Masuk“Arght!” Vernon berteriak seraya memukul setir mobil. Ia kesal pada dirinya yang tidak bisa mengendalikan emosi. Ia benci dengan lelaki yang kasar pada wanita, sementara dirinya sendiri sampai main tangan pada istrinya.
Setelah menghela napas dengan kasar, Vernon menancap gas dengan kecepatan tinggi. Ia pulang begitu saja, menghentikan pencarian terhadap putrinya. Jika tetap tidak ada kabar hingga besok pagi, ia akan segera melapor pada polisi. Sementara Evelyn ditinggal sendirian di depan area sekolahan. Wanita itu masih membatu di tempat, berusaha untuk mencerna apa yang sudah terjadi. Meskipun orangtuanya cukup kasar dan tegas, ia tidak pernah dilukai secara fisik. Ia bisa maklum jika Vernon tidak bisa menerima pernikahan mereka. Ia akan mengerti jika Vernon menolak dirinya. Namun, ini sudah sangat keterlaluan. Evelyn masih merasakan panas di pipinya. Hati ikut terbakar dengan perlakuan yang baru saja ia dapatkan. Segera ia akan menggugat cerai dan memulai hidup baru dengan Barra. Ia benar-benar tidak bisa menerima tamparan di pipinya. Evelyn melangkah dengan gontai. Menyusuri jalanan gelap dengan langkah kaki yang terasa begitu berat. Ia sedikit sempoyongan dengan kepala yang terasa pusing. Saat tiba di jalanan besar, Evelyn menghentikan taksi dan meminta sang sopir untuk segera membawa ia pulang ke rumah orangtuanya. Ia tidak bawa apa-apa sekarang. Jangankan ponsel untuk mengabari, uang sepeser pun ia tidak ada bawa. Evelyn menahan tangis sepanjang perjalanan. Tangannya gemetar memegang pipi yang meninggalkan bekas kemerahan berbentuk telapak tangan. Pertanda bahwa Vernon menamparnya cukup keras. Mobil berhenti ketika mereka tiba di tempat tujuan. “Tunggu sebentar!” Evelyn berpesan pada sang sopir. Ia akan meminta mamanya untuk membayar tagihan perjalanan, sebab ia tidak punya uang. “Ma! Mama!” Evelyn mengetuk pintu dengan keras. Pintu terbuka dengan kemunculan sosok mamanya. “Lama sekali kau datang.” Wanita itu langsung berkomentar. Evelyn mengerutkan kening, sebab merasa bingung karena mamanya mengucap kalimat yang membuat dirinya bertanya-tanya. “Joy sudah tidur sejak tadi.” Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan. “Joy di sini?” Evelyn bertanya memastikan. Masih bingung, sebab mengapa tiba-tiba Joy ada di sana. Sementara ia dan Vernon tengah mencari anak itu dengan perasaan yang diselimuti oleh rasa khawatir. “Loh, kamu ke sini ada apa? Mama kan sudah ngirim pesan ke kamu, tadi juga nelpon tapi tidak diangkat. Anak kok dibiarkan nunggu lama di sekolah. Untung mama lewat depan sekolahannya Joy, jadi langsung mama bawa pulang saja, kasihan Joy sama gurunya. Sudah nunggu lebih dari satu jam.” Wanita dengan wajah yang mulai keriput itu memberikan penjelasan panjang kali lebar. Evelyn menghela napas dengan lega. Bersyukur karena tidak terjadi apa-apa terhadap putrinya. “Mbak!” Terdengar klakson dari arah depan sana. Sang supir taksi sudah terlalu lama menunggu. “Minjam uang dulu, Ma. Buat bayar ongkos taksi.” Evelyn nyengir menengadahkan tangan pada mamanya. Wanita paruh baya itu melirik dengan jidat berkerut. “Kamu ke sini tidak sama Vernon?” Wanita itu bertanya memastikan. Tatapannya tajam mengarah pada mobil yang terparkir di depan gerbang sana. Elena menggeleng dengan pelan. “Berapa?” Wanita itu bertanya dengan cemberut, tampak sekali jika ia tidak senang jika dimintai uang oleh putrinya. “Dua ratus lima puluh delapan.” Evelyn menjawab dengan raut wajah tidak enak hati. “Sebentar.” Wanita itu beranjak pergi untuk menjemput uang di kamarnya, lalu datang kembali menyerahkan pada Evelyn. “Makasih, Ma.” Evelyn menerima lembaran uang itu, lalu pergi untuk menyerahkannya pada si supir taksi. Evelyn ikut masuk saat mamanya melangkah masuk. Ini sudah larut malam, jadi mereka sudah sama-sama mengantuk. “Malam ini aku tidur di sini dulu.” Evelyn berucap dengan sungkan. “Terserah.” Mamanya menjawab dengan ketus. Tampak sekali jika wanita paruh baya itu tidak senang dengan kehadiran putrinya. Entah apa salah Evelyn padanya. Harusnya, sebagai anak tunggal setelah kematian kakaknya, ia akan lebih disayang dari sebelumnya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. “Joy di mana?” Evelyn bertanya seraya menghempaskan tubuh dengan kasar di sofa. Ia bahkan tidak ditanya mengenai pipinya yang memerah karena tamparan yang ia dapatkan. Jelas sekali jika ia memang kurang diperhatikan. “Di kamar mama. Biar saja dia tidur di sana, jangan dipindahkan.” Wanita itu menjawab seraya melangkah menuju kamarnya. Evelyn menghela napas dengan kasar. Ia bangkit dan beranjak menuju telepon rumah. Ia menghubungi rumah suaminya, mengabari jika ia dan Joy akan menginap di sana. Panggilan pertama tidak ada tanggapan sama sekali. Evelyn kembali menghubungi untuk yang kedua kali. “Halo, dengan rumah kediaman Tuan Vernon. Ada yang bisa saya bantu?” Terdengar suara Bi Asih yang menjawab panggilan. “Bi, ini aku. Vernon sudah di rumah?” Evelyn bertanya dengan lembut. “Nyonya Evelyn?” Bi Asih bertanya memastikan. “Iya, Bi. Aku mau bicara sama Vernon.” “Tuan Vernon sedang tidak bisa diganggu, Nyonya. Ada pesan yang ingin ditinggalkan?” “Beritahu dia jika aku tidak akan pulang ke sana. Kirim barang-barangku ke sini. Joy baik-baik saja di sini, besok dia kuantar pulang.” Evelyn menjelaskan secara singkat. Bi Asih terdiam sejenak, wanita itu tampak bingung dalam memberikan tanggapan. Apalagi mengenai ucapan Evelyn yang mengatakan bahwa ia tidak akan kembali ke rumah Vernon lagi. “Itu saja.” Evelyn langsung menutup panggilan telepon. Ia tidak ingin berbasa basi panjang kali lebar. Belum genap seminggu mereka menikah, ia sudah ditampar. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Bisa saja ia akan dibanting dan mendapatkan kekerasan yang lebih parah lagi. Evelyn beranjak menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Langkahnya terlihat sangat berat, ia baru bisa merasakan bibirnya yang nyeri. Tampak ada bekas luka di ujung bibir kanannya. Pecah akibat tamparan Vernon terhadapnya. Evelyn membuka pintu kamar, terlihat tidak dibereskan sama sekali. Masih sama seperti saat ia meninggalkan rumah, tidak ada yang berbeda. Bajunya tampak berantakan di atas ranjang. Kertas-kertas yang diremas berbentuk bola berserakan di lantai kamar. Beberapa kertas design yang telah ia buat terlihat berhamburan di meja kerjanya. Evelyn menghela napas dengan kasar. Ia sendiri bingung mengapa ia mendapatkan perlakuan berbeda dari kakaknya. Mendiang kakaknya semasa hidup selalu dilimpahi kasih sayang. Mereka tumbuh dengan cinta yang terlihat sangat timpang. Bahkan ketika menikah pun mereka mendapat perlakuan yang tidak sama meski dengan suami yang tidak berbeda. Evelyn duduk di tepian ranjang dengan perasaan yang tidak bisa didefenisikan. Dadanya terasa nyeri saat mengingat betapa menyedihkan dirinya. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Disusul dengan tetes lainnya yang jatuh berebutan dari pelupuk mata. Evelyn menjatuhkan diri dengan kasar ke ranjang. Mulai menangisi hidupnya yang berantakan.Evelyn menatap suaminya dengan mata sembab. Mata itu bahkan telah bengkak karena telah menangis untuk waktu yang lama. Ia tidak tidur semalaman, sebab tidak bisa tenang karena sang suami tidak kunjung siuman.“Vernon, kapan kau akan bangun? Mana janjimu yang ingin membuatku dan anak-anak hidup bahagia?” Evelyn berucap dengan suara serak.Terdengar ketukan di pintu ruangan. Evelyn bangkit untuk membukakan. Tampak kedua ornagtuanya yang datang untuk membesuk setelah hampir 24 jam Vernon berada di rumah sakit.“Papa.” Wanita itu langsung menghabur ke dalam pelukan papanya. Ia kembali menangis sejadi-jadinya di sana. Sebab, terlampau takut jika kehilangan suaminya. Ia belum siap kehilangan lelaki yang begitu ia cintai.“Maaf karena kemaren papa tidak menjawab teleponmu. Papa masih kesal karena kau tetap nekat buat pergi dari rumah. Tadi malam ibunya Vernon datang ke rumah, dia ngasih tahu apa yang terjadi. Papa jadi khawatir sama kamu.” Lelaki paruh baya itu berucap dengan penuh simpati.
Evelyn menggeliat kecil saat ia terbangun di pagi hari. Wanita itu berbalik, menatap suaminya yang masih terlelap di sisinya.Evelyn tersenyum menatap, ia elus lembut wajah lelaki itu dengan penuh cinta.“Sayang, bangun. Sudah pagi.” Evelyn berucap dengan lembut. Tidak ada tanggapan sama sekali dari Vernon. Lelaki itu tetap saja terlelap. Helaan napasnya terdengar begitu lemah, tapi teratur. Bahkan pelukannya di tubuh Evelyn masih erat seperti sebelumnya.“Vernon.” Evelyn menepuk pipi suaminya dengan lembut, berharap dengan itu Vernon akan lekas bangun. Namun, tetap saja Vernon tidak memberikan respons apa pun.Evelyn menghela napas dengan dalam. Ia tatap wajah tampan itu lamat-lamat dari jarak yang begitu dekat. Wajahnya terasa panas saat napas mereka saling beradu.“Bangun, hey, bangun.” Evelyn terus berusaha membangunkan. Ia kecup wajah suaminya berkali-kali untuk mengganggu tidur lelaki itu. Namun, itu tidak memberikan efek apa pun, Vernon tidak kunjung bangun.“Ya sudahlah, nanti
“Kamu punya mantan berapa?” Vernon tiba-tiba bertanya menjelang tidur mereka. Kini meraka hanya ada berdua, sebab Luke tidur di kamarnya.“Apa gunanya membahas masa lalu?” Evelyn balik bertanya. Ia kurang suka dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut suaminya.“Aku mau tahu saja. Kau sepertinya mudah disukai oleh orang lain.” Vernon berucap ingin tahu.Evelyn tertawa tipis.“Kau salah, justru tidak ada yang suka padaku. Bahkan kau juga sempat menolakku.” Evelyn ingat betul sekuat apa dulu suaminya itu menolak hubungan mereka. Andai ia tidak hamil, mungkin hubungan mereka tidak akan berlanjut hingga kini. Sebab, tidak ada yang mengikat mereka dan memaksa untuk hidup bersama. Kehamilan itu juga tidak diinginkan, bahkan Evelyn mendapatkannya karena malam pertama yang dipaksa.Vernon menoleh menatap istrinya.“Issa sangat menyukaimu, Joy juga, bahkan Barra.”“Cuma mereka. Kau juga tidak pernah tahu bagaimana perjuanganku untuk masuk ke dalam kehidupan Issa. Issa juga sempat menolakku.”
Evelyn mengenakan topi pada Luke untuk menyamarkan luka di jidatnya. Anak itu tampak tampan dengan setelah pakaian yang Evelyn sarungkan. Ia benar-benar mirip dengan Vernon. Matanya, mulutnya, tatapannya, alisnya, rahangnya, benar-benar seperti Vernon. Ia hanya mengambil bagian hidung dan rambut Evelyn. Sebuah perpaduan yang begitu sempurna.[Sudah siap?] Sebuah pesan masuk dari Vernon. Sesuai janjinya, siang ini mereka akan ke rumah Barra.[Sudah.] Evelyn mengirim pesan balasan.Evelyn menunggu di ruang tamu. Ia duduk di sofa seraya mengawasi Luke yang tidak jera untuk belajar berjalan dengan berpegangan pada sofa. Tampaknya pertumbuhan anak itu semakin ke sini semakin pesat.Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya Vernon tiba di rumah. Lelaki itu berganti pakaian terlebih dahulu, agar terkesan ikut berduka atas kematian Fani dengan mengenakan pakaian serba hitam.“Joy gimana?” Evelyn bertanya dengan bingung ketika Vernon mengajaknya untuk segera berangkat. Sebab, Joy akan pulang s
Vernon menyusul ke kamar setelah ia menenangkan dan menidurkan Joy di kamar anak itu. Evelyn telah terlelap ketika ia menyusul. Wanita itu tampak tidur dengan mendekap Luke. Tampak wajah Evelyn sedikit sembab, pertanda jika ia habis menangis. Barangkali ia menyesal karena telah memilih keputusan yang salah dengan kembali ke rumah itu. Atau juga karena ia merasa sakit karena ketidakpercayaan Vernon terhadapnya.Vernon duduk di tepian ranjang. Ia menghela napas dengan kasar. Terlihat menyesal karena telah memicu pertengkaran di antara mereka.“Evelyn ….” Vernon memanggil dengan lembut. Tidak ada tanggapan sama sekali dari Evelyn. Wanita itu terlihat tetap terlelap dalam tidurnya.“Sayang ….” Ia menyentuh lembut pipi Evelyn. Membuat Evelyn membuka mata karena merasa terganggu dengan sentuhan itu. “Maaf, ya.” Vernon meminta maaf karena telah menyadari kesalahannya.Evelyn hanya diam. Ia melepas pelukannya pada Luke, lalu berbalik menghadap tembok. Untuk saat ini ia tidak ingin menatap Ver
Vernon menggeliat di saat ia terbangun dari tidurnya. Tidak lagi ia dapati sang istri di sisinya. Ranjang itu kosong, hanya ada ia seorang diri. Pertanda jika Evelyn sudah bangun lebih dulu. Dari dalam kamar mandi terdengar air yang membentur lantai, tampaknya Evelyn tengah mandi.Vernon bangkit untuk duduk. Selimutnya melorot hingga pinggang, menunjukkan otot-otot di tubuhnya yang tampak begitu kekar. Akhirnya setelah menunggu cukup lama, ia bisa merasakan kembali surga dunia bersama istrinya tadi malam.Vernon mengusap wajahnya dengan kasar, sesekali ia menguap karena masih mengantuk. Ia melakukan peregangan kecil di atas ranjang. Setelahnya ia beranjak turun, menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan melangkah dengan telanjang bulat menuju kamar mandi.“Sayang, buka pintunya.” Vernon mengetuk dengan lembut, ingin ikut mandi bersama Evelyn.“Sebentar, aku mau selesai!” Terdengar Evelyn menjawab dari dalam.“Mandinya bareng.” Vernon berucap dengan manja, suaranya terdengar serak khas o