dalam keadaan seperti ini.Belum lagi memikirkan Anakku harus hidup tanpa Ibu, rasanya berat. Apa aku bisa menjaganya?Suatu saat, akan ada hari dimana dia menginginkan memiliki ibu bukan? Lalu, apa yang harus kujelaskan?Saat pikiranku dipenuhi firasat buruk, dan khawati tentang keadaan Nazwa yang sedang kritis. Suara familiar yang menjadi pemicu pertengkaran kami terdengar. Aku tah
Sudah satu bulan aku menyandang setatus baru sebagai Nyonya Kaffi. Tapi hubunganku dan Mas Adit seakan tanpa setatus. Laki-laki itu selalu bicara seperlunya padaku. Itu pun mengenai Jovan. Hanya saat hari libur Adit ada di rumah. Selebihnya sering dihabiskan di kantor.Pagi ini seperti biasa, sebelum Mas Adit bangun dan keluar dari ruang kerja, aku lebih dulu menyiapkan keperluannya, lalu ke kamar Jovan untuk mengecek keadaannya.Hari ini aku ingin mencoba menyiapkan sarapan, karena Bi Inah sudah kembali ke kediaman Umi. Wanita itu sengaja dikirim ke rumah ini agar bisa membantu Nazwa saat dia hamil.Aku memutuskan akan membuat Nasi goreng ala kadarnya. Jujur, ini pertama kalinya aku mencoba memasak sendiri. Selama ini aku hanya mebantu Bi Inah sebisaku. Jadi, apa yang harus kusiapkan lebih dulu, aku pun tak mengerti. Akhirnya aku memilih mengeluarkan semua yang ada di kulkas.Dalam kebingungan, sebuah suara b
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(Al-Ahzab:59)***************Aku mematut diri di depan cermin. Kutatap wajah yang kini telah berbalut hijab berwarna pech itu. Ada rasa berdebar saat aku mengenakannya. Wanita di depan sana lebih cantik dari yang biasa aku lihat. Lebih terasa terlindungi dan terasa aman. Tapi disatu sisi, aku belum merasa pantas, sementara akhlakku saja masih jauh dari kata sempurna.Tiba-tiba suara panggilan terdengar. Mas Adit menyuruhku untuk cepat turun."Kay, Cepat! Umi sudah lama menunggu!""Ya, sebentar!" jawabku tergesa.
Sabar memang tak ada batas.Tapi perlu diingat, bahwa manusia juga punya titik lelah dan titik jenuh. Dimana sabar tak bisa lagi mengambil alih.************Sore ini rumah terasa begitu sepi. Hanya ada aku dan Jovan, karena tadi pagi Yani ijin pulang ke Bogor, menengok ibunya yang sakit. Aku memilih di rumah saja untuk menjaga Jovan. Anakku sedang terlelap sekarang. Dia terlihat nyaman berada di dekapanku. Tidurnya bahkan tak terusik sama sekali.Dering phonsel terdengar beberapa saat kemudian, aku yang nyaris tertidur terpaksa bangkit walau enggan. Tertera nama Delilah di layar. Aku tersenyum lebar dan buru-buru mengangkatnya."Asalamualaikum, De.""Waalaikumsalam, Kayla! Bagaimane kabar? Kenapa kau tak balik-balik lagi ke sini?" Suara Delilah ter
Bersikaplah sebagai laki-laki sejati. Jaga apa yang sudah Allah amanahkan padamu, sebelum kamu menyesal saat dia pergi. Dan berusahalah menerimanya jadi bagian hidupmu. Jika dia tak sesempurna yang kamu mau, maka tugasmu adalah meluruskan. Bukan menghakimi. Perlu kamu ingat, Allah selalu punya alasan terbaik dari setiap takdir-Nya.**********Dua bulan sudah kami menikah. Tapi aku masih bertahan dengan sikap tak acuh. Bahkan aku jarang sekali berbicara pada Kayla, jika bukan karena masalah Jovan.Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mengabaikannya hanya karena rasa bersalah. Tapi aku benar-benar tak bisa berada di dekat Kayla terlalu lama. Karena setiap kali melihat wajah itu, yang terbayang dalam ingatanku adalah tangisan Nazwa. Aku bahkan selalu menghabiskan watu di dalam ruang kerja hingga akhirnya tertidur di sana.
Rumah tangga yang kujalani terasa lebih indah setelah hari itu. Dan semuanya berjalan seperti seharusnya. Mas Adit berubah jadi lebih hangat. Dia bersikap sebagai suami yang baik, seperti janjinya.Rasanya tak ada yang lebih indah selain pemandangan ini setiap pagi. Aku melihat dua jagoanku tertidur dengan posisi yang sangat lucu. Jovan dengan kakinya yang menendang wajah Mas Adit. Dan Suamiku malah terlihat tak terganggu dengan tidur Jovan. Ah, bahagianya sudah bisa menyebut dia suami. Rasanya kata sakinah yang dulu aku impikan kini telah terwujud.Dan ngomong-ngoming soal Jovan, aku dan Mas Adit memutuskan Jovan tidur bersama kami. Kalian jangan berpikir macam-macam. Karena hubunganku dan Mas Adit belum sampai tahap 'itu'. Entahlah, baik aku atau dia masih sama-sama gamang dengan perasaan ini. Jadi biar kami jalani apa adanya dulu.Tiba-tiba Jovan menggerak-gerakan tubuhnya. Oh, bayiku sekarang sudah menginjak usia
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Hari ini aku dan Mas Adit akan berlibur ke tempat Ayah, di daerah Jawa Tengah.Setelah sekitar enam jam perjalanan, dikarenakan Mas Adit tak bersedia menggunakan pesawat, dengan alasan agar bisa menikmati waktu berdua. Akhirnya kami sampai di depan rumah Ayah. Kulihat Ayah dan dua adikku sudah menanti kedatangan kami."Asalamualsikum," sapa ku dan Mas Adit bersamaan. Lalu aku memeluk Ayah.Aku sungguh merindukan laki-laki yang membesarkan diriku sepenuh hati ini. Ku tatap Ayah yang terlihat lebih kurus. Tak terasa air mata menetes kala mengingat beberapa tahun terakhir aku tak mengurusnya."Maafkan Kayla, lama nggak jenguk Ayah.""Ck, kamu ini sudah menikah, masih saja cengeng. Ayah tahu kalian sibuk." Ayah memaklumi."Maafkan Adit juga, Yah, baru sempat datang," ujar Mas Adit sambil menyalami Ayah, dan mencium punggung tangannya.