Mathias berjalan menghampiri pintu kamar, membukanya dan melangkah keluar. Karena emosi yang memenuhi dirinya, Mathias pun membanting pintu dengan suara keras.
BRAK! Pintu kamar terbanting keras hingga bergema di seluruh rumah. Suara itu memekikkan telinga, seolah menjadi puncak dari pertengkaran mereka yang sudah memanas sejak tadi. Di dalam kamar, Hailey terduduk lemas di sudut tempat tidur. Tangisannya pecah tak tertahankan. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi yang sudah memerah. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang lebih mirip neraka. Setiap kata yang keluar dari mulut Mathias, setiap tindakannya yang meledak-ledak, membuat Hailey semakin merasa ditumbalkan ke dalam kandang singa yang mengerikan. “Kenapa? Kenapa semua harus seperti ini?” isak Haley dengan perasaan terluka. “Apa salahku? Apa mau pria itu sebenarnya?” Hailey mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan. Ia tahu bahwa dia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Namun, bayangan suaminya yang temperamental dan tidak jelas apa maunya itu membuat Hailey takut dan bingung. Dia pun memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya jika mereka akan menjalani kehidupan berumah tangga. Tak ada cinta dalam hati mereka. Bahkan mereka seakan terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan. Sementara itu Mathias keluar dari kamar Hailey dengan langkah berat, wajahnya merah padam menahan marah. Ia berjalan cepat menuju kamar utama. Kamar itu jauh lebih luas, dindingnya dipenuhi foto-foto keluarga Cameron yang tertata rapi, menghadirkan nuansa hangat dan hidup. Sejak awal, dia memang tidak berniat untuk berbagi kamar dengan Hailey, atau lebih tepatnya, dengan wanita yang sekarang menjadi istrinya. Ia hanya masuk ke kamar Hailey tadi untuk mencari jawaban atas satu pertanyaan yang membakar pikirannya: Mengapa pengantinnya ditukar? “Sial!” Mathias menggeram sambil mengusap wajahnya kasar. “Seharusnya Evangeline yang menjadi pengantinku. Bukan Hailey. Semua rencanaku untuk Evangeline akan berjalan lancar jika bukan karena pertukaran mempelai wanita ini.” Padahal Mathias sudah merencanakan banyak hal untuk menghancurkan Evangeline setelah wanita itu menjadi istrinya. Namun sayangnya semua rencana hanyalah sebatas rencana. Karena sekarang Mathias sudah menikah dengan Hailey dan keberadaan Evangeline pun masih belum diketahui keberadaannya. Sehingga mau tidak mau Mathias harus menahan dirinya. Mathias duduk di kursi dekat meja, kepalanya tertunduk dan tangannya memegang pelipis yang berdenyut nyeri. Ia merasa pusing dengan pernikahannya yang kacau balau, beban di hatinya semakin berat. Dalam perasaan yang kesal, dia meraih gagang telepon di atas meja dan menekan tombol panggilan. “Ya, Tuan, ada yang bisa saya bantu?” Suara pelayan pria terdengar sopan dari seberang. “William, bisa bawakan wine dan blue cheese favoritku ke kamar utama?” suara Mathias terdengar lelah tapi tetap tegas. “Tentu, Tuan. Saya akan segera mengantarkannya,” jawab William dengan nada penuh hormat. Mathias menaruh gagang telepon kembali ke tempatnya dan menghela napas panjang. Ia merasa sedikit lega, tapi perasaan kacau masih menghantui pikirannya. Tidak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu kamar utama. “Masuk,” ujar Mathias tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Pintu terbuka perlahan, dan William masuk dengan nampan di tangannya. Di atas nampan itu, ada botol wine yang diletakkan di atas ember penuh es, gelas, dan sepiring blue cheese seperti yang diinginkan Mathias. William berjalan pelan menuju meja dan meletakkan semuanya dengan hati-hati. “Apakah ada hal lain yang Anda butuhkan, Tuan?” tanya William dengan sopan setelah menyelesaikan tugasnya. Mathias menggelengkan kepala tanpa menoleh. “Tidak, itu saja. Kau boleh keluar.” “Baik, Tuan. Jika Anda membutuhkan sesuatu lagi, jangan ragu untuk memanggil saya,” ujar William sebelum membungkuk sedikit dan keluar dari kamar, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. Mathias menatap botol wine di hadapannya, kemudian menuangkan segelas penuh. Ia mengambil sepotong blue cheese dan mulai menikmati keduanya dengan lambat. Rasanya yang kaya sedikit menenangkan pikirannya, tapi bayangan pernikahan yang kacau masih membayangi pikirannya. Dia tahu bahwa wine dan blue cheese tidak akan menyelesaikan masalahnya, tapi setidaknya untuk malam ini, mereka memberikan sedikit pelarian dari kenyataan pahit yang harus dihadapi. Mathias menatap botol wine di hadapannya. Dia meraih benda itu lalu membuka botol tersebut dan menuangkan segelas penuh. Ia meneguknya dengan cepat, merasakan rasa pahit bercampur manis dan sepat yang mengalir di tenggorokannya. “Minuman ini sangat cocok untuk hari yang kacau ini,” gumam Mathias. Satu gelas habis, kemudian disusul gelas kedua, ketiga, dan seterusnya. Setiap tegukan wine seakan menghapus rasa pening yang menyelimutinya. Ia memakan sepotong blue cheese di antara tegukan, tapi pikirannya tetap gelap. Mathias duduk terkulai di kursi, tubuhnya lemas dan pandangannya kabur akibat pengaruh alkohol. Di tengah kekalutan itu, bayangan seorang gadis remaja tiba-tiba muncul di benaknya. Gadis itu cantik dan ceria, memanggilnya “kakak” dengan suara lembut yang selalu menenangkan. Sejenak, Mathias mengangkat kepalanya dan menoleh. Di depan matanya yang buram, dia bisa melihat sosok gadis itu berdiri sambil tersenyum manis. Senyuman yang begitu hangat dan penuh kasih sayang, seolah membawa kembali kenangan masa lalu yang indah. Namun, saat Mathias ingin membalas senyuman itu, tiba-tiba ekspresi gadis tersebut berubah. Wajah cerianya mendadak memberengut, matanya yang tajam tertuju padanya dengan pandangan penuh teguran. Gadis itu mengangkat kedua tangannya di pinggang, bersiap untuk mengomel. “Kakak, jangan minum terlalu banyak. Tidak baik untuk kesehatanmu,” kata gadis itu dengan nada tegas, tapi tetap mengandung kekhawatiran yang tulus. Mathias terpaku, tidak mampu menjawab. Mathias menggeleng pelan. Ini halusinasi. Tidak, anak itu sudah meninggal sebelas tahun yang lalu. Namun, berkedip beberapa kali tak membuat bayangan di depan matanya menghilang. Kehadiran gadis itu seakan terlalu nyata untuk menjadi sekadar halusinasi, tapi juga terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan. Ia bergumam pelan, “Apakah aku sedang bermimpi?” Gadis itu tetap berdiri di sana, menatap Mathias dengan tatapan penuh kepedulian. “Kakak, tolong dengarkan aku. Aku tidak ingin melihatmu hancur seperti ini.” Gadis itu pun mulai berjalan mengelilingi kamar Mathias, berceloteh tentang banyak hal. “Kakak, kau tahu? Sebentar lagi akan ada camp musim panas! Aku sangat bersemangat untuk ikut! Bayangkan, kita akan berkemah di hutan, membuat api unggun, dan bernyanyi bersama di malam hari! Aku tidak sabar mengikutinya.” Mendengar celotehan gadis itu, ingatan tentang masa-masa bahagia bersama adiknya kembali membanjiri pikiran Mathias. Kenangan tentang tawa, kebahagiaan, dan impian yang dulu mereka bagi. Namun, kenyataan pahit bahwa semua itu telah hilang membuat amarah membara di dalam dirinya. Tangannya mengepal erat-erat hingga buku-bukunya memutih. Ia tidak mampu menahan kemarahan yang semakin membuncah. Dengan satu gerakan cepat, dia melemparkan gelas wine yang dipegangnya ke dinding. Gelas itu pecah berantakan, mengirimkan serpihan kaca ke seluruh lantai. Dengan napas terengah-engah karena amarah, Mathias pun berkata, “Aku bersumpah akan membasmi keluarga Brantley. Mereka akan membayar atas semua penderitaan ini.” Bayangan gadis itu menghilang, meninggalkan Mathias sendirian di kamar yang sunyi, penuh dengan kemarahan dan tekad yang baru. Dia tahu bahwa balas dendam adalah satu-satunya jalan yang bisa mengembalikan kedamaian dalam hidupnya. Dan mulai malam itu, dia bertekad untuk menjalankan sumpahnya.Kata-kata itu menusuk begitu dalam. Menghujam ke dalam hatinya. Hailey tidak bisa membantah. Meskipun hatinya penuh dengan kemarahan mendengar ucapan Sarah dan Amara, dia memilih diam, menahan diri agar tidak memperburuk suasana.Amara menatapnya dengan senyum meremehkan dan berkata, “Hailey pasti terlalu malas untuk bangun pagi. Lihat saja, Aunty, betapa tidak pantasnya dia menjadi istri Mathias.”Sarah menambahkan dengan nada menghina, “Wanita pemalas seperti Hailey seharusnya tidak menjadi istri putraku. Dia tidak tahu bagaimana harus bertindak sebagai bagian dari keluarga Cameron. Dia lebih cocok jadi pelacur di bar, kan?”Amara tertawa kecil dan mengangguk setuju. “Kau benar, Aunty. Hailey benar-benar menantu yang tidak berguna. Mathias pantas mendapatkan yang lebih baik. Untuk apa menikahi wanita yang hanya bisa menggoda di ranjang? Bukankah itu akan berbahaya jika dia malah menggoda pria lain? Ups!”Hailey hanya bisa menahan diri, menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan air
Matahari perlahan mulai naik, sinarnya yang hangat merambat melalui jendela kamar. Merasakan kehangatan yang menyentuh kulitnya, Hailey terbangun. Matanya perlahan terbuka, tapi Mathias tidak lagi ada di sampingnya. Ranjang yang kosong di sebelahnya membuat hati Hailey terasa berat, kecewa.Dia bertanya-tanya, “Apakah Mathias sudah pergi meninggalkan aku begitu saja? Lagi?” Hailey mendesah panjang. “Dia selalu pergi tanpa mempedulikanku. Sebenarnya kenapa dia tidak mau melepaskanku?”Hailey duduk di ranjang, mengusap wajahnya yang masih sedikit mengantuk. Tatapannya beralih ke jendela. Matahari sudah tinggi. Dia terkejut dan segera berkata pada dirinya sendiri, “Aku harus segera bersiap-siap. Mungkin sebentar lagi Mathias akan mengagakku untuk pulang.”Dia turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Air dingin yang menyentuh kulitnya membuatnya sedikit terjaga dari rasa cemas yang menghantui pikirannya. Setelah selesai, Hailey mengenakan pakaian den
Apa katanya?Ronde kedua?Apa Hailey tidak salah dengar?Demi apapun, Hailey lelah!Orang gila mana ... orang gila mana yang sudah menyetubuhinya selama lebih dari satu jam untuk ronde pertama, dan sekarang meminta ronde kedua? Hailey panik.“Tidak, tidak ....” Hailey berbicara spontan, tapi suaranya mencicit karena takut Mathias tidak bisa menerima jawabannya. “Aku ... aku ... tidak bisa.”Hailey yang tidak suka dengan gagasan untuk ronde kedua langsung menolak Mathias. Saat melihat reaksi Hailey seperti itu, Mathias menarik napas. Dia bersedekap sambil menatap Hailey dengan tatapan tidak senang. Tentu saja tidak senang, Mathias sudah tegang dari tadi. Kejantanannya sudah siap untuk menggempur Hailey. Tapi wanita itu malah bilang tidak ada ronde kedua?"Maafkan aku, Mathias. Tapi aku tidak bisa," Hailey berkata dengan suara lirih karena begitu takut dengan reaksi yang ditunjukkan Mathias karena penolakannya.Persetan!Mathias memicingkan matanya menatap dengan alis terangkat. "Apa ma
Napas Mathias terengah-engah setelah dirinya mencapai puncak kenikmatan yang mengguncang tubuhnya. Saat dia ambruk dan menimpa Hailey, Mathias menyangga tubuhnya dengan tangan. Hailey tampak begitu menawan dan menggoda dengan keringat di sekujur tubuhnya yang putih mulus. Dengan senyuman miring, Mathias menatap Hailey yang baru membuka matanya, masih meresapi sisa kenikmatan yang baru saja mereka capai.“Apakah kau menikmatinya, Hailey?”Hailey menoleh, berusaha menghindari Mathias. Akan tetapi pria itu sama sekali tidak mau melepaskannya. Mathias menangkup wajah Hailey, kemudian mendaratkan ciuman padanya. Secara paksa menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Hailey dan menjelajah di sana. Tangannya dengan aktif kembali meremas-remas payudara sintal wanita itu.Aneh, Hailey sangat lelah, tapi sentuhan kecil itu membuat Hailey kembali menginginkannya.“Ma- Mathias .... akh, hen ... hentikan, kumohon ...” Hailey memohon dengan suara bergetar di antara desahannya yang terdengar seksi dan mer
Mathias terperangah mendengar alasan Hailey mengapa dia begitu takut padanya. Selama ini, dia memperlakukan Hailey sama seperti orang lain, tanpa menyadari bahwa sikapnya itu telah membuat wanita itu begitu takut padanya. Mathias mendadak terdiam, matanya menerawang jauh. Dia merenung dalam-dalam, berusaha memahami perasaan Hailey.Pertanyaan berputar-putar dalam pikirannya,. pa benar yang dikatakan Hailey? Apakah dia benar-benar seburuk itu? Mathias tidak tahu. Selama ini tidak ada yang memberitahukan padanya bahwa tatapan matanya membuat orang takut.Pikirannya melayang kembali ke momen-momen ketika dia bersikap kasar kepada Hailey. Saat di pesta, dia menggenggam tangan Hailey dengan keras, nyaris mencederainya. Mathias merasa hatinya tersayat mengingat bagaimana dia melampiaskan kemarahannya tanpa mempertimbangkan perasaan Hailey.Rasa bersalah semakin dalam menguasai hatinya meskipun dia sudah minta maaf. Selama ini, dia terlalu fokus pada pekerjaannya, pada ambisi balas dendamnya
“Bagaimana Hailey?” Sarah memojokkan Hailey dan mengulangi pernyataannya tadi, “aku sudah bilang tidak suka padamu, kau menikahi putraku secara diam-diam. Aku juga sudah punya calon istri untuk Mathias.”“Y- ya?” Hailey tidak bisa menjawab kata-kata lain, kerongkongannya tercekat.Sarah melanjutkan dengan nada bicara yang tajam. “Bercerailah dari Mathias.”Melihat ketegangan itu, Mathias langsung menghentikan ibunya yang hendak mengintimidasi Hailey kembali. Mathias mengenal betul sifat ibunya. Dia tidak akan berhenti membahas masalah ini jika tidak dihentikan.“Mom, sudah cukup. Tolong jangan bahas soal ini lagi,” kata Mathias dengan tegas. “Aku tidak akan bercerai dari Hailey.”Sarah mendengus tidak percaya mendengar ucapan Mathias. Dia semakin kesal karena putranya itu menghalangi dirinya untuk menyadarkan Hailey agar dia tahu diri.Sarah menatap putranya dengan dingin. “Memang apa yang sudah Mom lakukan, Mathias? Mom hanya mengutarakan pendapat saja. Setiap orang berhak berpendapa