Share

3. Pupusnya Sebuah Harapan

Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu, dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (Al-A'raf: 189)

**********

Setelah acara ijab, kami bergegas ke rumah Mas Adit. Dan di sinilah aku berada, duduk termenung sambil mengamati kamar yang didominasi warna abu-abu. Dengan ranjang mewah berukuran king size. Ada banyak foto Nazwa di kamar ini.

Aku melangkah menghampiri satu foto Mas Adit yang terletak di atas nakas. Di dalam foto terlihat Laki-laki itu sedang mencium kening Nazwa. Aku tersenyum miris, mengingat di tempat ini dulu, Nazwa menghabiskan waktunya.

Dan jangan tanyakan tentang Mas Adit, karena laki-laki itu sama sekali tak mau menatapku setelah acara ijab qobul. Dia bahkan masih sibuk mengurus pekerjaannya di hari pernikahan kami.

Sadar diri akan posisiku yang hanya istri pengganti, aku tak akan menuntut hak dari Mas Adit. Tujuanku mau menikah dengan laki-laki itu hanya demi Jovan. Aku memutuskan duduk di depan meja rias. Bermaksud membersihkan sisa-sisa makup di wajahku.

Tak berapa lama, pintu kamar terbuka. Mas Adit berdiri tepat di belakangku dengan tatapan penuh intimidasi. Sementara aku masih terdiam dan menatap wajah angkuhnya dari balik cermin.

"Jangan berharap apa-apa dari pernikahan ini. Karena sampai kapan pun, kamu hanya seorang istri dan ibu pengganti. Jangan berharap pula aku akan mencintaimu sama seperti aku mencintai Nazwa. Karena kalian berdua terlalu bertolak belakang," ujarnya tanpa basa-basi. Nada suaranya begitu dingin. Seolah mampu membuat siapa pun yang mendengar jadi terintimidasi.

Aku menyunggingkan senyum kecut, lalu bangkit. Ku beranikan diri memutar tubuh menghadapnya.

"Mas tak usah khawatir, aku tahu posisiku di sini. Aku tak akan pernah berharap apa-apa, karena memang aku menikah dengan, Mas, demi Jovan," tegas ku

Walau rasanya sakit karena merasa tak diinginkan, aku tak akan pernah menangis di depan laki-laki ini. Laki-laki di depanku harus tahu, bahwa aku, tak mudah diintimidasi.

"Baguslah kalau begitu. Selama kamu melakukan tugasmu dengan baik. Sebagai istri dan juga ibu untuk Jovan, maka aku juga akan berusaha menjadi suami yang baik," ada jeda sejenak sebelum laki-laki berpenampilan rapi itu melanjutkan ucapannya.

"tapi satu hal yang harus kamu tahu, jangan pernah libatkan perasaan dalam pernikahan ini, kalau kamu tak ingin terluka. Aku tak bisa menjanjikan apapun untukmu." Setelah mengutarakan ketegasan itu, Mas Adit pergi. Meninggalkan aku yang hanya bisa menatap kosong punggung tegapnya.

Aku menitikan air mata tanpa sadar, sakit yang aku rasakan bukan karena penolakan Adit. Tapi karena semua impianku tentang pernikahan sakinah telah hancur berkeping-keping.

Sebagai wanita yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu, apa salah? jika aku bermimpi tentang sebuah keluarga utuh yang kelak bisa kuberikan pada anak-anakku.

Kuseka air mata sialan ini, kemudian bergegas membersihkan diri, dan berganti baju. Kaos oblong berwarna merah dan celana jeans berwarna biru jadi pilihanku. Meski sebenarnya aku terbiasa hanya mengenakan hot pants jika di rumah. Tapi berhubung mertuaku masih di sini, rasanya tak sopan saja.

Sebelum itu aku menggulung rambut tinggi-tinggi, dan keluar dari kamar untuk membantu Bi Inah memasak. Sementara ayah dan adik angkatku, langsung pulang ke jawa, diantarkan sopir keluarga Kaffi.

"Kamu kenapa keluar, Kay? Istirahat saja dulu. Pasti kamu lelah," ujar ayah mertuaku tiba-tiba.

Aku berhenti dan menghampirinya. "Kay mau bantuin Bi Inah menyiapkan makan siang,"

Di sampingnya, ibu mertuaku hanya mengarahkan tatapan yang tak dapat ku artikan. Dia terkesan tak menyukai aku jadi menantunya. Atau bisa jadi dia masih belum menerima kematian Nazwa. Aku tak ingin berburuk sangka sebenarnya. Tapi sikap tak acuhnya padaku seakan menegaskan segalanya.

"Ya, biarikan saja, Bi, namanya juga tugas istri, ya, melayani suami." Ibu mertuaku bicara dengan nada agak sinis. Meski begitu, aku tetap berusaha menghormatinya dengan tersenyum.

"Jangan sinis begitu, Mi! Biar bagaimanapun Kayla sekarang menantu kita." Ayah mertuaku menasehati.

"Nggak apa-apa, Bi. Kayla mengerti kok. Ya sudah Abi, Umi, Kay mau bantu Bi Inah dulu," pamitku.

"Lihat, Bi. Dia bahkan berbeda sekali dengan Nazwa. Cara berpakaiannya saja seperti itu, harusnya dia sadar, siapa suaminya sekarang." umi berkata dengan intonasi cukup keras, seolah memastikan agar aku bisa mendengar kata-katanya.

Aku menarik napas dalam. Mungkin hari-hari yang kulalui selanjutnya akan lebih berat dari ini. Jadi, bersabarlah mulai sekarang, Kayla!

Di dapur aku melihat Bi Inah sedang memotong sayuran dan juga ayam. Perempuan paruh baya itu hanya tersenyum sopan kepadaku. Jujur saja, aku sama sekali tak bisa memasak. Paling banter aku bisa menggoreng telur atau memasak mie instan. Selama di Malaysia aku lebih sering delivery order. Karena jadwal pekerjaan yang padat, dan sering lembur sampai malam. Jadilah dapur di apartemen yang kusewa, jarang di gunakan. Apa kata ibu mertuaku jika dia tahu semua ini.

******

Pagi ini aku bangun dengan keadaan yang lebih baik. Kulirik tempat tidur di sebelahku, yang memperlihatkan tanda jika Mas Adit semalam tak tidur di kamar utama. Ah ... apa yang ku harapkan darinya? Jangan harap laki-laki itu mau tidur satu ranjang bersamamu Kay! Melihatmu saja dia enggan.

Ku gerakan tubuh, dan melihat jam di phoncel yang menunjuk pukul tiga pagi. Aku memutuskan bergegas bangkit. Untuk menengok Jovan yang berada di kamar bersama baby siternya.

Aku berjalan keluar, dan melewati ruang kerja Mas Adit. Dihantui rasa penasaran aku memutuskan membuka pintu ruangan. Aku memindai seluruh sudut ruang kerja yang di dominasi warna putih dan abu-abu. Aku menangkap sosok Mas Adit tidur di sofa panjang berwarna putih.

Apa semalaman laki-laki itu tidur di sini? Aku memutuskan kembali kekamar untuk mengambil slimut dan bantal. Jika tidur dalam posisi itu, saat dia bangun tubuhnya pasti akan sakit. Dan aku hanya berpikir sebagai istri, mana bisa aku membiarkannya. Terlepas dari sikapnya yang menyebalkan. Dia tetaplah suamiku.

Setelah kupastikan laki-laki itu tak terjaga, aku bergegas pergi untuk menengok Jovan.

Bayi mungil itu sepertinya terbangun mendengar aku datang.

"Hai, Sayang. Kamu bangun? Kamu tahu Bunda, datang?" Aku bicara sendiri.

Kulihat Yani, Baby siter Jovan tertidur di ranjang. Pasti dia kelelahan menjaga Jovan semalaman. Kuputuskan saja tak membangunkannya.

Setelah itu aku membuatkan susu untuk anakku.

"Kamu lapar, Sayang?" Aku bicara pada bayi itu, kemudian meraih dia dalam gendongan. Sambil memberinya susu, ku dendangkan shalawat, seperti yang sering ayah lakukan saat aku kecil.

Jovan terlihat menguap, kutatap wajah mungil itu. Allah telah menitipkan bayi ini padaku. Bisakah aku menjaga dia seperti anaku? Tiba-tiba bayi itu tersenyum. Serta merta, adaku bergemuruh, perasaan haru ini tiba-tiba membuatku ingin menangis.

"Apakah itu artinya kamu menerima aku menjadi bundamu, Sayang?" Aku mendekapnya kedadaku. Merasakan detak jantungnya, bayi itu bahkan menggerak-gerakan kepalanya berusaha mencari kehangatan.

Di usiaku yang menginjak dua puluh delapan tahun. Aku sama sekali tak pernah merasakan perasaan seperti ini. Ada berjuta rasa yang tak dapat kugambarkan. Untuk pertama kalinya aku menyadari, aku memiliki Jovan, anakku, Ya... anakku.

Bayi ini telah ditinggalkan ibu kandungnya pergi, sama seperti yang aku alami. aku berjanji pada diriku sendiri akan berusaha memberikan semua kasih sayang , agar dia meras memiliki ibu. Agar dia tak pernah merasa sedih.

Aku menyeka airmata yang jatuh, ketika suster Yani terbangun, dan menatapku tak enak hati.

"Maaf, Bu, saya tertidur."

Aku tersenyum ke arahnya. "Ya, tidak apa-apa, tidur lagi saja. Pasti kamu lelah, Sus. Saya juga mau ikut shalat di sini," ujar ku sambil meletakan Jovan keranjangnya.

"Ya, Bu. Terimakasih."

Aku menjawab terima kasihnya hanya dengan anggukan kecil.

Saat aku kembali ke kamar, Mas Adit baru selesai mandi. Wajahku rasanya memanas saat melihat laki-laki itu bertelanjang dada, dan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Hosssh, kenapa kami terjebak dalam situasi canggung ini. Mas Adit hanya menatapku sekilas, bahkan seperti tanpa minat. Lalu begegas mengambil banju kerjanya di lemari. Sepagi ini dia sudah mau berangkat kerja?

Aku mendekat, berniat membantunya menyiapkan baju ganti.

"Biar, aku yang mencari, " kataku menawarkan, Mas Adit diam sejenak sebelum mengangguk, kemudian bergeser memberiku jalan untuk mencarikannya baju.

Aku memilih mengambil kemeja merah marun dengan dasi berwarna abu-abu dengan celans bahan berwarna hitam. Ku serahkan baju-baju itu padanya.

"Terimakasih," ujar Mas adit datar. Aku hanya menjawab dengan anggukan.

Aku bersip pergi dari sana demi menghindari kecanggungan. Tapi baru satu langkah kakiku tak sengaja tersandung kursi kecil yang terdapat di pinggir meja rias. Nyaris saja aku terjatuh dengan dramatis, jika saja sebuah lengan kokoh tak melingkar di pinggangku. Untuk sejenak, hanya keheningan yang terjadi di antara kami. Manik berwarna hitam itu memancarkan sorot yang tak dapat ku artikan. Ya Allah, cobaan macam apa ini. Seumur hidup, ini pertama kalinya aku melihat seorang laki-laki bertelanjang dada di depanku.

Menyadari posisi kami terlalu berbahaya, aku buru-buru melepaskan diri, dan mendorongnya menjauh. Kami semakin terjebak dalam situasi canggung. Apa kabar wajahku yang sekarang terasa memanas. Ini benar-benar memalukan. Lagi pula sejak kapan ada kursi teronggok di sini sih! Makiku dalam hati.

******

Selamat malam pembaca. Yeeeay updet lagi dong. Jangan lupa tinggalkan jejaaak dengan coman, vote or shar. Biar semangat up. Lope lope kalian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status